Kisah di balik kitab Arba’in Nawawiyah



Bismillahirrahmanirrahim

Kitab Arba’in Nawawiyah adalah salah satu kitab kecil yang paling populer di dunia Islam. Bahkan, banyak lembaga pendidikan dan pesantren secara khusus mewajibkan pada murid yang belajar disana untuk menghafalnya. Demikian pula pribadi-pribadi. Kepopulerannya sudah mendunia, sehingga tidak ada yang perlu ditambahkan lagi untuk menjelaskannya.

Lalu, apa yang hendak kita perbincangkan dalam artikel singkat ini?

Ya, kali ini kita hanya akan mengulas kisah perjalanan sebuah ide yang kemudian mewujud dalam bentuk kitab Arba’in Nawawiyah itu, dan memetik hikmah darinya.

Sebagian kita mungkin menyangka bahwa kitab tersebut merupakan “karya spontan” dari seorang ahli hadits di satu zaman tertentu, tepatnya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarof an-Nawawi ad-Dimasyqi, yang wafat tahun 676 H. Akan tetapi, sebagaimana disinyalir oleh al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, ternyata ide yang melatari kitab tersebut telah disemai berabad-abad sebelumnya, lalu tumbuh perlahan-lahan sampai akhirnya mencapai kematangan dan berbuah. Mari kita ikuti perjalanannya.

Diantara ulama’ Ahli Hadits generasi awal yang memiliki gagasan tentang masalah ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (lh. 164 H, w. 241 H) dan Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-Sijistani (lh. 202 H, w. 275 H), penyusun Sunan Abu Dawud.

Imam Ahmad pernah berkata, “Pokok-pokok ajaran Islam (ushul al-islam) itu ada diatas tiga hadits, yaitu haditsnya ‘Umar al-a’malu bin niyat (الأعمال بالنيات), haditsnya ‘Aisyah man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fa huwa raddun (من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد), dan haditsnya Nu’man bin Basyir al-halalu bayyinun wal haramu bayyinun (الحلال بيِّن والحرام بيِّن).” Menurut Ibnu Rajab, pernyataan Imam Ahmad ini bisa dijelaskan, sbb: “Agama ini secara keseluruhan sesungguhnya berpulang kepada menjalankan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, serta menahan diri pada hal-hal yang syubhat, dan semua ini dikandung dalam haditsnya Nu’man bin Basyir. Dan, hal itu hanya bisa sempurna dengan dua perkara. Pertama, amalan-amalan tersebut dalam lahiriahnnya harus selaras dengan Sunnah, dan inilah yang dikandung oleh haditsnya ‘Aisyah man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fa huwa raddun (artinya: barangsiapa yang mengada-adakan sendiri dalam urusan agama kami sesuatu yang sebenarnya bukan bagian darinya, maka ia tertolak). Kedua, amal itu dalam batiniyahnya harus dimaksudkan untuk meraih wajah Allah, sebagaimana dimuat dalam haditsnya ‘Umar al-a’malu bin niyat (artinya: amal-amal perbuatan itu tergantung niatnya).”

Dalam Syarah Shahih Muslim, ketika menjelaskan hadits no. 2996, yaitu hadits ini: (الْحَلاَل بَيِّن وَالْحَرَام بَيِّن وَبَيْنهمَا مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمهُنَّ كَثِير مِنْ النَّاس); Imam Nawawi berkata, “Ulama’ sepakat atas hebatnya pengaruh dari hadits ini, juga banyaknya faidah di dalamnya, dan bahwasanya ia merupakan salah satu dari hadits yang menjadi poros Islam (madaru al-islam). Banyak ulama’ mengatakan, dia adalah sepertiga dari (ajaran) Islam, dan bahwasanya (ajaran) Islam itu berporos diatasnya, juga hadits al-a’malu bin niyat (الْأَعْمَال بِالنِّيَّة) dan hadits min husni islamil mar’i tarkuhu ma la ya’nihi (مِنْ حُسْن إِسْلَام الْمَرْء تَرْكه مَا لَا يَعْنِيه). Abu Dawud as-Sijistani berkata, “Ajaran Islam itu berporos diatas empat hadits, yaitu tiga hadits tersebut, dan hadits la yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibbu li nafsihi (لَا يُؤْمِن أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ).” Ada yang mengatakan, (bahwa yang keempat) adalah hadits izhad fid dunya yuhibbakallahu wazhad ma fi aydinnas yuhibbakannas (اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبّك اللَّه ، وَازْهَدْ مَا فِي أَيْدِي النَّاس يُحِبّك النَّاس).”

