Terjemah "Kitabul 'Ilmi", kutipan dari Kitabul Jami' karya Ma'mar bin Rasyid - Bag. 2/2


 

[sambungan dari Bagian 1]


20420 — Dari ‘Ikrimah: sesungguhnya Nabi r bersabda kepada Sa’ad t pada hari (terjadinya) perang Uhud, “Ayahku sebagai penebusmu!” Kemudian beliau menyatakannya lagi, “Ayah dan ibuku sebagai penebusmu!”[1]

20421 — Dari Qatadah: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata, “Jangan katakan perihal Hassan kecuali yang baik-baik. Sungguh ia dulu mengucapkan syair untuk membela Rasulullah r dan mengejek orang-orang musyrik.”[2] Qatadah berkata, “Bila Hassan t masuk menemui ‘Aisyah, maka beliau menyiapkan bantal alas duduk dan Hassan pun duduk diatasnya.”

20422 — Kharijah bin Zaid berkata: Ummu al-‘Ala’ al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, kaum Anshar melakukan undian untuk menentukan dimana tempat tinggal mereka. Lalu kami mendapatkan ‘Utsman bin Mazh’un t untuk ditampung. Beliau kemudian sakit dan kami merawatnya, lalu meninggal. Rasulullah r pun datang dan masuk menghampiri jenazahnya. Aku berkata, “Semoga rahmat Allah terlimpah padamu, wahai Abu as-Sa’ib. Aku mempersaksikan bahwa sesungguhnya Allah telah memuliakanmu.” Beliau bertanya, “Apa engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?” Aku menjawab, “Tidak tahu, demi Allah.” Maka beliau pun bersabda, “Adapun orang ini, maka sungguh telah dikaruniai keyakinan oleh Tuhannya, dan sungguh aku berharap kebaikan untuknya. Demi Allah, aku sendiri tidak tahu – padahal aku adalah utusan Allah – apa yang akan diperbuat-Nya terhadapku maupun kalian.” Ummu al-‘Ala’ berkata, “Demi Allah, aku tidak akan men-tazkiyah seorang pun setelah ini, untuk selamanya.” Ia melanjutkan, “Kemudian setelah itu aku bermimpi melihat sebuah mata air yang mengalir milik ‘Utsman, dan kuceritakan mimpiku itu kepada Nabi r. Beliau pun bersabda: ‘Itu adalah amalnya.’” Ma’mar berkata: aku mendenfar az-Zuhri berkata: orang-orang muslim kurang suka dengan apa yang diucapkan oleh Nabi r terhadap ‘Utsman tatkala putri beliau wafat, “Susullah pendahulu kami itu, ‘Utsman bin Mazh’un.”[3]

20423 — Dari Ma’mar: dari salah seorang temannya: sesungguhnya Nabi r berdoa untuk Sa’ad bin Mu’adz t, “Ya Allah, tepatkan bidikan panahnya, dan kabulkan doanya.”[4]

20424 — Az-Zuhri berkata: sesungguhnya Hudzaifah t adalah salah seorang anggota Bani ‘Abs, dan termasuk kaum Anshar. Beliau bertempur dengan sangat hebat bersama ayahnya, yakni al-Yaman t, dalam perang Uhud bersama Rasulullah r. Kaum muslimin mengepung al-Yaman dan menebasnya dengan pedang-pedang mereka. Lalu, Hudzaifah berkata, “Semoga Allah mengampuni kalian, dan sesungguhnya Dia paling pengasih diantara yang pengasih.” [Rasulullah r bermaksud untuk membayarkan diyat-nya, namun Hudzaifah justru menyedekahkan diyat tersebut untuk kaum muslimin]. Hal itu sampai beritanya kepada Nabi r sehingga semakin bertambahlah kebaikanya di mata beliau.” Az-Zuhri melanjutkan, “Tatkala Nabi r berjalan menuju Tabuk, beliau turun dari unta tunggangannya untuk menerima wahyu, dan beliau pun mendudukkannya. Lalu, unta itu bangkit sendiri dan menyeret tali kekangnya terlepas begitu saja. Hudzaifah berpapasan dengan unta itu. Dipegangnya tali kekangnya, lalu digiringnya sehingga didudukkannya kembali, dan ia sendiri duduk di sampingnya. Nabi r kemudian bangkit dan mendekat ke arah unta tersebut. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Dijawab, “Hudzaifah bin al-Yaman.” Beliau kemudian bersabda, “Aku ungkapkan kepadamu satu rahasia yang tidak boleh engkau ceritakan kepada siapapun untuk selamanya. Sesungguhnya aku dilarang (oleh Allah) untuk menshalati (jenazah) si fulan dan si fulan, sejumlah orang dari kaum munafiq.” Ketika Rasulullah r telah wafat dan ‘Umar memangku jabatan sebagai khalifah, maka setiap kali ada salah seorang sahabat Nabi r yang meninggal, yang menurut persangkaan ‘Umar dia termasuk salah seorang kelompok munafiq tadi, beliau menggandeng tangan Hudzaifah dan mengajaknya. Jika Hudzaifah mau berjalan maka ‘Umar pun mau menshalati (jenazahnya), namun jika Hudzaifah menolak berangkat maka ‘Umar pun tidak mau menshalatinya, dan menyuruh orang lain untuk melakukannya.”[5]

20425 — Dari az-Zuhri: sesungguhnya Tsabit bin Qais bin Syammas t berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya khawatir bila celaka. Allah melarang bila seseorang suka dipuji dengan apa yang tidak diperbuatnya, padahal saya mendapati diri saya suka dipuji. Allah melarang keangkuhan, padahal saya mendapati diri saya menyukai keindahan. Allah melarang kami meninggikan suara melebihi suara Anda, padahal saya ini orang yang mempunyai suara lantang.” Maka Nabi r pun bersabda, “Hai Tsabit, tidakkah engkau ridha jika hidup terpuji, terbunuh sebagai syahid, dan masuk surga?”[6] Az-Zuhri berkata, “Maka dia pun hidup terpuji dan terbunuh sebagai syahid di hari (pertempuran menghadapi) Musailamah.”

