Adakah yang dibinasakan selain orang zhalim? -- Kajian Qs. al-An'am: 46-49



بسم الله الرحمن الرحيم

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَخَذَ اللَّهُ سَمْعَكُمْ وَأَبْصَارَكُمْ وَخَتَمَ عَلَى قُلُوبِكُمْ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِهِ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ ثُمَّ هُمْ يَصْدِفُونَ (46)
Artinya, “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?" Perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).”
Maksudnya, Allah sangat mampu untuk membuat manusia kehilangan pendengaran dan penglihatannya sehingga tidak bisa memahami apapun yang ada di sekelilingnya. Dia juga berkuasa untuk menyegel hati manusia sehingga tidak dapat lagi memilah antara haq dan batil, baik dan buruk, yang membuatnya bertindak tanpa kendali dan menjadi sesat. Saat itu, adakah yang sanggup mengembalikannya utuh kembali selain Allah? Jika tidak ada, lalu mengapa manusia masih saja berkeras hati menyekutukan-Nya dan tidak mau beriman dengan benar? Renungkanlah, bahwa Allah telah menjelaskan segenap tanda kekuasaan-Nya dengan berbagai cara dan bentuk, namun kebanyakan manusia tidak juga memperhatikannya. Ada tanda-tanda dalam diri manusia sendiri, di alam raya, dan juga dalam sejarah umat-umat terdahulu. Maka sebenarnya, yang paling berhak ditaati dan disembah adalah Dzat yang mampu menimpakan bahaya maupun manfaat, sanggup mewujudkan apa yang Dia kehendaki tanpa ada yang bisa menghalangi, bukan selain-Nya yang lemah dan tidak berdaya. Ayat ini menegaskan kewajiban manusia untuk memurnikan tauhidnya hanya kepada Allah semata.

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلاَّ الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ (47)
Artinya, “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang zalim?”
Maksudnya, adzab Allah hanya turun kepada kaum yang zhalim, yakni yang meletakkan segala sesuatu tidak pada tempat semestinya. Mereka memberi sesuatu kepada yang tidak berhak, atau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Mereka juga menahan hak yang seharusnya diterima seseorang dan bahkan menggelapkannya.
Adzab adakalanya datang mendadak tanpa bisa diduga, namun adakalanya pula datang dengan didahului tanda-tandanya. Manusia sering menyangka bahwa mereka mampu bertahan dari segenap bencana dengan ketangguhan sumberdaya, teknologi dan pengetahuannya, dan beranggapan bahwa semua karena gejala alam. Mereka lupa bahwa alam ini tunduk kepada Allah, sehingga segala bencana maupun keberkahan yang muncul darinya pada hakikatnya adalah atas kehendak dan perintah-Nya semata. Tidak ada tetesan air hujan, hembusan angin, cahaya matahari, aliran sungai, gelombang samudra, pergerakan bumi, perputaran benda langit, bahkan tidak ada selembar daun pun yang jatuh melainkan atas ketentuan dan perintah-Nya. Alam raya adalah hamba-Nya juga seperti manusia. Jika ia menimpakan badai, banjir, tsunami, gempa bumi, atau lemparan meteor atas umat manusia, maka semua itu bukan datang dari kemauan alam sendiri. Itu adalah kemauan dan perintah Allah semata, Pencipta dan Penguasa alam semesta, sebagai peringatan kepada manusia. Alam ini ditundukkan oleh Allah untuk manusia, termasuk akan digunakan-Nya untuk mengingatkan mereka jika lalai. Sebab, alam senantiasa tunduk dan mereka tidak menerima pahala maupun siksa. Manusialah yang kadang ingat dan kadang lupa, sehingga harus diteguhkan. Mereka juga kelak dimintai pertanggungjawaban, sehingga harus sering-sering diingatkan akan tugasnya.

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلاَّ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (48)  
Artinya, “Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Maksudnya, inti tugas para rasul adalah memperbaiki kerusakan manusia dengan menegur mereka agar kembali ke jalan yang lurus. Setelah zaman para rasul berakhir, tugas itu dipikul para ulama’ yang jujur dan istiqamah di jalan-Nya. Mereka memberi kabar gembira kepada kaum yang taat dengan kebahagiaan serta keberkahan di dunia dan akhirat. Mereka juga memperingatkan kepada orang-orang yang zhalim bahwa adzab dan murka Allah sudah menunggu, di dunia dan akhirat. Siapapun yang melakukan ishlah (perbaikan) pasti dijamin masa depannya di akhirat oleh Allah, dan seringkali sebagian dari nikmat yang Allah janjikan itu sudah diberikan-Nya kontan dan disegerakan di dunia ini, sehingga mereka tidak pernah merasa cemas dan khawatir. Mereka pun tidak akan gampang bersedih atas segala yang menimpa mereka dalam kehidupan dunia, sebab segala sesuatunya telah diikhlaskan untuk Allah dan mereka selalu berbuat kebaikan sesuai yang diperintahkan-Nya.
Yang dimaksud “mengadakan perbaikan (ishlah)” adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Sebab, setiap tindakan manusia pasti mengandung konsekuensi (akibat) tertentu, entah dekat atau jauh. Orang beriman cenderung untuk selalu waspada, dimana setiap kali melihat atau melakukan kesal`han mereka akan bersegera memperbaikinya, dengan istighfar dan taubat, sehingga kehidupan mereka kembali aman karena terjauh dari akibat buruk perbuatannya sendiri. Sebaliknya orang-orang kafir, mereka selalu dalam keadaan lalai, sehingga tidak menyadari akibat buruk dari tindakan-tindakan mereka. Kelak, tiba-tiba saja segenap akibat itu menumpuk menjadi satu dan menimpa mereka tanpa tertahankan lagi, sehingga mereka akan terdiam berputus asa.

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا يَمَسُّهُمُ الْعَذَابُ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (49)
Artinya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Maksudnya, kefasikan pasti berbuah siksa dan murka Allah. Ini sudah alamiah sifatnya. Allah tidak pernah menzhalimi hamba-Nya, namun mereka sendiri yang menzhalimi dirinya. Apa yang menimpa pada dasarnya adalah buah perbuatan mereka sendiri. Fasiq artinya berbuat kesalahan serta dosa secara sengaja, yakni setelah mengerti adanya larangan dan peringatan Allah dalam hal itu, karena hatinya dipenuhi pengingkaran dan permusuhan; bukan karena lupa dan khilaf. Dalam Al-Qur’an, setiap kefasikan selalu berdekatan dengan penolakan dan permusuhan kepada hukum Allah.
Wallahu a’lam.

[*] Kamis, 17 Dzulqa’dah 1430 H. Didasarkan pada Tafsir Zadul Masir, dengan tambahan sumber-sumber lain.