![]() |
("gambar ini hanya hiasan") |
Bismillahirrahmanirrahim
Ini adalah kisah
keteguhan ulama’ salaf dan kedalaman ilmu mereka, dimana setiap tindakannya
senantiasa didasari ilmu, sehingga tidak ragu dan bimbang dalam mengambil setiap
keputusan. Ini juga kisah keterusterangan mereka diatas kebenaran, tidak takut
kepada siapapun selain Allah ta’ala.
Dikisahkan, bahwa
suatu ketika Hisyam bin ‘Abdul Malik, salah seorang khalifah Umawiyah, tiba ke
Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tatkala telah masuk ke Makkah,
khalifah berkata, “Datangkan kepadaku salah seorang Sahabat!” Dijawab, “Wahai amirul
mu’minin, mereka semua telah tiada.” Khalifah berkata lagi, “Dari
kalangan Tabi’in!?” Maka, didatangkanlah Thawus al-Yamani. Ketika beliau telah
masuk untuk bertatap muka dengan khalifah, beliau melepas sandalnya di tepian
permadani, dan tidak memberi salam dengan menyebut amirul mu’minin
(pemimpin kaum beriman), akan tetapi beliau berkata, “Assalamu ‘alaika,
wahai Hisyam!” Beliau juga tidak menyebut gelarnya dan duduk begitu saja di
depan khalifah, lalu berkata, “Apa kabar, hai Hisyam!”
Maka, mendidihlah
kemurkaan Hisyam, dan nyaris saja ia menyuruh orang untuk membunuh Thawus. Hisyam
berkata kepada Thawus, “Apa yang meyebabkanmu berbuat begitu?!” Beliau balik
bertanya, “Memangnya, apa yang telah aku lakukan?” Maka, Hisyam pun semakin
marah dan mendongkol. “Engkau melepas sandalmu di tepian permadaniku, engkau
tidak mencium tanganku, engkau tidak mengucapkan salam kepadaku dengan menyebut
amirul mu’minin, engkau tidak menyebut gelarku, engkau duduk di depanku
tanpa meminta izin, dan engkau berkata; ‘Apa kabar, hai Hisyam?’”
Thawus menjawab, “Tentang
perkataanmu: ‘Engkau melepas sandalmu di tepian permadaniku’, maka aku melepasnya
di hadapan Tuhan semesta alam setiap hari lima kali, namun Dia tidak
menghukumku dan tidak pula marah kepadaku. Tentang perkataanmu: ‘Engkau tidak
mencium tanganku’, maka aku mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidak boleh
seorang laki-laki mencium tangan seseorang, kecuali istrinya karena syahwat
atau anaknya karena kasih sayang.” Tentang perkataanmu: ‘Engkau tidak
mengucapkan salam kepadaku dengan menyebut amirul mu’minin’, sebenarnya tidak
semua orang ridha dengan kepemimpinanmu, maka aku pun tidak mau berbohong. Tentang
perkataanmu: ‘Engkau tidak menyebut gelarku’, maka sesungguhnya Allah menyebut
langsung nama wali-wali-Nya. Allah berfirman: “Wahai Dawud, wahai Yahya, wahai ‘Isa.”
Namun Allah justru menyebut gelar musuh-musuhnya, maka Dia berfirman: “Celakalah
kedua tangan Abu Lahab.” Tentang perkataanmu: ‘Engkau duduk di depanku’, maka
sungguh aku mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau ingin melihat
salah seorang (calon) penghuni neraka, maka lihatlah seseorang yang duduk dan
di sekitarnya ada sekelompok orang yang berdiri.”
Maka, Hisyam pun
berkata, “Nasehatilah aku.”
Thawus berkata, “Aku
mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata: ‘Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam
terdapat ular-ular (yang bergelung) bagaikan tempayan-tempayan raksasa, juga
kalajengking-kalajengking yang (besarnya) bagaikan bighal
(kuda-keledai). Mereka akan menggigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak
adil memimpin rakyatnya.”
Thawus kemudian
bangkit berdiri, dan keluar.
(*) Diceritakan oleh
al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Ma Rawahul Asathin Fi ‘Adamil Maji’
Ilas Salathin, hal. 62-63. Thawus yang diceritakan disini adalah Thawus bin Kaysan Abu 'Abdirrahman al-Yamani al-Janadi, salah seorang murid Ibnu 'Abbas yang terkemuka. Beliau keturunan Persia, tepatnya dari keturunan pasukan Persia yang dikirim Kishra ke Yaman. Dikenal sebagai tokoh yang sangat menjauhi penguasa di zamannya. Beliau wafat tahun 105 H, atau sekitar itu.