20426 — Al-Hasan mengungkapkan hadits: dari ibunya: Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ketika Nabi r dan para sahabatnya membangun masjid, maka setiap orang dari mereka pun mengangkut satu balok batu bata, sementara ‘Ammar mengangkut dua balok; satu dari dirinya sendiri, dan lainnya dari Nabi r. Maka beliaupun bangkit berdiri dan mengusap punggung ‘Ammar seraya bersabda, “Wahai putra Sumayyah! Orang lain mendapat satu pahala, sedangkan engkau dua. Bekal terakhirmu adalah seteguk susu, dan engkau akan dibunuh oleh sekelompok orang yang zhalim.”[7]

20427 — Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm: dari ayahnya, yang memberitahunya: tatkala ‘Ammar bin Yasir t terbunuh, ‘Amr bin Hazm t masuk menemui ‘Amr bin al-‘Ash t lalu berkata, “’Ammar terbunuh, padahal aku telah mendengar Rasulullah r bersabda (bahwa) ia akan dibunuh oleh sekelompok orang yang zhalim.” Maka ‘Amr bin al-‘Ash pun bangkit pulang dengan sangat ketakutan sampai akhirnya ia masuk menemui Mu’awiyah t. Ia ditanya oleh Mu’awiyah, “Ada apa?” Dijawab, “’Ammar terbunuh.” Ditanyakan, “’Ammar terbunuh, lalu kenapa?” Dijawab, “Aku mendengar Rasulullah r bersabda (bahwa) ia akan dibunuh oleh sekelompok orang yang zhalim.” Maka Mu’awiyah pun berkata, “Terputuslah perkataanmu! Benarkah kita yang telah membunuhnya? Sungguh ‘Ali dan teman-temannyalah yang membunuhnya! Mereka datang membawa ‘Ammar sampai akhirnya mereka meletakkannya di bawah tombak-tombak kita – atau, diantara pedang-pedang kita!”[8]

20428 — Az-Zuhri berkata: kaum Muhajirin berkata kepada ‘Umar t, “Mengapa kami tidak boleh mengajak anak-anak kami sebagaimana engkau mengajak Ibnu ‘Abbas?” Beliau menjawab, “Ini adalah pemuda yang telah matang. Ia memiliki lidah yang selalu bertanya, dan pikiran yang cerdas.”[9]

20429 — Dari Hisyam bin ‘Urwah: ayahnya berkata: pedang yang pertamakali dihunus di jalan Allah (fi sabilillah) adalah pedang milik az-Zubair t. Berhembus kabar burung dari syetan bahwa Nabi r telah diculik di dataran tinggi Makkah. Maka az-Zubair pun keluar dengan menghunus pedangnya seraya menembus kerumunan orang banyak. Nabi r kemudian berjumpa dengannya dan bertanya, “Ada apa engkau ini, hai Zubair?” Dijawab, “Saya diberitahu, wahai Rasulullah, bahwa Anda diculik.” Maka, Nabi r pun mendoakan az-Zubair dan juga pedangnya.[10]

20430 — Qatadah berkata: tatkala az-Zubair t berbalik (meninggalkan medan pertempuran) di hari Perang Jamal, berita itu sampai kepada ‘Ali t, lalu beliau berkata, “Andai putra Shafiyyah itu tahu bahwa ia berada diatas kebenaran, pasti ia tidak akan berbalik pergi.” Qatadah melanjutkan: hal itu karena Rasulullah r pernah berjumpa dengan mereka berdua di Saqifah Bani Sa’idah, lalu beliau bertanya, “Apakah engkau mencintainya, hai Zubair?” Ia menjawab, “Apa yang menghalangiku (untuk mencintainya)?” Beliau kemudian bersabda, “Bagaimana keadaanmu bila engkau memeranginya, sementara engkaulah yang zhalim padanya?”[11] Qatadah berkata, “Orang-orang berpendapat, bahwa az-Zubair berbalik pergi karena (teringat) sabda Rasulullah r itu.”

20431 — Dari Isma’il bin Umayyah: Rasulullah r bersabda, “Ada dua pemuda yang aku tidak ingin mereka masuk neraka: ‘Attab bin Usaid dan Aban bin Sa’id”, atau Jubair bin Muth’im – perawi ragu-ragu – dan hal itu (beliau ucapkan) sebelum mereka berdua masuk Islam.[12]

20432 — Al-Hasan berkata: Rasulullah r bersabda, “Aku adalah pendahulu (sabiq) bangsa Arab, Bilal adalah pendahulu bangsa Habasyah, Shuhaib adalah pendahulu bangsa Romawi, dan Salman adalah pendahulu bangsa Persia.”[13]



183. Keyakinan dan kebimbangan (al-waswasah)

20439 — Az-Zuhri berkata: ada salah seorang Anshar di kalangan sahabat Nabi r yang datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Nabi Allah, apa pandangan Anda tentang sesuatu yang dibisikkan oleh syetan di dada kami, (dan bahwa) bila salah seorang dari kami menjatuhkan dirinya dari bintang tsurayya adalah lebih baik baginya dibanding terang-terangan mengungkapkannya (kepada orang lain)?” Nabi r pun bersabda, “Apakah kalian telah merasakan hal itu? Sesungguhnya syetan menginginkan yang kurang dari itu dari seorang hamba. Bila ia terpelihara dari (godaan) yang demikian itu, maka syetan akan mencampakkannya kepada yang lainnya lagi. Dan, itulah bukti kuat adanya iman.”[14]

20440 — Dari Hisyam bin ‘Urwah: dari ayahnya: Nabi r bersabda, “Sungguh sekelompok orang akan ada yang berkata: ‘Allah menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah?’ Jika kalian mendengar pernyataan seperti ini maka katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”[15]

20441 — Ibnu Sirin berkata: saya sedang berada di dekat Abu Hurairah t ketika datang seseorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu persoalan yang tidak saya mengerti. Maka, beliau pun berkata: Allahu akbar! Sudah dua orang menanyakannya, dan ini yang ketiga! Aku mendengar Rasulullah r bersabda, “Sungguh ada orang-orang yang disebabkan oleh mereka maka akan muncul beraneka ragam pertanyaan, sampai-sampai mereka berkata: ‘Allah menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah?’”[16] Ma’mar melanjutkan hadits ini dengan berkata, “Allah menciptakan segala sesuatu; Dia ada sebelum segala sesuatu; dan Dia tetap ada setelah segala sesuatu.”



