Bismillahirrahmanirrahim
عَنْ
مُجَاهِدٍ : ( وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا ) قَالَ : نَأْتَمُّ بِهِمْ وَنَقْتَدِيْ
بِهِمْ حَتَّى يَقْتَدِيْ بِنَا مَنْ بَعْدَنَا
Dari Mujahid: (tentang firman Allah): “…dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Furqan: 74). Beliau berkata, “(Maksudnya) jadikanlah kami
bermakmum dan meneladani mereka, sehingga orang-orang yang datang setelah kami pun meneladani kami.”[1]
Catatan: Ayat diatas berkenaan dengan sifat-sifat ‘ibaadurrahman. Penafsiran serupa dikemukakan al-Hasan. Setelah mengutip dua penafsiran berbeda atas ayat ini, Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: “Pendapat yang paling tepat … Jadikanlah kami sebagai pemimpin (imam) bagi orang-orang yang melindungi dirinya sendiri dari kemaksiatan dan merasa takut kepada siksa-Mu, dimana mereka bermakmum kepada kami dalam kebaikan-kebaikan; sebab mereka hanya meminta kepada Tuhannya agar dijadikan sebagai pemimpin bagi orang-orang bertakwa, dan tidak meminta agar menjadikan orang-orang bertakwa sebagai imam bagi mereka … Jadikanlah kami dan mereka sebagai satu jamaah.” Wallahu a’lam.
Catatan: Ayat diatas berkenaan dengan sifat-sifat ‘ibaadurrahman. Penafsiran serupa dikemukakan al-Hasan. Setelah mengutip dua penafsiran berbeda atas ayat ini, Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: “Pendapat yang paling tepat … Jadikanlah kami sebagai pemimpin (imam) bagi orang-orang yang melindungi dirinya sendiri dari kemaksiatan dan merasa takut kepada siksa-Mu, dimana mereka bermakmum kepada kami dalam kebaikan-kebaikan; sebab mereka hanya meminta kepada Tuhannya agar dijadikan sebagai pemimpin bagi orang-orang bertakwa, dan tidak meminta agar menjadikan orang-orang bertakwa sebagai imam bagi mereka … Jadikanlah kami dan mereka sebagai satu jamaah.” Wallahu a’lam.
وَهْب
بْن كَيْسَانَ : أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ أَبِى سَلَمَةَ يَقُولُ : كُنْتُ غُلاَمًا
فِى حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِى تَطِيشُ فِى الصَّحْفَةِ
فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ
بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ - فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ
Wahb bin Kaisan, bahwa ia mendengar ‘Umar
bin Abu Salamah berkata, “Dulu saya adalah anak kecil yang berada di bawah
pengasuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dulu, tangan saya
suka berkeliling diatas nampan (yakni, untuk mengambil makanan dari sana-sini),
maka beliau pun bersabda, “Nak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah dari (makanan) yang dekat denganmu.” (‘Umar bin Abu
Salamah berkata), “Maka, sejak saat itu, begitulah cara makan saya.”[2]
عَنْ
إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى طَلْحَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
رضى الله عنه يَقُولُ : إِنَّ خَيَّاطًا دَعَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
لِطَعَامٍ صَنَعَهُ ، قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : فَذَهَبْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم إِلَى ذَلِكَ الطَّعَامِ ، فَقَرَّبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم خُبْزًا وَمَرَقًا فِيهِ دُبَّاءٌ وَقَدِيدٌ ، فَرَأَيْتُ النَّبِىَّ
صلى الله عليه وسلم يَتَتَبَّعُ الدُّبَّاءَ مِنْ حَوَالَىِ الْقَصْعَةِ - قَالَ -
فَلَمْ أَزَلْ أُحِبُّ الدُّبَّاءَ مِنْ يَوْمِئِذٍ
Diriwayatkan dari Ishaq bin ‘Abdullah bin
Abi Thalhah: sesungguhnya dia mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita,
“Seorang tukang jahit mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk (memakan) makanan yang telah dibuatnya. Maka saya pun pergi kesana
bersama beliau. Lalu, dia menghidangkan roti dan kuah yang di dalamnya terdapat
dendeng dan labu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya melihat
beliau mencari-cari labu yang ada di tepian nampan, – Anas berkata – maka, sejak
hari itulah saya selalu menggemari labu.”[3]
خَرَجَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يَعُوْدُ إِنْسَاناً فَجَعَلَ مُعَاذٌ لاَ
يَمُرُّ بِأَذًى فِي الطَّرِيْقِ إِلاَّ أَمَاطَهُ وَمَعَهُ صَاحِبٌ لَهُ فَجَعَلَ
صَاحِبُهُ كُلَّمَا رَأَى أَذًى أَمَاطَهُ فَقَالَ مُعَاذٌ مَا حَمَلَكَ عَلَى هَذَا؟
قَالَ الَّذِي رَأَيْتُكَ تَصْنَعُ قَالَ أَمَّا إِنَّهُ مَنْ أَمَاطَ أَذًى فِي طَرِيْقٍ
كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ وَمَنْ كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Mu’adz
bin Jabal keluar untuk menjenguk seseorang. Lalu, beliau tidak menjumpai satu
pun benda yang mengganggu di jalanan melainkan beliau pasti menyingkirkannya.