Keterangan serupa juga dikutip Badruddin al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari, juga dalam banyak sumber lain ketika membicarakan hadits-hadits terkait.

Setelah beliau berdua, ide ini terus mengalir dan disempurnakan oleh para ulama’ berikutnya. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa poros ajaran Islam itu dibangun diatas dua, tiga, empat, atau lima hadits tertentu. Ada yang hanya menambahkan beberapa hadits lagi dalam kumpulan ini, ada juga yang meluaskannya sampai ribuan. Misalnya, sebagaimana disitir al-Hafizh Ibnu Rajab, Imam Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Ibnu Sunniy ad-Dinawari (lh. 284 H, w. 364 H) menyusun sebuah kitab berjudul al-Ijaz wa Jawami’ul Kalim minas Sunan al-Ma’tsurah (artinya: kalimat-kalimat yang singkat-padat dan merangkum seluruh makna dari hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Sayangnya, kami belum pernah melihat kitab ini, sehingga tidak tahu seperti apa isinya. Lalu, Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad al-Khattabi al-Bustiy (w. 388 H) juga mengisyaratkan beberapa hadits terkait bab ini dalam pembukaan kitab Gharibul Hadits. Setelah itu, al-Qadhi Abu ‘Abdillah Muhammad bin Salamah al-Qudha’iy al-Mishri (w. 454 H) menyusun Musnad asy-Syihab. Judul aslinya adalah asy-Syihab fil Hikam wal Adab, artinya cahaya hikmah dan adab. Hanya saja, isi kandungan kitab ini tidak lagi tepat merangkum poros ajaran Islam, karena memuat tidak kurang dari 1499 riwayat di dalamnya. Dengan kata lain, terlalu melebar dan fokusnya pun berbeda. Edisi yang kami miliki dari kitab ini diterbitkan oleh Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, pada tahun 1985, terdiri dari 2 jilid, dan seluruhnya nyaris setebal 900 halaman.

Demikian seterusnya, sampai akhirnya al-Hafizh Abu ‘Amr ‘Utsman bin ‘Abdurrahman Ibnu Shalah (lh. 577 H, w. 643 H) menyatukan seluruh hadits-hadits tersebut dan mendiktekannya dalam suatu majlis yang beliau beri judul al-Ahadits al-Kulliyah (artinya: hadits-hadits yang maknanya mencakup seluruh perkara), dan mencakup 26 (dua puluh enam) hadits.

Setelah itu, Imam Nawawi (lh. 631 H, w. 676 H) kemudian mengambil seluruh materi hadits yang pernah didiktekan oleh al-Hafizh Ibnu Shalah dan menambahkan 4 hadits lagi, sehingga menjadi 30 hadits, dan mencantumkannya di akhir kitab al-Adzkar yang beliau susun. Setelah itu, beliau menambahkan 12 hadits lagi yang menurut beliau merupakan poros ajaran Islam, sehingga genap menjadi 42 (empat puluh dua) hadits, dan menyendirikannya dalam satu juz terpisah. Kumpulan terakhir ini kemudian dinamai dengan al-Arba’in, dan termasyhur sebagai al-Arba’in an-Nawawiyah. Istilah arba’in sendiri berarti empatpuluh, merujuk pada jumlah hadits yang dimuat di dalamnya.

Ternyata, kisah ini belum selesai sampai disini. Imam Nawawi dikritik oleh sebagian ulama’ karena tidak memasukkan beberapa hadits yang sebenarnya sangat penting dan menjadi landasan utama dalam Islam, seperti haditsnya Ibnu ‘Abbas tentang fara’idh. Mengapa hadits ini tidak dimuat, padahal fara’idh adalah setengah ilmu Islam, sebagaimana pernah dinyatakan dalam sebuah hadits lainnya? Oleh karenanya, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (lh. 736 H, w. 795 H) menyusulkan hadits-hadits dimaksud ke dalam kumpulan tersebut, sehingga sempurna menjadi 50 (lima puluh) hadits. Kumpulan puncak ini kemudian beliau namai Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, artinya “kumpulan seluruh ilmu dan hikmah.” Kitab terakhir ini memang tidak sepopuler Arba’in Nawawiyah, mungkin karena ukurannya yang cukup tebal. Ketebalannya dilatari isinya yang tidak semata-mata memuat matan (teks hadits) dalam kumpulan itu saja, namun disertai syarah (penjelasan), sehingga dapat memberi gambaran lengkap bagaimana setiap hadits berpotensi “menaungi” ratusan hadits lain dalam babnya. Sebagai gambaran, salah satu edisi mutakhirnya diterbitkan oleh Dar Ibnu Katsir (Damaskus-Beirut) pada tahun 2008 dalam satu jilid setebal 956 halaman. Bandingkan dengan Arba’in Nawawiyah yang sekarang ini banyak dicetak dalam ukuran saku!!

