Nama dan gelar ulama' yang unik



Bismillahirrahmanirrahim

Isi artikel ini mungkin tidak terlalu penting, karena tujuan penulisannya pun hanya untuk menghibur hati dari kepenatan. Sekedar bergembira saja. Jika penggemar olahraga menghibur diri dengan hal-hal unik dalam olahraga, maka pecinta ilmu merehatkan jiwa dengan hal-hal unik dan ringan dalam ilmu juga. Seperti kata peribahasa, “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan anekdot-anekdot ini, ia mendapat tambahan ilmu, tetapi jiwanya terhibur, hatinya menjadi lapang, dan pikirannya segar kembali. Tidak ada ruginya, bukan?

Ketika membaca buku-buku biografi, terutama yang mengisahkan kehidupan para ulama’, kami sering mendapati nama-nama yang unik dan mengundang penasaran, entah karena maknanya, bunyinya, kisah di baliknya, atau hal-hal lain yang terkait. Sesekali, kami berusaha menelusuri nama-nama itu, dan betapa gembira ketika menemukan apa yang kami cari. Namun, karena informasi semacam itu sukar dimasukkan dalam bab-bab yang serius, sementara ia terlalu sayang untuk dilupakan, maka kami sengaja mencatat dan memasukkannya ke dalam anekdot semacam ini. Barangkali berguna bagi sebagian kita, sekali lagi, untuk merehatkan hati atau memicu minat mempelajarinya lebih dalam.

Sebenarnya, keunikan seperti ini juga banyak terdapat di kalangan Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, kisah-kisah mereka sudah lebih banyak dikenal, seperti Abu Bakar ash-shiddiq, ‘Umar al-faruq, ‘Utsman dzun nurain, ‘Ali abu turab, Hamzah asadullah, Khalid saifullah, ‘Abdurrahman bin Shakhr abu hurairah, dan masih banyak lagi lainnya. Adapun nama dan julukan para ulama’ sepeninggal mereka, sepertinya jarang dibahas secara khusus, kecuali dalam kitab-kitab besar karya ulama’ terdahulu yang jarang diketahui umum.

Untuk dimaklumi, kami tidak punya kriteria khusus tentang tokoh yang layak dimasukkan ke dalam daftar ini, selain keunikan namanya saja. Maka, di dalamnya ada ulama’, penyair, bahkan orang yang melalaikan shalat atau penganut Syi’ah. Kalau pun judulnya adalah “NAMA DAN GELAR ULAMA’ YANG UNIK”, maka ini hanya memudahkan penyebutan, sebab mayoritas tokoh yang kami sitir adalah ulama’ dalam arti sesungguhnya. Sebagian isi artikel ini kami telusuri sendiri melalui beberapa literatur, sebagian kami ambil dari diskusi di sebuah forum ilmiah di internet (dari Alukah Majlis ‘Ilmiy).

Mari kita ikuti kisah dan ulasan di balik nama serta gelar unik dari para ulama’ agung dan tokoh-tokoh penting yang telah mewarnai sejarah kita berikut ini; yang diurutkan mengikuti tahun wafat mereka. Semoga bermanfaat.

MASRUQ ( مسروق ). Saat masih kecil, beliau pernah diculik oleh orang, lalu berhasil ditemukan kembali, sehingga akhirnya dinamai masruq (anak yang pernah diculik). Kami tidak tahu siapa namanya sebelum itu. Beliau termasuk kibar tabi’in, dan mengutip riwayat dari sejumlah Sahabat besar seperti ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Khabbab bin Aratt, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Umar, dsb, radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Nama lengkapnya adalah Masruq bin al-Ajda’ bin Malik bin Umayyah bin ‘Abdullah al-Hamdani Abu ‘Aisyah al-Kufi. Beliau wafat tahun 62 atau 63 H. Demikian menurut al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal.

AL-FARAZDAQ ( الفرزدق ). Artinya “roti biskuit besar”. Dipanggil demikian karena wajahnya mirip roti biskuit besar, mungkin karena bentuknya yang bulat. Beliau adalah penyair terhebat pada zamannya, bersama Jarir dan al-Akhthal. Nama aslinya adalah Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah bin Najiyah at-Tamimi al-Bashri. Beliau termasuk tabi’in, dan sempat berjumpa dengan Abu Hurairah, al-Husain bin ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, dll. Menurut adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lamin Nubala’, beliau wafat tahun 110 H, di tahun yang sama dengan kewafatan al-Hasan al-Bashri.

SA’ID AL-MAQBURI ( سعيد المقبري ). Julukan ini berarti “Sa’id si Tetangga Kuburan”, karena beliau tinggal di dekat kompleks pemakaman di Madinah. Nama aslinya adalah Sa’id bin Abu Sa’id Kaisan, Abu Sa’ad al-Madani, seorang ulama’ dari generasi ke-3 (wustha tabi’in). Menurut catatan, beliau wafat tahun 120 H. Beliau berguru kepada sejumlah Sahabat, diantaranya Anas bin Malik, Jabir bin ‘Abdullah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Ibnu ‘Umar. Hadits-haditsnya termaktub dalam Kutubus Sittah. Ibnu Hajar menilainya sebagai perawi tsiqah (bisa dipercaya).

