ﭑ ﭒ ﭓ
قُلْ
لاَ أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُولُ
لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ (50)
Artinya, “Katakanlah: aku tidak mengatakan
kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku
mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka
apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
Maksudnya, orang kafir menuduh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berdakwah hanya agar mereka mau menyembah beliau sebagai
tuhan, seperti yang mereka lihat di kalangan Nasrani – walau Nabi ‘Isa ‘alaihis
salam sendiri tidak ada hubungannya dengan kesesatan itu. Maka, Allah
memerintahkan beliau untuk menyatakan bahwa beliau: (1) tidak memegang kunci
perbendaharaan rizki dan rahmat Allah, (2) beliau juga tidak tahu tentang
hal-hal ghaib. Semua itu ada di tangan Allah. Jika Allah berkehendak membukanya
untuk manusia, maka tidak ada yang sanggup menahannya. Sebaliknya, jika Dia
berkehendak menahan, maka tidak akan ada yang bisa melepaskannya. Hanya Dia
yang mengerti segala yang ghaib. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya,
kecuali sebagian para rasul yang diberi kesempatan oleh Allah untuk
menyaksikannya.
Sebagian Sahabat ada yang membaca ayat (إِنِّى
مَلَكٌ )
dengan (إِنِّى مَلِكٌ ), yakni lam-nya dibaca kasrah,
sehingga artinya adalah “bahwa aku seorang raja”. Memang benar, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bukan seorang raja yang layak hidup bermewah-mewah. Beliau
adalah Nabi dan seorang hamba Allah seperti umatnya.
Yang dimaksud “orang yang buta”
adalah orang kafir atau sesat; dan “orang yang melihat” adalah orang
mukmin atau mendapat petunjuk ke jalan yang lurus.
Ayat diatas turun dilatarbelakangi oleh
ejekan sekelompok orang kafir terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Mereka berkata, “Hai Muhammad, mengapa Allah tidak menurunkan
untukmu kekayaan dari langit sehingga engkau hidup sejahtera, sebab engkau ini
miskin dan membutuhkannya? Atau, mengapa engkau tidak punya kebun yang luas
sehingga bisa makan dari hasilnya, sebab engkau ini sering kelaparan?” Lalu,
turunlah ayat ini sebagai jawaban. Pada dasarnya, bukan kemiskinan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang menghalangi mereka masuk Islam, namun kesombongan di
dalam hati mereka. Itu semua hanya alasan yang dibuat-buat saja.
وَأَنْذِرْ
بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَى رَبِّهِمْ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ دُونِهِ
وَلِيٌّ وَلاَ شَفِيعٌ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (51)
Artinya, “Dan berilah peringatan dengan apa
yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada
Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan
pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.”
Maksudnya, Al-Qur’an merupakan peringatan bagi
orang-orang mukmin dan kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) tentang
kebenaran hari kebangkitan, saat manusia dikumpulkan dan dimintai pertanggungjawaban
atas amal perbutannya. Walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
diutus untuk seluruh umat manusia, namun pada dasarnya peringatan Al-Qur’an
hanya akan bermanfaat bagi mereka yang mempercayainya, dan juga mengimani hari
akhir. Adapun orang-orang kafir, maka mereka sama saja apakah diingatkan atau
tidak, tetap saja menolaknya.
وَلاَ
تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ
فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ (52)
Artinya, “Dan janganlah kamu mengusir
orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, sedang mereka
menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun
terhadap mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadapmu,
yang menyebabkan kalu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim”.
Maksudnya, ayat ini merekam keengganan orang-orang
kafir (terutama kaum pemimpin dan orang kaya) untuk duduk sama rata dengan orang-orang
miskin dan budak. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang
duduk-duduk bersama Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Mas’ud, Shuhaib, ‘Ammar,
al-Miqdad dan Bilal, radhiyallahu ‘anhum, datanglah beberapa pemuka
Quraisy hendak berbicara dengan beliau. Orang-orang mukmin tadi dianggap rendah
dan miskin oleh kaum Quraisy, sehingga mereka enggan duduk bersama di dekat
beliau. Mereka mengusulkan supaya orang-orang mukmin itu diusir saja, lalu
turunlah ayat ini. Ada banyak riwayat lain yang isinya senada dengan hal ini.
Yang dimaksud dengan “menyeru
Rabb-nya di pagi dan petang hari” adalah: (1) mengerjakan shalat wajib, (2)
berdzikir, (3) beribadah kepada Allah, (4) mengkaji Al-Qur’an di pagi dan
petang hari, atau (5) menyeru Allah dengan disertai tauhid, keikhlasan dan
penuh pengabdian kepada-Nya. Semua makna ini saling melengkapi dan tidak jauh
dari konteks ayatnya.
Yang dimaksud “Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun...” adalah: (1) amal perbuatan, (2) rezeki, (3)
mencukupi kebutuhan hidup. Seakan-akan dikatakan disini, “Kamu – hai Muhammad
– tidak memikul tanggung jawab atas amal perbuatan, rezeki dan kebutuhan hidup
mereka; dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab atas amal perbuatan, rezeki
dan kebutuhan hidupmu; sehingga engkau sebenarnya tidak berhak mengusir mereka
dari sisimu. Kalau kamu mengusir mereka, maka kamu termasuk orang-orang yang
zhalim. Sebab, pada dasarnya semua perbuatan ditanggung masing-masing
akibatnya, dan rezeki maupun kebutuhan hidup ada di bawah jaminan Allah
sendiri.”
وَكَذَلِكَ
فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ
بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (53)
Artinya, “Dan demikianlah telah kami uji
sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang
miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam
inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah
berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentanf orang-orang yang
bersyukur (kepadaNya)?"
Maksudnya, manusia akan diuji oleh Allah satu sama
lain dengan menjadikan kondisi mereka tidak sama. Orang kaya akan diuji oleh
orang fakir, dan yang fakir diuji oleh yang kaya. Namun, semua itu tidak ada
hubungannya dengan kemurkaan maupun keridhaan Allah. Sebagian orang salah
mengira bahwa kekayaan adalah pertanda keridhaan Allah, dan kemiskinan adalah
bentuk nyata kemurkaan-Nya. Ini adalah pandangan kaum materialis yang salah
besar. Sebab, semua itu adalah ujian dan cobaan dari-Nya, untuk dilihat siapa
yang bersyukur atau kufur; siapa pula yang sabar atau berputus asa. Ayat ini
merekam ketertipuan sebagian orang kaya yang merasa terhina ketika melihat
orang-orang miskin dianggap lebih mulia karena mendapat hidayah lebih dahulu
dari Allah. Mereka menilai secara keliru, bahwa jika hidayah itu karunia Allah
seharusnya merekalah yang pertamakali mendapatkannya. Padahal, semua itu adalah
karunia Allah dan semata-mata atas kehendak-Nya, bukan karena miskin atau kaya.
Jika Allah melihat seseorang kaya itu bersyukur dan seorang fakir itu bersabar,
maka hidayah akan diberikan sebagai balasan atas amalnya itu. Jadi, hidayah
adalah karunia yang harus dicari dan didahului oleh sebab-sebab tertentu, tidak
serta-merta datang tanpa alasan sebelumnya.
وَإِذَا
جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ
عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ
تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (54)
Artinya, “Apabila orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun
alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu)
bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran
kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan
perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Maksudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam diperintahkan untuk mendahului mengucapkan salam kepada
orang-orang beriman yang datang kepada beliau. Ini adalah ajaran sikap rendah
hati yang luar biasa, dimana seorang Nabi dan pemimpin mendahului umatnya
mengucapkan salam penghormatan. Sebab, yang dinilai adalah kemuliaan iman dalam
diri orang tersebut, bukan karenan dirinya sendiri. Ada yang mengatakan bahwa
maksudnya adalah beliau diperintahkan untuk menyampaikan salam dari Allah
kepada kaum beriman. Ucapan “salam” maksudnya adalah doa keselamatan
bagi seseorang agar terhindar dari aneka rupa bencana dan kecelakaan.
Yang dimaksud dengan “berbuat
kejahatan” adalah amal syirik, atau kemaksiatan lain pada umumnya. Dalam
bahasa Arab, “kejahatan” disini disebut dengan as-suu’ (keburukan),
yakni segala sesuatu yang buruk akibatnya.
Yang dimaksud dengan “kejahilan” adalah:
(1) berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat
kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; (2) durhaka kepada Allah baik dengan sengaja
atau tidak, sebab semua orang yang bermaksiat itu adalah jahil, yakni
tidak bisa memilah antara baik dan buruk; (3) orang yang melakukan kejahatan karena
kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu.
Ayat ini turun berkenaan dengan ayat
sebelumnya. Sebagaimana telah disebutkan, sebagian kaum kafir meminta Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam agar mengusir orang-orang miskin dan budak dari dekat
beliau, sehingga orang-orang kaya dan terhormat tersebut tidak segan lagi duduk
bersama beliau. Atau menurut riwayat lain, mereka meminta agar beliau menyuruh orang-orang
miskin tersebut shalat di shof paling belakang, sehingga kaum kaya bisa shalat
di depan. Saat itu, beliau sempat menyetujui permintaan tersebut, sebelum
akhirnya ditegur oleh Allah dengan turunnya ayat ke-52 diatas. Menurut riwayat
lain, yang menyetujui usulan kaum kafir itu adalah Umar bin Khattab, karena
beliau ingin melihat apa sebenarnya yang akan dilakukan orang-orang kafir itu
jika saja permintaan mereka dituruti. Apakah mereka sungguh-sungguh mau beriman
atau hanya alasan saja? Namun, Allah melarang hal itu. Setelah ayat ke-52
diatas turun, dimana Allah melarang mengusir orang-orang miskin dan budak
tersebut, Umar pun datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta
maaf serta memohon ampun kepada Allah atas saran yang pernah diajukannya. Sebagai
jawaban, Allah kemudian menurunkan ayat ke-54 ini, yang di dalamnya menegaskan
bahwa siapa saja yang berbuat salah tanpa sengaja, atau karena tidak tahu, atau
karena dipengaruhi nafsu, lalu ia bertaubat dan memperbaiki kesalahannya itu,
maka Allah telah menetapkan ampunan dan rahmat-Nya bagi orang tersebut.
وَكَذَلِكَ
نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ (55)
Artinya,
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Quran, (supaya jelas jalan
orang-orang yang saleh), dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang
berdosa.”
Maksudnya, Al-Qur’an diturunkan sebagai pembeda
antara haq dan bathil. Dengan hujjah (bukti, argumen) yang ada di
dalamnya maka kebenaran dan kebatilan dapat dipilah secara tegas. “Jalan
orang-orang berdosa” disini adalah kemusyrikan yang akan bdrakhir dengan
kehinaan dan neraka; atau keinginan mereka untuk mengusir orang-orang miskin
dari jalan Allah. Memang sudah menjadi tabiat mereka untuk mendiskriminasi
manusia atas dasar kekayaan dan jabatannya, tanpa memperdulikan iman dan
ketaqwaan. Itulah karakter utama jiwa orang kafir yang hanya mempercayai dunia
ini, serta menolak akhirat.
Sebenarnya, kaum kafir yang kaya enggan
duduk bersama kaum miskin yang beriman hanya karena rasa iri dan dengki, bukan
karena benar-benar ikhlas ingin mengikuti ajaran Allah. Sudah menjadi ketentuan
dan rencana Allah untuk membuka dan menunjukkan isi hati mereka dengan
keengganan tersebut, agar kita dapat memahami siapa sebenarnya mereka.
Sesungguhnya hati adalah rahasia, namun jika Allah menghendaki untuk membuka,
selalu ada jalan untuk-Nya. Saat itu, manusia tidak bisa lagi menutup-nutupi,
dan akhirnya kebenaran maupun kebatilan dapat kita kenali secara nyata, dan siapa
saja yang mengikutinya pun dapat dipilah dengan tegas.
Wallahu a’lam.
[*] Kamis,
24 Dzulqa’dah, dan 02 Dzulhijjah 1430 H. Naskah ini didasarkan pada Tafsir Zadul Masir karya al-Hafizh Ibnul Jauzi, semoga Allah mengasihinya, dengan tambahan dari sumber lain.