184. Orang yang melayani temannya

20442 — Abu Qilabah berkata: seseorang disebut-sebut perihal dirinya di sisi Nabi r, lalu beliau berkomentar tentang orang itu, “Dalam dirinya terdapat kebaikan.” Ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, ia keluar bersama kami untuk menunaikan ibadah haji. Bila kami singgah (di suatu tempat), maka ia terus-menerus mengerjakan shalat sampai kami berangkat (melanjutkan perjalanan) kembali; dan bila kami berjalan maka ia terus-menerus membaca (Al-Qur’an) dan berdzikir sampai kami singgah.” Beliau bertanya, “Lalu, siapa yang mencukupi pakan unta tunggangannya dan memasak makanan untuknya?” Mereka menjawab, “Kami semua.” Beliau bersabda, “Kalian semua lebih baik dibanding dia.”[17]



185. Orang yang menyiksa sesamanya di dunia

20443 — Dari Hisyam bin ‘Urwah: dari ayahnya: Hisyam bin Hakim bin Hizam t masuk menemui ‘Umair bin Sa’ad al-Anshari t di Syam, dan ‘Umair adalah pejabat (yang ditunjuk oleh) ‘Umar bin al-Khaththab t. Hisyam pun mendapati di dekatnya ada sekelompok orang Nabata yang tengah dijemur di bawah terik matahari, sehingga Hisyam bertanya, “Ada apa dengan orang-orang itu?” Dijawab, “Aku menahan mereka karena jizyah.” Hisyam kemudian berkata: aku mendengar Rasulullah r bersabda, “Sungguh orang yang menyiksa sesamanya di dunia akan disiksa oleh Allah di akhirat kelak.” Maka, ‘Umair pun melepaskan mereka dan tidak menghukumnya.[18]

20444 — Dari Ibnu Thawus: ayahnya berkata: Buhair bin Risan datang menemui Ibnu ‘Abbas t untuk meminta tolong menghadapi Ibnu az-Zubair t – dan dia adalah pejabat yang bekerja untuknya. Maka Ibnu ‘Abbas pun berkata kepadanya, “Engkau ini orang yang banyak berbuat zhalim. Tidak seorang pun boleh membantumu, tidak juga membelamu!”[19]

20445 — Abu Rafi’ berkata, “Fir’aun memancang empat pasak untuk istrinya, lalu meletakkan batu penggilingan yang sangat besar diatas perutnya, hingga akhirnya wanita itu meninggal.”[20]



186. Kemerosotan Islam dan umat manusia

20446 — Sa’id bin Wahb berkata: aku mendengar Ibnu Mas’ud t berkata, “Orang-orang akan senantiasa baik dan berpegang teguh (pada agamanya) selama ilmu datang kepada mereka dari para sahabat Muhammad r dan dari orang-orang yang lebih tua diantara mereka. Namun, bila ilmu itu datang dari orang-orang yang lebih muda, maka mereka pasti celaka.”[21]

20447 — Dari Salim: Ibnu ‘Umar t berkata: Rasulullah r bersabda, “Manusia itu seperti seratus ekor unta, orang tidak bisa mendapati seekor pun yang dapat ditunggangi.”[22]

20448 — Dari az-Zuhri: dari ‘Urwah: dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: Lubaid berkata – dalam bentuk syair, “Telah pergi orang yang (kita) dapat hidup di bawah pengayomannya; tinggallah tersisa (orang-orang) yang seperti selembar kulit berkudis; kata-kata mereka penuh pengkhianatan dan kasih sayang mereka tidak bisa diandalkan; dan orang yang mengatakannya pantas dicela meskipun dia belum beranak-cucu.” ‘Aisyah kemudian berkata, “Bagaimana jikalau Lubaid mendapati orang-orang yang kita hidup di tengah-tengah mereka?”[23] Ma’mar berkata, “Bagaimana jikalau az-Zuhri mendapati orang-orang yang kita hidup di tengah-tengah mereka?”



189. Orang yang berwajah dua

20453 — Dari az-Zuhri: sesungguhnya Nabi r bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang paling membenci perkara ini sebelum akhirnya ia masuk ke dalamnya – maksudnya, agama Islam – sedangkan yang terburuk diantara kalian adalah orang yang menjumpai kelompok ini dengan satu wajah dan menjumpai kelompok lain dengan wajah lain pula.”[24]

20454 — Dari Qatadah: – Ma’mar berkata: Ayyub as-Sakhtiyani juga menuliskan hadits ini untukku: sesungguhnya Abu Mas’ud al-Anshari t masuk menemui Hudzaifah t, lalu berkata, “Beri kami nasihat, hai Abu ‘Abdillah!” Hudzaifah bertanya, “Bukankah telah datang padamu keyakinan?” Dijawab, “Sudah, demi Allah.” Hudzaifah berkata, “Kesesatan yang benar-benar sesat adalah bila hari ini kauakui kebenaran sesuatu yang sebelumnya kauingkari, dan bila hari ini kauingkari kebenaran sesuatu yang sebelumnya kauakui. Jauhilah sikap at-talawwun, karena sesungguhnya agama Allah itu satu.”[25]



192. Ilmu

20465 — Dari Abu Qilabah: Ibnu Mas’ud t berkata, “Hendaknya kalian mempelajari ilmu, sebelum ia dicabut, dan dicabutnya ilmu adalah dengan diwafatkannya orang-orang yang ahli di bidang itu. Hendaknya kalian mempelajari ilmu, sebab siapapun dari kalian tentu tidak tahu kapan ia dibutuhkan — atau: ilmunya itu dibutuhkan. Hendaknya kalian mempelajari ilmu. Jauhilah tanaththu’ dan ta’ammuq. Hendaknya kalian memilih ilmu-ilmu lama, karena akan datang suatu kaum yang membaca Kitabullah namun mereka melemparkannya ke belakang punggungnya.”[26]

20466 — Abu Harun berkata: kami pernah masuk menemui Abu Sa’id al-Khudriy t, maka beliau berkata: Selamat datang, wahai wasiat Rasulullah r, sesungguhnya beliau bersabda kepada kami, “Sungguh orang-orang akan akan datang kepada kalian dari berbagai penjuru untuk mempelajari agamanya (ber-tafaqquh), maka aku berpesan kepada kalian agar memperlakukan mereka dengan baik.”[27]

20467 — Dari Qatadah: Abu ad-Darda’ t berkata: “Sesungguhnya persoalan yang paling aku takutkan atas kalian adalah jika di hari kiamat nanti ditanyakan kepadaku, ‘Engkau sudah tahu, lalu apa yang sudah engkau amalkan dalam hal yang engkau ketahui itu?’“[28]

20468 — Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhir berkata, “(Mendapat) satu bagian dari ilmu lebih aku sukai dibanding satu bagian dari ibadah. Diselamatkan dari bahaya lalu aku bersyukur lebih aku sukai dibanding diberi cobaan lalu aku bersabar.” Beliau melanjutkan, “Aku sudah meneliti kebaikan yang di dalamnya tidak mengandung keburukan, ternyata aku tidak mendapati hal lain yang sebanding dengan keselamatan dan syukur.”[29]

20469 — Qatadah berkata: Ibnu ‘Abbas t berkata, “Mengingat-ingat suatu ilmu (mudzakarah) pada sebagian malam itu lebih aku sukai dibanding menghidupkannya.”[30] Yakni, dengan qiyamul-lail.