HUMAID ATH-THAWIL ( حميد الطويل ). Beliau adalah paman dari Hammad bin Salamah dari pihak ibu. Termasuk shighar tabi’in, generasi ke-5, dan wafat tahun 142 atau 143 H. Beliau adalah perawi terpercaya, dan hadits-haditsnya tersebar di seluruh Kutubus Sittah. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ubaidah Humaid bin Abi Humaid Tirwaih al-Khuza’iy. Semula, ayah beliau adalah tawanan pasukan muslim tatkala Ibnu ‘Amir (salaha seorang Sahabat) menaklukkan daerah Kabul, sekarang di Afghanistan. Diceritakan bahwa al-Ashma’iy pernah berjumpa dengan Humaid, dan menurutnya postur tubuh beliau tidaklah jangkung (thawil), tetapi justru pendek (qashir) atau biasa-biasa saja. Beliau disebut demikian karena ukuran tangannya yang lebih panjang dari orang kebanyakan. Menurut riwayat lain, salah seorang tetangganya ada yang bernama sama, tetapi tubuhnya lebih pendek. Maka, yang itu disebut Humaid al-Qashir (si pendek), sedangkan yang ini disebut Humaid ath-Thawil (si tinggi), sekedar untuk membedakan. Wallahu a’lam.

MUSLIM AL-BATHIN ( مسلم البطين ). Artinya “Muslim si Perut Besar”. Konon, beliau tidak suka dipanggil dengan nama ini, dan nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah Muslim bin ‘Imran al-Kufi. Beliau hidup sezaman dengan shighar tabi’in, dan dinyatakan sebagai perawi tsiqah oleh Ibnu Hajar. Diantara muridnya yang terkenal adalah Sulaiman al-A’masy. Hadits-hadits beliau tersebar dalam seluruh Kutubus Sittah.

SIBAWAIH ( سيبويه ). Nama aslinya Abu Bisyr ‘Amr bin ‘Utsman bin Qunbur al-Bashri, seorang guru besar nahwu yang sangat terkenal. Beliau wafat tahun 180 atau 188 H. Mengapa beliau lebih dikenal dengan nama Sibawaih? Kata itu dalam bahasa Persia berarti “aroma apel”, karena konon beliau suka sekali mencium buah apel, atau gemar membawa apel di saku bajunya sehingga selalu tercium aroma apel dari beliau. Tetapi, menurut Ibrahim al-Harbi, itu karena kedua pelipisnya sangat bagus mirip buah apel. Wallahu a’lam.

MUSLIM AZ-ZANJI ( مسلم الزنجي ). Secara harfiah, Zanj berarti negro atau orang kulit hitam. Sebagian orang mengatakan bahwa julukan ini disandangnya karena kulitnya yang sangat hitam. Namun, Ibrahim al-Harbi mengatakan bahwa justru sebaliknya. Muslim digelari az-Zanji (si hitam) karena kulitnya yang sangat putih, sehingga tampak asyqar (merah kekuning-kuningan) seperti bawang merah. Dulu, orang Arab memang suka menggelari seseorang dengan kebalikan dari kenyataan dirinya. Beliau adalah guru dari Imam Syafi’i selama di Makkah, sebelum pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Imam Syafi’i lama berguru kepadanya, sampai akhirnya beliau diberi izin oleh gurunya ini untuk tampil berfatwa. Nama lengkapnya adalah Muslim bin Khalid bin Qarqarah al-Qurasyi al-Makhzumi, Abu Khalid al-Makki. Menurut al-Mizzi, beliau wafat tahun 179 atau 180 H.

WARASY ( ورش ). Gelar ini berarti bule, karena pemiliknya berkulit sangat putih. Aslinya, warasy adalah sejenis makanan olahan berbahan susu. Ada yang mengatakan, nama itu berasal dari kata warsyan, yakni sejenis burung merpati. Wallahu a’lam. Beliau adalah murid dari Imam Nafi’, salah seorang Imam Qira’at Sab’ah. Riwayat Warasy dipergunakan secara luas di kawasan Mesir dan sekitarnya. Nama aslinya adalah Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id al-Mishri al-Qibthi. Beliau lahir tahun 115 H dan wafat tahun 197 H. Tentang nama ini, beliau berkata, “Nafi’, guru saya, yang menggelari saya dengan nama itu.” Keterangan selengkapnya dapat diperoleh dari Husnul Muhadharah karya as-Suyuthi dan sumber-sumber lainnya.

QUTHRUB ( قطرب ). Beliau adalah ahli nahwu, murid dari Sibawaih. Semasa belajar kepada gurunya, beliau selalu datang pagi-pagi sekali, bahkan ketika hari masih gelap, agar mendapat giliran pertama belajar. Ketika mengetahui hal ini, Sibawaih pun berkata, “Engkau ini hantu kegelapan malam!” Sejak itu, beliau pun dipanggil dengan demikian. Kata Quthrub memang berarti anak jin atau hantu kegelapan. Nama aslinya adalah Muhammad bin al-Mustanir, Abu ‘Ali al-Bashri. Beliau wafat tahun 206 H, setahun sebelum al-Farra’ (ahli bahasa termasyhur lainnya di masa itu). Demikian sebagaimana diceritakan adz-Dzahabi dalam Tarikh-nya.

