Abu Hurairah dan riwayatnya




Bismillahirrahmanirrahim

Di kalangan pelajar dan pemerhati studi hadits, umum diketahui bahwa Abu Hurairah adalah Sahabat yang paling banyak mengutip hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu 5.374 riwayat, padahal beliau hanya berinteraksi dengan Nabi selama 3 atau 4 tahun, dan masih terkurangi diutusnya beliau sebagai penarik jizyah ke Bahrain. Untuk dimaklumi, beliau diketahui masuk Islam dan berhijrah ke Madinah bertepatan dengan Perang Khaibar, sekitar tahun 7 H; dan keberangkatan beliau ke Bahrain untuk mendampingi al-Ala’ bin al-Hadrami terjadi pada tahun berikutnya.

Akan tetapi, memang catatan yang ada tidak terlalu jelas apakah beliau terus-menerus di Bahrain atau pulang setelah beberapa waktu. Sebagian orang mengatakan beliau baru pulang setelah dipanggil oleh khalifah Umar, sementara sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan bahwa beliau turut mengumumkan bara’ah (yakni, bagian permulaan surah at-Taubah) dalam momen ibadah haji yang dipimpin Abu Bakar, setahun sebelum Haji Wada’. Dengan kata lain, Abu Hurairah berada di Madinah pada saat itu, yakni di saat Rasulullah sendiri masih hidup. Celah dalam catatan-catatan historis inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menghantam Abu Hurairah, dan – lebih jauh – otentisitas hadits Nabi, baik secara khusus maupun umum.

Sebagian orang merasa takjub dengan banyaknya hadits yang dikutip Abu Hurairah, sebab jumlah itu jauh mengungguli ‘Aisyah ummul mu’minin yang “hanya” meriwayatkan 2.210 hadits, padahal beliau hidup bersama Nabi tidak kurang dari 8 tahun, dalam aneka situasi dan kondisi yang tidak mungkin dialami oleh siapa pun selainnya. Juga, jauh melebihi ‘Ali bin Abi Thalib yang telah hidup bersama beliau sejak zaman jahiliyah, atau Ibnu Mas’ud yang termasuk as-sabiqun al-awwalun.

Seorang Orientalis Belanda, G.H.A. Juynboll (1935-2010) – pencetus teori Common Link – pernah melakukan penelitian intensif untuk mengungkap “kontroversi” terkait hal ini. Hasil penelitiannya yang mengambil subyek sejumlah ulama’ Mesir dalam rentang 70 tahun (1890-1960) itu dipublikasikan dalam bukunya, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt (E.J. Brill, Leiden, 1969). Karya ini telah diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada tahun 1999. Walaupun buku ini tidak mewakili opini Juynboll pribadi secara langsung, namun tampaknya ia menggunakan tangan orang lain untuk mencapai maksudnya, dalam hal ini para ulama’ Mesir. Memang, secara umum buku itu dipenuhi data-data perdebatan diantara pihak yang mendukung Abu Hurairah dan yang menuduhnya melakukan pemalsuan, atau meragukan kredibilitasnya; disamping mencakup masalah-masalah lain.

Pertanyaannya, benarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebanyak itu?

