Agar jelas seperti apa jalan orang fasik itu! -- Kajian Qs. al-An'am: 50-55




ﭑ ﭒ ﭓ



قُلْ لاَ أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ (50)
Artinya, “Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
Maksudnya, orang kafir menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah hanya agar mereka mau menyembah beliau sebagai tuhan, seperti yang mereka lihat di kalangan Nasrani – walau Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sendiri tidak ada hubungannya dengan kesesatan itu. Maka, Allah memerintahkan beliau untuk menyatakan bahwa beliau: (1) tidak memegang kunci perbendaharaan rizki dan rahmat Allah, (2) beliau juga tidak tahu tentang hal-hal ghaib. Semua itu ada di tangan Allah. Jika Allah berkehendak membukanya untuk manusia, maka tidak ada yang sanggup menahannya. Sebaliknya, jika Dia berkehendak menahan, maka tidak akan ada yang bisa melepaskannya. Hanya Dia yang mengerti segala yang ghaib. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, kecuali sebagian para rasul yang diberi kesempatan oleh Allah untuk menyaksikannya.
Sebagian Sahabat ada yang membaca ayat (إِنِّى مَلَكٌ  ) dengan (إِنِّى مَلِكٌ  ), yakni lam-nya dibaca kasrah, sehingga artinya adalah “bahwa aku seorang raja”. Memang benar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan seorang raja yang layak hidup bermewah-mewah. Beliau adalah Nabi dan seorang hamba Allah seperti umatnya.
Yang dimaksud “orang yang buta” adalah orang kafir atau sesat; dan “orang yang melihat” adalah orang mukmin atau mendapat petunjuk ke jalan yang lurus.
Ayat diatas turun dilatarbelakangi oleh ejekan sekelompok orang kafir terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, “Hai Muhammad, mengapa Allah tidak menurunkan untukmu kekayaan dari langit sehingga engkau hidup sejahtera, sebab engkau ini miskin dan membutuhkannya? Atau, mengapa engkau tidak punya kebun yang luas sehingga bisa makan dari hasilnya, sebab engkau ini sering kelaparan?” Lalu, turunlah ayat ini sebagai jawaban. Pada dasarnya, bukan kemiskinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menghalangi mereka masuk Islam, namun kesombongan di dalam hati mereka. Itu semua hanya alasan yang dibuat-buat saja.

وَأَنْذِرْ بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَى رَبِّهِمْ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ دُونِهِ وَلِيٌّ وَلاَ شَفِيعٌ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (51)
Artinya, “Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.”
Maksudnya, Al-Qur’an merupakan peringatan bagi orang-orang mukmin dan kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) tentang kebenaran hari kebangkitan, saat manusia dikumpulkan dan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbutannya. Walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus untuk seluruh umat manusia, namun pada dasarnya peringatan Al-Qur’an hanya akan bermanfaat bagi mereka yang mempercayainya, dan juga mengimani hari akhir. Adapun orang-orang kafir, maka mereka sama saja apakah diingatkan atau tidak, tetap saja menolaknya.

وَلاَ تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ (52)  
Artinya, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadapmu, yang menyebabkan kalu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim”.
Maksudnya, ayat ini merekam keengganan orang-orang kafir (terutama kaum pemimpin dan orang kaya) untuk duduk sama rata dengan orang-orang miskin dan budak. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk bersama Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Mas’ud, Shuhaib, ‘Ammar, al-Miqdad dan Bilal, radhiyallahu ‘anhum, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau. Orang-orang mukmin tadi dianggap rendah dan miskin oleh kaum Quraisy, sehingga mereka enggan duduk bersama di dekat beliau. Mereka mengusulkan supaya orang-orang mukmin itu diusir saja, lalu turunlah ayat ini. Ada banyak riwayat lain yang isinya senada dengan hal ini.
Yang dimaksud dengan “menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari” adalah: (1) mengerjakan shalat wajib, (2) berdzikir, (3) beribadah kepada Allah, (4) mengkaji Al-Qur’an di pagi dan petang hari, atau (5) menyeru Allah dengan disertai tauhid, keikhlasan dan penuh pengabdian kepada-Nya. Semua makna ini saling melengkapi dan tidak jauh dari konteks ayatnya.
Yang dimaksud “Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun...” adalah: (1) amal perbuatan, (2) rezeki, (3) mencukupi kebutuhan hidup. Seakan-akan dikatakan disini, “Kamu – hai Muhammad – tidak memikul tanggung jawab atas amal perbuatan, rezeki dan kebutuhan hidup mereka; dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab atas amal perbuatan, rezeki dan kebutuhan hidupmu; sehingga engkau sebenarnya tidak berhak mengusir mereka dari sisimu. Kalau kamu mengusir mereka, maka kamu termasuk orang-orang yang zhalim. Sebab, pada dasarnya semua perbuatan ditanggung masing-masing akibatnya, dan rezeki maupun kebutuhan hidup ada di bawah jaminan Allah sendiri.”

