Bismillahirrahmanirrahim
Dalam kitabnya, Al-Burhan fi
‘Ulumil Qur’an, Syekh Badruddin az-Zarkasyi menulis, “…seharusnya (kita)
waspada terhadap riwayat yang dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu), sebab yang
seperti ini jumlahnya banyak. Sungguh, noda hitam diatas lembaran-lembaran
kertas adalah noda hitam pula di dalam hati.” Tepat sekali, bila hadits palsu
dipegangi dan diamalkan, ia justru mengeruhkan
jiwa bahkan merusaknya. Sebab, ia tidak berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Resep
yang diberikannya tidak asli serta sembarangan. Ibarat minum obat palsu; ingin sehat tetapi justru menuai
penyakit bahkan kematian.
Sejak dulu, selalu saja ada manusia-manusia berhati busuk yang menyimpan kedengkian membara kepada Islam. Mereka melancarkan aneka jurus untuk memadamkan
cahayanya, walau selalu digagalkan oleh Allah, sebagaimana
firman-Nya, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan
mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya,
walau orang-orang kafir membencinya." (Qs.
Ash-Shaff: 8).
Diantara upaya mereka adalah menyusupkan ribuan hadits palsu ke
dalam Islam. Mereka faham bahwa kaum muslimin sangat mengagungkan Rasulullah,
dan cenderung menerima apa saja titah beliau tanpa membantah. Sebab, ketaatan
kepada beliau adalah bagian dari Syahadat. Dengan
penyusupan itu, mereka berharap bisa melemahkan ruh Islam dari dalam, untuk
kemudian menghantamnya dari luar manakala telah keropos. Mereka adalah kaum zindiq,
yang menampakkan keislaman dari luar namun menyimpan kekufuran di dadanya.
Dikisahkan oleh al-Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa, bahwa
khalifah Harun ar-Rasyid menangkap seorang zindiq dan menjatuhkan vonis pancung.
Orang itu bertanya, “Mengapa engkau memenggal kepalaku, hai Amirul
Mu’minin?” Dijawab, “Aku ingin mengamankan hamba-hamba Allah dari
kejahatanmu.” Ia berkata lagi, “Lantas, apa tindakanmu selanjutnya,
padahal aku telah memalsukan seribu hadits atas nama Rasulullah? Seluruhnya
palsu, tak satu huruf pun yang beliau ucapkan.” Khalifah menjawab, “Hai
musuh Allah, bagaimana posisimu menghadapi Abu Ishaq al-Fazari dan ‘Abdullah
bin al-Mubarak? Mereka akan menyaring seluruhnya, dan mengeluarkannya huruf
demi huruf!”
Oleh karenanya, para ulama’ bangkit membangun metodologi rumit dan canggih
untuk menyeleksi hadits-hadits palsu itu. Saking rumitnya, ia menjadi salah
satu disiplin ilmu yang sangat jarang ahlinya. Pertanyaannya, bagi kita kaum
awam, tidak adakah suatu cara praktis yang membantu kita mendeteksi – walau,
tidak sampai memastikan – hadits-hadits palsu yang mungkin berseliweran di
sekitar kita?
Bersyukurlah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyusun kitab al-Manar
al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’if, dimana beliau merumuskan kaidah-kaidah
umum yang mengulas tanda-tanda luar kepalsuan sebuah hadits, selain menderet
ratusan hadits palsu sebagai contoh spesifik. Berikut ini Bagian Pertama dari
dua tulisan yang memuat tanda-tanda dimaksud.
Pertama, isinya menyatakan bahwa suatu amal sederhana mendapat pahala dahsyat.
Sangat banyak hadits dari jenis ini, yang dikenal sebagai fadhilah
‘amal (keutamaan amal perbuatan). Misalnya, “Siapa menuliskan (kalimat)
bismillahirrahmanirrahim, dan dia tidak membutakan huruf ha’ pada lafazh Allah
(yakni, menjaga agar tetap berlobang), niscaya Allah mencatat untuknya satu
juta kebaikan, menghapus darinya satu juta keburukan, dan meninggikan
derajatnya satu juta tingkatan.” Kepalsuannya tampak nyata.
Contoh lain, “Siapa yang mandi pada hari Jum’at dengan disertai niat
dan mengharap pahala dari Allah, niscaya Allah mencatat untuknya cahaya dengan
setiap rambutnya pada Hari Kiamat, meninggikan satu derajat baginya di surga
dengan setiap tetesan airnya yang berupa mutiara, permata yaqut dan zabarjad……”
Aroma kepalsuan jelas tercium dari teks ini, kalimat demi kalimat.
Kedua, isinya tidak masuk akal.
Misalnya, “Terong itu tergantung niat siapa yang memakannya,” atau:
“Terong adalah obat segala jenis penyakit.” Atau, yang semacam ini: “Jika
seseorang bersin ketika mengutip hadits, maka dia pasti jujur.”
Ketiga, isinya terlalu remeh bahkan menjadi bahan cibiran orang.
Contohnya, “Andaikan beras itu berwujud seseorang, niscaya ia adalah
orang yang sangat penyantun. Sebab, tidak seorang pun yang memakannya melainkan
pasti kenyang.” Misal lain, “Siapa yang memakan kacang beserta kulitnya,
niscaya Allah mengeluarkan penyakit dari dirinya sejumlah (kacang) yang
dimakannya.”
Keempat, isinya memuat kerusakan, kezhaliman, kesia-siaan, memuji
kebatilan, mencela kebenaran, atau yang semacamnya. Ringkasnya, bertentangan
dengan hukum syari’at yang sudah masyhur.
Contohnya, menjamin orang yang memiliki nama tertentu (misal: Ahmad,
Muhammad, dsb) pasti tidak masuk neraka. Padahal, keselamatan dari neraka tidak
dijamin oleh nama, tetapi iman dan amal shalih. Contoh lain, “Siapa saja
yang berpuasa pada pagi di Hari Idul Fitri, maka seakan-akan ia berpuasa
setahun penuh.” Jelas ini palsu, sebab Rasulullah melarang kita berpuasa pada
Hari Raya. Justru saat itu adalah hari bergembira, makan dan minum.
Kelima, isinya bertutur bahwa Rasulullah melakukan atau menyatakan sesuatu
secara terbuka di hadapan para Sahabat, lalu mereka sepakat menyembunyikan,
mengubah atau menyelewengkannya.
Contohnya, konon beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib sepulang dari
Haji Wada’ di hadapan para Sahabat, lalu bersabda, “Inilah pemegang
wasiatku, saudaraku, dan khalifah sepeninggalku. Dengarkan dia dan taatlah.”
Jika riwayat ini benar, maka sangat tidak masuk akal apabila para Sahabat masih
berselisih di Saqifah Bani Sa’idah perihal siapa pengganti (khalifah) beliau. Wallahu a'lam.
[bersambung]
[*] 28 Ramadhan 1431 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang.