Bismillahirrahmanirrahim
Suatu hari, kami membeli sejenis makanan tertentu dari pedagang kaki lima
di bilangan Tugu Monas, Jakarta. Sambil menunggu makanan disiapkan, iseng-iseng
kami bertanya tentang asal-usul si pedagang itu. Dengan logat Madura yang
kental, spontan ia menjawab, “Sayya dari Sollo, dhik!” Kami semua tertawa.
Terasa lucu saja, karena ada orang Solo yang sangat kuat aksen Maduranya,
tanpa bisa ditutupi. Kami tidak tahu, apakah ia berbohong atau menjawab sekenanya,
karena kami pun sebetulnya tidak ambil pusing ia berasal dari mana. Akan
tetapi, syaraf humor kami – sekitar lima orang – rupanya bisa merasakan
kelucuan itu tanpa dikomando. Kami tahu ada yang tidak cocok, antara logat
bicara orang itu dengan pengakuan asal daerahnya.
Sekarang, mari kita tinggalkan pedagang kaki lima yang lucu itu dan beralih
ke topik “tanda-tanda kenabian”. Apakah ada hubungannya?
Sebenarnya, setiap perkara memiliki penanda, yang dengannya kita bisa
mengenali dan membedakan dari selainnya. Seperti cerita diatas, logat orang
Solo dengan orang Madura jelas berlainan, dan karenanya kita mengerti bahwa ada
yang aneh disana. Berkat pengenalan tersebut, jika saja persoalannya lebih
serius, kita tidak akan mudah tertipu. Sama halnya dengan kenabian. Ia adalah
perkara khusus yang memiliki tanda-tandanya sendiri. Kenabian jauh berbeda
dengan prediksi peramal, sihir tukang tenung, sulap magician, jampi-jampi
dukun, hikmah sastrawan dan orang bijak, atau teori filosof. Inilah yang
membuat kaum kafir kebingungan. Al-Qur’an merekam bagaimana mereka berdebat
diantara sesamanya, sekedar menemukan padanan yang tepat dari jatidiri seorang
utusan Allah (misal, Qs. Al-Anbiya’: 5; al-Haqqah: 40-43; ash-Shaffat: 35-36;
ad-Dukhan: 14; adz-Dzariyat: 39). Tapi, mereka gagal dan disesatkan oleh
angan-angannya sendiri (Qs. Al-Isra’: 48).
Dewasa ini, diantara musibah yang memperberat beban kaum muslimin adalah
tampilnya figur-figur yang – secara terbuka – mengaku-aku sebagai nabi.
Orang-orang ini, silih berganti muncul. Satu belum tuntas kehebohannya,
tiba-tiba mencuat yang baru dengan klaim serupa. Anehnya, selalu saja ada yang
mau menjadi pengikut dan pendukungnya. Kok bisa?
Masalahnya, sebagian besar mereka tidak tahu-menahu bahwa kenabian pun
memiliki tanda-tandanya yang khas. Tanda-tanda inilah yang memilah kenabian
dari perdukunan, ramalan, magic, intelektualitas, dan filsafat. Akan tetapi, ternyata
diantara orang-orang yang mengaku sebagai nabi di zaman sekarang, sebenarnya kebanyakan
lebih tepat disebut dukun, penganut ilmu hitam atau orang yang kesurupan jin (majnun).
Oleh karenanya, para ulama’ dulu banyak menulis karya bertema “tanda-tanda
kenabian”. Mungkin kita bertanya, buat apa mereka sibuk mencatat informasi
semacam itu, toh kenabian telah berakhir? Sekilas, mereka seolah-olah
menuliskan perkara tak berguna; seperti tabib kuno yang memberikan resep kadaluwarsa.
Jenis karya semacam ini cukup banyak, misalnya A’lamu an-Nubuwwah karya
Abul Hasan al-Mawardi (w. 456 H), atau empat kitab yang sama-sama berjudul Dala’ilu
an-Nubuwwah karya Abu Bakr al-Firyabi (w. 301 H), Abu Nu’aim al-Ashbahani
(w. 430 H), Abu Bakr al-Baihaqi (w. 458 H), dan Abul Qasim al-Ashbahani (w. 535
H). Kedua judul ini sama-sama berarti “tanda-tanda kenabian”.
Namun, setelah 14 abad lebih berselang dari kenabian terakhir,
sesungguhnya karya-karya itu kembali menemukan relevansi dan momentumnya. Sebab,
dewasa ini betapa sering kita mendengar orang-orang yang mengaku nabi, dan menyebarkan
aneka ajaran yang – katanya – diwahyukan dari langit.
Hampir semua “nabi” itu mendasarkan klaimnya dari mimpi-mimpi, dan secara
terbuka menyebutnya sebagai wahyu, wangsit, bisikan langit, atau apapun
lainnya. Padahal, Rasulullah pernah bersabda, “Mimpi yang baik adalah satu
dari 46 bagian kenabian.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah,
Anas bin Malik, dll.). Dengan kata lain, sekedar mimpi tidak akan pernah cukup
untuk mendukung pengakuan kenabian. Sebab, masih tersisa 45 pertanda lain yang
seharusnya bisa kita minta dan tuntut, sebagai bukti kebenaran dirinya. Bahkan,
dalam salah satu riwayat Imam Muslim, terdapat tidak kurang dari 70 tanda
kenabian. Jika ingin bukti, tantanglah orang-orang yang mengaku Nabi itu untuk
memenuhi sepuluh saja diantaranya, dan saksikan mereka bertekuk-lutut,
terbongkar tuntas kebohongannya!
Di sisi lain, Rasulullah juga bersabda, “Mimpi itu ada tiga macam.
(Pertama), mimpi yang baik, yaitu kabar gembira dari Allah. (Kedua), mimpi
pembangkit kesedihan, maka ia bersumber dari syetan. (Ketiga), mimpi yang
merupakan bagian dari percakapan seseorang dengan dirinya sendiri.”
(Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah).
Bisa jadi seseorang telah lama menginginkan dirinya dipuja dan berpengaruh.
Keinginan ini begitu kuat menguasai pikiran serta perasaannya. Lalu, syetan
datang membisik-bisikkan godaan. Inilah yang disebut dengan “percakapan
seseorang dengan dirinya sendiri” oleh Rasulullah, atau “percakapan
imajiner”. Mimpinya itu sebenarnya bukan dari Allah, tetapi bagian dari
ambisinya sendiri, yang kebetulan mengambil bentuk “kenabian”. Syetan hanya
menunggangi, sebab pada dasarnya orang itu sendiri yang menginginkannya. Na’udzul
billah.
Hakikat inilah yang disadari dengan baik oleh para ulama’, sehingga dalam al-‘Aqidah
ath-Thahawiyah dinyatakan, “Seluruh klaim kenabian setelah beliau (Nabi
Muhammad) adalah sesat dan (didasari) hawa nafsu belaka.”
Jadi, kenalilah segala sesuatu dengan benar, agar Anda tidak tertipu oleh
orang-orang yang berhati culas dan ambisius; yang tega memanfaatkan keluguan
dan kejahilan Anda demi kepentingan nafsu mereka sendiri.
Wallahu a’lam.