AL-FARRA’ ( الفراء ). Tentang ulama’ ahli bahasa ini, sebagian orang menggelarinya sebagai amirul mu’minin fi an-nahwi (pemimpin kaum muslimin di bidang nahwu). Nama aslinya adalah Abu Zakariya Yahya bin Ziyad bin ‘Abdullah bin Manzhur al-Asadi al-Kufi, sedangkan gelar al-Farra’ – menurut as-Sam’ani – berarti: pencipta banyak kata dan istilah baru yang menakjubkan. Begitulah kenyataannya. Kepakarannya bahkan diakui jauh lebih hebat dari gurunya, al-Kisa’iy. Meski demikian, beliau sangat menghormati dan mengagungkan gurunya ini. Khalifah al-Ma’mun pernah memintanya untuk menyarikan kaidah-kaidah Ilmu Nahwu, dan memberinya segala fasilitas. Ketika beliau mendiktekan kitab Ma’anil Qur’an, ratusan orang berkumpul untuk mencatatnya, termasuk diantaranya 80 orang Qadhi. Keseluruhan karyanya berjumlah tidak kurang dari 3 ribu halaman, dan semua didiktekan dari hafalannya. Beliau wafat dalam perjalanan haji ke Tanah Suci Makkah tahun 207 H, dalam usia 63 tahun.

‘ARIM ( عارم ). Secara harfiah, julukan ini berarti kuat melebihi kewajaran, cerewet, dan kasar. Namun, penyandangnya sendiri sebenarnya sangat jauh dari kesan seperti itu. Tidak ada sebab yang jelas di balik gelar tersebut. Beliau pernah berkata, “Ketika aku lahir, al-Aswad bin Syaiban menamaiku ‘Arim (cerewet), dan ketika ayahku mempunyai anak lagi al-Aswad menamainya Syaghab (pengacau).” Nama aslinya sendiri adalah Muhammad bin al-Fadhl Abu an-Nu’man as-Sadusi al-Bashri. Beliau termasuk shighar atba’ tabi’in, wafat tahun 223 atau 224 H. Termasuk perawi tsiqah, dan haditsnya tersebar dalam Kutubus Sittah. Demikian menurut keterangan dalam Ikmal Tahdzib al-Kamal.

BISYR AL-HAFIY ( بشر الحافي ). Julukan ini berarti “Bisyr yang tidak pernah memakai alas kaki”, yang merupakan simbol kesederhanaan, dan ada kalanya digandengkan dengan kebiasaan tidak memakai tutup kepala. Ini adalah kebalikan dari para raja dan budak dunia yang gemar bersandal mewah dan memakai mahkota, untuk menunjukkan kedudukan mereka. Nama aslinya adalah Abu Nashr Bisyr bin al-Harits bin ‘Abdurrahman bin ‘Atha al-Marwazi. Pada usia mudanya, beliau gemar mencari ilmu dan berhasil mencatat banyak hadits, namun kemudian tidak menetapkan diri untuk meriwayatkannya dan lebih memilih hidup zuhud serta ber-‘uzlah. Tidak seorang pun yang menandingi beliau dalam kezuhudannya di masa itu. Ada kisah lucu yang beliau ceritakan sendiri tentang kebiasaannya tidak memakai alas kaki tersebut: “Saya mendatangi pintu rumah al-Mu’afi bin ‘Imran, lalu mengetuknya. Ada yang bertanya: “Siapa?” Saya jawab: “Bisyr al-Hafiy (si telanjang kaki).” Maka, seorang bocah perempuan kecil berkata dari dalam rumah itu: “Andaikan Anda mau membeli sepasang sandal seharga 2 daniq saja, pasti terhapus nama ‘si telanjang kaki’ dari Anda!” Beliau wafat tahun 227 H di Baghdad. Demikian seperti yang diceritakan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal.

MUSADDAD ( مسدد ). Kalau yang ini, bunyi namanya saja yang terdengar sangat unik, mulai dari beliau sampai beberapa generasi nenek-moyangnya. Dengarkan deretan nama dan nasab beliau ini: Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mugharbal bin Mura’bal bin Arandal bin Sarandal bin Gharandal bin Masak bin Mustaurid al-Asadi, Abul Hasan al-Bashri. Terdengar lucu, aneh, dan mengalun berirama. Walau namanya agak aneh begitu, tetapi jangan tanya bagaimana ilmunya. Beliau adalah guru dari para imam ahli hadits terkenal, seperti al-Bukhari, Abu Dawud, Abu Zur’ah ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi, Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi, dll. Konon, nama-nama itu sebenarnya hanya gelar, karena nama asli beliau adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz. Kami tidak tahu persis bagaimana cerita di baliknya. Beliau wafat tahun 228 H. Sebagian ulama’ meragukan kesahihan nasab ini, namun riwayat tentang nama yang benar menurut penelitian mereka, tetap aneh juga. Sampai-sampai, ada yang bergurau mengatakan, “Kalau saja kita letakkan bismillahirrahmanirrahim di depan nasab ini, pasti ia dikira sebagai jampi-jampi!” Silakan periksa kisah beliau selengkapnya dalam Siyaru A’lamin Nubala’ dan sumber-sumber lainnya.

DIIKUL JINN ( ديك الجن ). Maknanya cukup aneh: “ayam jago bangsa jin”. Nama aslinya adalah ‘Abdussalam bin Zaghban bin ‘Abdussalam bin Habib al-Kalbi, seorang penyair tenar pada zaman ‘Abbasiyah yang meninggal tahun 235 H di Aleppo (Himsh). Gelar itu diperolehnya karena matanya berwarna hijau, mirip mata ayam jantan. Kalau tambahan “jin”, darimana? Tampaknya, ini berhubungan dengan statusnya sebagai penyair, dimana orang Arab di masa itu sering beranggapan bahwa para penyair memiliki jin pendamping yang selalu membisiki mereka kata-kata indah yang sangat sulit diciptakan oleh kaum awam. Menurut adz-Dzahabi dalam Tarikh-nya, penyair ini dikenal sebagai penganut Syi’ah, syair-syairnya manis dan enak didengar, gemar berkelakar, namun cenderung cabul/porno.

IBNU RAHAWAIH ( ابن راهويه ). Artinya “putra orang yang lahir di jalan.” Penyandang nama ini adalah Abu Muhammad Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim bin Mathar al-Hanzhali al-Marwazi, seorang ulama’ besar pada zamannya, guru Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (penyusun kitab Shahih). Suatu ketika, gubernur Khurasan, ‘Abdullah bin Thahir, bertanya kepada beliau, “Mengapa Anda disebut Ibnu Rahawaih? Apa artinya? Apakah Anda tidak suka jika dipanggil demikian?” Beliau menjawab, “Ketahuilah, wahai Tuan Gubernur, sebenarnya ayah saya (Ibrahim) dilahirkan di jalan, dan orang-orang Marw mengatakan – dalam bahasa Persia – RAHAWAIH, karena beliau dilahirkan di jalan. Ayah saya tidak suka dipanggil begitu, akan tetapi saya tidak.” Demikian sebagaimana diceritakan al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal. Sebagian orang ada yang membaca nama beliau dengan IBNU RAHUYAH, karena mereka tidak suka mengatakan akhiran -WAIH, yang berkonotasi jelek dalam bahasa Arab. Ishaq bin Rahawaih wafat tahun 238 H di Nisabur.

AL-GHUL ( الغول ). Julukan ini berarti hantu atau gondoruwo, karena penampilan fisik penyandangnya yang (maaf) sangat buruk dan mengerikan. Nama aslinya ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya bin Muslim bin Maimun al-Kinani. Beliau adalah salah seorang murid setia Imam Syafi’i semasa masih di Hijaz, dan pengaruh gurunya tampak jelas dalam karya-karyanya. Ilmunya sangat banyak, dan beliau mempunyai beberapa karangan. Diceritakan bahwa beliau menjumpai khalifah Al-Ma’mun di istananya. Karena rupanya yang sangat buruk, Abu Ishaq Al-Mu’tashim (saudara khalifah) tertawa melihatnya. Ketika itulah ‘Abdul ‘Aziz al-Ghul berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, mengapa orang ini tertawa? Allah tidak memilih Yusuf karena ketampanannya, akan tetapi karena agama dan ilmunya.” Maka, tertawalah Al-Ma’mun dan sangat mengaguminya. Beliau wafat antara tahun 231-240 H. Demikian yang diceritakan oleh adz-Dzahabi dalam Tarikh-nya.

SAHNUN ( سحنون ). Diantara ulama’ madzhab Maliki di kawasan Maghrib (Afrika Utara), Sahnun adalah bintangnya. Nama lengkap Sahnun adalah Abu Sa’id Sahnun bin Sa’id bin Habib at-Tanukhi, seorang qadhi, mufti dan faqih Qairuwan, Afrika Utara pada masanya. Nama aslinya adalah ‘Abdussalam, sementara Sahnun adalah gelar yang diambil dari nama burung, yang disifati cerdik, sangat waspada, dan tajam sekali (pandangannya). Kata sahnun juga berarti martil pemecah batu. Mungkin, keduanya saling terkait, sebab akal beliau dikenal sangat kuat dan tajam dalam memecahkan aneka persoalan. Setahu kami, sahnun adalah spesies burung rawa dari famili Jacana, dan tersebar luas di seluruh dunia. Salah seorang guru beliau pernah ditanya “Siapakah orang yang paling hebat yang datang kepada Anda dari wilayah Maghrib?” Dijawab, “Sahnun.” Beliau ditanya lagi, “Bagaimana dengan Asad?” Beliau menjawab, “Sahnun 99 kali lebih faqih dibanding Asad.” Sahnun wafat pada bulan Rajab tahun 240 H. Sebagian orang ada yang membaca namanya “Suhnun”, dengan huruf sin yang di-dhammah.

DUHAIM BIN AL-YATIM ( دحيم بن اليتيم ). Pemiliknya adalah ‘Abdurrahman bin Ibrahim bin ‘Amr bin Maimun, Abu Sa’id al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Menurut Ibnu Hibban, asal julukan ini adalah bentuk tashghir dari dahman, dan dalam bahasa asli penduduk setempat artinya: kotor/buruk. Beliau tidak suka dipanggil dengan nama ini. Sejauh ini, kami belum menemukan latar belakang julukan tersebut. Beliau pernah menjabat sebagai Qadhi Palestina dan Yordan. Wafat tahun 245 H di Palestina. Menurut Abu Dawud, tidak ada yang semisal beliau pada masa hidupnya. Diantara murid-muridnya adalah al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Demikianlah keterangan Ibnu Hajar dan al-Mizzi.

