Siapa tidak butuh Islam, berarti.....

Ustadz Abdurrahman

Bismillahirrahmanirrahim

Sekitar pertengahan 1996, pada masa-masa awal nyantri di Pesantren Hidayatullah Surabaya, kami mencatat sejumlah materi kuliah dari pembimbing utama kami, yakni al-Ustadz Abdurrahman; selain dari pembimbing-pembimbing yang lain. Kalimat-kalimat yang kami rekam ini tidak selalu merupakan kutipan langsung, dan kemungkinan besar bersifat maknawi yang disimpulkan dari serangkaian kalimat panjang dalam ceramah. Di masa itu sangat jarang ada bahan tertulis, dan hampir seluruh pelajaran diberikan secara lisan dalam tatap muka langsung antara guru dan murid. Berikut ini sebagian kecil darinya, yang kami catat dari salah satu kuliah beliau tentang “Tumbuhnya Iman”.

Beliau berkata, “Iman tidak akan tumbuh dengan baik jika tempatnya (yakni: hati/jiwa) gersang atau beracun. Jiwa yang kotor akan menyebabkan berat untuk melaksanakan ketaatan. Setiap perbuatan, jika buruk, hanya akan mengotori jiwa. Kalla bal raana ‘ala qulubihim maa kaanuu yaksibun, “sekali-kali tidak! bahkan apa yang selalu mereka usahakan itu telah menutupi hati mereka” (Qs. al-Muthaffifin: 14). Jika seseorang terbiasa dengan maksiat, maka maksiat itu akan membentuk karakternya. Thubi’a ‘ala qulubihim, “dicap/disegelkan pada hatinya”, dan akan sangat berat untuk meninggalkannya. Maka, jangan mengotori jiwa. Jika jiwa kotor, maka Al-Qur’an tidak akan “sambung” sehingga terasa berat untuk melaksanakannya, bahkan cenderung menciptakan pesimisme terhadap masa depan Islam. Al-Qur’an tidak akan ‘klop’ kecuali dengan jiwa yang suci, karena Al-Qur’an itu sifatnya suci. La yamassuhu illal muthahharun, “tidak boleh menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Qs. al-Waqi’ah: 79). “Bersih” adalah syarat mutlak agar Al-Qur’an bisa kita terima sepenuh hati. Jiwa yang banyak bermaksiat akan terjauh dari Allah, dan jauh dari Allah berarti dekat dengan syetan.”

Setelah mengutip sifat manusia yang melampaui batas dan zhalim, karena merasa serba cukup dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan bimbingan Allah, sebagaimana disitir surah al-‘Alaq: 6-7, beliau kemudian berkata, “Setiap orang akan memandang segala sesuatu berdasar pola pikirnya, berdasar ‘pendasaran’ yang telah lebih dahulu masuk. Siapa pun yang merasa tidak membutuhkan Islam, berarti jiwanya kotor. Maka, siapkanlah diri untuk menerima fitrah Islam dengan membersihkan diri (fitrah). Sesuatu yang fitrah tidak akan bisa diterima kecuali oleh yang fitrah pula.” Beliau kemudian menyitir surah ar-Rum: 30.

Beliau melanjutkan, “Jika ingin menjadi pewaris Nabi, maka akidah harus dibina menurut Sirah Nabawiyah. Didiklah diri kalian dengan mengakrabi yang ma’ruf dan membenci yang munkar.”

Beliau berkata lagi, “Manakala keyakinan Islam telah teryakini benar-benar, maka manusia justru menanti perintah Allah, bukan malah takut, sebab ia yakin bahwa itulah putusan terbaik untuk menyelesaikan probema-problema yang dihadapinya.”

Wallahu a’lam.

Sekedar mengingat, kalau tidak salah, kuliah ini diselenggarakan di belakang Masjid Aqshal Madinah, di bawah naungan bangunan beton yang setengah jadi. Lantainya belum dilapisi keramik, hanya dikeraskan dengan semen. Belum ada dinding yang melengkapi bangunan ini, jadi masih terbuka. Seingat saya, di beberapa bagian, masih ada besi-besi calon tiang atau "otot" dinding yang belum diberi cor semen, masih "telanjang". Berhadapan dengan bangunan yang menempel mihrab ini adalah asrama, yang biasa disebut bivak, berupa bangunan dua lantai dari kayu semi permanen yang bisa dibongkar-pasang. Sekarang bangunan bivak ini sudah tidak ada, sementara ruang kuliah kami itu telah difungsikan sebagai perpustakaan dan lab bahasa. Saat itu, teman seangkatan kami tidak kurang dari 60 orang, sebelum akhirnya mengundurkan diri satu persatu hingga tersisa 26 orang saja pada tahun 2000/2002, yakni saat kami diwisuda dan ditugaskan ke berbagai daerah.