20470 — Abu Qilabah berkata: ditanyakan kepada Luqman, “Siapakah manusia yang paling sabar (atau: paling baik)?” Dijawab, “Kesabaran yang tidak diikuti dengan kejelekan.” Ditanyakan lagi, “Siapakah manusia yang paling pandai?” Dijawab, “Orang yang menambahkan ilmu-ilmu yang diketahui orang lain ke dalam ilmu yang sudah diketahuinya.” Ditanyakan lagi, “Siapakah manusia yang paling baik?” Dijawab, “Orang kaya.” Ditanyakan, “Kekayaan dalam hal harta benda?” Dijawab, “Bukan, tetapi orang kaya adalah seseorang yang jika dibutuhkan suatu kebaikan di sisinya maka akan ditemukan, dan jika tidak maka ia (berusaha) menyelamatkan orang lain dari keburukan dirinya.”

20471 — Dari ‘Urwah: dari ‘Abdullah bin ‘Amr t: Rasulullah r bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari manusia setelah Dia memberikannya kepada mereka. Akan tetapi Dia akan mewafatkan pada ulama’. Setiap kali seorang ulama’ wafat maka musnah pula semua ilmu yang ada padanya, sehingga akhirnya hanya tersisa orang-orang yang tidak berilmu, maka jadilah mereka itu sesat dan menyesatkan.”[31]

20472 — Abu Qilabah berkata, “Ulama’ itu ada tiga macam. Pertama, seseorang yang hidup dengan ilmunya, sementara orang lain tidak bisa hidup dengan keberadaannya. Kedua, seseorang yang mana orang lain hidup berkat ilmunya, sedangkan ia sendiri tidak hidup di dalamnya. Ketiga, seseorang yang hidup dengan ilmunya dan orang lain pun hidup dengan ilmunya itu.”[32]

20473 — Dari Abu Qilabah: Abu ad-Darda’ t berkata, “Engkau belum benar-benar faqih selama belum dapat melihat Al-Qur’an dari berbagai macam sudut pandang. Engkau pun belum benar-benar faqih selama belum membenci bagaimana perilaku manusia tatkala berhadapan dengan Allah, kemudian engkau mengarahkan pandangan ke dalam dirimu sendiri, dan ternyata engkau lebih membenci perilakumu sendiri ketika berhadapan dengan Allah dibanding kebencianmu kepada perilaku manusia.”[33]

20474 — Ali bin Zaid bin Jud’an berkata: Abu Nadhrah – atau lainnya – bercerita, “Kami pernah berada di sisi ‘Imran bin al-Hushain t, kami sedang me-mudzakarah  suatu ilmu. Lalu ada seseorang yang berkata, ‘Kalian jangan berbicara kecuali dengan apa yang ada dalam al-Qur’an.’ Maka, ‘Imran bin al-Hushain pun berkata kepada orang itu, ‘Kamu ini sungguh sangat dungu! Apakah kamu mendapati di dalam al-Qur’an bahwa shalat zhuhur itu empat rakaat, shalat ‘ashar juga empat rakaat, di dalam keduanya kamu tidak boleh mengeraskan bacaan; shalat maghrib tiga rakaat, kamu mengeraskan bacaan dalam dua rakaat pertama dan melirihkannya dalam satu rakaat (terakhir); shalat isya’ empat rakaat, kamu mengeraskan bacaan di dua rakaat (pertama) kemudian memelankannya di dua rakaat (terakhir); dan shalat shubuh dua rakaat, kamu mengeraskan bacaan dalam keduanya?’“ ‘Ali bin Zaid berkata, “Orang yang mengucapkan kata-kata tadi sebenarnya bukan ahli bid’ah, akan tetapi kata-kata yang diucapkannya termasuk bid’ah.”[34]

20475 — Ma’mar berkata, “Pernah dikatakan bahwa ada seseorang yang mencari ilmu untuk tujuan selain Allah, akan tetapi ilmu itu sendiri enggan dicari sebelum diniatkan untuk Allah.”

20476 — Ibnu Abjar berkata: asy-Sya’bi berkata, “Apa yang mereka sampaikan kepadamu yang berasal dari sahabat-sahabat Rasulullah r maka terimalah, adapun apa yang mereka katakan menurut pendapat akal (ra’yu) mereka sendiri, maka pikirkanlah dahulu.” Ibnu Abjar berkata: Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Saya sering didesak, sehingga saya terheran-heran.” Dan, beliau sering ditanya kemudian menjawab, “Saya tidak tahu.”[35]

20477 — Dari ‘Urwah bin az-Zubair: ‘Abdull`h bin ‘Amr t berkata, “Aku bersaksi bahwa Rasulullah r bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan cara melenyapkannya, akan tetapi Dia mewafatkan para ulama’ (yang menginggal membawa) ilmu mereka, sehingga manakala tidak tersisa lagi seorang ‘alim pun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin yang jahil, lalu mereka ditanya, kemudian mereka membuat-buat sendiri (hukum), sehingga mereka sesat dan menyesatkan (orang lain).”[36]

20478 — Az-Zuhri atau yang lainnya berkata, “Ada dua jenis orang rakus yang tidak akan pernah terpuaskan, yaitu: pencari ilmu dan pemburu dunia.”[37]

20479 — Az-Zuhri berkata, “Tidaklah Allah disembah dengan sesuatu yang sepadan nilainya dengan fiqh (kepahaman kepada agama).”

20480 — ‘Abdul Malik bin ‘Umair berkata: seseorang – sayang beliau lupa siapa namanya – berkata, “Diantara bentuk penyia-nyiaan terhadap ilmu adalah jika ia disampaikan kepada orang yang bukan ahlinya.”

