Bismillahirrahmanirrahim
Apakah yang paling sering kita mohonkan
kepada Allah dalam doa-doa kita? Apa alasan kita meminta kepada Allah hal-hal
itu? Ya, benar. Mungkin, karena ia sangat penting, mendesak, atau menjadi pusat
gravitasi kehidupan kita sehari-hari. Menurut kita, jika hal-hal itu tidak
terpenuhi atau gagal, hidup kita akan terganggu, rusak, bahkan tidak bermakna
lagi.
Demikianlah, karena doa adalah cermin
kecenderungan dan pengharapan seseorang. Ia tidak berisi hal-hal remeh, namun
ia merefleksikan siapa jatidiri pengucapnya. Doa menunjukkan bagaimana
seseorang menilai hakikat kehidupan serta perkara-perkara yang disertakan dalam
doanya itu. Memang, sangat mungkin bahwa isi doa seseorang akan dianggap sepele
oleh orang lain, tetapi secara subyektif ia sangatlah penting bagi orang yang
memanjatkannya.
Di sisi lain, secara alamiah manusia hanya
akan berdoa ketika merasa lemah dan tidak mampu meraih sesuatu dengan bersandar
pada dirinya sendiri. Doa hanya diucapkan oleh orang yang merasa tidak berdaya
di hadapan Tuhannya. Orang sombong tidak akan pernah berdoa, sebab ia merasa
dirinya kuat dan mampu mewujudkan segalanya dengan kemampuannya sendiri. Oleh
karenanya, doa termasuk inti ibadah, dan Allah murka jika kita tidak mau berdoa.
Diriwayatkan oleh al-‘Askary dalam al-Mawa’izh, dengan sanad
dha’if, bahwa Allah berfirman dalam
sebuah Hadits Qudsi, “Barangsiapa yang tidak berdoa kepadaku, maka Aku murka
kepadanya.”
Oleh karenanya, ada banyak doa dalam
Al-Qur’an dan hadits. Bahkan, seluruh momen hidup Rasulullah dipenuhi dengan
doa. Mulai dari bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi, memakai baju,
bercermin, makan, keluar rumah, naik kendaraan, dst. Beliau terbiasa berdoa di
hadapan orang banyak seperti ketika berhaji atau memimpin shalat, dan tetap berdoa
di saat-saat paling privat yang beliau jalani bersama istri-istrinya.
Lalu, apa pentingnya doa bagi kita? Pada
dasarnya, doa akan mengajarkan kita untuk merendahkan diri, tawadhu’ dan
mengakui keterbatasan diri sendiri. Sikap-sikap inilah yang akan melembutkan
jiwa dan memudahkan masuknya nasihat, pesan-pesan kebaikan, serta bisikan hati-nurani.
Sebaliknya, manusia yang tidak pernah atau tidak mau berdoa, hatinya akan
mengeras bagaikan batu, bahkan lebih keras lagi. Ia sulit mengenali kebenaran
dan tidak peka kepada kebajikan. Jika ini terus-menerus dibiarkan, ia akan
kehilangan sifat manusiawinya dan berubah menjadi Iblis. Tahukah Anda, bahwa
penyakit pertama yang menyesatkan Iblis adalah kesombongan? Karena sombong, ia
menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Kesombongan melbuat Iblis
gagal mengenali hakikat perintah itu. Ia secara sempit hanya “memandang Adam”,
dan tidak “melihat Allah” yang memerintahkannya bersujud.
Oleh karenanya, kita diperintahkan menjaga
shalat lima waktu. Rasulullah bersabda, “Perjanjian diantara kami dan mereka
adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkannya, maka dia telah kafir.”
(Riwayat Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Buraidah al-Aslami. Isnad-nya
shahih).
Mengapa shalat? Ya, karena – secara bahasa
– shalat berarti doa. Dalam shalat lah kita diajarkan untuk membungkukkan diri,
duduk bersimpuh, dan bahkan meletakkan wajah kita di tanah, semata-mata untuk
menunjukkan kerendahan dan kelemahan kita di hadapan Allah. Tidak ada perbedaan
dan keistimewaan tatacara shalat diantara sesama muslim. Sebab, kita semua
sama-sama manusia, dan yang besar hakikatnya hanyalah Allah. Sebaliknya, jika
seseorang tidak mau lagi membiasakan diri untuk merendah di hadapan Allah dan
bersikap tawadhu’ kepada sesama, maka benih-benih kesombongan Iblis akan tumbuh
subur dalam jiwanya. Sebentar lagi, kemungkinan besar, ia pun akan menjadi
kafir seperti Iblis.
Diantara manfaat lain dari menjaga shalat
adalah menciptakan kepekaan untuk mengenali kemunkaran dan kemudian diberi
kekuatan untuk meninggalkannya. Allah berfirman, “Tegakkanlah shalat,
sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Qs.
al-‘Ankabut: 45). Demikianlah, jika seseorang bersungguh-sungguh mengerjakan
shalat dan memahami doa-doanya, jiwanya akan sangat sensitif tetapi sekaligus
sangat kuat. Ia sensitif terhadap hal-hal di sekitarnya, apakah ma’ruf
atau munkar, namun juga kuat berpegang pada prinsipnya dan tidak takut dimusuhi
orang lain karenanya.
Dikisahkan bahwa Nawwas bin Sam’an al-Anshari bertanya
kepada Rasulullah tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab, “Kebajikan
adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa-apa yang terasa mengganjal
di hatimu dan engkau tidak suka jika hal itu diketahui oleh orang lain.” (Riwayat Muslim).
Inilah kepekaan hati seorang muslim sejati.
Dalam hadits lain, beliau bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu, dan
beralihlah kepada apa yang tidak meragukanmu.” (Riwayat Nasa’i dan
Tirmidzi. Hadits hasan-shahih). Tentu saja, tidak sembarang orang bisa
merasakan seperti ini. Banyak orang yang hatinya justru telah mati dan tidak nyambung
samasekali terhadap sinyal-sinyal kemunkaran. Ia tidak ubahnya hewan ternak,
bahkan lebih sesat lagi (Qs. al-A’raf: 79 dan al-Furqan: 43-44).
Maka, agar hati kita tetap hidup, kita
harus selalu menjaganya dengan berdoa, terutama dalam shalat. Jangan sampai
kita tidak mengerti untuk apa doa-doa itu, karena – jika tidak dipahami – ia
tidak akan membekaskan pengaruhnya dalam diri kita. Mungkin, inilah penyebab
mengapa ada banyak orang terbiasa yang mengerjakan shalat, namun sekaligus ahli
maksiat. Astaghfirullah!
[*] 19 Dzulhijjah
1431 H. Pernah diterbitkan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.