Hidupnya hampa dan terlaknat -- Kajian Qs. al-An'am: 66-69



بسم الله الرحمن الرحيم
 
وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُلْ لَسْتُ عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ (66)
Artinya, “Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu".
Maksudnya, dalam ayat ini, yang didustakan dan tidak dipercayai oleh manusia itu bisa: Al-Quran, adzab, atau ayat-ayat Allah di seluruh penjuru alam raya. Maka, jika manusia menolaknya, sebenarnya seorang rasul dan penyeru jalan Islam tidak bisa bertindak lebih jauh lagi selain terus menyeru mereka kepada iman. Bahkan, para rasul pun tidak bisa menghukum mereka di dunia ini, sebab itu adalah urusan Allah sendiri, apakah akan mengadzab atau memberi rahmat dengan menunda adzab sehingga – bisa jadi kelak – mereka akan sadar dan beriman.
Sampai batas ini, sebagian ulama’ menyatakan bahwa ayat diatas di-nasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat perintah memerangi orang kafir (yakni, ayat-ayat pedang). Artinya, awalnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam – juga pengikutnya – diperintahkan untuk berdakwah mengajak seluruh umat manusia mengimani Al-Qur’an. Ketika mereka menolak, sedangkan beliau masih lemah dan sedikit pendukungnya, maka beliau disuruh bersabar dan terus mengajak ke jalan iman. Biarlah urusan mereka ada di tangan Allah. Setelah Allah memberi beliau kekuatan dan pendukung yang cukup, maka ayat diatas dihapus dan beliau diizinkan untuk memerangi mereka dengan tujuan melindungi Islam dan umatnya agar bisa hidup serta menyembah Allah dengan tenang. Namun, sebenarnya antara kedua perintah itu – yakni: perintah bersabar dan memerangi orang kafir – keduanya tetap berlaku, hanya kondisi dan syaratnya yang harus diperhatikan.
Sebagian ulama’ lain berpandangan bahwa ayat diatas muhkam (tetap berlaku hukumnya). Maka, yang dimaksud dengan “aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu” adalah: seorang rasul hanya diminta untuk memastikan bahwa umatnya mengakui dan menerima dakwah beliau, lalu beramal sesuai tuntunannya. Beliau hanya mengurusi pengakuan dan amalan lahiriah sebatas ini saja, sebab perihal rahasia hatinya ada di tangan Allah sendiri. Apakah mereka itu ikhlas, sukarela, syirik, munafik, terpaksa, dan lain-lain, bukan urusan beliau.

لِكُلِّ نَبَإٍ مُسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ (67)
Artinya, “Untuk setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.”
Maksudnya, sebetulnya, tidak ada penundaan terhadap segala peristiwa yang dijanjikan oleh Allah. Segalanya pasti akan terjadi sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Apa yang tidak terjadi itu bukan berarti tidak ada, namun memang belum waktunya. Sebab, pada saat sesuatu dikehendaki terjadi, maka tidak ada satu makhluk pun yang sanggup menahan atau membatalkan. Kadang, beberapa generasi terlewat dan janji Allah belum terwujudkan. Di masa hidup Nabi, sangat banyak janji dan berita dari Allah yang berupa ramalan-ramalan sangat jauh. Belakangan, puluhan sampai ratusan tahun setelah itu, semuanya baru muncul, dan saat itulah umat manusia benar-benar mengakui kenyataannya.

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (68)
Artinya, “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
Maksudnya, orang yang memperolok ayat-ayat Allah itu bisa jadi kaum musyrikin, Yahudi, atau ahli bid’ah dari kaum muslimin. Kaum musyrikin dan Yahudi memperoloknya dengan mendustakan dan mengejek isinya, sementara ahli bid’ah memperoloknya dengan memperdebatkan serta mempertengkarkan isinya. Mereka sibuk berdiskusi dan bersilang pendapat namun tidak pernah serius mengamalkannya. Hidup dan kata-kata mereka terlihat megah dan penuh ilmu, namun sebenarnya hampa dan terlaknat. Orang-orang ini terjauh dari rahmat Allah karena mereka tidak mengamalkan Al-Qur’an. Sebab, rahmat-Nya hanya hadir dari ketaatan dan pengamalan syari’at, bukan perdebatan dan omong-kosong belaka.
Jika kita mendapati orang-orang seperti itu, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim, maka kita disuruh pergi menjauh. Jika kita tetap bertahan disana – tanpa menegur atau mengubah kemunkaran yang ada – sementara topik pembicaraan mereka tidak juga berubah, maka kita termasuk golongan mereka. Kecuali jika lupa, lalu ikut duduk bersama mereka. Namun, jika teringat segeralah bangkit pergi. Bisa jadi adzab Allah turun saat itu sementara kita bersama mereka sehingga termasuk orang-orang yang zhalim. Na’udzu billah!

وَمَا عَلَى الَّذِينَ يَتَّقُونَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَلَكِنْ ذِكْرَى لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (69)
Artinya, “Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap dosa mereka; akan tetapi (kewajiban mereka ialah) mengingatkan agar mereka bertakwa.”
Maksudnya, setiap orang pada dasarnya akan menanggung dosa perbuatannya masing-masing. Namun, jika kita membiarkan kemunkaran atau Al-Qur’an dilecehkan, lalu kita tidak menegur atau minimal pergi meninggalkan majlis itu – sebagai bentuk protes dan ketidaksenangan – maka kita juga ikut berdosa. Jika kita sudah menegur atau pergi menjauh, maka kita tidak ikut bertanggung jawab terhadap akibatnya, dan itu menjadi urusan masing-masing. Kita diminta oleh Allah untuk selalu mengingatkan, yakni menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan kekuatan dan kemampuan kita. Semoga dengan tindakan kita para pelaku kemunkaran bisa sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Wallahu a’lam.

[*] Kamis, 23 Dzulhijjah 1430 H. Didasarkan pada Tafsir Zaadul Masir, dan sumber-sumber lainnya.