Siksaan dari atas dan dari bawah

 

Bismillahirrahmanirrahim

Bila manusia telah menyimpang dan jahat di mata Allah, maka Dia tidak akan kekurangan cara untuk memperingatkan serta menghukum mereka di dunia. Dulu, Allah mengirimkan para Nabi dan Rasul, dengan membawa wahyu-Nya. Ketika manusia membangkang, kehancuran pun ditimpakan serta-merta. Cukuplah kisah kaum Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib sebagai peringatan. Namun, kini wahyu dan kenabian telah berakhir. Bagaimana cara Allah memperingatkan dan menghukum pembangkangan manusia di dunia?

Dalam surah al-An’am: 65, Allah berfirman: “Katakanlah: Dia lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kalian dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kalian keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).”
Demikianlah. Sungguh, siksaan-Nya bisa datang kapan saja dan dari mana saja. Maka, kita tidak bisa bersandar pada teknologi macam apapun. Sebab, kita tidak pernah tahu bencana mana lagi yang akan datang berikutnya. Kita harus ingat, seluruh alam raya ini milik-Nya dan ada di tangan-Nya. Mereka akan tunduk kepada apa saja yang Dia perintahkan, apakah menurunkan rahmat atau adzab. Sebuah tanah datar yang tenang, bisa saja dibuat-Nya memuntahkan lahar gunung berapi. Lihatlah, kawasan industri di Jawa Timur yang hiruk-pikuk bisa tenggelam oleh banjir lumpur vulkanik dalam waktu sekejap, padahal ia tidak berada di kawasan pegunungan. Sebaliknya, adalah kuasa-Nya untuk menahan titik-titik rawan agar tetap stabil dan memberi ruang yang lega bagi kehidupan.
Imam Ibnul Jauzi dalam Tafsir Zadul Masir menyitir bahwa bencana “dari atas” bisa ditafsirkan pada dua arah. Pertama, berupa bencana alam yang turun dari langit, yakni meteor, petir, angin puyuh, dsb. Kedua, berupa bencana yang diakibatkan oleh para penguasa yang buruk dan jahat, atau para pemimpin yang bejat. Sementara itu, bencana “dari bawah” bisa jadi datang dari bumi, seperti gempa, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dll; atau dari rakyat jelata yang tidak bermoral, tidak taat hukum dan liar; atau para budak, hamba sahaya, kaum buruh dan pembantu.
Akhir-akhir ini, kita telah menyaksikan bencana “dari atas” dan “dari bawah” pada dua bentuknya sekaligus. Seiring perjalanan Abad XXI, skala dan intensitas bencana alam semakin meningkat, dan tampaknya tidak ada gejala untuk menurun. Di sisi lain, kita juga menyaksikan bencana yang diakibatkan ulah sebagian penguasa dan pemimpin yang buruk – bahkan, bejat dan tidak bermoral. Hampir tidak ada elemen yang tidak ternoda. Dan, pada saat bersamaan, bencana “dari bawah” pun semakin marak, yakni dari sebagian rakyat jelata yang bermoral rendah, tidak taat hukum dan cenderung liar. Kekerasan demi kekerasan, atas nama apapun, oleh sebab apapun, kecil maupun besar, justru meluas dan meningkat.
Tidak cukupkah semua ini sebagai peringatan? Kapan kita bertaubat, kembali kepada-Nya, tunduk menyerahkan diri pada kebijaksanaan hukum dan syari’at-Nya? Apakah kita hendak menunggu sampai tibanya bencana lebih dahsyat, sebagaimana diisyaratkan oleh penghujung surah al-An’am: 65 diatas? Yakni, ketika Allah memecah belah suatu bangsa sehingga satu sama lain saling berperang dan membunuh. Sungguh, ketika manusia melanggar aturan-Nya, maka dosa mereka akan memicu permusuhan satu sama lain, sehingga pecahlah pertumpahan darah dan kematian menyebar dimana-mana. Ini bencana yang lebih dahsyat dan perih. Sebab, ketika bencana alam yang jatuh, manusia akan bertekuk-lutut di hadapan kuasa-Nya yang tak tertandingi. Akan tetapi, tatkala bencana timbul dari kejahatan sesama, yang muncul bukan kepasrahan, namun dendam dan angkara-murka. Maka, api pun semakin berkobar dan adzab Allah akan semakin menggelora. Na’udzu billah.
Rasulullah bersabda, “Seorang muslim adalah saudara dari sesama muslim, dia tidak boleh menzhalimi dan menelantarkannya.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah dua orang yang berkasih-sayang itu kemudian terpisahkan kecuali karena suatu dosa yang diperbuat oleh salah seorang dari mereka.” (Riwayat Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Menurut al-Mundziri: sanad-nya hasan).
Benar apa yang beliau katakan. Sepasang suami istri yang mesra bisa mendadak berseteru secara tragis, karena ada dosa diantara mereka. Saudara sekandung bisa bercekcok dan tidak saling menyapa, karena ada dosa diantara mereka. Para pengelola yayasan, ormas, partai, dan perkumpulan apapun, yang semula solid bisa pecah berantakan dalam sekejap, pasti karena ada dosa diantara mereka. Itulah jalan syetan, sebab dia paling membenci kerukunan dan terangkainya hati. Sebaliknya, dia sangat menginginkan perpecahan, kebencian, dan permusuhan di tengah-tengah umat manusia. Setiap maksiat, pada dasarnya adalah cara syetan untuk memicu kehancuran itu. Al-Qur’an menjelaskan misi syetan di balik setiap perkara yang Allah haramkan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamer dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka, berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Qs. al-Ma’idah: 90-91). Maka, wahai manusia, waspadalah!! Wallahu a'lam.


(*) 23 Shafar 1432 H. Pernah dipublikasikan di Lembar Tausiyah BMH Malang.