Ular = Tsu'ban dan Hayyah


Bismillahirrahmanirrahim
 
Salah satu kisah utusan Allah yang paling terinci dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa ‘alaihis salam. Episode kehidupan beliau dipotret secara detil, mulai dari suasana sebelum kelahiran beliau, masa kecilnya, diasuh keluarga Fir’aun, pelariannya ke negeri Madyan, dan seterusnya. Bahkan, bagaimana proses pernikahan beliau pun diceritakan oleh Al-Qur’an. Padahal, Nabi kita sendiri tidak dikisahkan serinci itu di dalam Al-Qur’an. Tentu saja, Allah sengaja memaparkannya karena ada banyak hikmah yang bisa kita petik.

Hanya saja, karena Nabi Musa juga dikenal oleh kaum Yahudi dan Kristen, dimana perincian tentang beliau terkadang tidak sama antara teks Al-Qur’an dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka para misionaris dan orientalis pun sering melemparkan tuduhan-tuduhan miring terhadap Kitab Suci kaum muslimin tersebut. Biasanya, mereka berusaha memeriksa detil-detil tertentu, dan ketika merasa menemukan sedikit ketidakserasian, segera saja mereka menggunakannya sebagai senjata untuk mendiskreditkan Al-Qur’an, Islam, Rasulullah, dan kaum muslimin. Misalnya, perihal “ular” yang berasal dari tongkat beliau. Dalam suatu surah, tongkat Musa ‘alaihis salam disifati berubah menjadi hayyah, sementara dalam surah lain disebut tsu’ban. Kata hayyah disebut dalam surah Thaha: 20, sedangkan  tsu’ban ada dalam al-A’raf: 107 dan asy-Syu’ara’: 32. Keduanya bermakna sama, yakni ular. Dalam surah Thaha, Allah berfirman:
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى
Artinya: “Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.”

Dalam surah al-A’raf: 107 dan asy-Syu’ara’: 32, Allah berfirman:
فَأَلْقَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُبِينٌ
Artinya: “Maka, Musa menjatuhkan tongkat-nya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya.”

Misionaris dan orientalis menuduh Al-Qur’an tidak konsisten, karena di satu tempat menyebut hayyah, sedangkan di tempat lain tsu’ban. Mana yang benar? Mereka menyangka, kata itu menunjuk kepada dua spesies ular yang berbeda. Benarkah demikian?

Sebenarnya, perbedaan penyebutan ini tidak berarti spesies ularnya yang berbeda. Masing-masing hanya memberi gambaran yang saling melengkapi terhadap aspek tertentu dari setiap jenis ular; ular yang manapun. Kosakata-kosakata dalam bahasa Arab seringkali menyebut sesuatu dengan suatu gambaran imajinatif yang menarik, sehingga sifat-sifat dari sesuatu itu pun menjadi jelas tergambar dalam istilah-istilah yang dilekatkan kepadanya. Termasuk dalam hal ini, antara istilah hayyah dengan tsu’ban.

Kata tsu’ban aslinya bermakna aliran air yang merambat cepat dan meliuk-liuk, seperti saat hujan turun dan air mulai mengalir diatas tanah yang kering. Kata itu kemudian dipinjam untuk menamai ular karena kesamaan sifatnya. Jadi, ketika ular disebut dengan tsu’ban dalam bahasa Arab, maka ia sedangkan digambarkan sifat-sifatnya yang gesit, meliuk-liuk, dan merayap dengan cepat. Jika Anda diberi tebakan begini: “Binatang apakah yang gesit, merayap dengan cepat dan meliuk-liuk?” Gambaran di kepala Anda tidak akan jauh-jauh dari ular, bukan?

Sedangkan kata hayyah makna aslinya adalah tumbuh, bisa merasakan, aktif, sadar, ceria, cerdik, malu, dan gesit. Diantara derivasinya yang paling umum dipergunakan adalah al-hayaah, artinya: hidup; dan al-hayaa', artinya: malu. Sifat-sifat tersebut sangat serasi dengan karakteristik ular manapun. Ia bergerak, aktif, malu-malu, gesit, dan seterusnya.

Jadi, samasekali tidak ada pertentangan disini. Al-Qur’an hanya ingin menggambarkan sifat-sifat ular yang berasal dari tongkat Nabi Musa, yaitu seekor hewan yang gesit, bergerak cepat, meliuk-liuk, dan sangat aktif. Karena satu kata tidak cukup untuk memberi gambaran “nyata” dari ular mukjizat tersebut, maka dipergunakanlah kata lain untuk melengkapi deskripsi imajinatifnya. Al-Qur’an tidak menyebut spesies apapun, tetapi memutlakkannya sebagai “ular” saja. Dan, tidak terlalu penting untuk mengetahui lebih jauh dari ini.

Sebenarnya, masih ada kosakata lain yang juga dipergunakan untuk menyebut ular dalam bahasa Arab, yaitu af’aa ( أفعى ). Kita tidak memasukkannya disini, sebab ia tidak dipergunakan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, sebagai tambahan pengetahuan, kita bicarakan secara ringkas. Kata af’aa memiliki makna dasar condong kepada keburukan, atau melalukan sesuatu yang aneh, tidak biasanya dan mengarah kepada hal-hal buruk. Karakteristik ini pun sangat cocok dengan ular, yang biasanya selalu mencitrakan bahaya, keburukan, dan kematian. Dalam al-Mu’jam al-Wasith, kata af’aa dirujukkan kepada spesies ular tertentu yang bersisik belang-belang, lehernya kecil, kepalanya lebar, dan memiliki racun yang sangat mematikan. Sifat-sifat ini mungkin merujuk kepada ular cobra, atau ular lain.

Untuk keterangan selengkapnya, silakan lihat dalam Lisanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur dan Mufradat Gharibil Qur’an karya ar-Raghib al-Ashfahani. Wallahu a’lam. 


Z*] M. Alimin Mukhtar. Jum’at, 28 Jum. Ula 1433 H.