Bismillahirrahmanirrahim
Jika diperturutkan, sebenarnya segala sesuatu bisa saja menjadi
sumber dukacita dan kegelisahan. Manusia bisa dicekam kecemasan atas hal-hal yang
ia miliki, bahkan yang tidak ia miliki. Lihatlah, orang berduit
mengkhawatirkan aset-asetnya: takut dicuri, ditipu, berkurang, habis, rusak,
tidak berkembang, atau tertimpa bencana alam. Tetapi, orang miskin pun bisa
mengkhawatirkan ketidakpunyaannya itu. Punya uang bingung, tidak punya pun
bingung. Sudah menikah cemas, belum pun cemas. Punya anak khawatir, tidak punya
pun khawatir. Berparas cantik resah, berparas buruk pun resah. Belum sekolah
takut tidak bisa masuk; sudah sekolah takut tidak lulus; sudah lulus takut
tidak bisa kerja; sudah kerja takut dipecat; demikianlah seterusnya, daftar
semacam ini dapat kita perpanjang lagi, sampai nyaris tidak ada perkara yang
terhindar darinya.
Oleh karenanya, Allah menyebut manusia sebagai makhluk yang mudah
mengeluh, cepat putus asa, dan pelit. Allah berfirman, “Sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat keluh kesah. Apabila ditimpa kesusahan ia mudah putus asa. Dan
apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” (Qs. al-Ma'arij: 19-21).
Akan tetapi, pada saat bersamaan, Allah menunjukkan resep-resep jitu
menanggulanginya. Karena Dia yang menciptakan manusia, maka Dia pasti lebih
tahu bagaimana memperlakukan ciptaan-Nya. Pada ayat 22-23, Allah melanjutkan
firman-Nya, “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu kontinyu
mengerjakan shalatnya.” Jika kalimat ini dibalik, maka sesungguhnya segenap
dukacita dan kegelisahan yang melanda hati manusia adalah akibat buruknya
ibadah. Ketika shalat seseorang sudah tidak baik, ia telah melepas tali
ketergantungannya kepada Allah. Pada saat itulah syetan menguasai hatinya, dan
ia bebas memainkannya kesana-kemari. Semakin lama semakin menggelisahkan,
hingga akhirnya ia terjerat keputusasaan, tanpa seorang pun penolong. Qatadah
berkata, “Sesungguhnya amal shalih itu mengangkat (derajat) pemiliknya pada
saat dia kuat, dan tatkala dia terjatuh maka dia mendapati tempat bersandar.”
Pada ayat selanjutnya, Allah berfirman, “Dan orang-orang yang dalam
hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang
yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (ayat 24-25).
Artinya, kesediaan untuk berbagi, membantu sesama dan memiliki arti bagi orang
banyak adalah sumber ketentraman jiwa. Kaidah ini jelas berseberangan dengan
cara berpikir kaum materialis-kapitalis, bahwa kebahagiaan itu diraih dengan
menumpuk harta sebanyak mungkin dan mempergunakannya untuk mengejar segenap
kenikmatan pribadi. Maka, berbagilah dan Allah akan membahagiakan Anda!
Allah menambahkan resep lainnya, “Dan orang-orang yang mempercayai Hari
Pembalasan; Dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya; Karena sesungguhnya
azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya)” (ayat
26-28). Sungguh, tidak ada benteng terkokoh dalam menghadapi seluruh perputaran
kehidupan duniawi ini selain beriman kepada Hari Akhir. Dengannyalah harapan
manusia tidak pernah putus, walaupun di dunia ini ia dizhalimi dan ditindas.
Hatinya tetap hidup dan semangatnya tetap menyala. Ia yakin dengan sepenuh hati
bahwa Tuhannya tidak pernah lalai, dan segala kebaikan maupun kedurjanaan pasti
diperhitungkan. Jika para hakim dunia tidak lagi bisa memberinya keadilan dan
perlindungan atas hak-haknya, maka dia tahu bahwa disana masih ada satu
pengadilan yang tidak mungkin dicurangi, yakni Yaumul Hisab (Hari
Perhitungan).
Allah menunjukkan resep berikutnya lagi, “Dan orang-orang yang
memelihara kemaluannya; Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”
(ayat 29-31). Kebahagiaan apakah yang bisa diberikan oleh zina, homoseksual,
lesbi? Bahkan, riset-riset terkini di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
orang-orang yang setia dalam pernikahan memiliki resiko serangan jantung lebih
kecil, stres lebih rendah, dan usia harapan hidup yang lebih baik. Sungguh,
Allah sangat mengenal kita (manusia), dengan seluruh rahasia dan misterinya. Maka,
dalam setiap detil syariat yang Dia tetapkan pasti terkandung kebaikan-kebaikan
bagi diri kita sendiri. Patuhilah dan jangan menyeleweng, niscaya ketentraman
jiwa akan menyertai.
Masih ada lagi resep yang Allah berikan, “Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya; Dan orang-orang yang
memberikan kesaksiannya” (ayat 32-33). Sudah dimaklumi bahwa amanat, janji,
dan kesaksian adalah beban yang sangat berat. Namun, tatkala manusia berhasil
menunaikannya dengan sempurna, di wajahnya pasti tersungging senyum kepuasan,
kebahagiaan, dan merasa “berharga”. Sebaliknya, lihatlah orang-orang yang
mengkhianati amanat rakyat, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, mengabaikan
janji kampanye, atau membuat kesaksian-kesaksian palsu, bukankah sekarang mereka
stres, malu, dan terhina?
Terakhir, Allah kembali mengulang pentingnya shalat dan ibadah, “Dan
orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi
dimuliakan” (ayat 34-35). Penutup ini dengan jelas mencitrakan bahwa
sesungguhnya tidak ada kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan hakiki yang
datang dari selain Allah. Kebahagiaan seperti sebuah sungai, dan mata airnya
berasal dari Allah. Tidak ada pilihan lain kecuali terus memelihara, merawat dan
memperhatikan jalur-jalur yang menghubungkan sungai itu dengan sumbernya. Darimana
segarnya air kebahagiaan memasuki jiwa kita, mengusir dahaga kegelisahan dan
dukacita darinya, jika jalur-jalurnya justru kita putuskan atau kita penuhi
dengan sampah maksiat dan penyelewengan?! Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 19
Shafar 1433 H. Pernah diterbitkan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.