ﭑ ﭒ ﭓ
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
قُلْ لاَ أَتَّبِعُ أَهْوَاءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
(56)
Artinya, “Katakanlah:
"Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain
Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Maksudnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam diperintahkan oleh Allah untuk mengatakan kepada orang-orang kafir
dan musyrik bahwa beliau dilarang ikut-ikutan menyembah segala yang mereka
sembah selain Allah atau segala yang mereka anggap sebagai tuhan selain Allah. Sebab,
agama mereka hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka, bukan bukti dan
keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perintah Allah dalam ayat ini merupakan
perintah bagi umatnya juga, bahwa akidah Islam harus ditegakkan diatas
keterangan dan bukti dari Allah, bukan buatan dan rekayasa akal manusia belaka.
Segala keyakinan dan kepercayaan ketuhanan yang tidak disertai bukti dan
keterangan dari Allah, adalah sesat, bujukan nafsu dan bisikan syetan. Kita
diperintahkan pula untuk mengevaluasi segala keyakinan yang ada dalam hati kita
perihal ketuhanan itu, dan memeriksa apakah ada dalilnya ataukah tidak. Siapa
yang mengikuti keyakinan tanpa bukti, pastilah tersesat dan tidak termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk. Sudah umum pula diketahui bahwa hawa nafsu
tidak akan mengajak ke jalan yang lurus, namun justru menjerumuskan ke dalam
kesesatan dan kecelakaan. Inilah perbedaan besar antara akidah seorang muslim
dengan kepercayaan-kepercayaan selainnya, dimana selainnya hanya disandarkan
kepada selera, tradisi, dan ikut-ikutan semata.
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي
مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ
الْفَاصِلِينَ (57)
Artinya, “Katakanlah:
"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Qur’an) dari
Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (adzab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling
baik".
Maksudnya, akidah Islam disandarkan atas keterangan
yang jelas (bayyinah), dimana orang-orang kafir selalu mendustakannya.
Mereka menolak mempercayai Allah, tidak beriman kepada akhirat dan pahala
maupun adzab, dan melecehkan segala keterangan maupun bukti yang disodorkan. Sebagian
orang kafir sering menantang agar didatangkan adzab sebagai bukti kebenaran
Islam yang mereka tentang, namun mereka tidak tahu bahwa semua itu adalah hak
Allah, tidak ada dalam kekuasaan manusia. Keputusan ada di tangan Allah,
kapankah Dia akan menunjukkan hukum yang memilah antara kedua kelompok yang
berseberangan itu (mukmin dan kafir). Allah sendiri pula yang tahu apakah akan
diturunkan adzab ataukah tidak kepada para penentang-Nya di dunia ini, atau
ditunda sampai di akhirat kelak. Segala yang diceritakan-Nya dalam Al-Qur’an
adalah benar, dan Dia benar-benar melaksanakannya. Allah lah pemberi keputusan
terbaik.
قُلْ لَوْ أَنَّ عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ لَقُضِيَ الأَمْرُ
بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالظَّالِمِينَ (58)
Artinya, “Katakanlah:
"Kalau sekiranya ada padaku apa (adzab) yang kamu minta supaya
disegerakan, tentu telah diselesaikan oleh Allah urusan yang ada antara aku dan
kamu. Dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang zalim.”
Maksudnya, andaikan kuasa untuk menurunkan adzab
itu ada di tangan Nabi, tentulah urusan antara beliau dengan orang-orang yang
memusuhinya sudah berakhir dengan cepat. Maksudnya, pastilah beliau sudah
menyiksa mereka segera dan tidak menunda-nundanya. Namun, semua itu hanya ada
di tangan Allah. Dia menyegerakan atau menunda karena suatu hikmah dan berdasar
pengetahuan-Nya. Bisa jadi, ada diantara musuh-musuh beliau ada yang kelak akan
beriman sehingga penundaan hukuman itu ada manfaatnya. Sejarah mencatat, bahwa
di belakang hari, banyak tokoh kafir yang berbalik memeluk Islam, baik dengan
sukarela maupun terpaksa. Andai adzab disegerakan, atau diserahkan kepada Nabi
untuk menentukan kapan tibanya, pasti segala sesuatunya sudah kacau-balau sejak
awal-awal dilaksanakan. Sebagai manusia biasa, seorang Nabi kadang marah dan
ridha, dan ia tidak mengetahui perkara-perkara ghaib. Jika ia berkuasa
mengadzab, mungkin saja ia sangat marah lalu menurunkan adzab secara
terburu-buru, yang bisa jadi disesalinya kelak. Atau, sebaliknya ia menunda apa
yang mestinya disegerakan, sehingga berakhir dengan penyesalan pula.
Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan
an-Nadhr bin al-Harits, salah seorang pentolan kaum musyrik, juga beberapa
pemimpin kafir Quraisy lainnya. An-Nadhr berdiri diatas Ka’bah dan dengan
sombong menantang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menurunkan
adzab jika memang dakwahnya benar. Ia menyangka bahwa adzab atau balasan ada di
tangan beliau. Namun, Allah membantah kepercayaannya yang keliru dan menurunkan
ayat ini.
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ
حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
(59)
Artinya, “Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)."
Maksudnya, hanya Allah lah yang mengetahui kunci
rahasia segala perkara ghaib. Dia mengetahui pula segala yang ada di daratan
maupun lautan. Bahkan, hal yang lebih rumit dan tersembunyi pun diketahui-Nya
pula. Tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Menurut Ibnu Mas’ud,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah dikaruniai Allah ilmu
atas segala sesuatu, kecuali kunci-kunci perkara ghaib tersebut.
Menurut hadits
riwayat Bukhari, ada lima perkara ghaib yang hanya diketahui Allah: (1) kapan
tibanya kiamat, (2) apa yang dikandung oleh rahim wanita, (3) apa yang akan
terjadi esok hari, (4) dimana seseorang akan mati, (5) kapan turunnya hujan. Hal ini dikonfirmasi oleh Qs. Luqman: 34.
Selain lima perkara ini, apa yang dimaksud kunci-kunci perkara ghaib bisa
termasuk hal-hal ini pula: (a) apa yang tersembunyi di langit, berupa ketentuan
rezeki dan takdir, (b) pahala dan siksa, serta apa akibat pasti dari segala
sesuatu yang terjadi, (c) kapan adzab diturunkan dan apa bentuknya, (d) jalan
untuk menembus rahasia ghaib yang disembunyikan oleh Allah, (e) akibat dari
suatu perbuatan dan bagaimana hasil akhirnya, (f) segala yang belum terjadi:
apakah akan terjadi ataukah tidak; jika terjadi, maka kapan, bagaimana, seperti
apa, dan seterusnya.
Wallahu a’lam.
***Kamis, 09 Dzulhijjah 1430 H. Didasarkan pada Tafsir Zadul Masir dan dilengkapi sumber-sumber lainnya.