Apa yang dimaksud dengan “Allah mengunci mati hati orang-orang kafir”?

 

Bismillahirrahmanirrahim

Allah berfirman dalam surah al-A’raf: 101-102, “Negeri-negeri (yang telah Kami binasakan) itu, Kami ceritakan sebagian dari berita-beritanya kepadamu. Dan, sungguh telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, maka mereka (juga) tidak beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah mendustakannya. Demikianlah Allah mengunci mata hati orang-orang kafir. * Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka sebagai orang-orang yang fasik.”

Pada dua ayat diatas muncul dua penggal kalimat yang berisi “penguncian hati orang-orang kafir oleh Allah”. Ungkapan seperti ini sering sekali muncul di berbagai tempat dalam Al-Qur’an, dalam situasi-situasi yang serupa. Ia merupakan salah satu pemicu debat dan pertentangan keras diantara para ulama’ teologi (Ilmu Kalam). Sebagian kelompok menganggapnya sebagai dalil bahwasanya amal perbuatan dan nasib akhir manusia sudah ditakdirkan dan dipastikan sejak zaman Azali; sementara sebagian kelompok lain menakwilkan ungkapan tersebut dan menilai pernyataan lawannya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keadilan Allah dan kebijaksanaan-Nya di balik pengiriman para Rasul, bahkan bertentangan pula dengan berbagai macam pernyataan Al-Qur’an yang lain.

Namun, kesan yang bisa ditangkap dari konteks ayat tersebut di tempat ini – juga di tempat-tempat lain ketika ungkapan tadi muncul – tidak menunjukkan pengertian bahwasanya Allah benar-benar telah mengeraskan hati sebagian orang sejak semula, atau menutup rapat-rapat pikiran mereka dan memalingkannya sehingga tidak mau menyambut seruan Allah sebagai suatu ketetapan sejak zaman Azali. Makna terkuat dari ayat-ayat diatas – dan berbagai tempat lainnya – tidak mungkin mendukung pengertian semacam itu, sebab – pada saat bersamaan – ia juga memuat celaan, kecaman, ancaman dan peringatan keras terhadap kaum kafir atas segala pengingkaran dan penyimpangan mereka. Sebenarnya, ungkapan itu hanya ditujukan untuk menggambarkan betapa kerasnya hati mereka, yang diakibatkan oleh buruknya watak dan kotornya motif mereka, dimana keduanya kemudian memicu terkuncinya akal pikiran mereka sendiri. Atau, ungkapan itu hendak menegaskan akibat yang mereka terima sebagai konsekuensi dari sikap-sikap angkuh dan membangkang yang mereka ambil, sehingga – seolah-olah – terlihat sebagai sesuatu yang sudah “asli dari sananya”.

Penting dicatat bahwa ungkapan seperti ini selalu muncul dengan diiringi penggambaran sifat-sifat kufur, menentang, fasiq, dan merugi; dengan disertai kecaman dan hardikan keras terhadap orang-orang kafir, ingkar dan fasiq. Dengan sendirinya, terlihat jelas bahwa ayat-ayat itu pada hakikatnya hendak menegaskan bahwa kekafiran, kefasikan, ketidakbersediaan untuk menyambut seruan kebenaran, dan pengingkaran atas perjanjian dengan Allah, pada dasarnya semua itu benar-benar eksis dalam diri kaum kafir sehingga mereka pun dilabeli dengan sifat ini; dan karena itu pula mereka layak dikecam, dihardik dan dikerasi. Pesan semacam ini tampak kuat dan menonjol dalam ayat-ayat diatas.

Sepertinya, diantara tujuan lain dari ungkapan tersebut – juga yang semisal dengannya – adalah memberikan penghiburan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kaum muslimin. Seakan-akan dikatakan kepada mereka: “Tidak ada yang mengharuskan untuk bersedih dan putus asa apabila hati orang-orang kafir dan ingkar itu tidak kunjung melunak, karena Allah telah mengunci mati hati mereka disebabkan motif-motif kekafiran yang mereka simpan sendiri; juga segala kekotoran, kerusakan dan kefasikan yang selama ini mereka akrabi.”

