Bismillahirrahmanirrahim
Rasulullah
pernah bersabda, “Barangsiapa menghidup-hidupkan satu diantara sunnah-sunnahku,
kemudian diamalkan oleh orang lain, maka ia mendapatkan pahala sepadan dengan
pahala orang-orang yang mengamalkannya, tanpa dikurangkan sedikitpun dari
pahala mereka. Dan, barangsiapa menciptakan suatu bid’ah, kemudian diamalkan
oleh orang lain, maka ia mendapatkan dosa (sepadan) dengan dosa orang-orang
yang mengamalkannya, tanpa dikurangkan sedikitpun dari dosa mereka.” (Riwayat
Tirmidzi, hadits shahih li-ghairihi).
Alkisah, pada suatu hari Abu Hurairah berjalan melewati pasar Madinah.
Beliau kemudian berhenti dan berkata, “Hai orang-orang di pasar, betapa
malangnya kalian ini!” Mereka bertanya, “Mengapa demikian, wahai Abu
Hurairah?” Beliau menjawab, “Itu warisan Rasulullah sedang
dibagi-bagikan, sementara kalian tetap disini. Mengapa kalian tidak pergi
kesana dan mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya, “Dimana?”
Beliau menjawab, “Di masjid.” Maka, mereka pun bergegas-gegas keluar
menuju masjid. Abu Hurairah sendiri diam di tempatnya, sampai akhirnya mereka
kembali lagi. Beliau bertanya, “Mengapa (kalian kembali)?” Mereka
menjawab, “Hai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid dan masuk ke
dalamnya. Tapi, kami tidak melihat apapun yang sedang dibagikan.” Beliau
bertanya, “Apa kalian tidak melihat seorang pun disana?” Mereka
menjawab, “Ya, benar. Kami melihat sekelompok orang sedang mengerjakan
shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok lagi
sedang mempelajari halal-haram.” Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian
ini! Itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam!” (Riwayat
Thabrani dalam al-Awsath, dengan isnad hasan).
Benar, para Nabi tidak mewariskan emas, tanah, rumah,
atau barang-barang duniawi untuk dibagi, dilelang dan diperebutkan. Mereka
mewariskan ilmu, keyakinan, dan bimbingan. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda,
“Sungguh, ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sungguh, para Nabi tidaklah
mewariskan dinar (emas) maupun dirham (perak), namun mereka hanyalah mewariskan
ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang
sangat banyak.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari
Abu Darda’. Hadits shahih).
Keinginan kuat untuk mendapatkan bagian dari “warisan
kenabian” inilah yang mendorong para pelajar di masa silam mengembara ke
seluruh penjuru untuk memburu hadits. Dalam kondisi sarana-prasarana Abad
Pertengahan yang masih serba manual, mereka menempuh jarak ribuan kilometer
untuk menemui para guru yang – kadang – hanya menyimpan satu dua teks hadits
saja. Mereka tidak perduli, sebab “warisan kenabian” itu tidak boleh
terlewatkan satu pun. Dengan tangannya pula mereka mencatat sendiri ratusan
ribu – bahkan, nyaris mencapai sejuta – teks hadits yang berlain-lainan.
Ahmad
bin Mani’ bercerita: Ahmad bin Hanbal berjumpa dengan kami di jalan, dan beliau
baru datang dari Kufah sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi salinan
kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke Kufah,
lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai kapan? Bila seseorang telah mencatat
30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak
cukup?” Beliau tetap diam. “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau
menjawab, “Saat itulah dia baru mengerti ‘sesuatu’!” (Dari: al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal, karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi).
Apakah Anda dapat membayangkan kesungguhan dan tekad macam apa yang berkobar
di balik kata-kata: “mencatat seratus ribu hadits dengan tangan sendiri”?
Kita mungkin bisa menyepelekan hal itu di masa sekarang, sebab pengetikan
dengan komputer sudah sangat nyaman dilakukan. Bahkan, sebagian orang diketahui
meng-copy paste karya orang lain, mengganti judulnya, lalu mengatasnamakannya
untuk diri sendiri. Namun, di zaman Imam Ahmad semua harus ditulis tangan. ‘Amru
bin ‘Ashim al-Kilabi berkata, “Saya mencatat belasan ribu hadits dari Hammad
bin Salamah.” ‘Abbas ad-Dury berkata, “Saya mencatat 35.000 hadits dari
Musa bin Isma’il at-Tabudzaki.” Abu Dawud berkata, “Saya mencatat 50.000
hadits dari Bundar Muhammad bin Basysyar.” Abu Zur’ah berkata, “Saya
telah mencatat 100.000 hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razy.” Abul ‘Abbas
asy-Syirazi berkata, “Saya telah mencatat 300.000 hadits dari ath-Thabrani.”
Pengakuan semacam ini sangat banyak, dan itu baru dari satu orang guru
saja. Bagaimana jika mereka telah mencatat dari ratusan hingga ribuan guru? Ya’qub
al-Fasawi dan Abu Dawud berkata, “Saya telah mencatat dari 1.000 orang
guru.” Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Saya telah mencatat dari 1.100
orang guru…”
Mereka pun memburu “warisan kenabian” dalam rentang yang panjang, hingga
belasan tahun. Ahmad bin Salamah, teman karib Imam Muslim, mengaku, “Saya
mencatat hadits bersama Muslim – dalam rangka menyusun kitab Shahih-nya –
sebanyak 12.000 hadits selama limabelas tahun.” Dalam hal ini, Imam Muslim sendiri
berkata, “Saya menyusun kitab Shahih saya ini dari (penyaringan terhadap)
300.000 hadits yang seluruhnya saya dengar langsung (dari guru-guru saya).”
Generasi muslim pendahulu kita tahu benar nilai “warisan kenabian” itu,
dan rela membelanjakan seluruh sumberdaya miliknya untuk mendapatkannya. Wajar
jika mereka mendapat kejayaan dan amal jariyahnya abadi sepanjang zaman. Nama
sebagian ahli hadits pernah disebut-sebut di majlis khalifah Harun ar-Rasyid,
maka beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang abadi, nama mereka akan
disebut beriringan dengan nama Rasulullah; sementara kami – para raja – adalah
orang-orang yang akan musnah kenangannya.”
Bagaimana dengan kita di zaman ini?
[*] M.
Alimin Mukhtar; 27 Jum. Akhirah 1432 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.