LUWAIN ( لوين ). Gelar ini diberikan kepada Muhammad bin Sulaiman bin Habib bin Jubair al-Asadi, Abu Ja’far al-Mashishiy al-‘Allaf. Menurut az-Zabidi dalam Tajul ‘Arus, asal katanya adalah laun ( لون ), artinya warna atau jenis, lalu di-tashghir. Sebetulnya, kami belum tahu pasti apa maksudnya. Mungkin, artinya: warna atau jenis yang samar-samar. Konon, dulu beliau berjualan atau menjadi makelar hewan di pasar Baghdad, dan suka berseru: “Kuda ini punya warna/jenis samar-samar (luwain)! Kuda ini punya ringkikan agak keras (fudaid)!” Maka, beliau pun dipanggil sebagai Luwain. Menurut riwayat lain, beliau pernah mengatakan bahwa gelar itu adalah pemberian ibunya, dan beliau menyukainya. Beliau meriwayatkan hadits dari Ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Ibnu ‘Uyainah, Malik bin Anas, dll. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Dawud dan an-Nasa’i, keduanya penyusun as-Sunan. Al-Hafizh al-Mizzi menyatakan bahwa Luwain meninggal tahun 245 atau 246 H.

BUNDAR ( بندار ). Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Basysyar bin ‘Utsman bin Dawud bin Kaisan al-‘Abdi al-Bashri. Beliau digelari bundar karena merupakan penjaga hadits pada zamannya, di negerinya (Basrah). Bundar artinya penjaga/pemelihara (hafizh). Beliau dilahirkan tahun 167 H, dan wafat tahun 252 H. Beliau adalah guru dari seluruh penyusun Kutubus Sittah, dan hadits-hadits beliau dikutip di dalamnya.

AL-MUBARRAD ( المبرد ). Aslinya, julukan beliau adalah AL-MUBARRID, dengan ra’ yang dibaca kasrah, artinya: pembeku. Belakangan, beliau lebih dikenal sebagai AL-MUBARRAD, dengan ra’ yang dibaca fathah. Konon, al-Mazini (gurunya, seorang ahli bahasa termasyhur pada masa itu) sangat takjub dengan jawaban-jawaban yang beliau berikan setiap kali ditanya. Maka, al-Mazini pun berkata kepada muridnya itu, “Bangunlah, engkau adalah si pembeku (al-mubarrid)!” Maksudnya, pembeku kebenaran sehingga menetap dengan teguh tak tergoyahkan lagi. Nama aslinya adalah Abul ‘Abbas Muhammad bin Yazid bin ‘Abdul Akbar al-Azdi al-Bashri. Al-Mubarrad adalah pakar nahwu dan sejarawan, penyusun kitab al-Kamil. Dalam Siyaru A’lamin Nubala’, dicatat bahwa beliau wafat tahun 286 H.

SHALIH JAZARAH ( صالح جزرة ). Sebetulnya, julukan ini lahir dari ketidaksengajaan. Nama aslinya adalah Shalih bin Muhammad bin ‘Amr bin Habib al-Asadi al-Baghdadi. Beliau adalah guru dari Imam Muslim bin Hajjaj, penyusun kitab Shahih. Beliau perawi yang terpercaya, banyak menghafal hadits, dan gemar pergi berjihad. Dalam menyebarkan hadits, beliau selalu mengutip dari hafalannya, dan – menurut al-Hafizh Abu Sa’id al-Idrisi – tidak satu pun yang ditemukan keliru. Tentang asal-usul julukan tersebut, beliau sendiri menceritakannya: “Dulu ada seorang syaikh dari negeri Syam yang datang ke kota kami, dan beliau mempunyai riwayat yang berasal dari Hariz bin ‘Utsman. Maka, saya pun membaca riwayat tersebut di hadapannya, sbb: Hariz bin ‘Utsman menceritakan kepada Anda, beliau berkata: dulu Abu Umamah mempunyai KHARAZAH ( خرزة ) yang biasa dipakai mengobati orang sakit. Namun, saya membacanya JAZARAH ( جزرة ). Maka, saya pun dijuluki dengan itu.” Dulu, tulisan Arab memang tidak bertitik dan tanpa tanda syakal samasekali, sehingga rawan keliru, dan maknanya menjadi sangat jauh berbeda. Untuk diketahui, KHARAZAH artinya: batu merjan, sedangkan JAZARAH berarti: hewan yang hendak disembelih/dijagal. Konon, beliau suka bergurau dan humoris, sehingga tidak marah meskipun dipanggil dengan gelar yang sedikit bernada olok-olok ini. Shalih Jazarah wafat tahun 293 H. Cerita diatas dicatat Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lamin Nubala’.

GHUNDAR ( غندر ). Suatu ketika, Ibnu Juraij datang ke Basrah. Beliau kemudian meriwayatkan hadits-hadits yang pernah didengarnya dari al-Hasan al-Bashri. Namun, orang-orang mengingkarinya. Pada hari itu, ada satu orang yang selalu memprovokasi dan membikin gara-gara dalam majlis Ibnu Juraij, sehingga menjadi heboh dan gaduh. Karena jengkel, beliau berkata kepada orang itu, “Diamlah kau, hai ghundar (pengacau)!” Di masa itu, penduduk Hijaz memang menyebut orang yang suka mengacau dengan GHUNDAR. Sejak peristiwa itu, dia pun dipanggil dengan Ghundar. Siapakah dia sebenarnya? Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ja’far al-Hudzali al-Bashri. Beliau adalah anak tiri Syu’bah bin Hajjaj bin Ward, ahli hadits terkenal yang sangat terpercaya. Selama 20 tahun beliau hanya belajar dari ayah tirinya ini, dan kemudian menjadi ahli hadits yang dijadikan rujukan utama ketika orang berselisih perihal hadits yang dikutip dari jalur Syu’bah. Menurut al-Mizzi, Ghundar wafat tahun 293 atau 294 H.