Jadi, kalau diibaratkan menu masakan, kitab Arba’in Nawawiyah adalah buah kepiawaian tangan-tangan superchef terbaik dari zaman ke zaman. Inilah sajian yang diracik berabad-abad oleh para ahli di bidangnya, hingga akhirnya memiliki segala manfaat dan kebaikan di dalamnya. Paling tidak, ia mulai diramu sejak Abad II Hijriyah, dan terus diolah sampai benar-benar matang pada Abad VIII Hijriyah. Bayangkan, ide besar ini disemai, tumbuh, dan akhirnya berbuah dalam masa tidak kurang dari enam abad. Subhanallah….!!

Jika kita memperhatikan pergerakan wilayahnya, maka ia dimulai dari Baghdad di Irak, tempat Imam Ahmad hidup dan berkarya. Juga, di Sijistan bersama Imam Abu Dawud, di wilayah yang sekarang merupakan perbatasan timur Iran dengan bagian barat Afghanistan. Ia kemudian bergeser sedikit ke Dinawar bersama al-Hafizh Ibnu Sunni, di daerah yang sekarang termasuk wilayah Iran. Lalu, ia memutar kembali masuk ke kawasan Afghanistan, bersama Imam al-Khattabi di Bust. Tidak lama setelah itu, ide ini terbang jauh ke wilayah barat, dan mendarat di Mesir dalam karya al-Qadhi Abu ‘Abdillah al-Qudha’iy. Ide ini terus mengembara dan semakin menguat di berbagai negeri bersama para ulama’. Lalu, ia tiba ke Damaskus di Syam bersama al-Hafizh Ibnu Shalah, dan diteruskan oleh Imam Nawawi serta al-Hafizh Ibnu Rajab di negeri yang sama.

Semoga Allah merahmati semua ulama’ yang telah bersusah payah mengerahkan segala upaya untuk memudahkan kita mengenal agama Allah ini, mengampuni kekhilafan mereka, dan menjadikan kita sebagai orang-orang yang meneladani serta mengikuti jejak mereka. Amin. Wallahu a’lam.


Catatan: untuk mendapatkan copy naskah kitab-kitab terkait, silakan kunjungi link-link berikut:
1.       At-Tuhfah ar-Rabbaniyah fi Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, karya Syaikh Isma'il bin Muhammad al-Anshari, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=6967
2.       Al-Mu'in 'ala Tafahhumi al-Arba'in, karya al-'Allamah Sirajuddin Ibnul Mulqin, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=4284
3.       Syarh al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiqil ‘Id, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=3582
4.       Al-Arba’in an-Nawawiyah wa Syarhuha, karya Imam Nawawi, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=6371
5.       Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=5162
6.       Mukhtashar Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, karya Ahmad ‘Utsman al-Mazid, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=3741
7.       Iqazhul Himam al-Muntaqa min Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali, dalam format PDF, link: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=3731
8.       Matan, Terjemah, dan Syarah Arba’in Nawawiyah, karya Imam Nawawi, dilengkapi catatan dan intisari hadits, dalam format help file (*.chm), link: http://salafiyunpad.wordpress.com/2008/09/11/ebook-chm-syarah-arbain-an-nawawi-lil-imam-an-nawawy/
9.       Matan, Terjemah, dan Syarah Arba’in Nawawiyah, dalam format help file (*.chm), dengan terjemah syarah karya Ibnu Daqiqil ‘Id, link: http://ebsoft.web.id/download/ Ada banyak software lain yang ditawarkan pada halaman download dari situs ini, dan salah satunya adalah Arba’in Nawawiyah.

Ini adalah sebagian yang dapat kami sebutkan, mengingat keterbatasan tempat. Sebenarnya masih ada banyak karya lain yang terkait dengannya. Semoga bermanfaat.


[*] Jum’at, 09 Rabi’ul Akhir 1433 H.