Lima ayat yang menakjubkan



Bismillahirrahmanirrahim

Al-Hafizh Sa’id bin Manshur al-Khurasani menyitir sebuah riwayat yang menakjubkan dalam kitabnya, as-Sunan. Riwayat ini statusnya “hasan li ghairihi”, yakni sebetulnya memiliki sanad dha’if (lemah) namun meningkat menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya. Disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya di dalam (surah) an-Nisa’ terdapat lima ayat, dimana dunia dan seisinya ini tidak akan menyenangkanku dibanding dengan kelimanya. Aku sungguh tahu bahwasannya para ulama’ – ketika membacanya – mereka pasti mengetahuinya.”

Mungkin, ini terdengar seperti gurauan. Sebab, lima ayat itu nilainya begitu menakjubkan. Tetapi, Ibnu Mas’ud adalah salah seorang seorang Sahabat yang menjadi guru dan rujukan dalam bacaan Al-Qur’an. Beliau pasti tidak bercanda dengan pernyataannya. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa ingin membaca Al-Qur’an yang segar sebagaimana ia diturunkan, maka bacalah menurut (tatacara dan sikap) bacaan Ibnu Ummi ‘Abd.” (Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih). Yang dimaksud Ibnu Ummi ‘Abd tidak lain adalah Ibnu Mas’ud.
Lalu, apa sajakah kelima ayat dalam surah an-Nisa’ itu?
Pertama, ayat ke-31.
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
Artinya, jika kita berharap Allah menghapus dan memaafkan kesalahan-kesalahan kecil kita, maka jauhi dan tinggalkan dosa-dosa besar. Lalu, apakah dosa besar itu? Dalam Tafsir Fathul Qadir, Imam Syaukani mengutip pernyataan Ibnu Mas’ud, “Dosa-dosa besar adalah semua yang dilarang oleh Allah dalam surah (an-Nisa’) ini, sampai ayat ke-33.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Dosa besar adalah setiap dosa yang telah divonis oleh Allah dengan neraka, kemurkaan, laknat, atau siksaan.”
Kedua, ayat ke-40.
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”
Allah Maha Adil, dan tidak mungkin berbuat aniaya. Nabi bersabda, “Kelak Allah akan membebaskan salah seorang dari umatku di hadapan banyak orang. Digelarlah untuknya 99 gulungan catatan, masing-masing sepanjang mata memandang, lalu Allah bertanya padanya, “Apakah engkau mengingkari sedikit saja dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat amal-Ku telah menzhalimimu?” Ia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki alasan atau kebaikan.” Maka, diam tanpa dayalah orang itu, lalu menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman, “Sebaliknya, sebenarnya engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami. Tidak ada kezhaliman sedikit pun atas dirimu di hari ini. Maka, dikeluarkanlah satu kartu (catatan yang tertulis) padanya: Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu. Lalu, semua catatan itu diletakkan pada satu sisi daun timbangan, dan selembar kartu itu pada daun timbangan lainnya. Maka, terangkatlah gulungan-gulungan catatan tersebut dan lebih berat yang selembar itu.” (Riwayat Ahmad, al-Hakim dan at-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash. Hadits shahih).
Ketiga, ayat ke-48.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya....”
Syirik adalah dosa tak termaafkan. Jika seorang hamba mati dan menjumpai Allah dalam keadaan musyrik, maka murka-Nya tak terpadamkan. Ia pasti masuk neraka selama-lamanya. Imam al-Alusi meriwayatkan asbabun nuzul ayat ini dalam Tafsirnya: bahwa tatkala turun ayat, “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53), maka Nabi berdiri diatas mimbar dan membacakannya. Ada seseorang yang berdiri dan bertanya, “Bagaimana dengan menyekutukan Allah (syirik)?” Maka, beliau pun diam. Orang itu kembali berdiri dan menanyakan hal yang sama, dua atau tiga kali, sementara beliau tetap diam. Maka, turunlah surah an-Nisa’: 48 diatas.
Keempat, ayat ke-64.
“...Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini berkenaan dengan beberapa orang yang mengadukan perkara kepada Rasulullah. Namun, setelah diberi putusan, mereka justru tidak puas dan ingin mencari hukum lain yang bisa memenuhi selera nafsunya. Allah menegur keras sikap tersebut, namun menjanjikan jalan keluar, yaitu: jika mereka mau bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, lalu mendatangi Rasulullah dan meminta agar dimaafkan serta dimohonkan ampunan, maka pasti Allah bersedia menerima mereka kembali.
Kelima, ayat ke-110.
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
Dalam Tafsir Zaadul Masir, Imam Ibnul Jauzi menyatakan bahwa yang dimaksud “kejahatan” disini adalah syirik, mencuri atau dosa-dosa lain secara umum. Sedangkan “menganiaya dirinya” adalah menuduh orang lain tanpa bukti atau dosa-dosa lain di bawah syirik.
Sesungguhnyalah, kita tidak pernah terlepas dari kesalahan dan dosa. Maka, inilah jalan-jalan emas yang diberikan Allah. Tentu saja, mendapatkan jaminan ampunan dari Allah nilainya akan jauh lebih baik dari dunia dan seluruh isinya. Wallahu a’lam.

[*] M. Alimin Mukhtar, 25 Ramadhan 1431 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.