Tapi, kalian kembali musyrik setelah itu -- Kajian Qs. al-An'am: 60-65



ﭑ ﭒ ﭓ

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (60)
Artinya, “Dan Dia lah (Allah) yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.”
Maksudnya, Allah menidurkan kita di malam hari dan membangunkannya di siang hari, supaya dengan perputaran waktu itu habislah umur yang telah ditentukan-Nya untuk kita masing-masing. Dengan kenyataan bahwa Allah menidurkan kita, dimana di saat itu kita tidak berkuasa apa-apa atas diri kita, lalu Allah membangunkan kita sekali lagi dengan segar-bugar, semua itu adalah pelajaran dan pertanda bahwa Dia pun sangat kuasa untuk membangkitkan kembali kita dari kematian di hari kiamat nanti. Tidur dan bangun adalah bagian dari peringatan dan bahan perenungan agar kita tidak melalaikan akhirat dan saat pertanggungjawaban amal, sebab Allah kelak pasti memberitahu kita segala amal kita: baik, buruk, benar, salah, lurus, sesat, surga, neraka, dan lain sebagainya.

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ (61)
Artinya, “Dan Dia lah (Allah) yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.”
Maksudnya, Allah lah yang mengendalikan seluruh makhluk-Nya. Dia mengirim para malaikat untuk menjaga dan mengawasi amal perbuatan serta badan makhluk-Nya itu. Tidak ada yang terluput dan terlantar di alam raya ini, semua dalam kendali dan pengaturan-Nya. Dan, bila saat kematian telah tiba untuk salah satu darinya, maka utusan Allah itu akan mewafatkannya tepat waktu, tidak lengah atau salah, pasti tepat dan sesuai dengan hukum, hikmah serta takdir Allah ta’ala. Kita tidak diberitahu secara detail bagaimana kematian diwujudkan, kecuali dengan permisalan-permisalan belaka, sebab ruh itu sendiri hakikatnya pun merupakan misteri yang disimpan Allah sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang dibuka untuk kita. Entah para pembantu malaikat maut mencabut ruh satu persatu; entah malaikat maut itu sendiri yang memanggil ruh-ruh agar keluar dari badan sehingga pemiliknya pun mati; entah Allah menciptakan kematian dalam diri setiap makhluk-Nya sehingga mereka akan mati pada saatnya. Kita tidak diberitahu.

ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ (62)
Artinya, “Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dia lah Pembuat perhitungan yang paling cepat.”
Maksudnya, semua makhluk akan dikembalikan untuk menghadap kepada Penciptanya, tanpa terkecuali. Dengan kematian itu mereka kembali kepada-Nya, dan di akhirat kelak mereka akan menghadap satu persatu untuk dimintai pertanggungjawaban. Di sana, di akhirat, tidak ada hukum yang berkuasa selain hukum-Nya, sehingga segenap raja dan tiran yang sombong serta menentang Allah tidak akan memiliki kuasa apapun. Bahkan, mereka tidak akan sanggup membela diri mereka sendiri dari tuntutan yang sudah menghadang.
Demikianlah perputaran takdir manusia. Awalnya mereka berada di alam ruh, dimana disana mereka tidak berkuasa apa-apa dan mutlak di bawah kendali serta pengaturan Allah. Lalu, dengan kemurahan dan rahmat-Nya mereka dikeluarkan ke dunia ini. Allah memberi mereka kuasa dan potensi untuk mengatur diri mereka sendiri, dengan janji untuk dimintai pertanggungjawaban suatu saat nanti. Di dunia ini, kadang manusia melupakan janji itu dan merasa bahwa mereka sangat berkuasa untuk mengatur dirinya, sehingga menolak aturan-aturan Allah. Mereka mencipta aturan sendiri dan bahkan memusuhi para rasul dan agama yang mereka wariskan. Inilah cobaan terberat manusia, yakni: diberi kuasa dan potensi untuk mengatur dirinya serta memilih jalan yang ia sukai. Belum lagi iblis dan balatentaranya turut menggoda. Maka, tidak ada yang selamat dari cobaan ini kecuali atas izin dan rahmat-Nya jua. Namun, dengan keadilan dan kuasa-Nya, seluruh manusia akan dipanggil kembali untuk berada di bawah kuasa dan kendali Allah secara mutlak, yakni di akhirat. Maka, Allah akan membalas kebaikan dengan rahmat-Nya, dan menghukum para pendurhaka sesuai keadilan-Nya.

