بسم الله الرحمن الرحيم
وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُلْ لَسْتُ عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ
(66)
Artinya, “Dan kaummu
mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: "Aku ini
bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu".
Maksudnya, dalam ayat ini, yang
didustakan dan tidak dipercayai oleh manusia itu bisa: Al-Quran, adzab, atau
ayat-ayat Allah di seluruh penjuru alam raya. Maka, jika manusia menolaknya,
sebenarnya seorang rasul dan penyeru jalan Islam tidak bisa bertindak lebih
jauh lagi selain terus menyeru mereka kepada iman. Bahkan, para rasul pun tidak
bisa menghukum mereka di dunia ini, sebab itu adalah urusan Allah sendiri,
apakah akan mengadzab atau memberi rahmat dengan menunda adzab sehingga – bisa
jadi kelak – mereka akan sadar dan beriman.
Sampai batas ini,
sebagian ulama’ menyatakan bahwa ayat diatas di-nasakh (dihapus
hukumnya) oleh ayat-ayat perintah memerangi orang kafir (yakni, ayat-ayat
pedang). Artinya, awalnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam –
juga pengikutnya – diperintahkan untuk berdakwah mengajak seluruh umat manusia
mengimani Al-Qur’an. Ketika mereka menolak, sedangkan beliau masih lemah dan
sedikit pendukungnya, maka beliau disuruh bersabar dan terus mengajak ke jalan
iman. Biarlah urusan mereka ada di tangan Allah. Setelah Allah memberi beliau kekuatan
dan pendukung yang cukup, maka ayat diatas dihapus dan beliau diizinkan untuk
memerangi mereka dengan tujuan melindungi Islam dan umatnya agar bisa hidup serta
menyembah Allah dengan tenang. Namun, sebenarnya antara kedua perintah itu –
yakni: perintah bersabar dan memerangi orang kafir – keduanya tetap berlaku, hanya
kondisi dan syaratnya yang harus diperhatikan.
Sebagian ulama’ lain
berpandangan bahwa ayat diatas muhkam (tetap berlaku hukumnya). Maka,
yang dimaksud dengan “aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus
urusanmu” adalah: seorang rasul hanya diminta untuk memastikan bahwa
umatnya mengakui dan menerima dakwah beliau, lalu beramal sesuai tuntunannya.
Beliau hanya mengurusi pengakuan dan amalan lahiriah sebatas ini saja, sebab
perihal rahasia hatinya ada di tangan Allah sendiri. Apakah mereka itu ikhlas, sukarela,
syirik, munafik, terpaksa, dan lain-lain, bukan urusan beliau.
لِكُلِّ نَبَإٍ مُسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ (67)
Artinya, “Untuk setiap
berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu
akan mengetahui.”
Maksudnya, sebetulnya, tidak
ada penundaan terhadap segala peristiwa yang dijanjikan oleh Allah. Segalanya
pasti akan terjadi sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Apa yang tidak
terjadi itu bukan berarti tidak ada, namun memang belum waktunya. Sebab, pada
saat sesuatu dikehendaki terjadi, maka tidak ada satu makhluk pun yang sanggup
menahan atau membatalkan. Kadang, beberapa generasi terlewat dan janji Allah
belum terwujudkan. Di masa hidup Nabi, sangat banyak janji dan berita dari
Allah yang berupa ramalan-ramalan sangat jauh. Belakangan, puluhan sampai
ratusan tahun setelah itu, semuanya baru muncul, dan saat itulah umat manusia
benar-benar mengakui kenyataannya.
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (68)
Artinya, “Dan apabila kamu
melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syetan
menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
Maksudnya, orang yang memperolok
ayat-ayat Allah itu bisa jadi kaum musyrikin, Yahudi, atau ahli bid’ah dari
kaum muslimin. Kaum musyrikin dan Yahudi memperoloknya dengan mendustakan dan
mengejek isinya, sementara ahli bid’ah memperoloknya dengan memperdebatkan
serta mempertengkarkan isinya. Mereka sibuk berdiskusi dan bersilang pendapat
namun tidak pernah serius mengamalkannya. Hidup dan kata-kata mereka terlihat
megah dan penuh ilmu, namun sebenarnya hampa dan terlaknat. Orang-orang ini
terjauh dari rahmat Allah karena mereka tidak mengamalkan Al-Qur’an. Sebab, rahmat-Nya
hanya hadir dari ketaatan dan pengamalan syari’at, bukan perdebatan dan omong-kosong
belaka.
Jika kita mendapati
orang-orang seperti itu, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim, maka kita
disuruh pergi menjauh. Jika kita tetap bertahan disana – tanpa menegur atau
mengubah kemunkaran yang ada – sementara topik pembicaraan mereka tidak juga berubah,
maka kita termasuk golongan mereka. Kecuali jika lupa, lalu ikut duduk bersama
mereka. Namun, jika teringat segeralah bangkit pergi. Bisa jadi adzab Allah
turun saat itu sementara kita bersama mereka sehingga termasuk orang-orang yang
zhalim. Na’udzu billah!
وَمَا عَلَى الَّذِينَ يَتَّقُونَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَلَكِنْ
ذِكْرَى لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (69)
Artinya, “Dan tidak ada
pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap dosa
mereka; akan tetapi (kewajiban mereka ialah) mengingatkan agar mereka bertakwa.”
Maksudnya, setiap orang pada dasarnya
akan menanggung dosa perbuatannya masing-masing. Namun, jika kita membiarkan
kemunkaran atau Al-Qur’an dilecehkan, lalu kita tidak menegur atau minimal
pergi meninggalkan majlis itu – sebagai bentuk protes dan ketidaksenangan –
maka kita juga ikut berdosa. Jika kita sudah menegur atau pergi menjauh, maka
kita tidak ikut bertanggung jawab terhadap akibatnya, dan itu menjadi urusan
masing-masing. Kita diminta oleh Allah untuk selalu mengingatkan, yakni
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan kekuatan dan kemampuan kita.
Semoga dengan tindakan kita para pelaku kemunkaran bisa sadar dan kembali ke
jalan yang benar.
Wallahu a’lam.
[*] Kamis, 23 Dzulhijjah 1430
H. Didasarkan pada Tafsir Zaadul Masir, dan sumber-sumber lainnya.