Bismillahirrahmanirrahim
Sebagian orang
bertanya-tanya, mengapa semakin banyak orang pandai dan lulus pendidikan
tinggi, namun kejahatan semakin “semarak” dan bahkan jauh lebih canggih? Dulu,
orang hanya mencuri perabotan elektronik atau perhiasan dengan mencongkel jendela
dan melobangi dinding, namun sekarang seseorang bisa menggarong jutaan rupiah
milik seorang guru di Blitar (Jawa Timur) melalui jaringan ATM dari Montreal
(Kanada). Bagaimana bisa? Ya, karena pencurinya sangat menguasai teknologi
informasi. Jelas, pelakunya sangat terdidik dan terlatih. Pertanyaannya, mengapa pendidikan
yang bertujuan membuat manusia semakin beradab justru memperlebar jalan bagi
kejahatan?
Dalam pembukaan kitab Ta’limul Muta’allim, Syekh Zarnuji merasakan kegelisahan yang sama, kemudian menganlisis sumber-sumber masalahnya. Beliau menulis: “...saya melihat sebagian besar pelajar di zaman kita bersungguh-sungguh (mencari) ilmu namun tidak bisa sampai atau terhalang dari manfaat serta buahnya, yaitu beramal dengannya dan menyebarkannya. Sebab, mereka salah menempuh jalannya dan meninggalkan syarat-syaratnya. (Padahal), setiap orang yang salah mengambil jalan pastilah akan tersesat dan tidak bisa sampai ke tujuannya, baik sedikit maupun banyak....”
Dengan keprihatinan
senada, Abul Hasan al-Mawardi juga menulis dalam Tashilu an-Nazhr wa Ta’jilu azh-Zhufr fi
Akhlaqi al-Malik, “Setiap orang yang belajar dari orang lain, selama dia tidak memelihara adab
dalam dirinya, maka segala yang telah ia dapatkan darinya akan berhamburan dan
ia akan kembali kepada tabiatnya yang semula.” Artinya, tanpa adab, pendidikan akan
sia-sia. Apa yang ditanamkan dengan susah payah selama pendidikan, akan terurai
dan berhamburan kembali, begitu ia diwisuda dari Almamaternya dan memegang
ijazah.
Mari kita buat
perumpamaan. Jika Anda ingin membuat makanan tertentu, dan telah menyiapkan
seluruh bahan maupun peralatan yang diperlukan, apa lagikah yang harus Anda
pastikan agar makanan yang Anda inginkan bisa jadi dengan pas dan lezat? Ya,
Anda harus mengikuti resep pembuatannya secara tepat, seperti bagaimana
menyiapkan bahan dasarnya, seberapa banyak air, gula atau garam yang
ditambahkan, dan lain sebagainya, sampai tahap terakhirnya: digoreng, dikukus,
dipanggang, atau dibakar.
Jadi, masalah
terbesarnya adalah: sejak semula para pelajar dan mahasiswa itu telah keliru
memilih jalan dalam mencari ilmu, tidak mengikuti resep yang dianjurkan, dan
tidak memperhatikan syarat-syaratnya. Dalam konsep pendidikan Islam, apa yang
disebut jalan, resep dan syarat itu terangkum dalam adab. Apakah adab
itu? Menurut Syarif ‘Ali al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat, adab adalah
pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menjaga diri
dari kesalahan. Maka, orang yang tidak mengenal adab sangat rawan terjerumus
dalam kesalahan-kesalahan.
