Bismillahirrahmanirrahim
Untungnya, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyusun kitab al-Manar
al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’if, dimana beliau merumuskan kaidah-kaidah
umum yang mengulas tanda-tanda luar kepalsuan sebuah hadits, selain menderet
ratusan hadits palsu sebagai contoh spesifik. Kita telah mengulas lima tanda
pada tulisan pertama, dan berikut ini dipaparkan selebihnya. Namun, karena
keterbatasan tempat, tidak seluruhnya dikutip.
Keenam, isinya terbukti batil dengan sendirinya, atau mustahil Rasulullah pernah
mengucapkannya.
Misalnya, “Jika Allah murka maka Dia menurunkan wahyu-Nya dengan bahasa
Persia, namun jika ridha Dia akan menurunkannya dalam bahasa Arab.” Contoh
lain, “Ada enam hal yang menyebabkan lupa, yaitu: (meminum) air bekas
dijilat tikus, mencampakkan kutu ke dalam api, kencing pada air yang tidak
mengalir, mengunyah getah pohon tertentu, memakan apel masam, dst.”
Ketujuh, isinya samasekali tidak mirip dengan pernyataan seorang Nabi,
terlebih Nabi Muhammad, karena ucapan beliau adalah wahyu.
Contohnya, “Ada tiga hal yang memperkuat mata, yaitu: memandang
hijau-hijauan, air yang mengalir, dan paras yang tampan/cantik.” Para Sahabat
atau Tabi’in pun rasanya tidak pantas mengucapkan kalimat ini, terlebih-lebih
Rasulullah. Serupa dengannya adalah: “Hendaklah kalian memilih orang yang
berwajah manis dan memiliki biji mata hitam, sebab Allah merasa malu untuk
menyiksa orang yang berwajah manis dengan neraka.” Sungguh, ini sangat
keji. Atau, kebohongan yang menggelikan seperti ini: “Sungguh Allah mensucikan
suatu kaum dari dosa-dosa dengan kebotakan pada kepala mereka, dan sungguh Ali
adalah yang pertama diantara mereka.”
Kedelapan, isinya menyebut bulan/tahun ini-itu dan ramalan peristiwanya.
Kebanyakan, redaksinya adalah: “Bila tiba bulan/tahun sekian, maka akan
terjadi begini dan begitu.” Tidak ada gunanya mempercayai yang seperti ini.
Kesembilan, isinya lebih mirip resep tabib dan ahli pengobatan, bukan
nasihat seorang Rasul.
Contohnya, “Memakan ikan bisa melemahkan badan.” Atau, resep jamu
kuat lelaki ini: “Jibril datang membawakan bubur daging dari surga, lalu aku
memakannya, sehingga aku dikaruniai kekuatan setara 40 orang lelaki dalam bersetubuh.”
Misal lain, “Meniup makanan (yang panas) itu menghilangkan barakah.”
Kesepuluh, ada bukti-bukti nyata yang membatalkannya.
Misalnya, “Sesungguhnya bumi ini berada diatas sebongkah batu besar,
dan batu itu diatas tanduk sapi jantan. Jika sapi menggerakkan tanduknya, maka
batu itupun ikut bergerak, sehingga bumi juga ikut bergerak. Maka, itulah gempa
bumi.” Siapa yang mengerti Ilmu Bumi pasti menertawakannya. Sayangnya,
riwayat semacam ini justru dimuat dalam kitab-kitab tafsir, sehingga sering disangka
shahih.
Kesebelas, isinya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Contoh, hadits tentang umur dunia, bahwa ia akan berusia 7.000 tahun, dan
Nabi Muhammad hidup di tahun yang ketujuhribuan. Jika benar, tentulah semua
orang sudah tahu kapan Hari Kiamat akan terjadi, padahal Al-Qur’an
menyatakannya sebagai rahasia Allah (Qs. Al-A’raf: 187; Luqman: 34, dsb).
Keduabelas, kata-katanya rapuh dan tidak bermutu.
Misalnya, “Ada empat hal yang tidak akan puas dari empat lainnya,
yaitu: wanita dari laki-laki, bumi dari hujan, mata dari memandang, dan telinga
dari berita.” Contoh lain, “Sungguh Allah mempunyai malaikat yang terbuat
dari batu, ia bernama ‘Umarah, setiap hari ia turun mengendarai seekor keledai
dari batu juga, lalu ia menentukan (naik-turunnya) harga (di pasar).”
Ketigabelas, isinya jelas keliru ketika dibandingkan dengan fakta yang shahih
dalam Sunnah atau Siroh.
Misalnya, hadits yang menyatakan diwajibkannya kaum Yahudi Khaibar
membayar jizyah. Padahal, sebenarnya saat itu hukum jizyah belum diturunkan.
Seluruh hadits yang dimuat sebagai contoh dalam artikel ini sudah diteliti
para ulama’ dan dibuktikan kepalsuannya. Selain itu masih sangat banyak
kategori lain yang bisa dipakai mendeteksi kepalsuan suatu hadits. Misalnya, hadits
tentang keutamaan akal, ternyata tidak satu pun yang maqbul (bisa
diterima). Seluruhnya dusta. Atau, hadits tentang Khidhir dan kehidupannya, misalnya
beliau masih hidup sejak zaman Nabi Musa sampai sekarang, atau bertemu
dengan Nabi Ilyas setahun sekali; seluruhnya pun palsu. Atau, hadits yang
mencela bangsa negro (Habasyah, Sudan), Turki, kaum budak, atau kasim
(sida-sida, budak yang telah dikebiri), semuanya palsu dan bohong. Atau,
hadits tentang keutamaan shalat pada malam Ahad, Senin, Selasa, dst. Ini
juga palsu. Termasuk dalam jenis ini adalah keutamaan shalat pada malam Jum’at
pertama di bulan Rajab. Juga, hadits tentang shalat pada malam Nishfu Sya’ban. Tradisi
shalat dan ibadah Nishfu Sya’ban ini muncul setelah abad ke-4 Hijriyah, dimulai
dari Baitul Maqdis. Jahatnya, mereka kemudian menciptakan hadits palsu guna mendukung
amalannya!
Demikianlah, sebagian kaidah umum yang diulas Imam Ibnu Qayyim dalam
kitabnya. Jika ingin mendapat keterangan lebih detail, silakan merujuk ke kitab
aslinya. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
[*] 28 Ramadhan 1431 H. Pernah dimuat di Lembar Tausiyah BMH Malang.