Menciptakan = khalaqa, ikhtara’a, ibtada’a, ansya’a, dzara’a, fathara, dan bara’a




Bismillahirrahmanirrahim
 
Ketika membaca Al-Qur’an, terutama yang berkenaan dengan shifat dan af’al Allah, kita akan dihadapkan dengan beberapa kosakata yang hanya diterjemahkan dalam satu padanan, yaitu: “menciptakan”. Padahal, teks aslinya menggunakan beberapa istilah berbeda, seperti:  khalaqa ( خلق ), ikhtara’a ( اخترع ), abda’a ( ابدع ) atau ibtada'a ( ابتدع ), ansya’a ( انشأ ), dzara’a ( ذرأ ), fathara ( فطر )dan baraa ( برى ). Dari sini kita mengenal sebagian nama dan sifat Allah yang dalam bahasa Indonesia agak susah diterjemahkan secara berbeda, yaitu al-khaliq ( الخالق ), al-fathir ( الفاطر ), al-bariy ( البارئ ), dan al-badi’ ( البديع ). Biasanya, seluruhnya diterjemahkan menjadi "Pencipta", tanpa kita bisa menangkap elemen-elemen spesifik yang mendasari penggunaan istilah aslinya.
Dalam bahasa Arab, tepatnya dalam Ilmu Shorof, berlaku kaidah bahwa penambahan atau pengurangan huruf biasanya ditujukan untuk mendapatkan serta mengungkapkan suatu makna berbeda dimana makna-makna tersebut tidak akan bisa dinyatakan kecuali dengan penambahan atau pengurangan tersebut. Sebagai misal, kata qatha’a ( قطع ), artinya: memotong), ketika ditambahkan tasydid pada huruf kedua, menjadi qaththa’a ( قطّع ), maka disini ada tambahan makna intensitas, menjadi “memotong-motong”. Ini baru penambahan satu huruf saja, bagaimana jika yang terjadi bukan hanya hurufnya ditambah tetapi ada dua kata yang berbeda samasekali? Jelas, maknanya pasti lain, atau ada hal lain yang ingin ditekankan dalam kata itu meskipun arahnya senada. Inilah yang akan kita kaji dalam naskah ringkas ini.
Pertama, al-khalqu. Secara bahasa berarti menentukan ukuran/mengatur bentuk. Maka, bila dipergunakan istilah khalaqa atau al-khaliq, makna hakiki yang dikehendaki adalah: Allah merupakan Dzat yang menentukan ukuran/mengatur bentuk dari makhluk ciptaan-Nya dalam suatu rancangan/pengaturan tertentu. Maka, dalam sebuah tindakan penciptaan (khalaqa) tersirat adanya ilmu, kesengajaan, sistem, keteraturan, dan semacamnya. Makna inilah yang secara tepat dipergunakan dalam surah al-Mulk: 3.
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعؐ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ
Artinya: “(Allah) yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka, lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”
Isyarat tentang adanya “pengaturan” tersurat pula dalam surah al-Furqan: 2, sbb:
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Artinya: “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi; Dia tidak mempunyai anak; tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya); Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Kedua, al-ikhtira’. Istilah ini bermakna mewujudkan sesuatu dengan tanpa ‘sabab’. Istilah ‘sabab’ sendiri, dalam bahasa Arab, bisa bermakna: motif, alasan, sebab, wasilah/perantaraan, asal/sumber, tangga, jalan, pengantar, tali, kehidupan. Jadi, ikhtira’ adalah tindakan penciptaan yang benar-benar independen, tanpa adanya suatu peran dari bahan asal maupun pengantara dalam proses pewujudannya. Dalam ikhtira’ tersirat makna-makna independensi, berdiri sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun, sangat mampu, dan yang semacamnya. Jelas, tindakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh Allah.
Ketiga, al-ibtida’. Kata ini bermakna mewujudkan sesuatu yang belum ada padanan atau contoh semisalnya sebelum itu. Akar kata ba-da-‘a merujuk kepada sesuatu yang baru dan belum ada padanan sebelumnya, yang dari sini pula istilah bid’ah berasal. Maka, makna implisit yang tercitra darinya adalah kreatifitas mutlak, dimana Allah tidak meniru siapa pun dalam mencipta alam semesta. Istilah ini juga menegaskan ke-azali-an Allah, yakni sebagai Dzat yang tidak berawal; dan ke-wahdaniyah-an-Nya. Dalam kesendirian-Nya Allah mencipta, tanpa sumbangsih gagasan maupun contoh dari selain-Nya. Ketika  Al-Qur’an menyebut Allah sebagai badi’us samawati wal ardhi (Qs. al-Baqarah: 117), maka maksudnya adalah: “Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi (tanpa contoh sebelumnya).”
Keempat, al-insya’. Istilah ini mengandung sedikit kemiripan dengan yang ketiga, namun memiliki kekhasan tertentu. Al-insya’ adalah memperbaharui tahap demi tahap tanpa bersandar kepada contoh. Dikatakan nasya’al ghulam, dia disebut nasyi’, apabila dia tumbuh dan bertambah sedikit demi sedikit. Aspek spesifik yang muncul adalah adanya tahapan dalam proses dimaksud. Jika ibtida’ menekankan pada kreatifitas, maka insya’ pada tahapan. Istilah insya’ juga melibatkan pengertian desain dan sistem, karena tidak mungkin ada pertumbuhan bertahap jika tidak ada desain akhir yang dituju dan tanpa sebuah sistem yang menopang prosesnya. Insya’ adalah proses yang memiliki suatu titik awal, untuk kemudian berakhir pada titik lainnya. Allah berfirman dalam surah al-‘Ankabut: 20:
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Katakanlah: "Berjalanlah kamu di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah memperbaharuinya pada pembaharuan (wujud) yang lain. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Apa yang dimaksud dengan “pembaharuan wujud” ini adalah kebangkitan kembali manusia setelah mati, yakni pada Hari Kiamat. Sepertinya, di saat itu Allah kembali mengulang penciptaan manusia tahap demi tahapnya, walau tidak lagi melalui rahim. Pada penciptaan pertama, proses bertahap itu dimulai dari saripati tanah, lalu nuthfah, demikian seterusnya sampai berakhir pada manusia sempurna (lihat: Qs. al-Mu’minun: 12-16), sedangkan pada “pembaharuan wujud” dimulai dari sepotong tulang ekor dan diakhiri dengan wujud tertentu yang Allah kehendaki (Hadits riwayat Bukhari-Muslim). Wallahu a’lam.
Kelima, al-bar’u. Istilah al-bar’u berarti memilah/membeda-bedakan bentuk fisik. Aslinya, al-bar’u bermakna memotong. Dari sinilah asal istilah al-bara’ah (berlepas diri), yaitu memutuskan perhubungan; bari’tu minal maradhi (saya sembuh dari sakit), seakan-akan sebab-sebab penyakit itu terputus darimu; bari’tu minad dayn (saya terbebeas dari hutang); bari’al lahmu minal ‘azhmi (daging terlepas dari tulang), yakni dia memotongnya; dan tabarra’a minar rajuli (dia berlepas diri dari orang itu), yakni jika dia memutuskan perlindungan yang diberikannya kepada orang itu.
Ketika Allah disebut sebagai al-bariy, maka yang dimaksudkan adalah Allah sebagai Dzat yang dengan segala kuasa-Nya mampu menciptakan makhluk dengan segenap keragaman, kekhususan, dan keterpisahannya. Mari kita renungkan beragamnya tetumbuhan di muka bumi, padahal ia disiram dengan air yang sama, tumbuh diatas tanah yang sama, mendapat sinar matahari yang sama, dan juga menghirup udara yang sama. Akan tetapi, tetumbuhan itu sangat amat beragam, masing-masing spesifik, dan terpisah dalam kediriannya sendiri-sendiri tanpa tertukar satu sama lain. Siapakah Dzat yang sedemikian hebat sehingga mampu berbuat demikian? Dialah Allah, yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta.
Keenam, adz-dzar’u. Makna asli adz-dzar’u adalah menampakkan. Arti dari dzara’allahu al-khalqa adalah Allah menampakkan mereka dengan cara membuat mereka ada sesudah sebelumnya tidak ada. Titik tekannya pada makna “tampak”. Oleh karenanya pula warna putih disebut adz-dzar’ah, sebab dia sangat tampak dan terkenal; dan milhun dzar’aniy (garam yang putih bersih), karena sangat putih.
Ketujuh, al-fathru. Istilah ini bermakna menampakkan sesuatu yang baharu dengan mengeluarkannya dari ketiadaan kepada keberadaan/wujud, seakan-akan dibelah sehingga menjadi terlihat. Bab aslinya adalah asy-syaqqu (membelah). Bersama dengan asy-syaqqu ini juga azh-zhuhur (tampak). Dari sana kemudian dikatakan tafaththara asy-syajar bila dia terbelah dengan (mengeluarkan) daun-daunan; fathartul inaa’a artinya saya memecahkan wadah itu; fatharallahu al-khalqa artinya Allah menampakkan makhluk dengan mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya, yakni tatkala dedaunan bersemi darinya. Ketika Allah disebut sebagai fathiru as-samawati wal ardha (mis. Qs. al-An’am: 14), maksudnya adalah Allah telah menampakkan langit dan bumi setelah sebelumnya tidak ada, seakan-akan dibelah dari dalam sestatu yang lain sehingga menjadi terlihat. Tampaknya, ungkapan tentang masalah “penciptaan langit dan bumi” ini adalah hubungannya dengan Qs. al-Anbiya’: 30, dimana disana dinyatakan bahwa bumi dan langit dulunya satu kesatuan solid yang kemudian dibelah oleh Allah. Dari sini tampak jelas bahwa inti makna al-fathru ada pada membelah. Antara dzara’a dengan fathara memiliki pembatas yang sangat tipis. Wallahu ‘alam.

(*) Bahan-bahan utama artikel ini dikutip dari Mu’jam al-Furuq al-Lughawiyah, entri no. 18, 19, 316, 379, 874, 939, 1630, 1635, dan 1817.

[*] M. Alimin Mukhtar. Jum’at, 28 Jum. Ula 1433 H.