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (53)
Artinya, “Dan demikianlah telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentanf orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?"
Maksudnya, manusia akan diuji oleh Allah satu sama lain dengan menjadikan kondisi mereka tidak sama. Orang kaya akan diuji oleh orang fakir, dan yang fakir diuji oleh yang kaya. Namun, semua itu tidak ada hubungannya dengan kemurkaan maupun keridhaan Allah. Sebagian orang salah mengira bahwa kekayaan adalah pertanda keridhaan Allah, dan kemiskinan adalah bentuk nyata kemurkaan-Nya. Ini adalah pandangan kaum materialis yang salah besar. Sebab, semua itu adalah ujian dan cobaan dari-Nya, untuk dilihat siapa yang bersyukur atau kufur; siapa pula yang sabar atau berputus asa. Ayat ini merekam ketertipuan sebagian orang kaya yang merasa terhina ketika melihat orang-orang miskin dianggap lebih mulia karena mendapat hidayah lebih dahulu dari Allah. Mereka menilai secara keliru, bahwa jika hidayah itu karunia Allah seharusnya merekalah yang pertamakali mendapatkannya. Padahal, semua itu adalah karunia Allah dan semata-mata atas kehendak-Nya, bukan karena miskin atau kaya. Jika Allah melihat seseorang kaya itu bersyukur dan seorang fakir itu bersabar, maka hidayah akan diberikan sebagai balasan atas amalnya itu. Jadi, hidayah adalah karunia yang harus dicari dan didahului oleh sebab-sebab tertentu, tidak serta-merta datang tanpa alasan sebelumnya.

وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (54)
Artinya, “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Maksudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang beriman yang datang kepada beliau. Ini adalah ajaran sikap rendah hati yang luar biasa, dimana seorang Nabi dan pemimpin mendahului umatnya mengucapkan salam penghormatan. Sebab, yang dinilai adalah kemuliaan iman dalam diri orang tersebut, bukan karenan dirinya sendiri. Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah beliau diperintahkan untuk menyampaikan salam dari Allah kepada kaum beriman. Ucapan “salam” maksudnya adalah doa keselamatan bagi seseorang agar terhindar dari aneka rupa bencana dan kecelakaan.
Yang dimaksud dengan “berbuat kejahatan” adalah amal syirik, atau kemaksiatan lain pada umumnya. Dalam bahasa Arab, “kejahatan” disini disebut dengan as-suu’ (keburukan), yakni segala sesuatu yang buruk akibatnya.
Yang dimaksud dengan “kejahilan” adalah: (1) berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; (2) durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak, sebab semua orang yang bermaksiat itu adalah jahil, yakni tidak bisa memilah antara baik dan buruk; (3) orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu.
Ayat ini turun berkenaan dengan ayat sebelumnya. Sebagaimana telah disebutkan, sebagian kaum kafir meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengusir orang-orang miskin dan budak dari dekat beliau, sehingga orang-orang kaya dan terhormat tersebut tidak segan lagi duduk bersama beliau. Atau menurut riwayat lain, mereka meminta agar beliau menyuruh orang-orang miskin tersebut shalat di shof paling belakang, sehingga kaum kaya bisa shalat di depan. Saat itu, beliau sempat menyetujui permintaan tersebut, sebelum akhirnya ditegur oleh Allah dengan turunnya ayat ke-52 diatas. Menurut riwayat lain, yang menyetujui usulan kaum kafir itu adalah Umar bin Khattab, karena beliau ingin melihat apa sebenarnya yang akan dilakukan orang-orang kafir itu jika saja permintaan mereka dituruti. Apakah mereka sungguh-sungguh mau beriman atau hanya alasan saja? Namun, Allah melarang hal itu. Setelah ayat ke-52 diatas turun, dimana Allah melarang mengusir orang-orang miskin dan budak tersebut, Umar pun datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta maaf serta memohon ampun kepada Allah atas saran yang pernah diajukannya. Sebagai jawaban, Allah kemudian menurunkan ayat ke-54 ini, yang di dalamnya menegaskan bahwa siapa saja yang berbuat salah tanpa sengaja, atau karena tidak tahu, atau karena dipengaruhi nafsu, lalu ia bertaubat dan memperbaiki kesalahannya itu, maka Allah telah menetapkan ampunan dan rahmat-Nya bagi orang tersebut.

وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ (55)
Artinya, “Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Quran, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh), dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”
Maksudnya, Al-Qur’an diturunkan sebagai pembeda antara haq dan bathil. Dengan hujjah (bukti, argumen) yang ada di dalamnya maka kebenaran dan kebatilan dapat dipilah secara tegas. “Jalan orang-orang berdosa” disini adalah kemusyrikan yang akan bdrakhir dengan kehinaan dan neraka; atau keinginan mereka untuk mengusir orang-orang miskin dari jalan Allah. Memang sudah menjadi tabiat mereka untuk mendiskriminasi manusia atas dasar kekayaan dan jabatannya, tanpa memperdulikan iman dan ketaqwaan. Itulah karakter utama jiwa orang kafir yang hanya mempercayai dunia ini, serta menolak akhirat.
Sebenarnya, kaum kafir yang kaya enggan duduk bersama kaum miskin yang beriman hanya karena rasa iri dan dengki, bukan karena benar-benar ikhlas ingin mengikuti ajaran Allah. Sudah menjadi ketentuan dan rencana Allah untuk membuka dan menunjukkan isi hati mereka dengan keengganan tersebut, agar kita dapat memahami siapa sebenarnya mereka. Sesungguhnya hati adalah rahasia, namun jika Allah menghendaki untuk membuka, selalu ada jalan untuk-Nya. Saat itu, manusia tidak bisa lagi menutup-nutupi, dan akhirnya kebenaran maupun kebatilan dapat kita kenali secara nyata, dan siapa saja yang mengikutinya pun dapat dipilah dengan tegas.
Wallahu a’lam.

[*] Kamis, 24 Dzulqa’dah, dan 02 Dzulhijjah 1430 H. Naskah ini didasarkan pada Tafsir Zadul Masir karya al-Hafizh Ibnul Jauzi, semoga Allah mengasihinya, dengan tambahan dari sumber lain.