(Saat itu), salah seorang murid beliau turut pergi bersama beliau, maka setiap
kali dia melihat suatu benda yang mengganggu, dia pun (ikut) menyingkirkannya.
Mu’adz bertanya kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan hal ini?” Muridnya
menjawab, “Apa yang saya lihat Anda melakukannya.” Beliau pun berkata, “Sungguh,
siapa saja yang menyingkirkan suatu gangguan dari jalanan, niscaya dicatat
baginya satu kebaikan; dan siapa saja yang telah dicatat satu kebaikan baginya,
pasti masuk surga.”[4]
عَنْ
مُحَمَّدٍ قَالَ : كَانَ يَقُولُ : إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ
تَأْخُذُونَهُ
Diriwayatkan dari Muhammad (bin Sirin), beliau pernah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini
adalah agama, maka perhatikan dari siapa kalian mengambilnya.”[5]
ابْنُ وَهْبٍ يَقُوْلُ : لَقِيْتُ ثَلاَثَمِائَةِ عَالِمٍ وَسِتِّيْنَ
عَالِمًا وَلَوْلاَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ لَضَلَلْتُ فِي الْعِلْمِ
Ibnu Wahb berkata, “Saya sudah menjumpai 360 orang ulama’. Andai bukan karena
Malik bin Anas dan al-Laits bin Sa’ad, pasti saya telah tersesat dalam ilmu.”[6]
أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ
: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَمَ وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ ، كَمَا اخْتَارَ
أَبُوْ حَنِيْفَةَ ، رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ ، حَمَّادَ بْنَ [ أَبِي ] سُلَيْمَانَ ،
بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ ، قَالَ : وَجَدْتُهُ شَيْخًا وَقُوْرًا حَلِيْمًا
صَبُوْرًا فِى الأُمُوْرِ . وَقَالَ : ثَبَتُّ عِنْدَ حَمَّادِ بْنِ سُلَيْمَانَ فَنَبَتُّ
Adapun
pemilihan guru, maka seyogyanya (seorang pelajar) memilih guru yang paling
berilmu, paling wara’, dan paling senior; sebagaimana Abu Hanifah rahimahullah
memilih Hammad bin Abu Sulaiman, sesudah beliau mempertimbangkan dan
memikirkannya. Abu Hanifah berkata, “Saya mendapati beliau sebagai seorang syaikh
yang tenang-berwibawa, sangat santun (yakni, tidak cepat terpancing emosinya),
dan sangat sabar dalam segala persoalan.” Abu Hanifah juga berkata, “Saya pun
teguh (belajar) di sisi Hammad bin Abu Sulaiman, maka saya pun tumbuh
berkembang.”[7]
عَنْ
أَيُّوْبَ قَالَ : قَالَ رَجُلٌ لِمُطَرِّفٍ : أَفْضَلُ مِنَ الْقُرْآنِ تُرِيْدُوْنَ؟
قَالَ : لاَ وَلَكِنْ نُرِيْدُ مَنْ هُوَ أَعْلَمُ بِالْقُرْآنِ مِنَّا
Diriwayatkan dari Ayyub (as-Sakhtiyani): seseorang bertanya kepada Mutharrif, “Apakah
Anda menginginkan sesuatu yang lebih utama dari Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Tidak,
akan tetapi kami menginginkan seseorang yang lebih mengetahui Al-Qur’an
dibanding kami.”[8]
قِيْلَ
ِلأَبِي حَنِيْفَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ : فِي الْمَسْجِدِ حَلْقَةٌ يَنْظُرُوْنَ فِي
الْفِقْهِ فَقَالَ : أَلَهُمْ رَأْسٌ؟ قَالُوْا : لاَ قَالَ : لاَ يَفْقَهُ هَؤُلاَءِ
أَبَداً
Dikatakan kepada Abu Hanifah, semoga
Allah meridhainya, bahwa di masjid ada sebuah halaqah untuk mendiskusikan
masalah-masalah fiqh. Maka, beliau bertanya, “Apakah mereka punya pemimpin?” – maksudnya,
pembimbing atau guru. Dijawab, “Tidak.” Beliau pun berkata, “Mereka tidak akan
bisa paham untuk selama-lamanya!”[9]
مَنْ
تَفَقَّهَ مِنَ الْكُتُبِ ضَيَّعَ الأَحْكَامَ
Imam asy-Syafi’i berkata,
“Barangsiapa yang ber-tafaqquh hanya dari buku-buku, maka dia telah
menyia-nyiakan hukum-hukum.”[10]
Catatan: hal ini terutama pada masa awal belajar.
Adapun jika seseorang telah menguasai dasar-dasar ilmu dengan baik, maka tidak
mengapa untuk belajar secara mandiri.
قَالَ أَبُوْ زُرْعَةَ : لاَ يُفْتِي النَّاسَ صُحُفِيٌّ وَلاَ يُقْرِئُهُمْ
مُصْحَفِيٌّ
Abu Zur’ah berkata, “Ash-shuhufiy
tidak boleh berfatwa kepada masyarakat, dan al-mushhafiy tidak
boleh mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.”[11]
Catatan: Yang dimaksud “ash-shuhufiy” adalah orang-orang yang belajar hanya dengan membaca buku dan tidak punya guru, sedangkan “al-mushhafiyyun” adalah orang yang
belajar Al-Qur’an langsung dari mushhaf, tidak melalui guru yang
hidup. Ada banyak
kemungkinan orang semacam ini untuk keliru dan tersesat tanpa sadar.
عَنِ الأَوْزَاعِيّ قَالَ : مَا زَالَ هَذَا الْعِلْمُ عَزِيْزًا يَتَلَقَّاهُ
الرِّجَالُ حَتَّى وَقَعَ فِي الصُّحُفِ فَحَمَلَهُ أَوْ دَخَلَ فِيْهِ غَيْرُ أَهْلِهِ
Al-Awza’i berkata, “Ilmu
ini senantiasa dalam keadaan terhormat dimana ia diambil secara langsung oleh seseorang (dari gurunya),
sampai akhirnya ia terpatri pada lembar-lembar (catatan/buku), lalu diemban – atau, dimasuki – oleh
orang-orang yang bukan ahlinya.”[12]
عَبْدُ
اللهِ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ عُمُيْرٍ قَالَ : كَانَ فِي هَذَا الْمَكَانِ خَلْفَ الْكَعْبَةِ
حَلْقَةٌ فَمَرَّ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَطُوْفُ فَلَمَّا قَضَى طَوَافَهُ جَاءَ إِلَى
الْحَلْقَةِ فَقَالَ : مَا لِي أَرَاكُمْ نَحَّيْتُمْ هَؤُلاَءِ الْغِلْمَانَ عَنْ
مَجْلِسِكُمْ؟ لاَ تَفْعَلُوْا أَوْسِعُوْا لَهُمْ وَأَدْنُوْهُمْ وَأَفْهِمُوْهُمُ
الْحَدِيْثَ فَإِنَّهُمُ الْيَوْمَ صِغَارُ قَوْمٍ وَيُوْشِكُوْا أَنْ يَكُوْنُوْا
كِبَارَ آخَرِيْنَ ، قَدْ كُنَّا صِغَارَ قَوْمٍ ثُمَّ أَصْبَحْنَا كِبَارَ آخَرِيْنَ
‘Abdullah bin
‘Ubaid bin ‘Umair berkata: dulu, di tempat ini, di balik Ka’bah, pernah ada
sebuah halaqah. Lalu, ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu melewati
mereka ketika beliau sedang berthawaf. Setelah menyelesaikan thawafnya, beliau
datang ke halaqah tersebut dan berkata, “Mengapa aku melihat kalian
menyingkirkan anak-anak itu dari majlis kalian? Jangan lakukan
itu! Lapangkan untuk mereka, suruh
mereka mendekat, dan fahamkanlah hadits kepada mereka. Sungguh, hari ini mereka
adalah orang-orang termuda dari suatu kaum, dan sebentar lagi mereka akan
menjadi orang-orang tertua dari
kaum lainnya. Kami dulu pernah menjadi orang-orang termuda dari sebuah kaum,
kemudian kami (sekarang) menjadi orang-orang tertua dari kaum lainnya.”[13]