20481 — Dari Qatadah: dari ‘Abdullah bin ‘Amr t: Rasulullah r bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari dada manusia sesudah Dia memberikannya kepada mereka, akan tetapi musnahnya ilmu adalah dengan wafatnya para ulama’, sehingga manusia pun mengangkat para pemimpin yang jahil, lalu mereka ditanya dan menjawab tanpa landasan ilmu, sehingga mereka sendiri sesat dan menyesatkan (orang lain).”

20482 — ‘Ikrimah berkata: ‘Isa bin Maryam berkata, “Jangan kau lemparkan permata kepada babi, sebab babi tidak bisa berbuat apa-apa terhadap permata itu. Dan jangan kau berikan hikmah kepada orang yang tidak menghendakinya, sebab hikmah itu lebih baik dari permata sementara orang yang tidak menghendakinya lebih buruk dari babi.”

20483 — Dari Sa’id bin Wahb: aku mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud t berkata, “Manusia akan senantiasa berada dalam keshalihan dan berpegang teguh (kepada agamanya) selama ilmu datang kepada mereka dari para sahabat Muhammad dan juga dari orang-orang yang lebih tua di kalangan mereka. Namun, tatkala ilmu datang kepada mereka dari kalangan yang lebih muda, maka mereka pasti hancur.”[38]



193. Pencatatan ilmu

20484 — Dari ‘Urwah: bahwasannya ‘Umar bin al-Khaththab t ingin membukukan sunnah-sunnah Rasulullah r, maka beliau bermusyawarah dengan para sahabat tentang masalah itu. Para sahabat sendiri menunjukkan persetujuannya, lalu beliau beristikharah selama sebulan. Pada suatu pagi beliau sudah bertekad untuk melaksanakan rencana tersebut, saat beliau berkata, “Sungguh saya ingin membukukan sunnah-sunnah Rasulullah r, tetapi saya teringat suatu kaum yang hidup sebelum kalian, dimana mereka menulis berbagai buku, lalu mereka sangat sibuk dengan buku-buku itu dan meninggalkan Kitabullah, sedangkan saya sendiri — demi Allah — tidak akan mencampur-baurkan Kitabullah dengan apapun, untuk selamanya!”[39]

20485 — Dari Thawus: ayahnya berkata: ada seseorang dari Najran yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas t. Beliau bahkan sangat kagum kepada pertanyaannya yang bagus sekali. Orang itu kemudian berkata kepada beliau, “Tuliskan untuk saya (jawaban dari Anda).” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sesungguhnya kami tidak mencatat ilmu.”[40]

20486 — Az-Zuhri berkata, “Dulu kami tidak menyukai pencatatan ilmu, sampai kemudian para penguasa itu memaksa kami melakukannya. Akhirnya kami berpandangan bahwa tidak seorang pun dari kaum muslimin yang dilarang melakukannya.”[41]

20487 — Shalih bin Kaysan bercerita, “Aku dan Ibnu Syihab membuat suatu kesepakatan. Kami sepakat untuk mencatat sunnah-sunnah Nabi r. Maka kami pun membukukan apa saja yang kami dengar berasal dari beliau. Kemudian kami juga mencatat apa yang berasal dari para sahabat beliau. Tetapi aku katakan, ‘Tidak, (kata-kata sahabat) bukan termasuk sunnah.’ Ibnu Syihab berkata, ‘Benar, (kata-kata sahabat) adalah sunnah.’ Dia pun mencatatnya sementara aku tidak. Akhirnya dia yang berhasil, sedang aku sia-sia (gagal).”[42]

20488 — Ma’mar berkata, “Aku menyampaikan beberapa hadits kepada Yahya bin Abi Katsir, maka beliau berkata, ‘Tuliskan untukku hadits yang bunyinya begini dan begitu.’ Aku menjawab, ‘Kami tidak menyukai pencatatan ilmu.’ Beliau berkata, ‘Tulislah! Karena sesungguhnya jika engkau tidak mencatatnya maka engkau telah sia-sia (gagal) — atau, ia berkata: tidak berdaya.”[43]

20489 — Dari Hammam bin Munabbih: sesungguhnya ia mendengar Abu Hurairah t berkata, “Tidak ada sahabat Muhammad r yang lebih banyak haditsnya dibanding saya, kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr t. Sebab, ia mencatat sementara saya tidak.”[44]



196. Berbohong atas Nabi r

20493 — Dari Abu Harun al-‘Abdiy: Abu Sa’id al-Khudriy t berkata: Rasululullah r bersabda, “Siapa saja yang berbohong atasku hendaklah ia ambil rumahnya di neraka.”[45]

20494 — Dari al-Hasan: sesungguhnya Nabi r bersabda, “Sampaikanlah hadits dariku, dan itu tidak mengapa. Akan tetapi, siapa saja yang berbohong atasku secara sengaja, hendaklah ia ambil tempat duduknya di neraka.”

20495 — Sa’id bin Jubair berkata: ada seseorang yang mendatangi salah satu perkampungan milik kaum Anshar, lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah r mengirim saya kepada kalian dan memerintahkan kalian agar menikahkan saya dengan fulanah.” Salah seorang lelaki anggota keluarga wanita itu berkata, “Orang ini mendatangi kita dengan membawa sesuatu yang tidak kita kenal dari Rasulullah r. (Biarkan) orang ini untuk singgah dan muliakan dia, sampai aku datang membawa berita tentang dirinya.” Maka ia pun mendatangi Nabi r dan menceritakan kepada beliau tentang orang tadi. Nabi r pun mengirim ‘Ali dan az-Zubair, radhiyallahu ‘anhuma, dan bersabda kepada mereka, “Pergilah kalian! Jika kalian mendapatinya, bunuh dia! Namun, menurutku kalian tidak akan bertemu dengannya.” Mereka berdua berangkat dan didapatinya orang itu telah mati dipatuk ular. Mereka pun kembali kepada Nabi r dan memberitahu beliau apa yang terjadi. Maka, Nabi r bersabda, “Siapa saja yang berbohong atasku, hendaklah mengambil tempat duduknya di neraka.”[46]

20496 — Dari az-Zuhri: Abu Hurairah t berkata: tatkala diangkat sebagai khalifah, ‘Umar t berkata, “Persedikitlah periwayatan dari Rasulullah r kecuali dalam hal-hal yang bisa diamalkan.” Abu Hurairah kemudian melanjutkan, “Apakah aku bisa mengungkapkan kepada kalian hadits-hadits ini ketika ‘Umar masih hidup? Jika kulakukan, demi Allah, pasti aku akan mendapati cambuk rotan menyentuh kulitku.”[47]



