Akibat meremehkan adab (1/2)



Bismillahirrahmanirrahim

Sebagian orang bertanya-tanya, mengapa semakin banyak orang pandai dan lulus pendidikan tinggi, namun kejahatan semakin “semarak” dan bahkan jauh lebih canggih? Dulu, orang hanya mencuri perabotan elektronik atau perhiasan dengan mencongkel jendela dan melobangi dinding, namun sekarang seseorang bisa menggarong jutaan rupiah milik seorang guru di Blitar (Jawa Timur) melalui jaringan ATM dari Montreal (Kanada). Bagaimana bisa? Ya, karena pencurinya sangat menguasai teknologi informasi. Jelas, pelakunya sangat terdidik dan terlatih. Pertanyaannya, mengapa pendidikan yang bertujuan membuat manusia semakin beradab justru memperlebar jalan bagi kejahatan?

Dalam pembukaan kitab Ta’limul Muta’allim, Syekh Zarnuji merasakan kegelisahan yang sama, kemudian menganlisis sumber-sumber masalahnya. Beliau menulis: “...saya melihat sebagian besar pelajar di zaman kita bersungguh-sungguh (mencari) ilmu namun tidak bisa sampai atau terhalang dari manfaat serta buahnya, yaitu beramal dengannya dan menyebarkannya. Sebab, mereka salah menempuh jalannya dan meninggalkan syarat-syaratnya. (Padahal), setiap orang yang salah mengambil jalan pastilah akan tersesat dan tidak bisa sampai ke tujuannya, baik sedikit maupun banyak....”
Dengan keprihatinan senada, Abul Hasan al-Mawardi juga menulis dalam Tashilu an-Nazhr wa Ta’jilu azh-Zhufr fi Akhlaqi al-Malik, Setiap orang yang belajar dari orang lain, selama dia tidak memelihara adab dalam dirinya, maka segala yang telah ia dapatkan darinya akan berhamburan dan ia akan kembali kepada tabiatnya yang semula.” Artinya, tanpa adab, pendidikan akan sia-sia. Apa yang ditanamkan dengan susah payah selama pendidikan, akan terurai dan berhamburan kembali, begitu ia diwisuda dari Almamaternya dan memegang ijazah.
Mari kita buat perumpamaan. Jika Anda ingin membuat makanan tertentu, dan telah menyiapkan seluruh bahan maupun peralatan yang diperlukan, apa lagikah yang harus Anda pastikan agar makanan yang Anda inginkan bisa jadi dengan pas dan lezat? Ya, Anda harus mengikuti resep pembuatannya secara tepat, seperti bagaimana menyiapkan bahan dasarnya, seberapa banyak air, gula atau garam yang ditambahkan, dan lain sebagainya, sampai tahap terakhirnya: digoreng, dikukus, dipanggang, atau dibakar.
Jadi, masalah terbesarnya adalah: sejak semula para pelajar dan mahasiswa itu telah keliru memilih jalan dalam mencari ilmu, tidak mengikuti resep yang dianjurkan, dan tidak memperhatikan syarat-syaratnya. Dalam konsep pendidikan Islam, apa yang disebut jalan, resep dan syarat itu terangkum dalam adab. Apakah adab itu? Menurut Syarif ‘Ali al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat, adab adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menjaga diri dari kesalahan. Maka, orang yang tidak mengenal adab sangat rawan terjerumus dalam kesalahan-kesalahan.
Dewasa ini, kita menyaksikan pendidikan manusia diselenggarakan seperti memproduksi barang-barang industri. Sejumlah lembaga pendidikan berlomba-lomba meraih sertifikat ISO dan menstandarkan pengelolaan administrasinya, tetapi lupa menempa jiwa pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya. Inilah penerapan nyata filsafat materialis dalam dunia pendidikan, yang memandang manusia semata-mata materi, bukan entitas unik yang dipandu oleh ruh dalam setiap aktifitasnya. Maka, ketika fisik para guru/dosen dan pelajar/mahasiswa – dalam kehidupan sosial mereka – sekaligus teriming-imingi oleh iklan-iklan shampoo, krim pemutih, parfum, rokok, pasta gigi, sabun mandi, dan susu, sementara jiwanya kosong, rapuh dan terlantar, maka mereka tumbuh menjadi sosok-sosok yang fisiknya bersih, harum, dan mempesona, namun tidak akan segan untuk menuruti dorongan nafsu syahwatnya secara menyimpang, bahkan dengan cara-cara yang sangat rapi dan canggih. Anda pasti sudah sering mendengar publikasi sejumlah riset sosial, bahwa seolah-olah sudah menjadi kelaziman jika semakin besar sebuah Perguruan Tinggi maka angka pergaulan bebas dan perzinaan di area sekitarnya semakin mencengangkan pula. Terakhir, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) merilis temuannya, bahwa korupsi di Indonesia dewasa ini justru sangat banyak dilakukan oleh para PNS muda, kira-kira selevel Gayus Tambunan, berusia sekitar 28 tahun, dan biasanya baru mencapai Golongan IIIa. PPATK menemukan ribuan rekening mencurigakan milik mereka. Sekitar 50 persen kekayaannya mencurigakan. (Jawa Pos, 6/12/2011).
Oleh karenanya, Islam menggariskan banyak adab kepada pemeluknya, agar mereka terhindar dari kesalahan-kesalahan. Ada adab kepada Allah, seperti mengakui dan bersyukur atas segala nikmat nikmat-Nya. Ketika ini dilanggar, maka pelakunya terjerumus dalam kufur ni’mat. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Qs. Ibrahim: 7).
