Mensyukuri iman



Bismillahirrahmanirrahim

Pernahkah kita – atau, orang-orang di sekitar kita – berangan-angan, andai saja bisa terlahir di zaman Rasulullah, lalu hidup dan berjuang bersama beliau? Kita melihat beliau shalat, dan menirunya sepersis mungkin. Beliau berdoa, dan kita mengaminkannya. Bila kita berselisih pendapat, beliau hadir dan wahyu turun menyelesaikannya. Saat musuh datang, beliau membariskan kita dan memimpin pertempuran. Lalu, para malaikat turun, dan kemenangan teraih. Sebagian kita syahid dan beliau mempersaksikan kita telah masuk surga atau dijemput bidadari, lalu sebagian yang lain pulang dengan membawa ghanimah. Bukankah semua ini terasa begitu menggairahkan dan penuh semangat?


Sepertinya begitu. Tetapi, bila angan-angan itu kita kemukakan kepada salah seorang Sahabat Rasulullah yang sesungguhnya, belum tentu mereka akan senang. Salah satunya adalah al-Miqdad bin al-Aswad, si Penunggang Kuda (faaris) andalan Rasulullah.
Jubair bin Nufair bercerita, bahwa pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada al-Miqdad, “Sungguh beruntung kedua mata Anda ini, yang telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demi Allah, sungguh kami berharap andai bisa melihat apa yang telah Anda lihat dan menyaksikan apa yang telah Anda saksikan.” Namun, beliau terlihat tidak senang. Jubair berkata, “Saya merasa heran. Bukankah orang itu hanya mengatakan sesuatu yang baik?”
Lalu, al-Miqdad menghadap orang itu dan berkata, “Apa sebenarnya yang mendorong seseorang untuk mengangankan suatu momen yang telah Allah jauhkan darinya, padahal ia tidak pernah tahu – andaikan ia benar-benar menyaksikannya – bagaimana sikapnya di saat itu? Demi Allah, sungguh telah banyak orang yang berjumpa langsung dengan Rasulullah, namun Allah menjungkalkan mereka ke dalam neraka Jahannam karena mereka tidak menjawab seruan beliau dan tidak pula membenarkannya. Mengapa kalian tidak memuji Allah, sebab Dia telah membuat kalian terlahir dalam keadaan tidak mengenal selain Tuhan kalian dan membenarkan apa yang diajarkan oleh Nabi kalian? Sungguh, Dia telah mencukupkan malapetaka besar itu pada generasi selain kalian. Demi Allah, sungguh Allah mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu kondisi yang paling berat bagi kebangkitan seorang Nabi, yaitu pada zaman kekosongan dari kenabian (fatrah) dan kejahiliyahan, dimana saat itu manusia tidak melihat ada agama yang lebih baik dibanding penyembahan berhala. Lalu, beliau datang membawa furqan yang memilah antara hak dan batil, serta memisahkan antara seorang ayah dengan anaknya; sampai seseorang bisa melihat (dengan jelas) bahwa ayah, anak atau saudaranya adalah kafir. Allah telah membuka segel hatinya sehingga ia beriman, dan ia tahu persis bahwa jika ia mati (dalam keadaan seperti mereka) pastilah ia masuk neraka. Maka, ia tidak akan senang sebab ia tahu bahwa orang-orang yang dicintainya itu justru masuk neraka. Inilah makna firman Allah, “Orang-orang yang berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, anugerahilah kami istri-istri dan anak-anak yang menyenangkan pandangan mata kami.” (Qs. al-Furqan: 74). [Hadits riwayat Ahmad. Isnad-nya shahih].
Jadi, angan-angan seperti itu ternyata tidak layak dan belum tentu baik. Mari kita renungkan faktanya. Dalam peristiwa Hijrah, kaum muslimin hanya berjumlah ratusan dari ribuan penduduk Makkah. Di Perang Badar, 313 kaum muslimin harus berhadapan dengan kaum kafir yang tiga kali lipat jumlahnya. Peristiwa serupa kembali terulang di medan Uhud, Khandaq, Tabuk, dll. Lalu, ada ratusan ribu manusia dari Syam dan Mesir yang berbaris menghadang Islam, dikomandoi Kaisar Byzantium. Kishra Persia juga tidak tinggal diam dan mengirim pembunuh bayarannya ke Madinah, untuk menghabisi Rasulullah. Di seantero Semenanjung Arabia pun tersebar banyak kabilah yang mayoritas tidak memihak Islam. Belum lagi makar kaum Yahudi dan munafik di Madinah, Tayma’ atau Khaibar.
Bila kita benar-benar terlahir dan hidup di zaman itu, berapa persen peluang kita untuk berpihak kepada Rasulullah? Atau sebaliknya, kita justru menjadi orang lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa selain mengekor keyakinan dan kecenderungan mayoritas orang di sekitar kita? Lihatlah, jutaan manusia di zaman itu justru berdiri di barisan kaum kafir, entah pasif maupun aktif, dan banyak diantaranya dijungkalkan oleh Allah ke jurang Jahannam. Rasa-rasanya kita pun akan sama saja dengan mereka. Astaghfirullah!
Maka, daripada mengharapkan sesuatu yang belum tentu baik, alangkah tepat jika kita mensyukuri iman karunia Allah ini. Bukankah ia sebuah keberuntungan dan berkah? Bukankah Allah telah menghadiahi kita keimanan tanpa harus bersimbah-darah menghadapi seluruh dunia seperti para Sahabat? Tidakkah cukup bagi kita pujian Rasulullah kepada orang-orang yang beriman kepada beliau, meskipun tidak sempat berjumpa secara langsung? Diceritakan oleh Abu Jumu’ah – seorang Sahabat – bahwa pada suatu hari para Sahabat makan bersama Rasulullah, dan diantara mereka terdapat Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang lebih baik dari kami? Kami masuk Islam dan berjihad bersama Anda.” Beliau menjawab, “Ya, ada. Mereka adalah kaum yang hidup sesudah kalian, yang beriman kepadaku walaupun tidak melihatku.” (Riwayat Darimi, Ahmad, dan al-Hakim. Sanad-nya shahih). Wallahu a’lam.

[*] 10 Dzulqa’dah 1431 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.