197. Ketapel

20497 — Sa’id bin Jubair berkata: aku berada di dekat ‘Abdullah bin Mughaffal t, lalu ada salah seorang dari kaumnya yang menggunakan ketapel. Beliau berkata, “Jangan mengetapel, karena Rasulullah r telah melarangnya. Menurut beliau: ‘Sesungguhnya engkau tidak bisa menangkap binatang buruan dengan ketapel itu dan tidak pula membunuh musuh. Hanya saja, ketapel bisa mematahkan gigi dan mencungkil mata.” Namun orang itu tidak juga mau berhenti sehingga ‘Abdullah bin Mughaffal berkata, “Aku ceritakan padamu hadits dari Rasulullah r, bahwa beliau melarang ketapel namun engkau tidak juga mau menghentikannya. Aku tidak akan berbicara denganmu sepatah katapun untuk selamanya!”[48]



198. Ayam jago

20498 — Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah: Zaid bin Khalid al-Juhaniy t berkata: ada seseorang melaknat ayam jago yang berkokok di dekat Rasulullah r, maka beliau bersabda, “Jangan melaknatnya, sebab ia mengajak untuk mengerjakan shalat.”[49]





[*] Demikian akhir kutipan dari Kitab al-Jami’ karya Ma’mar bin Rasyid.