Seorang sarjana muslim kontemporer, Dr. Muhammad Dhiya’urrahman al-A’zhami, mencoba meneliti secara detil hadits-hadits Abu Hurairah yang dikutip dalam tujuh kitab induk hadits (Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah), dan membandingkannya satu sama lain. Penelitian beliau dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul Abu Hurairah fi Dhaw’i Marwiyyatihi. Setelah meneliti dengan cermat, Dr. A’zhami mendapati kenyataan bahwa banyak diantara hadits-hadits Abu Hurairah yang terulang di bab berbeda, atau dipotong-potong lalu dipencar bagian-bagiannya pada beberapa bab berlainan, meskipun aslinya satu matan saja. Menurut penghitungan beliau, total riwayat Abu Hurairah hanya 1.336 hadits. Jika dihitung lebih rinci dengan mempertimbangkan masa interaksi beliau dengan  Rasulullah, maka rata-rata beliau menerima 1,5 sampai 2 hadits saja per hari. Jumlah ini memang masih diatas riwayat Abu Sa’id al-Khudry (1.170 hadits) dan Anas bin Malik (1.286 hadits), namun masih di bawah Jabir bin ‘Abdillah (1.540 hadits), dan Ibnu ‘Abbas (1.660 hadits), apalagi ‘Aisyah ummul mu’minin, radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Jumlah hadits Abu Hurairah ini – setelah penghitungan ulang – tentunya sangat wajar dan tidak seorang pun akan menyebutnya sebagai berlebihan, apalagi jika dihubungkan dengan fakta bahwa selama itu Abu Hurairah tidak menyibukkan diri bekerja dan hanya mencari ilmu. Memang benar ada hadits-hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan dalam sumber-sumber lain di luar tujuh kitab tersebut, seperti al-Mustadrak, Mushannaf ‘Abdurrazzaq, al-Baihaqi, ad-Daruquthni dan lain-lain; namun bisa dipastikan bahwa jumlahnya tidak akan melebihi angka yang sudah disebutkan para ulama’, atau maksimal 2.000 hadits saja.

Sebuah catatan yang lebih terinci dapat kita lihat misalnya dalam Shahifah Shahihah, atau lebih dikenal sebagai Shahifah Hammam bin Munabbih, yakni kumpulan riwayat yang dicatat oleh Hammam langsung dari Abu Hurairah. Dokumen ini menunjukkan bahwa jumlah hadits di dalamnya hanya 138 riwayat. Seluruh perawi yang membawakan Shahifah ini adalah para imam terkenal dan terpercaya, sehingga kualitasnya sangat bisa diandalkan.

Adapun sumber yang menyebut bahwa hadits Abu Hurairah mencapai angka lima ribu lebih adalah Musnad Baqiy bin Makhlad. Di lain pihak, Abu Hurairah sendiri merasa hadits yang dikutipnya kalah banyak dibanding ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, karena Ibnu ‘Amr mencatat sedangkan Abu Hurairah tidak. Padahal, riwayat Ibnu ‘Amr hanya berkisar pada angka 700-an hadits.

Alhasil, bila selama ini kita menyebut Abu Hurairah sebagai Sahabat yang paling banyak mengutip hadits Nabi, tampaknya harus dikoreksi. Wallahu a’lam.



Catatan: Kami mohon maaf bila tulisan singkat ini tidak menguraikan topik diatas secara tuntas, namun hanya menyajikan informasi mentah yang mungkin berguna bagi para pembaca blog ini. Untuk kajian lebih terinci, silakan mengacu pada literatur-literatur berikut.

(1) Muqaddimah tahqiq dari kitab ash-Shahifah ash-Shahihah (Shahifah Hammam bin Munabbih), hal. 15-17. Tahqiq: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid. Al-Maktab Al-Islami (Beirut-Damaskus) & Dar ‘Ammar (Amman), cet. 1, 1407 H/1987 M. Kitab ini bisa diunduh dari tautan ini: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2656

(2) Difa’ ‘an Abi Hurairah, karya Syekh ‘Abdul Mun’im Shalih al-‘Ali al-‘Izzy, hal. 26. Darul Qalam (Beirut) & Maktabah an-Nahdhah (Beirut-Baghdad), cet. 2, 1981 M. Kitab ini dapat diunduh dari tautan ini: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=1093

(3) Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits, karya Dr. Mahmud Ali Fayyad, hal. 108-118. CV Pustaka Setia, Bandung, cet. 1, 1998 M. Penerjemah: Drs. A. Zarkasyi Chumaidy.

(4) Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960), karya G.H.A. Juynboll. Mizan, Bandung, cet. 1, 1999 M. Penerjemah: Ilyas Hasan.


|am|mlg|sbt|21:12|06-06-1433|28-04-2012|