Mewaspadai hadits palsu - Bag. 1/2

 
Bismillahirrahmanirrahim

Dalam kitabnya, Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an, Syekh Badruddin az-Zarkasyi menulis, “…seharusnya (kita) waspada terhadap riwayat yang dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu), sebab yang seperti ini jumlahnya banyak. Sungguh, noda hitam diatas lembaran-lembaran kertas adalah noda hitam pula di dalam hati.” Tepat sekali, bila hadits palsu dipegangi dan diamalkan, ia justru mengeruhkan jiwa bahkan merusaknya. Sebab, ia tidak berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Resep yang diberikannya tidak asli serta sembarangan. Ibarat minum obat palsu; ingin sehat tetapi justru menuai penyakit bahkan kematian.

Sejak dulu, selalu saja ada manusia-manusia berhati busuk yang menyimpan kedengkian membara kepada Islam. Mereka melancarkan aneka jurus untuk memadamkan cahayanya, walau selalu digagalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya." (Qs. Ash-Shaff: 8).
Diantara upaya mereka adalah menyusupkan ribuan hadits palsu ke dalam Islam. Mereka faham bahwa kaum muslimin sangat mengagungkan Rasulullah, dan cenderung menerima apa saja titah beliau tanpa membantah. Sebab, ketaatan kepada beliau adalah bagian dari Syahadat. Dengan penyusupan itu, mereka berharap bisa melemahkan ruh Islam dari dalam, untuk kemudian menghantamnya dari luar manakala telah keropos. Mereka adalah kaum zindiq, yang menampakkan keislaman dari luar namun menyimpan kekufuran di dadanya.
Dikisahkan oleh al-Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa, bahwa khalifah Harun ar-Rasyid menangkap seorang zindiq dan menjatuhkan vonis pancung. Orang itu bertanya, “Mengapa engkau memenggal kepalaku, hai Amirul Mu’minin?” Dijawab, “Aku ingin mengamankan hamba-hamba Allah dari kejahatanmu.” Ia berkata lagi, “Lantas, apa tindakanmu selanjutnya, padahal aku telah memalsukan seribu hadits atas nama Rasulullah? Seluruhnya palsu, tak satu huruf pun yang beliau ucapkan.” Khalifah menjawab, “Hai musuh Allah, bagaimana posisimu menghadapi Abu Ishaq al-Fazari dan ‘Abdullah bin al-Mubarak? Mereka akan menyaring seluruhnya, dan mengeluarkannya huruf demi huruf!”
Oleh karenanya, para ulama’ bangkit membangun metodologi rumit dan canggih untuk menyeleksi hadits-hadits palsu itu. Saking rumitnya, ia menjadi salah satu disiplin ilmu yang sangat jarang ahlinya. Pertanyaannya, bagi kita kaum awam, tidak adakah suatu cara praktis yang membantu kita mendeteksi – walau, tidak sampai memastikan – hadits-hadits palsu yang mungkin berseliweran di sekitar kita?
Bersyukurlah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyusun kitab al-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’if, dimana beliau merumuskan kaidah-kaidah umum yang mengulas tanda-tanda luar kepalsuan sebuah hadits, selain menderet ratusan hadits palsu sebagai contoh spesifik. Berikut ini Bagian Pertama dari dua tulisan yang memuat tanda-tanda dimaksud.
Pertama, isinya menyatakan bahwa suatu amal sederhana mendapat pahala dahsyat.
Sangat banyak hadits dari jenis ini, yang dikenal sebagai fadhilah ‘amal (keutamaan amal perbuatan). Misalnya, “Siapa menuliskan (kalimat) bismillahirrahmanirrahim, dan dia tidak membutakan huruf ha’ pada lafazh Allah (yakni, menjaga agar tetap berlobang), niscaya Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta keburukan, dan meninggikan derajatnya satu juta tingkatan.” Kepalsuannya tampak nyata.
Contoh lain, “Siapa yang mandi pada hari Jum’at dengan disertai niat dan mengharap pahala dari Allah, niscaya Allah mencatat untuknya cahaya dengan setiap rambutnya pada Hari Kiamat, meninggikan satu derajat baginya di surga dengan setiap tetesan airnya yang berupa mutiara, permata yaqut dan zabarjad……” Aroma kepalsuan jelas tercium dari teks ini, kalimat demi kalimat.
Kedua, isinya tidak masuk akal.
Misalnya, “Terong itu tergantung niat siapa yang memakannya,” atau: “Terong adalah obat segala jenis penyakit.” Atau, yang semacam ini: “Jika seseorang bersin ketika mengutip hadits, maka dia pasti jujur.”
Ketiga, isinya terlalu remeh bahkan menjadi bahan cibiran orang.
Contohnya, “Andaikan beras itu berwujud seseorang, niscaya ia adalah orang yang sangat penyantun. Sebab, tidak seorang pun yang memakannya melainkan pasti kenyang.” Misal lain, “Siapa yang memakan kacang beserta kulitnya, niscaya Allah mengeluarkan penyakit dari dirinya sejumlah (kacang) yang dimakannya.”
Keempat, isinya memuat kerusakan, kezhaliman, kesia-siaan, memuji kebatilan, mencela kebenaran, atau yang semacamnya. Ringkasnya, bertentangan dengan hukum syari’at yang sudah masyhur.
Contohnya, menjamin orang yang memiliki nama tertentu (misal: Ahmad, Muhammad, dsb) pasti tidak masuk neraka. Padahal, keselamatan dari neraka tidak dijamin oleh nama, tetapi iman dan amal shalih. Contoh lain, “Siapa saja yang berpuasa pada pagi di Hari Idul Fitri, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh.” Jelas ini palsu, sebab Rasulullah melarang kita berpuasa pada Hari Raya. Justru saat itu adalah hari bergembira, makan dan minum.
Kelima, isinya bertutur bahwa Rasulullah melakukan atau menyatakan sesuatu secara terbuka di hadapan para Sahabat, lalu mereka sepakat menyembunyikan, mengubah atau menyelewengkannya.
Contohnya, konon beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib sepulang dari Haji Wada’ di hadapan para Sahabat, lalu bersabda, “Inilah pemegang wasiatku, saudaraku, dan khalifah sepeninggalku. Dengarkan dia dan taatlah.” Jika riwayat ini benar, maka sangat tidak masuk akal apabila para Sahabat masih berselisih di Saqifah Bani Sa’idah perihal siapa pengganti (khalifah) beliau. Wallahu a'lam.
[bersambung]

[*] 28 Ramadhan 1431 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang.