بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ
أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَخَذَ اللَّهُ سَمْعَكُمْ وَأَبْصَارَكُمْ وَخَتَمَ عَلَى قُلُوبِكُمْ
مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِهِ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ ثُمَّ
هُمْ يَصْدِفُونَ (46)
Artinya, “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku
jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah
Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?" Perhatikanlah
bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian
mereka tetap berpaling (juga).”
Maksudnya, Allah sangat mampu untuk membuat
manusia kehilangan pendengaran dan penglihatannya sehingga tidak bisa memahami
apapun yang ada di sekelilingnya. Dia juga berkuasa untuk menyegel hati manusia
sehingga tidak dapat lagi memilah antara haq dan batil, baik dan buruk, yang
membuatnya bertindak tanpa kendali dan menjadi sesat. Saat itu, adakah yang
sanggup mengembalikannya utuh kembali selain Allah? Jika tidak ada, lalu
mengapa manusia masih saja berkeras hati menyekutukan-Nya dan tidak mau beriman
dengan benar? Renungkanlah, bahwa Allah telah menjelaskan segenap tanda
kekuasaan-Nya dengan berbagai cara dan bentuk, namun kebanyakan manusia tidak
juga memperhatikannya. Ada tanda-tanda dalam diri manusia sendiri, di alam
raya, dan juga dalam sejarah umat-umat terdahulu. Maka sebenarnya, yang paling
berhak ditaati dan disembah adalah Dzat yang mampu menimpakan bahaya maupun
manfaat, sanggup mewujudkan apa yang Dia kehendaki tanpa ada yang bisa
menghalangi, bukan selain-Nya yang lemah dan tidak berdaya. Ayat ini menegaskan
kewajiban manusia untuk memurnikan tauhidnya hanya kepada Allah semata.
قُلْ
أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ
إِلاَّ الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ (47)
Artinya, “Katakanlah: "Terangkanlah
kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, atau
terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang
zalim?”
Maksudnya, adzab Allah hanya turun kepada kaum yang
zhalim, yakni yang meletakkan segala sesuatu tidak pada tempat semestinya.
Mereka memberi sesuatu kepada yang tidak berhak, atau mengambil sesuatu yang
bukan haknya. Mereka juga menahan hak yang seharusnya diterima seseorang dan
bahkan menggelapkannya.
Adzab adakalanya datang mendadak tanpa
bisa diduga, namun adakalanya pula datang dengan didahului tanda-tandanya. Manusia
sering menyangka bahwa mereka mampu bertahan dari segenap bencana dengan
ketangguhan sumberdaya, teknologi dan pengetahuannya, dan beranggapan bahwa
semua karena gejala alam. Mereka lupa bahwa alam ini tunduk kepada Allah,
sehingga segala bencana maupun keberkahan yang muncul darinya pada hakikatnya
adalah atas kehendak dan perintah-Nya semata. Tidak ada tetesan air hujan, hembusan
angin, cahaya matahari, aliran sungai, gelombang samudra, pergerakan bumi, perputaran
benda langit, bahkan tidak ada selembar daun pun yang jatuh melainkan atas
ketentuan dan perintah-Nya. Alam raya adalah hamba-Nya juga seperti manusia. Jika
ia menimpakan badai, banjir, tsunami, gempa bumi, atau lemparan meteor atas
umat manusia, maka semua itu bukan datang dari kemauan alam sendiri. Itu adalah kemauan dan perintah
Allah semata, Pencipta dan Penguasa alam semesta, sebagai peringatan kepada manusia. Alam
ini ditundukkan oleh Allah untuk manusia, termasuk akan digunakan-Nya untuk
mengingatkan mereka jika lalai. Sebab, alam senantiasa tunduk dan mereka tidak
menerima pahala maupun siksa. Manusialah yang kadang ingat dan kadang lupa,
sehingga harus diteguhkan. Mereka juga kelak dimintai pertanggungjawaban,
sehingga harus sering-sering diingatkan akan tugasnya.
وَمَا
نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلاَّ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ
فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (48)
Artinya, “Dan tidaklah kami mengutus para
Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa
yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Maksudnya, inti tugas para rasul adalah memperbaiki
kerusakan manusia dengan menegur mereka agar kembali ke jalan yang lurus. Setelah
zaman para rasul berakhir, tugas itu dipikul para ulama’ yang jujur dan istiqamah
di jalan-Nya. Mereka memberi kabar gembira kepada kaum yang taat dengan
kebahagiaan serta keberkahan di dunia dan akhirat. Mereka juga memperingatkan
kepada orang-orang yang zhalim bahwa adzab dan murka Allah sudah menunggu, di
dunia dan akhirat. Siapapun yang melakukan ishlah (perbaikan) pasti
dijamin masa depannya di akhirat oleh Allah, dan seringkali sebagian dari
nikmat yang Allah janjikan itu sudah diberikan-Nya kontan dan disegerakan di dunia ini, sehingga mereka tidak
pernah merasa cemas dan khawatir. Mereka pun tidak akan gampang bersedih atas
segala yang menimpa mereka dalam kehidupan dunia, sebab segala sesuatunya telah
diikhlaskan untuk Allah dan mereka selalu berbuat kebaikan sesuai yang
diperintahkan-Nya.
Yang dimaksud “mengadakan perbaikan (ishlah)”
adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan
akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Sebab, setiap
tindakan manusia pasti mengandung konsekuensi (akibat) tertentu, entah dekat
atau jauh. Orang beriman cenderung untuk selalu waspada, dimana setiap kali
melihat atau melakukan kesal`han mereka akan bersegera memperbaikinya, dengan istighfar
dan taubat, sehingga kehidupan mereka kembali aman karena terjauh dari
akibat buruk perbuatannya sendiri. Sebaliknya orang-orang kafir, mereka selalu
dalam keadaan lalai, sehingga tidak menyadari akibat buruk dari
tindakan-tindakan mereka. Kelak, tiba-tiba saja segenap akibat itu menumpuk
menjadi satu dan menimpa mereka tanpa tertahankan lagi, sehingga mereka akan
terdiam berputus asa.
وَالَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا يَمَسُّهُمُ الْعَذَابُ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (49)
Artinya, “Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat
fasik.”
Maksudnya, kefasikan pasti berbuah siksa dan murka
Allah. Ini sudah alamiah sifatnya. Allah tidak pernah menzhalimi hamba-Nya,
namun mereka sendiri yang menzhalimi dirinya. Apa yang menimpa pada dasarnya
adalah buah perbuatan mereka sendiri. Fasiq artinya berbuat kesalahan
serta dosa secara sengaja, yakni setelah mengerti adanya larangan dan
peringatan Allah dalam hal itu, karena hatinya dipenuhi pengingkaran dan
permusuhan; bukan karena lupa dan khilaf. Dalam Al-Qur’an, setiap kefasikan
selalu berdekatan dengan penolakan dan permusuhan kepada hukum Allah.
Wallahu a’lam.
[*] Kamis,
17 Dzulqa’dah 1430 H. Didasarkan pada Tafsir Zadul Masir, dengan tambahan sumber-sumber lain.