Dewasa ini, kita
menyaksikan pendidikan manusia diselenggarakan seperti memproduksi
barang-barang industri. Sejumlah lembaga pendidikan berlomba-lomba meraih
sertifikat ISO dan menstandarkan pengelolaan administrasinya, tetapi lupa
menempa jiwa pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya. Inilah penerapan nyata
filsafat materialis dalam dunia pendidikan, yang memandang manusia semata-mata
materi, bukan entitas unik yang dipandu oleh ruh dalam setiap aktifitasnya. Maka,
ketika fisik para guru/dosen dan pelajar/mahasiswa – dalam kehidupan sosial
mereka – sekaligus teriming-imingi oleh iklan-iklan shampoo, krim pemutih, parfum,
rokok, pasta gigi, sabun mandi, dan susu, sementara jiwanya kosong, rapuh dan
terlantar, maka mereka tumbuh menjadi sosok-sosok yang fisiknya bersih, harum, dan
mempesona, namun tidak akan segan untuk menuruti dorongan nafsu syahwatnya
secara menyimpang, bahkan dengan cara-cara yang sangat rapi dan canggih. Anda
pasti sudah sering mendengar publikasi sejumlah riset sosial, bahwa seolah-olah
sudah menjadi kelaziman jika semakin besar sebuah Perguruan Tinggi maka angka
pergaulan bebas dan perzinaan di area sekitarnya semakin mencengangkan pula. Terakhir,
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) merilis temuannya, bahwa
korupsi di Indonesia dewasa ini justru sangat banyak dilakukan oleh para PNS muda,
kira-kira selevel Gayus Tambunan, berusia sekitar 28 tahun, dan biasanya baru
mencapai Golongan IIIa. PPATK menemukan ribuan rekening mencurigakan milik
mereka. Sekitar 50 persen kekayaannya mencurigakan. (Jawa Pos,
6/12/2011).
Oleh karenanya, Islam
menggariskan banyak adab kepada pemeluknya, agar mereka terhindar dari
kesalahan-kesalahan. Ada adab kepada Allah, seperti mengakui dan bersyukur atas
segala nikmat nikmat-Nya. Ketika ini dilanggar, maka pelakunya terjerumus dalam
kufur ni’mat. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih." (Qs. Ibrahim: 7).
Ada lagi adab kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti mencintai dan
menghormatinya. Lalu, ada adab kepada kedua orang tua, guru, ulama’, saudara,
karib kerabat, teman sejawat, tetangga, tamu, pemimpin, dan masih banyak lagi.
Masing-masing adab memiliki fungsi dan peran tersendiri, dalam rangka menata
hati dan membersihkan jiwa. Selanjutnya, bila hati dan jiwa telah siap, maka
hidayah Allah akan tumbuh subur di dalamnya, bagaikan tanah yang telah ditata
dan dibersihkan, lalu ditaburi benih yang tepat. Ia akan tumbuh menghijau,
akarnya kokoh, batangnya teguh, cabangnya rimbun, dan kelak buahnya pun lebat,
dengan izin Allah.
Sebaliknya, ketika
adab diabaikan, maka cepat atau lambat seseorang akan memanen hasilnya. Tentu
saja, bukan panen yang baik. Diriwayatkan dalam kitab Ahadits fi Dzammil
Kalam wa Ahlihi, bahwa Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Siapa
saja yang meremehkan adab, ia dihukum dengan terhalang dari amalan-amalan
sunnah; siapa saja yang meremehkan amalan-amalan sunnah, ia dihukum dengan
terhalang dari a malan-amalan fardhu;
dan siapa saja yang meremehkan amalan-amalan fardhu, ia dihukum dengan
terhaladang dari ma’rifat (mengenal Allah).”
Orang yang tidak
mengenal Allah tidak akan takut kepada-Nya. Dan, jika ia tidak takut kepada
Allah, maka ia tidak akan segan melakukan aneka kejahatan dan kezhaliman. Semua
bisa diterjangnya dengan ringan dan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dalam Minhajul
‘Abidin, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Sesungguhnya ilmu
yang bermanfaat itu akan membuahkan rasa takut dan segan kepada Allah. Allah
berfirman, “...sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ‘ulama...” (Qs. Fathir: 28). Hal itu dikarenakan siapa saja yang tidak
benar-benar mengenal-Nya maka dia tidak akan benar-benar segan kepada-Nya,
tidak akan pula mengagungkan serta menghormati-Nya dengan sebenar-benarnya.