MUTHAYYAN ( مطين ). Asal-usul julukan ini diceritakan sendiri orang pemiliknya: “Dulu, ketika saya masih kecil, saya pernah bermain bersama anak-anak lainnya. Waktu itu saya yang paling tinggi diantara mereka. Kami pun berenang dan menyelam (di sungai), lalu mereka melumuri punggung saya dengan lumpur. Pada suatu hari, Abu Nu’aim melihat saya, lalu beliau berseru: “Hai muthayyan (anak yang dilumuri lumpur)! Kenapa kau tidak menghadiri majlis ilmu?” Ketika saya mulai mempelajari hadits, ternyata Abu Nu’aim sudah meninggal. Saya mencatat hadits dari 500 orang guru lebih.” Nama asli beliau adalah Abu Ja’far Muhammad bin ‘Abdullah bin Sulaiman al-Hadhrami. Salah seorang murid beliau yang terkenal adalah Imam ath-Thabrani. Beliau temasuk salah satu gudang ilmu di zamannya, dan wafat tahun 297 H. Demikian keterangan adz-Dzahabi dalam as-Siyar.

KURA’UN NAML ( كراع النمل ). Gelar ini berarti tungkai kaki semut, karena pemiliknya bertubuh sangat pendek, atau – menurut riwayat lain – berwajah sangat buruk. Nama aslinya adalah Abul Hasan ‘Ali bin al-Hasan bin al-Husain al-Huna’iy ad-Dausi, seorang ahli nahwu yang wafat tahun 310 H. Sayang sekali, nyaris seluruh karyanya musnah dan tidak sampai ke zaman kita. Meski demikian, sangat-amat banyak karya ulama’ lain di bidang bahasa dan nahwu yang memuat kutipan dari karya-karya beliau. Semoga Allah merahmatinya.

AL-MUTANABBI ( المتنبي ). Beliau adalah penyair terbesar di zamannya. Nama aslinya Abu ath-Thayyib Ahmad bin Husain bin Hasan al-Ju’fi al-Kufi. Dilahirkan tahun 303 H, dan tinggal di pedalaman bersama suku-suku Arab nomaden untuk mempelajari bahasa dan sejarah. Menurut at-Tanukhi, beliau mengaku sebagai seorang ‘Alawiyyin (keturunan ‘Ali bin Abi Thalib), dan memproklamirkan diri sebagai nabi. Beliau dicerca banyak orang, lalu ditangkap, dipenjara, dan hampir dibunuh, namun bertaubat sehingga dilepaskan. Oleh karena itu beliau digelari al-mutanabbi (mengaku-ngaku sebagai nabi). Kumpulan syairnya sangat terkenal dan menyebar ke segala penjuru. Beliau dibunuh oleh penguasa Mesir pada tahun 354 H, karena suatu sebab tertentu. Diceritakan bahwa al-Mutanabbi pernah duduk lama di toko buku, dan hanya membaca (maksudnya: tidak membeli apa-apa). Dengan nada tidak senang pemiliknya bertanya, “Apakah kamu ingin menghafalnya?” Beliau balik bertanya, “Jika aku sudah menghafalnya?” Pemilik toko menjawab, “Aku berikan buku itu kepadamu.” Maka, seketika itu juga al-Mutanabbi membacakan isi buku tersebut dari hafalannya. Buku itu setebal 30 halaman! Cerita ini dikutip adz-Dzahabi dalam as-Siyar.

KASYAJIM ( كشاجم ). Ini sebenarnya singkatan dari katib ( كاتب ), sya’ir ( شاعر ), jamil ( جميل ), mughanni ( مغن ), yakni juru tulis, penyair, tampan, dan penyanyi, untuk menggambarkan seluruh sifat dan kemampuan yang dimiliki penyandangnya. Bahkan, di akhir usianya, masih ditambahkan huruf tha’, singkatan dari thabikh ( طابخ ) atau thabib ( طبيب ), yaitu juru masak atau dokter [ada riwayat berbeda tentang hal ini]. Nama aslinya adalah Abu Nashr Mahmud bin Husain bin Sindi bin Syahik, seorang penyair dari Palestina yang namanya sering disebut bersama-sama dengan al-Mutanabbi. Beliau wafat tahun 360 H.

AL-BABGHA ( الببغا ). Artinya “burung beo”. Gelar ini milik seorang penyair abad IV Hijriyah yang bernama lengkap ‘Abdul Wahid bin Nashr bin Muhammad, Abul Faraj al-Makhzumi. Konon, beliau digelari demikian karena lidahnya yang sangat fasih, walau ada yang mengatakan sebaliknya; yakni karena lidahnya yang pelat dan bicaranya yang gagap. Wallahu a’lam. Al-Babgha adalah penyair kebanggan Sultan Saifud Daulah. Beliau meninggal tahun 398 H.