Akan tetapi, fakta-fakta yang valid dan meyakinkan menunjukkan bahwa banyak sekali orang-orang yang semula disifati sebagai kafir, fasiq, zhalim dan telah ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an bahwasanya Allah mengunci mati hatinya serta telah divonis tidak akan beriman – yakni, di kalangan para pendengar Al-Qur’an, baik dari bangsa Arab maupun non-Arab, dari kelompok kaum musyrik maupun Ahli Kitab – ternyata kemudian beriman kepada risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Al-Qur’an, memperoleh ridha Allah jauh sesudah turunnya ayat-ayat ini, mau bertaubat dan Allah pun menerima taubat mereka. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ayat-ayat ini – juga banyak sekali ayat lain, baik yang telah lalu maupun akan datang – sebenarnya secara implisit memuat dan merekam fakta yang ada pada saat penurunannya. Hal ini sekaligus mempertegas apa yang baru saja kami uraikan dimuka.

Untuk diketahui, surah al-A’raf adalah Makkiyah, dan turun dalam periode berat dakwah Rasulullah. Dalam urutan penurunan, ia turun pada urutan ke-39, setelah Shaad sebelum al-Jinn. Wahyu yang turun di sekitar urutan ini bertepatan dengan tahun-tahun pertengahan dakwah Periode Makkah, sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa diantara tokoh-tokoh kafir yang ketika ayat-ayat ini turun masih berpegang kuat pada kekafirannya adalah Abu Sufyan, Akhnas bin Syariq, ‘Amr bin ‘Ash, Jubair bin Muth’im, ‘Ikrimah bin Abi Jahal, Khalid bin Walid, dan masih banyak lagi. Mereka inilah para provokator dan pemimpin kaum kafir yang sangat keras memusuhi dakwah Islam. Dengan kata lain, merekalah figur-figur nyata yang secara umum maupun khusus ditunjuk oleh ayat-ayat surah al-A’raf diatas. Namun, belakangan ternyata mereka masuk Islam dan menunjukkan prestasi-prestasi besar sebagai seorang muslim. Misalnya, Khalid bin Walid dikenal sebagai penakluk Persia, ‘Amr bin ‘Ash adalah penakluk Mesir, dan ‘Ikrimah bin Abi Jahal merupakan salah satu andalan khalifah Abu Bakar dalam memerangi para nabi palsu serta orang-orang yang murtad sepeninggal Rasulullah.

Sejarah mencatat bahwa sebagian besar mereka baru bersedia masuk Islam dan dilunakkan hatinya pada tahun terjadinya Fathu Makkah, yakni 8 H, atau tidak berselang lama sebelum dan sesudahnya. Itu artinya setelah mereka melalui tidak kurang dari 21 tahun rentetan dialog, debat, pertikaian, bahkan pertumpahan darah dan pengorbanan jiwa raga. Sebagaimana dimaklumi, selama 13 tahun keberadaan Rasulullah di Makkah, mereka tidak mau menerima seruan beliau dan bahkan mengusirnya. Tidak cukup sampai disitu, mereka pun mengerahkan balatentara untuk menumpas beliau dan para sahabatnya. Seribu orang bersenjata lengkap mereka kirim ke Badar, tiga ribu orang berikutnya mereka berangkatkan ke Uhud, dan akhirnya sepuluh ribu orang turut berjibaku bersama mereka dalam Perang Khandaq. Jelas, permusuhan seperti ini bukan sandiwara atau iseng, akan tetapi benar-benar serius dan sangat mengerikan.

Hanya saja, seluruh ancaman dan kecaman diatas tetap berlaku terhadap orang-orang yang masih meneruskan kekafiran, kefasikan dan kezhalimannya, serta mati dalam keadaan itu, sehingga label tersebut tetap melekat kuat pada diri mereka. Bagian ini merujuk pada orang-orang semacam Abu Lahab, Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan tokoh-tokoh lain yang mati atau terbunuh dalam berbagai peristiwa sebelum sempat beriman.

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang memperkuat kesimpulan ini. Salah satu diantaranya adalah surah al-Baqarah: 159-162, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknat. * Kecuali mereka yang bertaubat, mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya. Dan, Akulah yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. * Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan umat manusia seluruhnya. * Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.”

Keterangan serupa dapat ditemukan dalam surah-surah al-Baqarah: 217, an-Nisa’: 17, Ali ‘Imran: 91, Muhammad: 34, at-Taubah: 84-85 dan 124-126.

[*]

Konteks yang masih terkait dengan tema ini adalah ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang kurang lebih berbunyi: “sebagian orang diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka”. Salah satunya terdapat dalam surah al-A’raf: 30.

Kalimat ini terkadang salah dimengerti, bahwasanya Allah melakukannya tanpa ada sebab dari orang yang mendapat petunjuk atau tersesat itu. Akan tetapi, bagian selanjutnya dari ayat ini sendiri menghilangkan kesalahpahaman tersebut, karena ia menyitir suatu penyebab yang selaras dengan pernyataan-pernyataan Al-Qur’an lainnya, yaitu: mereka telah menjadikan syetan-syetan sebagai pelindungnya selain Allah. Telah banyak contoh serupa yang dikutip sebelum ini. Dan, surah Yunus: 33 berikut ini turut berperan memberi penjelasan yang akan menghapuskan kesalahpahaman dimaksud. Allah berfirman, yang artinya, “Demikianlah telah tetap hukuman Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasiq, karena sesungguhnya mereka tidak beriman.”

Pesan serupa dapat kita mengerti dari surah-surah al-Baqarah: 26-27, ar-Ra’d: 27 dan Ibrahim: 26 yang telah kami kutip dimuka.

Para mufassir dan ahli takwil sendiri telah menyimpulkan banyak sekali pengertian dan hukum dari kalimat diatas. Imam ath-Thabari berpandangan ayat ini mengandung dalil bahwasanya siksaan Allah tidak hanya dijatuhkan kepada orang sesat yang membangkang, akan tetapi juga kepada orang yang sesat dan meyakini bahwa dirinya benar. Ada lagi yang membedakan antara orang yang secara hati-hati memilih dan berijtihad, lalu yakin bahwa dirinya benar; dengan orang yang menyimpang secara ceroboh dan tanpa didasari ijtihad, namun hanya membebek (taklid) kepada orang lain. Mereka menilai bahwa orang dalam kategori pertama tersebut bisa dimaafkan, dan siksaan hanya akan dijatuhkan kepada kelompok yang kedua. Ada juga yang menyatakan bahwa tidak ada ‘udzur (dalih/alasan) lagi – setelah kedatangan Islam – bagi orang-orang yang tersesat dari prinsip-prinsip Islam, termasuk seluruh akidah dan hukum yang secara tegas (sharih) dan pasti (qathi’) telah ditetapkan oleh nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang tsabit. Sebab, pemahaman terhadap masalah-masalah ini merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan ajaran Islam. Alasan hanya bisa diterima dari orang yang berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada nash tegas dan pastinya. Bahkan, orang seperti ini akan mendapatkan dua pahala jika tepat, dan mendapat satu pahala jika keliru. Menurut kami, pendapat terakhir inilah yang paling pas dan tepat. Ada pula yang berpandangan bahwa sekedar prasangka dan dugaan tidak akan mencukupi dalam menetapkan kebenaran sebuah agama, akan tetapi dalam hal ini harus ada ketegasan, kepastian, dan keyakinan. Pendapat ini pun pas dan tepat. Wallahu a’lam.

[*]

Di tempat lain, Al-Qur’an juga menyatakan, “itu hanyalah cobaan dari-Mu; Engkau sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk pula siapa yang Engkau kehendaki”. (Qs. al-A’raf: 155).

Frase ini sebenarnya disitir dalam konteks siksaan berupa guncangan dahsyat yang Allah timpakan kepada sebagian pemimpin Bani Israil. Frase ini dinyatakan sebagai ucapan Musa ‘alaihis salam. Hanya saja, meskipun lahiriahnya mengulang kembali pernyataan Nabi Musa, namun sebagian ulama’ ada yang memotongnya sampai disini dan menangkap kesan seolah-olah di dalamnya Allah telah meletakkan umat manusia pada suatu posisi dimana mereka tidak mungkin lagi menghindarinya, lalu Dia menyiksa dan menghukum mereka atas hal itu. Inilah maksud dari sebait syair yang sangat sering dikutip dalam berbagai kesempatan serupa, yaitu:
أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفًا وَقَالَ * لَهُ إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلَّ بِالْمَاءِ
Artinya: “Dia melemparkannya ke lautan dalam kondisi tangan terikat, dan berkata kepadanya: ‘Jangan sekali-kali kamu terbasahi oleh air!’”

Sebagian kalangan telah terbiasa untuk mengetengahkan kalimat ini dan menjadikannya sebagai landasan (hujjah), bahwasanya Allah telah menetapkan takdir setiap individu sejak zaman Azali, orang per orang, dimana mereka (telah ditetapkan) mendapat hidayah atau tersesat – menurut klaim mereka – tanpa dilatari suatu sebab apapun dari individu-individu itu sendiri. Kami telah memberikan komentar yang senada pada kesempatan-kesempatan terdahulu. Menurut kami, itu sudah lebih dari cukup. Hal ini sekaligus mensucikan Allah dari perbuatan yang sia-sia dan merusak hikmah-Nya sendiri, yakni tatkala Dia menyeru umat manusia dengan perantaraan para Rasul serta menetapkan konsekuensi pahala dan siksa bagi manusia sesuai dengan sikap mereka masing-masing di hadapan seruan-Nya itu, juga sesuai dengan perilaku mereka terhadap Allah maupun sesamanya.

Sehubungan dengan ungkapan dalam ayat ke-155 ini, kami katakan bahwa pengamatan yang jeli terhadap ayat tersebut akan menjadikan kesan diatas tidak pada tempatnya. Pertama, ungkapan itu mengisahkan pernyataan Nabi Musa ‘alaihis salam, bukan penegasan Al-Qur’an secara langsung. Kedua, makna dari kata fitnatuka dalam konteks ini bukanlah penyesatan, dibuat menjadi menyimpang, dan terfitnah (agamanya), akan tetapi maknanya adalah: ujian dan cobaan. Inilah pengertian yang ditetapkan secara tegas oleh Imam ath-Thabari dan lain-lain. Sebab, Allah menguji keimanan dan akhlak umat manusia dengan beberapa perkara. Allah memerintahkan mereka melakukan sesuatu, melarang mereka dari sesuatu, dan membebani mereka dengan tugas-tugas tertentu. Siapa saja yang memiliki keimanan dan kesabaran yang lemah, pasti menyimpang dan tersesat. Sedangkan orang-orang yang kuat keimanan dan kesabarannya, pasti senantisa berada dalam naungan petunjuk-Nya dan konsisten melaksanakan perintah-perintah-Nya. Pengertian ini dapat ditangkap pula secara samar-samar dari ayat-ayat surah al-Baqarah dan Ibrahim yang telah kami kutip sebelumnya. Ungkapan itu sendiri disitir dalam pengertian diatas melalui lisan Nabi Musa ‘alaihis salam. Sebab, perwakilan Bani Israil yang mendengar firman Allah adalah orang-orang yang tamak, sehingga mereka berkata kepada beliau, “Perlihatkan Allah kepada kami secara terang-terangan!” – sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Baqarah. Mereka inilah orang-orang yang diceritakan telah “disiksa oleh Allah dengan (disambar) halilintar”, sbb: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah secara terang-terangan!” Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” (Qs. al-Baqarah: 55).

Hal ini sebenarnya identik dengan peristiwa yang dikisahkan oleh ayat-ayat surah al-A’raf – tempat kemunculan frase yang sedang kita bicarakan sekarang. Tidak ada kontradiksi antara sha’iqah (halilintar) dengan rajfah (guncangan hebat). Sungguh, mereka telah menampakkan kelemahannya di hadapan ujian Allah, dan berlebihan dalam meminta serta mengharap.

Hanya saja, ayat itu sendiri mengandung suatu ungkapan lain yang bisa menghapus kerancuan macam apapun. Sebab, ia juga menyitir satu penegasan dari Allah bahwasanya Dia akan menetapkan rahmat-Nya – yang mencukupi untuk segala-galanya – bagi siapa saja yang bertakwa, menunaikan zakat, serta beriman kepada ayat-ayat Tuhan. Dengan demikian, secara tersirat, dinyatakan pula bahwa kesesatan maupun hidayah itu pada dasarnya bergulir menurut sunnatullah (hukum Allah) yang tetap bagi umat manusia, sesuai dengan usaha (kasab), pilihan (ikhtiyar), dan karakter (sajiyyah) mereka masing-masing. Demikianlah. Wallahu a’lam.


[*] Naskah ini dikutip, digabung dan diterjemahkan dari bagian-bagian terpisah dalam at-Tafsir al-Hadits, juz 2, karya Syaikh Muhammad ‘Izzat Darwazah, dengan beberapa penambahan. Semoga bermanfaat.