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ (63) قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ (64)
Artinya, “Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): "Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur"; Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya."
Maksudnya, ayat ini merupakan pertanyaan pengingkaran terhadap kebiasaan kita yang aneh. Jika cobaan dan bencana besar mengepung, maka tiba-tiba kita mengingat Allah dengan penuh kekhusyu’an, berdoa dan memohon – baik secara terbuka maupun di dalam hati – dengan penuh rasa butuh dan merendahkan diri kepada-Nya. Seringkali kita pun menyertakan janji dan nadzar tertentu sebagai penguat, bahwa jika kita berhasil lolos dari cobaan dan bencana ini maka kita akan melakukan kebaikan ini-itu, bersedekah, shalat, berhaji, dsb. Namun, Allah Maha Tahu, bahwa setiap ketaatan yang tidak tulus dan “mendadak” seperti itu, pada dasarnya adalah kebohongan dan “taubat sesaat”. Setelah keadaan berangsur membaik dan segala sesuatunya normal kembali, tiba-tiba saja kemungkaran kambuh dan kemaksiatan digandrungi lagi, seolah-olah Allah tidak ada dan segala janji serta nadzar yang dulu itu tidak pernah diucapkan. Maka, taatilah Allah kapan saja, dan berdoalah kepada-Nya di saat lapang maupun sempit, agar Dia tidak melupakan kita pada saat kita membutuhkan-Nya. 

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ (65)
Artinya, “Katakanlah: "Dia lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)".
Maksudnya, sebenarnya adzab Allah bisa datang kapan saja dan dari mana saja, sebab seluruh alam ini miliknya dan ada di tangan-Nya. Mereka akan tunduk kepada apa saja yang Dia perintahkan, apakah menurunkan rahmat atau adzab. Oleh karenanya, berhati-hatilah dan jangan gegabah. Jangan merasa bahwa teknologi sanggup mengatasi semua itu, sebab kita tidak pernah tahu bencana yang mana yang akan datang. Bencana “dari atas” bisa berupa: (1) dari atas langit, yakni hujan batu, meteor, petir, dsb; (2) dari penguasa yang buruk dan jahat; (3) dari pemimpin (politik maupun agama) yang buruk. Sementara bencana yang datang “dari bawah” bisa jadi: (1) dari bumi, seperti gempa, banjir, longsor, dll; (2) rakyat jelata yang tidak bermoral, tidak taat hukum dan liar; (3) budak dan hamba sahaya, atau kaum buruh dan pembantu.
Ada pula bencana yang lebih dahsyat, yakni ketika Allah memecah belah suatu bangsa sehingga satu sama lain saling berperang dan membunuh. Ketika manusia melanggar aturan-Nya, maka dosa mereka akan memicu permusahan satu sama lain, sehingga pecahlah pertumpahan darah dan kematian menyebar dimana-mana. Ini bencana yang lebih dahsyat dan perih. Sebab, ketika bencana alam yang jatuh, manusia akan bertekuk-lutut di hadapan kebesaran Allah yang tidak bisa mereka lawan. Akan tetapi, tatkala bencana timbul dari kejahatan sesama, yang muncul bukan kepasrahan, namun dendam dan angkara-murka. Maka, api pun semakin berkobar dan adzab Allah akan semakin menggelora. Na’udzu billah.
Wallahu a’lam.

[*] Kamis, 16 Dzulhijjah 1430 H. Berdasarkan Tafsir Zadul Masir, dengan dukungan sumber-sumber lain.