ILKIYA AL-HARRASI ( إلكيا الهراسي ). Gelar Ilkiya berasal dari bahasa asing, artinya berkedudukan sangat tinggi, atau terdepan; sedangkan al-Harrasi adalah nama daerah asalnya. Beliau adalah teman dekat Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, karena sama-sama murid dari Imam al-Haramain al-Juwaini di Nisabur. Dinyatakan dalam as-Siyar dan al-Wafi bil Wafayat, bahwa di tahun 493 H Ilkiya diangkat sebagai syaikh Madrasah Nizhamiyah Baghdad sesudah al-Ghazali mengundurkan diri tahun 488 H dan ber-‘uzlah. Konon, setiap kali melihat murid-muridnya berdiskusi, al-Juwaini selalu berkata, “Ketelitian ada pada al-Khawafi, kelancaran ada pada al-Ghazali, dan kejelasan ada pada Ilkiya.” Nama lengkapnya adalah Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali ath-Thabari, Ilkiya al-Harrasi. Beliau pernah dituduh sebagai gembong Syi’ah Isma’iliyah, dan nyaris dibunuh karenanya. Namun, khalifah melindungi beliau. Ternyata, pemimpin kelompok sesat itu juga digelari Ilkiya, yaitu penguasa daerah al-Alamut yang bernama Ibnu ash-Shabbah. Ilkiya al-Harrasi dikenal sebagai faqih, mufassir, dan wafat tahun 504 H, kira-kira setahun sebelum al-Ghazali.

HANFASY ( حنفش ). Nama aslinya adalah Muhammad bin Ahmad bin Khalaf, Abu Bakr al-Bandaniji, seorang faqih yang meninggal tahun 532 H. Semula, mengikuti madzhab Hanbali, lalu berpindah ke madzhab Hanafi, dan akhirnya mengikuti madzhab Syafi’i. Dari sinilah gelar Hanfasy itu berasal, artinya: hanbaliyyan fa hanafiyyan fa syafi’iyyan. Sayangnya, pemilik gelar ini disebut-sebut sering melalaikan shalat, meremehkan hadits dan para ulama’nya, dan tidak memiliki keperdulian yang baik terhadap syariat. Tampaknya, kenyataan bahwa beliau berpindah-pindah madzhab juga menunjukkan kekacauan pemikirannya. Wallahu a’lam.

AS-SILAFI ( السلفي ). Gelar atau nisbat ini disandang oleh al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Silfah, Abu Thahir al-Ashbahani al-Iskandari. Dalam Lisanul Mizan, Ibnu Hajar menceritakan bahwa al-Hafizh as-Silafi pernah ditanya, “Apakah Anda berasal dari Bani Silfah, salah satu keluarga dari kabilah Himyar?” Beliau menjawab, “Bukan. Dulu bibir kakek saya teriris, sehingga beliau mempunyai tiga bibir. Orang non-Arab menyebut tiga bibir dengan silfah, dan beliau pun lebih dikenal dengan nama itu, sehingga kami pun dinisbatkan kepadanya.” Menurut ash-Shafadi, kata silfah aslinya adalah silbah dengan huruf ba’. Beliau termasuk ulama’ besar yang menguasai berbagai bidang ilmu dan sangat dihormati para raja dan penguasa di zamannya. Dikisahkan dalam al-Wafi bil Wafayat bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan saudaranya pernah hadir di majlis beliau, lalu keduanya berbicara sendiri sementara al-Hafizh as-Silafi sedang menyampaikan hadits. Maka, beliau pun membentak keduanya, “Apa-apaan ini?! Kami menyampaikan hadits dari Rasulullah dan kalian berbicara sendiri?!” Beliau aslinya berasal dari Asbahan, mengembara ke berbagai negeri untuk mencari ilmu, lalu masuk ke Iskandariyah dan menetap disana sampai wafat tahun 576 H.

IBNU AL-HAJIB ( ابن الحاجب ). Artinya “anak ajudan”, yang dilekatkan kepada Abu ‘Amr ‘Utsman bin Abu Bakr al-Kurdi al-Isnani al-Mishri, seorang ahli nahwu dan fiqh yang sangat disegani. Ayahnya adalah hajib dari Amir ‘Izzuddin Musak ash-Shalahi. Hajib adalah ajudan atau seseorang yang menjadi perantara diantara penguasa dengan orang-orang yang ingin berjumpa dengannya. Diantara karyanya yang terkenal adalah al-Kafiyah fi an-Nahwi. Beliau wafat di Iskandariyah tahun 646 H dalam usia 85 tahun.

IBNUL AL-JAUZI ( ابن الجوزي ). Secara harfiah ber`rti “anak pohon kelapa”. Nama ini sudah sangat terkenal, walau sering dikelirukan dengan ulama’ lain, yaitu Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (murid Ibnu Taimiyyah). Menurut Ibnu Dihyah, gelar itu berasal dari kakek beliau yang ke-7, yaitu Ja’far. Konon, di rumah Ja’far di Maushil tumbuh sebatang pohon kelapa (jauzah), dan itu satu-satunya di kota tersebut. Maka, Ja’far pun digelari al-jauzi (si pohon kelapa). Nama lengkap beliau adalah Abul Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Baghdadi al-Hanbali, keturunan dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau memiliki banyak sekali karangan di bidang tafsir, hadits, bahasa, sejarah, fiqh, akhlak, dsb. Beliau seorang wa’izh yang sangat berpengaruh di zamannya. Majlis beliau bisa dihadiri ribuan orang, termasuk keluarga istana. Beliau wafat tahun 656 H di Baghdad.

ABU SYAMAH ( أبو شامة ). Syamah artinya tahi lalat. Menurut an-Nu’aimi dalam ad-Daris fi Tarikh al-Madaris (ketika menceritakan para syaikh yang pernah mengajar di Darul Hadits al-Asyrafiyah), nama lengkapnya adalah Syihabuddin al-Qasim ‘Abdurrahman bin al-‘Imad bin Isma’il bin Ibrahim bin ‘Utsman al-Maqdisi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Beliau adalah faqih, muqri’, ahli nahwu, sejarawan, dan pakar berbagai ilmu lainnya. Dilahirkan di Damaskus tahun 599 H, dan wafat pada bulan Ramadhan tahun 665 H. Beliau digelari Abu Syamah karena memiliki satu tahi lalat besar diatas alis mata kirinya. Konon, ketika mengajar, beliau tidak pernah mau mengulangi pelajarannya sedikit pun sampai selesai seluruhnya. Jadi, semua murid beliau pasti akan sangat-amat berkonsentrasi!!

IBNU KHALLIKAN ( ابن خلكان ). Pemiliknya adalah qadhi dan sejarawan termasyhur: Syamsuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakr al-Irbili asy-Syafi’i, penyusun kitab Wafayatul A’yan. Ada kisah lucu di balik gelar ini, sebagaimana disitir Abu Bakr Sarthini dalam Uns an-Nufus. Konon, ayah beliau (Muhammad) setiap kali berbicara selalu diakhiri dengan kata kaana ( كان ), sehingga sering ditegur: khalli kaan ( خل كان ), maksudnya: “Buanglah kaana-nya!” Maka, dia pun dikenal dengan nama khallikan. Ibnu Khallikan sendiri wafat tahun 681 H.

IBNU DAQIQIL ‘ID ( ابن دقيق العيد ). Artinya secara harfiah adalah: “putra si tepung hari raya”. Nama aslinya adalah Muhammad bin ‘Ali bin Wahb bin Muthi’ al-Qusyairi, seorang ulama’ termasyhur yang digelari Syaikhul Islam dan mencapai derajat mujtahid muthlaq, karena keluasan dan kedalaman ilmunya. Gelar ini sebenarnya milik kakek buyutnya yang juga dikenal sebagai ulama’ dan sangat dihormati pada masa hidupnya. Konon, pada suatu hari raya, sang kakek ini mengenakan kopiyah yang warnanya sangat putih bersih diatas kepalanya, sehingga orang-orang di daerah itu menyamakannya dengan putihnya tepung roti yang dipersiapkan untuk hidangan di hari raya. Maka, sejak itu masyhurlah beliau dengan gelar ini. Ibnu Daqiqil ‘Id sendiri wafat tahun 702 H. Ayah dan kakeknya – yang juga ulama’ besar di zamannya – menyandang gelar ini pula.

DERETAN 14 MUHAMMAD DALAM SATU NASAB. Dalam ad-Durar al-Kaminah, al-Hafizh Ibnu Hajar pernah mencantumkan satu nama yang sangat unik, yaitu: Ayman Abul Barakat bin (1) Muhammad bin (2) Muhammad bin (3) Muhammad bin (4) Muhammad bin (5) Muhammad bin (6) Muhammad bin (7) Muhammad bin (8) Muhammad bin (9) Muhammad bin (10) Muhammad bin (11) Muhammad bin (12) Muhammad bin (13) Muhammad bin (14) Muhammad [pemomoran dari kami]. Ada 14 (empat belas) nama Muhammad dalam satu nasab! Jika ini benar, maka belum pernah ditemukan padanannya. Beliau aslinya berasal dari Tunis, lalu pindah ke Kairo. Semula, beliau banyak sekali melontarkan ejekan dan celaan. Namun setelah pindah ke Madinah dan menetap disana, beliau bertaubat dan berjanji akan mengkhususkan diri untuk menyanjung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja sampai meninggal. Beliau menggelari dirinya sendiri dengan ‘Asyiqu an-Nabi ( عاشق النبي ), artinya pecinta Nabi. Suatu ketika, terbetik keinginan beliau untuk bepergian ke luar Madinah, namun beliau bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi dan ditanya, “Wahai Abul Barakat, bagaimana bisa engkau ridha berpisah dengan kami?” Maka, beliau pun tidak jadi berangkat dan tetap tinggal di Madinah sampai wafat tahun 734 H. Menurut riwayat lain, keinginan untuk bepergian itu dilatari permintaan penguasa Tunis yang mengharap beliau pulang ke negeri asalnya. Wallahu a’lam.

Sebenarnya, ada gelar-gelar lain yang juga kami dapati, tapi sejauh ini kami kesulitan menemukan bagaimana kisah-kisah di baliknya, sehingga tidak bisa kami cantumkan disini. Selain itu, masih ada banyak gelar lain yang juga unik, namun mudah dimengerti dari artinya, seperti al-A’masy (bermata kabur), al-Ahwal (bermata juling), al-Ahdab (bungkuk), al-Ajda’ (terpotong hidungnya), dll. Ada juga gelar-gelar yang menunjukkan profesi pemiliknya atau keluarganya, seperti az-Zajjaj (tukang kaca), ash-Shabbagh (tukang celup), az-Zayyat (penjual minyak), al-Jallab (importir), al-Khazzaz (pedagang kain), dsb. Ada juga gelar-gelar yang dinisbatkan kepada ibu, seperti Ibnu ‘Ulayyah, Ibnu Munayyah, dll. Terkadang pemiliknya rela menyandang gelar tersebut, dan terkadang tidak mau menerimanya. Tampaknya, diatas seluruh ilmu dan kemasyhuran mereka, ternyata kehidupan pribadi dan sosial mereka tetaplah wajar sebagaimana umumnya manusia di setiap zaman.

Alhamdulillah. Demikianlah sedikit dari nama dan gelar unik yang dapat kami kemukakan. Semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a’lam.

[*] Jum’at, 09 Sya’ban 1433 H.