Ada lagi adab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti mencintai dan menghormatinya. Lalu, ada adab kepada kedua orang tua, guru, ulama’, saudara, karib kerabat, teman sejawat, tetangga, tamu, pemimpin, dan masih banyak lagi. Masing-masing adab memiliki fungsi dan peran tersendiri, dalam rangka menata hati dan membersihkan jiwa. Selanjutnya, bila hati dan jiwa telah siap, maka hidayah Allah akan tumbuh subur di dalamnya, bagaikan tanah yang telah ditata dan dibersihkan, lalu ditaburi benih yang tepat. Ia akan tumbuh menghijau, akarnya kokoh, batangnya teguh, cabangnya rimbun, dan kelak buahnya pun lebat, dengan izin Allah.
Sebaliknya, ketika adab diabaikan, maka cepat atau lambat seseorang akan memanen hasilnya. Tentu saja, bukan panen yang baik. Diriwayatkan dalam kitab Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi, bahwa Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Siapa saja yang meremehkan adab, ia dihukum dengan terhalang dari amalan-amalan sunnah; siapa saja yang meremehkan amalan-amalan sunnah, ia dihukum dengan terhalang dari a malan-amalan fardhu; dan siapa saja yang meremehkan amalan-amalan fardhu, ia dihukum dengan terhaladang dari ma’rifat (mengenal Allah).”
Orang yang tidak mengenal Allah tidak akan takut kepada-Nya. Dan, jika ia tidak takut kepada Allah, maka ia tidak akan segan melakukan aneka kejahatan dan kezhaliman. Semua bisa diterjangnya dengan ringan dan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dalam Minhajul ‘Abidin, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Sesungguhnya ilmu yang bermanfaat itu akan membuahkan rasa takut dan segan kepada Allah. Allah berfirman, “...sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ‘ulama...” (Qs. Fathir: 28). Hal itu dikarenakan siapa saja yang tidak benar-benar mengenal-Nya maka dia tidak akan benar-benar segan kepada-Nya, tidak akan pula mengagungkan serta menghormati-Nya dengan sebenar-benarnya. Dengan ilmulah seseorang akan mengenal, mengagungkan dan merasa segan kepada Allah. Jadi, ilmu itu mewariskan semua ketaatan dan menghalangi dari semua kemaksiatan, dengan taufiq dari Allah ta’ala.”
Imam Ibnu Katsir berkata, sehubungan dengan surah Fathir: 28 diatas, “Maksudnya: yang takut kepada Allah dengan rebenar-benarnya hanyalah para ulama’ yang mengenal-Nya (al-‘ulama’ al-‘arifuuna bihi). Sebab, setiap kali pengenalan terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, yang disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan dan disifati pula dengan al-asma’ul husna; setiap kali pengenalan terhadap-Nya lebih sempurna dan ilmu terhadap diri-Nya lebih lengkap, maka rasa takut terhadap-Nya pun lebih besar dan lebih banyak.”
Anda pasti bisa membayangkan fenomena sebaliknya dalam film-film mafia dan action, dimana puluhan orang dibantai menggunakan senapan mesin dengan tatapan dingin tanpa rasa iba sedikit pun, atau diledakkan dengan bom dan roket berkekuatan besar tanpa keraguan. Bahkan, ada rasa bangga, puas dan berjaya di dalamnya. Disana Anda juga sangat tahu, kejahatan itu dimenej sangat rapi dan tangguh. Tentu, dengan memanfaatkan hasil-hasil pendidikan dan teknologi tinggi, semisal jaringan telekomunikasi, media massa, satelit, intelijen, internet, helikopter, pesawat siluman, kapal induk, senjata kimia, bahkan pengolahan nuklir dan rekayasa genetika! Apakah imajinasi dalam film-film itu tidak memiliki landasan faktanya di dunia nyata? Anda bisa menjawabnya dengan menunjuk Afghanistan, Irak, Uyghur, Palestina, dan lain-lain.
Sekarang, di negeri ini, kejahatan telah tumbuh bagai mafia. Terorganisir sangat rapi, tangguh dan menggurita. Bahkan, tidak lagi sebagai kejahatan tersembunyi, namun telah diakui sebagai fakta. Bukankah pemerintah pun telah membentuk Satgas Mafia Hukum, sebagai misal? Tampaknya, kegelisahan Syekh Zarnuji, ratusan tahun lalu, kini semakin relevan. Jika para pelajar tekun mencari ilmu, namun tidak mengindahkan adab, maka dalam waktu singkat mereka akan terjerumus dalam banyak kesalahan-kesalahan. Atau, setelah lulus, sdmua kebaikan yang diajarkan selama masa pendidikannya akan berubah menjadi kejahatan dan kelicikan. Dan, tentu saja, yang paling membahayakan adalah: jika mereka menjadi semakin pandai, namun tumbuh tanpa mengenal Tuhannya samasekali. Mereka akan berotak sangat encer, namun tidak bermoral. Bayangkanlah apa yang akan dilakukan generasi semacam ini. Jika kepada Tuhan saja tidak takut, apalagi polisi, jaksa, hakim, dan manusia-manusia lain yang – sebagian dari mereka – terbukti bisa disuap dan dibeli dengan sejumlah materi? La haula wa la quwwata illa billah!


[*] M. Alimin Mukhtar, 18 Dzulhijjah 1432 H. Artikel ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan, insya-Allah, dan sekaligus menjawab pertanyaan salah seorang teman di Surabaya: "Mengapa adab harus didahulukan sebelum ilmu?" dan "Mengapa definisi adab tidak dijelaskan dalam blog ini?" Kepadanya, saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Jazakumullah khairan katsiran.