Dengan ilmulah seseorang akan mengenal, mengagungkan dan merasa segan kepada
Allah. Jadi, ilmu itu mewariskan semua ketaatan dan menghalangi dari semua
kemaksiatan, dengan taufiq dari Allah ta’ala.”
Imam Ibnu Katsir berkata,
sehubungan dengan surah Fathir: 28 diatas, “Maksudnya: yang takut kepada Allah
dengan rebenar-benarnya hanyalah para ulama’ yang mengenal-Nya (al-‘ulama’
al-‘arifuuna bihi). Sebab, setiap kali pengenalan terhadap Dzat yang Maha
Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, yang disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan
dan disifati pula dengan al-asma’ul husna; setiap kali pengenalan terhadap-Nya
lebih sempurna dan ilmu terhadap diri-Nya lebih lengkap, maka rasa takut
terhadap-Nya pun lebih besar dan lebih banyak.”
Anda pasti bisa
membayangkan fenomena sebaliknya dalam film-film mafia dan action, dimana
puluhan orang dibantai menggunakan senapan mesin dengan tatapan dingin tanpa
rasa iba sedikit pun, atau diledakkan dengan bom dan roket berkekuatan besar tanpa
keraguan. Bahkan, ada rasa bangga, puas dan berjaya di dalamnya. Disana Anda
juga sangat tahu, kejahatan itu dimenej sangat rapi dan tangguh. Tentu, dengan
memanfaatkan hasil-hasil pendidikan dan teknologi tinggi, semisal jaringan telekomunikasi,
media massa, satelit, intelijen, internet, helikopter, pesawat siluman, kapal
induk, senjata kimia, bahkan pengolahan nuklir dan rekayasa genetika! Apakah imajinasi
dalam film-film itu tidak memiliki landasan faktanya di dunia nyata? Anda bisa
menjawabnya dengan menunjuk Afghanistan, Irak, Uyghur, Palestina, dan lain-lain.
Sekarang, di negeri
ini, kejahatan telah tumbuh bagai mafia. Terorganisir sangat rapi, tangguh dan
menggurita. Bahkan, tidak lagi sebagai kejahatan tersembunyi, namun telah
diakui sebagai fakta. Bukankah pemerintah pun telah membentuk Satgas Mafia Hukum,
sebagai misal? Tampaknya, kegelisahan Syekh Zarnuji, ratusan tahun lalu, kini
semakin relevan. Jika para pelajar tekun mencari ilmu, namun tidak mengindahkan
adab, maka dalam waktu singkat mereka akan terjerumus dalam banyak
kesalahan-kesalahan. Atau, setelah lulus, sdmua kebaikan yang diajarkan selama
masa pendidikannya akan berubah menjadi kejahatan dan kelicikan. Dan, tentu
saja, yang paling membahayakan adalah: jika mereka menjadi semakin pandai,
namun tumbuh tanpa mengenal Tuhannya samasekali. Mereka akan berotak sangat
encer, namun tidak bermoral. Bayangkanlah apa yang akan dilakukan generasi
semacam ini. Jika kepada Tuhan saja tidak takut, apalagi polisi, jaksa, hakim,
dan manusia-manusia lain yang – sebagian dari mereka – terbukti bisa disuap dan
dibeli dengan sejumlah materi? La haula wa la quwwata illa billah!
[*] M. Alimin Mukhtar, 18 Dzulhijjah 1432 H. Artikel ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan, insya-Allah, dan sekaligus menjawab pertanyaan salah seorang teman di Surabaya: "Mengapa adab harus didahulukan sebelum ilmu?" dan "Mengapa definisi adab tidak dijelaskan dalam blog ini?" Kepadanya, saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Jazakumullah khairan katsiran.