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ
: لاَ يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ
أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا
أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا
Diriwayatkan dari Sa’id bin Wahb, ia berkata: aku mendengar
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang akan
senantiasa baik dan berpegang teguh (pada agamanya) selama ilmu datang kepada
mereka dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari orang-orang yang lebih tua
diantara mereka. Namun, tatkala ilmu telah datang dari orang-orang yang lebih muda,
maka mereka pasti celaka.”[14]
Catatan: Menurut Ibnul Mubarak, yang dimaksud “orang-orang
yang lebih muda” adalah para ahli bid’ah, bukan muda dari segi usia.
Sebab, sebagian sahabat ada yang mengutip riwayat dari tabi’in, dan para ulama’
salaf biasa mengambil atau bertukar ilmu dengan murid-muridnya sendiri,
seperti antara asy-Syafi’i dan al-Humaydi. Namun, makna lahiriah riwayat ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah ilmu itu diambil dari guru dan biasanya mereka lebih tua, atau
dari orang muda yang telah matang ilmu d`n keahliannya, sehingga layak disebut
sebagai guru pula. Wallahu a’lam.
قَالَ الإِمَامُ مَالِكٌ رَحِمَهُ الله : لاَ يَنْبَغِي لِرَجُلٍ يَرَى
نَفْسَهُ أَهْلاً لِشَيْءٍ حَتَّى يَسْأَلَ مَنْ كَانَ أَعْلَمَ مِنْهُ وَمَا أَفْتَيْتُ
حَتىَّ سَأَلْتُ رَبِيْعَةَ وَيَحْيَى بْنَ سَعِيْدٍ فَأَمَرَانِي بِذَلِكَ وَلَوْ
نَهَيَانِي لاَنْتَهَيْتُ
Imam Malik, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Tidak
selayaknya seseorang memandang dirinya ahli dalam suatu bidang sebelum ia
bertanya kepada orang lain yang lebih pandai darinya. Saya sendiri tidak berani
berfatwa sebelum bertanya kepada Rabi’ah (bin Abi ‘Abdirrahman Farrukh
“ar-Ra’yi”) dan Yahya bin Sa’id. Lalu, mereka berdua menyuruh saya (untuk
tampil berfatwa). Andai saja mereka melarang, pasti saya tidak berani
melakukannya.”[15]
وَقَالَ : لَيْسَ كُلُّ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ فِى
الْمَسْجِدِ لِلتَّحْدِيْثِ وَالْفُتْيَا جَلَسَ حَتَّى يُشَاوِرَ فِيْهِ أَهْلَ
الصَّلاَحِ وَالْفَضْلِ وَأَهْلَ الْجِهَةِ مِنَ الْمَسْجِدِ فَإِنْ رَأَوْهُ أَهْلاً
لِذَلِكَ جَلَسَ وَمَا جَلَسْتُ حَتىَّ شَهِدَ لِيْ سَبْعُوْنَ شَيْخًا مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ أَنِّي مَوْضِعٌ لِذَلِكَ
Imam Malik juga berkata, “Tidak berarti bahwa setiap orang yang
ingin duduk menyampaikan hadits dan fatwa di masjid boleh duduk di tempatnya,
sebelum dia meminta saran kepada orang-orang yang baik dan terpandang, juga
mereka yang ahli di sekitar masjid itu. Jika mereka menilai bahwa dia layak
untuk itu, maka dia boleh duduk (menyampaikan hadits dan berfatwa). Saya
sendiri tidak duduk (disini) sebelum mendapatkan persaksian dari tujuh puluh
orang syaikh yang ahli di bidangnya masing-masing, bahwa saya memang
layak untuk duduk menempati posisi itu.”[16]
[1] Kitabul ‘Ilmi, karya Abu Khaytsamah, no. 29.
[2] Riwayat al-Bukhari no. 5061 dan Muslim no. 2022. ‘Umar adalah putra Ummu Salamah dari suami sebelumnya, yakni
Abu Salamah. Setelah Abu Salamah meninggal, Ummu Salamah dinikahi oleh Rasulullah
dan ‘Umar berada di bawah pengasuhan beliau. ‘Umar sendiri dilahirkan di
Habasyah pada tahun 2 H. Jadi, ketika Rasulullah wafat usianya baru sekitar 8
tahun.
[3] Riwayat al-Bukhari no. 1986 dan Muslim no. 2041. Anas
termasuk sahabat kecil dan menjadi pelayan Rasulullah selama di Madinah. Ketika
Rasulullah tiba di Madinah, usia Anas masih 10 tahun.
[4] Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, VII/314, dalam biografi Mu’adz bin Jabal, dan diceritakan
oleh Muhammad bin Yahya bin Hibban.
[5] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 27168, bab Orang yang dijadikan
sebagai sumber ilmu. Penomoran riwayat dalam edisi lain mungkin berbeda. Atsar ini diriwayatkan pula oleh Muslim dan
ad-Darimi dalam muqaddimah kitab mereka masing-masing, dari jalur
berbeda, yang semuanya berpangkal kepada Muhammad bin Sirin. At-Tirmidzi
menutup kitab Syama’il-nya dengan hadits ini. Pernyataan ini kadang
dinukil secara mauquf, dan kadang pula marfu’ kepada Nabi. Namun
penisbatan tersebut tidak shahih. As-Suyuthi memasukkan hadits ini
secara marfu’ dalam al-Jami’ ash-Shaghir.
[6] Ahadits
fi Dzammil Kalam wa Ahlihi, no. 863.
[7] Ta’limul Muta’allim, karya Syaikh az-Zarnuji, bab Pemilihan Ilmu, Guru, Teman, dan
Keteguhan.
[8] Kitabul ‘Ilmi, karya Abu
Khaytsamah, no. 98.
[9] Adabul
‘Ulama’ wal Muta’allimin,
hal.
9.
[10] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,
I/38, muqaddimah; juga Adabul ‘Ulama’ wal Muta’allimin, hal. 14.
[11] Al-Faqih wal Mutafaqqih, II/449,
no. 844.
[12] Riwayat ad-Darimi no. 467. Menurut Syaikh Husain Salim Asad, isnad-nya shahih.
[13] Riwayat al-Baihaqi dalam al-Madkhal no. 512; dan al-Khathib
al-Baghdadi dalam Syaraful Ashhabil Hadits. Lihat juga Fathul
Mannan (yakni: Syarh Sunan ad-Darimi), III/63, dalam penjelasan
untuk hadits no. 364.
[14] Mushannaf ‘Abdurrazzaq, no. 20446, berasal dari Ma’mar. Dikeluarkan juga oleh Ibnu
al-Mubarak dan ath-Thabrani.
[15] Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al Ulama’,
hal. 27. Aslinya dinukil dari Shifatu
al-Fatwa wal Mustafti, karya Ibnu Hamdan, hal. 7.
[16] Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al Ulama’,
hal. 27. Aslinya dari Ad-Dibaj karya Ibnu Farhun, hal. 21. Lihat juga karya Ibnu Hamdan diatas, pada halaman yang sama.