--- selesai ---

(*) Bagian pertama, klik: disini





[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari, dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dengan redaksi, “Nabi r menyatukan kedua orangtuanya untuk (menebus)-ku di hari (terjadinya) perang Uhud.”
[2] Hassan bin Tsabit al-Anshari, satu dari tiga penyair pembela Nabi r, sedikit diantara para al-mukhadhram, yakni orang yang telah hidup 60 tahun di zaman jahiliyah dan 60 tahun berikutnya di zaman Islam. Sya’ir ejekan (hija’) adalah salah satu genre dalam sastra Arab yang dipergunakan untuk menjatuhkan lawan, kebalikan dari syair-syair pujian (madah). Dua penyair lainnya adalah ‘Abdullah bin Rawwahah dan Ka’ab bin Malik.
[3] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dari dua jalur berbeda. “Ummu al-‘Ala’ binti al-Harits al-Anshariyah” adalah istri Zaid bin Tsabit, yakni ibu dari Kharijah bin Zaid, perawi hadits diatas. “Abu as-Sa’ib” adalah gelar ‘Utsman bin Mazh’un, diambil dari nama anak lelakinya. Beliau wafat tahun 2 H sepulang dari perang Badar. “Men-tazkiyah” artinya menyatakan, memastikan atau mempersaksikan seseorang sebagai suci dan bersih di hadapan Allah. Nabi melarang tindakan ini karena mengandung unsur menerka-nerka hal ghaib tanpa landasan ilmu. Dalam Musnad ‘Abd bin Humaid, dijelaskan bahwa putri Nabi r yang wafat dalam riwayat az-Zuhri diatas adalah Zainab. Namun, menurut Ibnu ‘Abdil Barr dalam at-Tamhid, ucapan diatas dinyatakan Nabi r ketika wafatnya Ibrahim putra beliau. Mungkin juga hal ini beliau ucapkan dua kali. ‘Utsman sendiri adalah saudara sepersusuan Nabi r, sehingga kewafatannya meninggalkan rasa duka yang cukup mendalam di hati beliau; sebagaimana ketika gugurnya Hamzah, paman dan juga saudara sepersusuan beliau lainnya.
[4] Riwayat Ma’mar diatas menyelisihi para perawi lainnya, sebab dalam al-Mustadrak, Musnad al-Bazzar, Hilyatu al-Auliya’, dan Majma’u az-Zawa’id dinyatakan bahwa doa Nabi tersebut ditujukan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash dalam perang Uhud, bukan Sa’ad bin Mu’adz. Menurut al-Hakim, riwayat yang beliau kutip adalah shahih ‘ala syarthi muslim, dan demikian pula pernyataan adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.
[5] “Kaum muslimin mengepung al-Yaman...” maksudnya terjadi kesalahpahaman diantara sesama kaum muslimin dalam situasi perang Uhud yang kacau-balau, sehingga al-Yaman dibunuh secara tidak sengaja oleh teman-temannya sendiri, sesama muslim. Kisah ini juga dikutip al-Bukhari dalam Shahih-nya. “Diyat” adalah tebusan darah yang wajib dibayarkan dalam kasus pembunuhan tidak sengaja atau sengaja namun pelakunya dimaafkan oleh ahli warisnya sehingga tidak di-qishash dan diharuskan membayar sejumlah harta. Menurut riwayat Abu Dawud, nilai diyat di zaman itu adalah 800 dinar atau 8.000 dirham, (1,09 milyar rupiah, kurs 1 dinar = 1,36 juta rupiah; atau 256 juta rupiah, 1 dirham = 32 ribu rupiah; Oktober 2009). “Menyedekahkan diyat tersebut” maksudnya memaafkan para pelaku pembunuhan dan tidak menuntut diyat-nya, sebagaimana dijelaskan ath-Thabari dalam penafsiran QS an-Nisa’: 92. Ungkapan “turun dari unta tunggangannya untuk menerima wahyu” menggambarkan betapa berat wahyu itu, sebab seringkali unta yang beliau naiki langsung jatuh terduduk jika beliau menerima wahyu dan tidak turun dari kendaraannya. Ungkapan “sesungguhnya aku dilarang (oleh Allah)...” terkait dengan masa sebelum itu dimana beliau memperlakukan kaum munafiq secara lembut, dengan bersandar pada lahiriah keislaman mereka. Sepulang dari Tabuk, perlakuan beliau kepada mereka lebih tegas, diantaranya dengan memerintahkan dirobohkannya Masjid Dhirar, markas mereka di Quba’. Dalam al-Iman karya ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Yazid “Rustah” az-Zuhri (w. 250 H) diriwayatkan bahwa ada jenazah diusung kepada ‘Umar untuk dishalatkan. Beliau kemudian meminta air untuk berwudhu, sementara di dekat beliau ada Hudzaifah yang kemudian mencubitnya dengan sangat keras. Maka, ‘Umar pun berkata kepada orang-orang, “Pergilah kalian dan shalati teman kalian itu.” Hudzaifah sendiri tidak mengatakan apa-apa kepada beliau. Beliau kemudian bertanya, “Hai Hudzaifah, apakah aku termasuk diantara mereka?” Yakni, kaum munafiq. Dijawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah diantara para pejabatku ada salah seorang dari mereka?” Dijawab, “Ada, satu orang.” Demikianlah seakan-akan Hudzaifah memberitahu beliau jatidiri orang munafiq tersebut sehingga akhirnya beliau mencopotnya, walau Hudzaifah sendiri sebenarnya tidak pernah mengungkapkannya.
[6] Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Kabir, secara panjang lebar maupun ringkas, dari beberapa jalur. Menurut al-Haitsami, salah satu isnad-nya muttashil (bersambung), para perawinya adalah perawi kitab ash-Shahih selain Isma’il (bin Tsabit bin Qais bin Syammas), namun dia tsiqah, seorang tabi’in yang mendengar sendiri riwayat tersebut dari ayahnya. “Musailamah” yakni: bin Tsumamah bin Katsir bin Habib “al-kadzdzab”, si nabi palsu dari Yamamah.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim secara ringkas. Semua bagian riwayat ini dikutip oleh berbagai sumber lain, kecuali “satu dari dirinya sendiri, dan lainnya dari Nabi r. Bagian ini tidak diketahui sumber lain yang mengutipnya. “Sumayyah” adalah ibu dari ‘Ammar bin Yasir, seorang budak muslimah dan syahidah pertama dalam Islam. “Sekelompok orang yang zhalim” aslinya al-fi’ah al-baghiyah, yakni kelompok yang zhalim, melampaui batas, memberontak, menuntut (hak), dan durhaka.
[8] “Terputuslah perkataanmu!” adalah redaksi dalam riwayat ‘Abdurrazzaq menurut manuskrip pegangan tahqiq edisi al-Maktab al-Islami Beirut (1403 H). Dalam berbagai riwayat dan manuskrip lain seperti Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Abu Ya’la, yang juga bersumber dari ‘Abdurrazzaq, kalimat tersebut berbunyi: “terputuslah kencingmu”. Ini mungkin semacam ungkapan kurang senang. Isnad riwayat Ahmad shahih, demikian pula milik Abu Ya’la. Al-Hakim menilai hadits ini shahih ‘ala syarthi asy-syaikhaini, yang disepakati pula oleh adz-Dzahabi.
[9] Selengkapnya dikutip al-Bukhari terkait penafsiran surah an-Nashr. Keengganan kaum Muhajirin terhadap Ibnu ‘Abbas bisa dimaklumi, sebab usianya masih sangat muda namun sudah diajak masuk majlis musyawarah ‘Umar yang berisi para sahabat senior. ‘Umar memang memilih anggota majlisnya dari para ahli Al-Qur’an, tanpa memandang usianya. Selama 10 tahun kekhilafahan beliau, Ibnu ‘Abbas berusia antara 16 sampai 26 tahun, sebab beliau lahir 3 tahun sebelum hijrah.
[10] Dikeluarkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi dalam al-Kubra, dan Ibnu Abi Syaibah. Usia az-Zubair saat itu 11 atau 12 tahun, sehingga orang yang tidak tahu saling bertanya, “Ada anak kecil membawa pedang?” Dalam isnad al-Hakim terdapat Ibnu Luhai’ah yang dinilai dha’if oleh para ulama’. Para perawi al-Baihaqi semua baik, tidak ada yang tertuduh atau dinilai dha’if, hanya saja belum bisa mencapai derajat shahih. Sementara itu, semua perawi Ibnu Abi Syaibah adalah tsiqah.
[11] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dala’il, dan menurutnya riwayat ini mursal, namun beliau juga mengutip riwayat lain yang maushul. “Perang Jamal” atau Perang Unta, terjadi tahun 36 H, karena sebab-sebab yang rumit antara khalifah ‘Ali di satu pihak dengan ‘Aisyah, az-Zubair dan Thalhah di pihak lain, yang berakhir dengan kemenangan pihak ‘Ali dan terbunuhnya az-Zubair serta Thalhah. “Putra Shafiyyah” maksudnya adalah az-Zubair sendiri, sebab ibunya adalah Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib, bibi Nabi r dan juga ‘Ali. Jadi, diantara mereka bertiga adalah saudara sepupu. “Saqifah Bani Sa’idah” adalah balai pertemuan milik Bani Sa’idah dari kalangan Anshar, sekitar 500 meter di barat Masjid Nabawi.
