Bismillahirrahmanirrahim
Dalam kitab Syu’abul Iman, Imam al-Baihaqi menyitir bahwa
mencari ilmu merupakan cabang iman yang ke-17. Artinya, mencari ilmu merupakan suatu aktifitas
yang sangat mulia. Akan tetapi, sebuah hadits justru menyatakan bahwa ada sebagian
orang yang masuk neraka karenanya. Bagaimana mungkin mencari ilmu bisa menjadi salah
satu cabang iman, namun pada saat bersamaan justru menjadi penyebab masuk
neraka?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
yang mencari ilmu (dengan niat) untuk menyaingi para ulama’, atau mendebat
orang-orang bodoh, atau menarik perhatian orang lain kepadanya, pasti Allah
memasukkannya ke neraka.” (Riwayat Tirmidzi, dari Ka’ab bin Malik. Hadits hasan).
Beliau juga bersabda, “Sungguh sekelompok orang dari
umatku akan mendalami ilmu agama dan membaca Al-Qur’an. Mereka berkata: ‘Kita
datangi para penguasa, lalu kita memperoleh sebagian dari (kenikmatan) duniawi
mereka dan kita menjauhi mereka dengan agama kita.’ Hal itu takkan tercapai,
sebagaimana tidak ada yang bisa dipetik dari Qatad (pohon berduri) selain duri,
demikian pula tidak ada yang bisa dipetik dari kedekatan dengan penguasa itu
selain kesalahan-kesalahan.” (Riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu ‘Abbas. Sanad-nya
lemah).
Ternyata, niatlah pangkal persoalannya. Disini, sebuah “amal mulia”
justru menjungkalkan pelakunya ke jurang neraka, akibat buruknya niat. Oleh
karenanya, Ibnul Mubarak berkata,
"Sangat boleh jadi amal kecil dibuat besar oleh niatnya, dan sangat boleh jadi
pula amal besar dibuat kecil oleh niatnya." (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam al-Ikhlash
wan Niyat).
Mari kita renungkan! Adakalanya, selepas berhaji seseorang
bukannya telah menyempurnakan Rukun Islam kelima, namun justru pulang dengan
memanggul dosa-dosa syirik (kecil), karena ibadahnya didasari riya’
(pamer). Di zaman Nabi, ada seseorang yang berhijrah ke Madinah namun menjadi
olok-olokan masyarakat, karena ia berhijrah semata-mata demi mengejar wanita
pujaan hatinya. Maka, dewasa ini, ketika bersekolah, belajar dan mencari ilmu
sudah menjadi sesuatu yang sangat lazim, adalah penting untuk senantiasa
memperhatikan niat kita di dalamnya. Jangan sampai seluruh sumberdaya yang
telah kita kerahkan malah menyeret ke dalam kemurkaan Allah.
Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dan Faidhul Qadir, diriwayatkan
bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Akan datang kepada manusia suatu zaman, dimana
tawarnya hati berubah menjadi asin, sehingga pada hari itu para guru maupun
pelajar tidak bisa lagi mengambil manfaat ilmu. Maka, hati para guru mereka
menjadi seperti rawa-rawa bergaram yang disiram oleh air hujan, namun tetap
tidak bisa menjadi tawar. Hal itu terjadi ketika hati para guru telah condong
kepada cinta dunia dan lebih mengutamakannya dibanding akhirat. Pada saat
itulah Allah merampas sumber-sumber hikmah dan memadamkan pelita-pelita hidayah
dari hati mereka. Lalu, (salah seorang dari) guru mereka memberitahumu dengan
lisannya – pada saat engkau berjumpa dengannya – bahwa ia merasa takut kepada
Allah, sedangkan kedurjanaan tampak nyata dalam amal perbuatannya. Betapa
suburnya lidah dan betapa gersangnya hati pada masa itu! Demi Allah yang tidak
ada ilah (yang berhak disembah) selain-Nya, hal itu tidak lain
dikarenakan para guru mengajar (niatnya) untuk selain Allah dan para pelajar
pun belajar (niatnya) untuk selain Allah.”
Jika demikian, bukankah kita sangat layak untuk khawatir? Lalu,
apakah niat yang benar dalam mencari ilmu itu?
Maulana
al-Husain bin Manshur al-Yamani berkata dalam Adabul ‘Ulama’ wal
Muta’allimin, “(Hendaklah pelajar) memasang niat yang baik dalam menuntut
ilmu, yakni semata-mata bermaksud mencari ridha Allah, hendak mengamalkan ilmu,
menghidup-hidupkan syari'ah, menerangi hati, menghiasi jiwa (dengan kebajikan),
ingin dekat dengan Allah di hari perjumpaan dengan-Nya, menyongsong ridha Allah
yang telah Dia siapkan bagi para ahli ilmu serta menyambut karunia-Nya yang
agung.”
Jadi, menurut pandangan Islam, mencari ilmu merupakan
aktivitas spiritual, yakni serangkaian usaha mematangkan jiwa dan membekalinya
dengan kemampuan mengabdi kepada Allah. Alhasil, betapa menyedihkannya ketika –
dewasa ini – jutaan anak-anak kita digiring memasuki lembaga-lembaga pendidikan
hanya demi meraih kenikmatan duniawi semisal jabatan, status sosial, pekerjaan dan
harta. Saat ini sangatlah mungkin membayangkan seorang anak muda yang telah
lulus dari semua jenjang pendidikan, sejak sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, tanpa pernah diberitahu apakah dia seorang baik-baik dan jujur!
Mungkin ada yang bertanya: apakah mempelajari ketrampilan
profesional dilarang oleh Islam? Bukan begitu! Akan tetapi, luruskanlah niatnya.
Abu al-Layts
as-Samarqandi berkata dalam Adab at-Ta’lim, “Dulu, di zaman-zaman awal,
mereka (generasi salaf) mempelajari ketrampilan profesional kemudian
juga mempelajari ilmu, sehingga mereka tidak tamak kepada harta milik orang
lain. Sebab, ketamakan sebenarnya merupakan kefakiran yang paling nyata.”
Beliau juga berkata, “Sebaik-baik amal di muka bumi adalah mencari ilmu,
berjihad dan bekerja (untuk memenuhi kebutuhan hidup).”
Perhatikanlah, betapa generasi salaf tidak mengabaikan
bekerja mencukupi penghidupan. Namun, pada saat bersamaan, mereka juga belajar
bagaimana menjaga diri agar tidak tamak kepada harta orang lain. Bukankah
ketamakan adalah bibit korupsi? Sangat boleh jadi ketamakan itu telah disemai
sejak para pelajar masih duduk di bangku sekolah, yakni tatkala niat mereka dalam
belajar bukan untuk Allah, tetapi demi meraih kenikmatan duniawi. Wallahu
a’lam.
[*] Alimin
Mukhtar, 18 Shafar 1433 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang.