Mewaspadai hadits palsu - Bag. 2/2


 
Bismillahirrahmanirrahim

Sebagaimana dinyatakan dalam artikel sebelumnya, hadits-hadits palsu sangatlah berbahaya, entah dari segi akidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalah. Ia pasti merusak, bukan memperbaiki. Ibarat minum obat palsu; ingin sehat tetapi justru menuai penyakit bahkan kematian. Tetapi, disiplin ilmu yang berfungsi menyaring hadits tergolong rumit dan sukar dikuasai, sehingga ahlinya pun tidak banyak. Lalu, sebagai kaum awam, apa yang bisa kita lakukan untuk membentengi diri?

Untungnya, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyusun kitab al-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’if, dimana beliau merumuskan kaidah-kaidah umum yang mengulas tanda-tanda luar kepalsuan sebuah hadits, selain menderet ratusan hadits palsu sebagai contoh spesifik. Kita telah mengulas lima tanda pada tulisan pertama, dan berikut ini dipaparkan selebihnya. Namun, karena keterbatasan tempat, tidak seluruhnya dikutip.
Keenam, isinya terbukti batil dengan sendirinya, atau mustahil Rasulullah pernah mengucapkannya.
Misalnya, “Jika Allah murka maka Dia menurunkan wahyu-Nya dengan bahasa Persia, namun jika ridha Dia akan menurunkannya dalam bahasa Arab.” Contoh lain, “Ada enam hal yang menyebabkan lupa, yaitu: (meminum) air bekas dijilat tikus, mencampakkan kutu ke dalam api, kencing pada air yang tidak mengalir, mengunyah getah pohon tertentu, memakan apel masam, dst.”
Ketujuh, isinya samasekali tidak mirip dengan pernyataan seorang Nabi, terlebih Nabi Muhammad, karena ucapan beliau adalah wahyu.
Contohnya, “Ada tiga hal yang memperkuat mata, yaitu: memandang hijau-hijauan, air yang mengalir, dan paras yang tampan/cantik.” Para Sahabat atau Tabi’in pun rasanya tidak pantas mengucapkan kalimat ini, terlebih-lebih Rasulullah. Serupa dengannya adalah: “Hendaklah kalian memilih orang yang berwajah manis dan memiliki biji mata hitam, sebab Allah merasa malu untuk menyiksa orang yang berwajah manis dengan neraka.” Sungguh, ini sangat keji. Atau, kebohongan yang menggelikan seperti ini: “Sungguh Allah mensucikan suatu kaum dari dosa-dosa dengan kebotakan pada kepala mereka, dan sungguh Ali adalah yang pertama diantara mereka.”
Kedelapan, isinya menyebut bulan/tahun ini-itu dan ramalan peristiwanya.
Kebanyakan, redaksinya adalah: “Bila tiba bulan/tahun sekian, maka akan terjadi begini dan begitu.” Tidak ada gunanya mempercayai yang seperti ini.
Kesembilan, isinya lebih mirip resep tabib dan ahli pengobatan, bukan nasihat seorang Rasul.
Contohnya, “Memakan ikan bisa melemahkan badan.” Atau, resep jamu kuat lelaki ini: “Jibril datang membawakan bubur daging dari surga, lalu aku memakannya, sehingga aku dikaruniai kekuatan setara 40 orang lelaki dalam bersetubuh.” Misal lain, “Meniup makanan (yang panas) itu menghilangkan barakah.”
Kesepuluh, ada bukti-bukti nyata yang membatalkannya.
Misalnya, “Sesungguhnya bumi ini berada diatas sebongkah batu besar, dan batu itu diatas tanduk sapi jantan. Jika sapi menggerakkan tanduknya, maka batu itupun ikut bergerak, sehingga bumi juga ikut bergerak. Maka, itulah gempa bumi.” Siapa yang mengerti Ilmu Bumi pasti menertawakannya. Sayangnya, riwayat semacam ini justru dimuat dalam kitab-kitab tafsir, sehingga sering disangka shahih.
Kesebelas, isinya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Contoh, hadits tentang umur dunia, bahwa ia akan berusia 7.000 tahun, dan Nabi Muhammad hidup di tahun yang ketujuhribuan. Jika benar, tentulah semua orang sudah tahu kapan Hari Kiamat akan terjadi, padahal Al-Qur’an menyatakannya sebagai rahasia Allah (Qs. Al-A’raf: 187; Luqman: 34, dsb).
Keduabelas, kata-katanya rapuh dan tidak bermutu.
Misalnya, “Ada empat hal yang tidak akan puas dari empat lainnya, yaitu: wanita dari laki-laki, bumi dari hujan, mata dari memandang, dan telinga dari berita.” Contoh lain, “Sungguh Allah mempunyai malaikat yang terbuat dari batu, ia bernama ‘Umarah, setiap hari ia turun mengendarai seekor keledai dari batu juga, lalu ia menentukan (naik-turunnya) harga (di pasar).”
Ketigabelas, isinya jelas keliru ketika dibandingkan dengan fakta yang shahih dalam Sunnah atau Siroh.
Misalnya, hadits yang menyatakan diwajibkannya kaum Yahudi Khaibar membayar jizyah. Padahal, sebenarnya saat itu hukum jizyah belum diturunkan.
Seluruh hadits yang dimuat sebagai contoh dalam artikel ini sudah diteliti para ulama’ dan dibuktikan kepalsuannya. Selain itu masih sangat banyak kategori lain yang bisa dipakai mendeteksi kepalsuan suatu hadits. Misalnya, hadits tentang keutamaan akal, ternyata tidak satu pun yang maqbul (bisa diterima). Seluruhnya dusta. Atau, hadits tentang Khidhir dan kehidupannya, misalnya beliau masih hidup sejak zaman Nabi Musa sampai sekarang, atau bertemu dengan Nabi Ilyas setahun sekali; seluruhnya pun palsu. Atau, hadits yang mencela bangsa negro (Habasyah, Sudan), Turki, kaum budak, atau kasim (sida-sida, budak yang telah dikebiri), semuanya palsu dan bohong. Atau, hadits tentang keutamaan shalat pada malam Ahad, Senin, Selasa, dst. Ini juga palsu. Termasuk dalam jenis ini adalah keutamaan shalat pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab. Juga, hadits tentang shalat pada malam Nishfu Sya’ban. Tradisi shalat dan ibadah Nishfu Sya’ban ini muncul setelah abad ke-4 Hijriyah, dimulai dari Baitul Maqdis. Jahatnya, mereka kemudian menciptakan hadits palsu guna mendukung amalannya!
Demikianlah, sebagian kaidah umum yang diulas Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya. Jika ingin mendapat keterangan lebih detail, silakan merujuk ke kitab aslinya. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.

[*] 28 Ramadhan 1431 H. Pernah dimuat di Lembar Tausiyah BMH Malang.