[12] Riwayat ini mursal, sebab Isma’il bin Umayyah adalah tabi’in. Al-Hakim mengutip riwayat serupa yang maushul bersumber dari Ibnu ‘Abbas, yang berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah, namun Nabi r menyebut empat nama yang sangat beliau harapkan masuk Islam, yakni ‘Attab bin Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hizam dan Suhail bin ‘Amr; sedangkan Aban bin Sa’id tidak termasuk. Dalam isnad al-Hakim terdapat Yahya bin Sa’id bin Salim al-Qaddah, dan dia dha’if. Kelima orang tersebut, semuanya kemudian masuk Islam.
[13] Riwayat ini mursal, karena al-Hasan adalah tabi’in. Dikeluarkan juga oleh al-Hakim dan ath-Thabrani. Riwayat al-Hakim maushul bersumber dari Anas, namun dihapus oleh adz-Dzahabi dari at-Talkhish karena di dalam isnad-nya terdapat ‘Umarah bin Zadan yang lemah sekali (wahin). Hanya saja, menurut al-Haitsami, ‘Umarah ini tsiqah dan statusnya diperselisihkan para kritikus. Riwayat ath-Thabrani dalam ash-Shaghir juga maushul dan dinilai hasan oleh al-Haitsami, bersumber dari Abu Umamah. “Pendahulu” maksudnya pendahulu masuk surga, sebagaimana dijelaskan secara eksplisit dalam riwayat yang lain.
[14] Dikeluarkan oleh Muslim secara ringkas, bersumber dari Abu Hurairah. Menurut Syekh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqiy, sahabat tersebut merasakan sesuatu yang sangat hebat di dalam hatinya, namun takut membicarakannya karena sukarnya mengungkap sesuatu berkenaan dengan Allah. Maka, perasaan seperti itu seharusnya ditahan untuk diri sendiri dan tidak diumumkan, demi mencegah fitnah. Aneka perasaan dan pikiran berkenaan dengan keimanan justru akan hadir ketika iman benar-benar ada di dalam hati dan tengah diuji, yang disebut dengan al-waswasah (bisikian-bisikan). Sebagian orang gagal dalam ujian ini lalu mengobral perasaannya kepada orang banyak, yang justru memicu aneka kesesatan dan penyimpangan. Na’udzu billah min dzalik.
[15] Dikeluarkan oleh Muslim, bersumber dari Abu Hurairah, hadits marfu’.
[16] Hadits ini aslinya bersumber dari Abu Hurairah yang diriwayatkan secara ringkas oleh al-Bukhari.
[17] Isnad-nya mursal, sebab Abu Qilabah adalah tabi’in.
[18] Dikeluarkan oleh Muslim dari beberapa jalur. “Nabata” adalah sukubangsa tua yang memiliki akar sejarah panjang di Syam dan Iraq, dan di zaman itu umumnya mereka menganut Kristen sehingga diwajibkan membayar jizyah. Dalam riwayat diatas, mereka dihukum mungkin karena tidak mau membayar atau sebab lain yang terkait.
[19] Dalam sebagian manuskrip, nama perawinya tertulis “Buhair bin Wasnan”. Menurut editor, ini tidak tepat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Buhair berasal dari Yaman, salah seorang pejabat yang diangkat ‘Abdullah bin az-Zubair di masa kekhilafahannya.
[20] Kisah penyiksaan Fir’aun terhadap istrinya yang beriman kepada Allah dan menolak menyembah Fir’aun merupakan kisah heroik yang banyak dituturkan. Dalam hadits riwayat al-Bukhari, Nabi r menyebut nama wanita itu sebagai Asiyah.
[21] Dikeluarkan juga oleh Ibnu al-Mubarak. Menurut beliau, yang dimaksud “orang-orang yang lebih muda” adalah para ahli bid’ah, bukan muda dari segi usia. Sebab, sebagian sahabat ada yang mengutip riwayat dari tabi’in, dan para ulama’ salaf biasa mengambil atau bertukar ilmu dengan murid-muridnya sendiri, seperti antara asy-Syafi’i dan al-Humaydi.
[22] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini berbicara tentang sulitnya mendapati orang yang baik dan benar-benar layak menerima ilmu.
[23] Lubaid adalah salah seorang penyair di zaman jahiliyah yang termasyhur.
[24] Bagian akhir hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah.
[25] Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dengan tambahan “dan Kitabullah” setelah kalimat “bukankah telah datang padamu keyakinan?” Kalimat “menuliskan hadits ini untukku” merujuk pada tradisi periwayatan dengan cara korespondensi diantara para pelajar dan ulama’ yang hidup sezaman dan mungkin tinggal saling berjauhan. Yang dimaksud “at-talawwun” adalah suka berubah-ubah sikap, plin-plan, atau membunglon.
[26] Dikeluarkan oleh ad-Darimi dari dua jalur berbeda. “Tanaththu’” artinya berlebihan dan melampaui batas dalam segala hal, atau sikap ekstrim. “Ta’ammuq” artinya mendalami segala sesuatu dengan sangat berlebihan, sangat detil dan melebihi kewajaran (Jw. njelimet). “Melemparkannya ke belakang punggungnya” artinya meninggalkan dan tidak memperdulikan isinya, bersikap masa bodoh dan seolah-olah tidak tahu.
[27] Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Menurut Syekh al-Albani, sanad-nya dha’if.
[28] Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[29] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[30] Dikeluarkan oleh ad-Darimi.
[31] Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd. Riwayat semakna juga dikutip al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
[32] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, namun untuk orang ketiga berbunyi: “seorang ‘alim yang tidak hidup dengan ilmunya dan orang lain pun tidak hidup dengan ilmunya itu.”
[33] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[34] Kalimat “jangan berbicara kecuali dengan apa yang ada dalam al-Qur’an” atau yang serupa dengan itu biasa dilontarkan oleh kelompok yang mengingkari sunnah Nabi (inkaru as-sunnah). Menurut mereka, mengamalkan Islam sudah cukup dengan berpedoman pada Al-Qur’an saja. Inilah bid’ah yang dimaksud dalam riwayat diatas.
[35] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim.
[36] Dikeluarkan oleh Abu ‘Uwanah, dari Yahya bin Abi Katsir.
[37] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, dari Anas, secara marfu’.
[38] Lihat juga riwayat no. 20446.
[39] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam Taqyidu al-‘Ilmi.
[40] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam Taqyidu al-‘Ilmi.
[41] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam Taqyidu al-‘Ilmi. Yang dimaksud “para penguasa” atau para pangeran, adalah khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bersama para wali atau gubernurnya. Sebagaimana dimaklumi, dalam periode pemerintahannya yang singkat beliau menginstruksikan kepada para ulama’ di seluruh wilayah kekhilafahan untuk membukukan berbagai riwayat yang berasal dari Rasulullah r atau para sahabatnya.
[42] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dan Ibnu Sa’ad.
[43] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dan Abu Bakr bin ‘Abdil Malik.
[44] Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
[45] Hadits Abu Sa’id dalam tema ini diriwayatkan oleh Muslim.
[46] Kisah serupa dikutip ath-Thabrani dalam al-Ausath, bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Amr, namun disana disebutkan bahwa yang dikirim oleh Nabi r adalah Abu Bakr dan ‘Umar.
[47] “Cambuk rotan” atau al-mikhfaqah dalam teks aslinya, yakni tongkat pemukul dari kayu.
[48] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits diatas berbicara perihal larangan menggunakan ketapel; sedang atsar yang menyertainya berisi teguran keras kepada sikap menentang perintah atau larangan dalam sebuah hadits. Atsar inilah yang diambil sebagai bagian dari konsep ilmu.
[49] Dikeluarkan oleh al-Bazzar, dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas; Abu Dawud dari Zaid bin Khalid, menurut Syekh al-Albani: shahih; Ahmad dari Zaid bin Khalid, menurut Syekh al-Arna’uth: para perawinya tsiqah, termasuk perawi al-Bukhari dan Muslim, namun riwayat ini diperselisihkan statusnya apakah mursal atau maushul; dan Ibnu Hibban dari Zaid juga, menurut Syekh al-Arna’uth: isnad-nya shahih ‘ala syarthi asy-syaikhaini. Redaksinya sedikit berbeda satu sama lain, namun intinya sama. Secara tidak langsung, hadits ini berbicara tentang adab dalam ilmu, yakni tidak buru-buru melakukan atau mengatakan sesuatu jika tidak mengetahuinya.