Bismillahirrahmanirrahim
Imam Bukhari menuturkan,
bahwa pada suatu ketika, di masa hidup Rasulullah, seseorang digiring menghadap
beliau karena ketahuan menenggak minuman keras. Maka, beliau pun bersabda
kepada para Sahabat yang berkumpul di sekitarnya, “Pukuli dia!” Menurut Abu
Hurairah, saat itu ada yang memukulinya dengan tangan, sandal, atau kain bajunya.
Dalam riwayat lain, bahkan ada yang menggunakan tongkat atau pelepah kurma yang
masih basah. Tentu saja, dia babak-belur. Setelah selesai, ada salah seorang
dari mereka yang berujar kepada peminum khamer itu, “Semoga Allah
menghinakanmu!” Mendengar ucapan ini, rupanya Rasulullah tidak berkenan dan bersabda,
“Jangan katakan seperti itu! Jangan membantu syetan untuk menjerumuskannya!”
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul
Baary, kemungkinan, orang yang ditegur oleh Nabi karena ucapannya itu
adalah Umar bin Khattab. Lalu, beliau mengajarkan bagaimana yang seharusnya
dikatakan, “Akan tetapi, katakan: ‘Ya Allah, ampunilah dia! Ya Allah, sayangilah
dia!’” Beliau kemudian menyuruh para Sahabat untuk mendekati orang itu dan
mencela perbuatannya. Maka, mereka pun mengerumuninya dan berkata, “Apa kamu
tidak bertakwa kepada Allah? Apa kamu tidak takut kepada Allah? Apa kamu tidak
malu kepada Rasulullah?” Setelah itu, mereka pun membiarkannya pergi.
Inilah kekuatan “label buruk”, yang
sangat disadari oleh Rasulullah dan beliau ajarkan kepada kita. Sungguh, jika
seorang pelaku maksiat didoakan keburukan dan justru diberi cap sebagai terhina
di mata Allah, maka akan terkesan dalam jiwanya bahwa ia memang benar-benar
seperti itu, tidak bisa diubah dan dibenahi. Pada gilirannya, situasi jiwa yang
lemah ini merupakan lahan subur bagi bisikan-bisikan syetan: “Sudahlah, buat
apa kamu berbuat baik? Kamu ini orang terhina di mata Allah. Buat apa sih
bertaubat? Nggak ada gunanya! Cuma bikin capek. Mana ada yang mau percaya sama
kamu! Sama saja, kan? Daripada berbuat baik tapi tidak dipercaya, mending
sekalian saja jadi orang jahat! Biar tahu rasa mereka itu! Biar sekalian puas!
Huh!”
Sebaliknya, beliau menyarankan dua hal mendasar. Pertama, memintakan ampunan kepada Allah serta mendoakan kebaikan untuknya. Inilah hak sesama muslim, yakni dibantu dan
dibela agar terselamatkan agamanya. Bukankah saudara kita itu tengah terjungkal
di-smack down oleh syetan, sehingga terjerumus dalam maksiat? Sebagai sesama muslim, bukankah seharusnya ia dibantu? Yang terhina adalah syetan musuh kita itu, bukan saudara kita sesama muslim.
Maka, kalahkan tipuan syetan, perlemah bisikannya, dan bukan sebaliknya: menolong serta mempertegasnya. Kedua,
beliau menyuruh kita untuk menunjukkan letak kekeliruan saudara kita.
Artinya, tunjukkan bahwa perbuatannya sangat buruk dan memalukan; bahwa kita seluruhnya samasekali tidak simpatik atau mendukung. Jelas,
beliau menyuruh kita “mencela perbuatannya”, bukan “menghinakan orangnya”.
Syetan pada kenyataannya ringkih dan tidak berdaya, namun ia sangat lihai dan licik memanfaatkan
celah-celah kelemahan serta kealpaan manusia. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa
tipudaya syetan itu sesungguhnya sangat lemah
(Qs. An-Nisa’: 76). Ia hanya bisa menghias segala keburukan di mata manusia sehingga tampak
indah dan baik. Jika sudah begini, pada hakikatnya manusia
sendiri yang memilih jalan keburukan. Ia telah tertipu, dan kelak syetan
bahkan berlepas diri darinya samasekali. Masing-masing akan berhadapan dengan Allah
dan menerima balasan yang setimpal. (Qs. Al-Hasyr: 16; al-Anfal: 48;
at-Taubah: 37).
Rasulullah memberi contoh dengan
menganugerahkan gelar-gelar yang baik kepada para Sahabatnya.
Lihatlah, Abu Bakar diberinya nama panggilan ash-shiddiq (yang sangat
jujur). Umar mendapatkan nama al-faruq (yang sangat tegas memilah hak
dan batil). Utsman mendapat dzun nurain (pemilik dua cahaya). Ali disebut
aqdhaa (yang paling pandai memutuskan perkara). Abu Ubaidah disebut amiinu hadzihil ummah (orang kepercayaan umat
ini). Zubair dinamai hawariyyu (sahabat setia). Daftar ini masih bisa
terus diperpanjang.
Sebaliknya, jika ada Sahabat yang
namanya bermakna buruk, tidak pada tempatnya, menandakan pesimisme, atau
berkonotasi syirik, beliau akan mengubah dan menggantinya. Zainab, salah
seorang istri beliau, nama aslinya adalah Barrah (yang maha baik). Ini hak
Allah, maka tidak layak disandang manusia. Ada seorang pemuka suku yang
bergelar Zaid al-Khail (si Kuda), datang menghadap Nabi dan masuk Islam. Namun,
beliau menggantinya, “Kamu adalah Zaid al-Khair (si Baik).” Konon, nama
asli Abu Bakar ash-Shiddiq adalah Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah), dan beliau
menggantinya menjadi Abdullah (hamba Allah).
Inilah kekuatan “label baik”, untuk membangkitkan
motivasi dan melawan cap-cap negatif yang sering membelenggu potensi ketakwaan dalam jiwa manusia. Sebab, setiap kita telah diberi potensi ketakwaan itu, dan juga potensi sebaliknya. Allah berfirman: “Demi
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu. Dan, sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. Asy-Syams: 7-10). Wajar pula jika Allah melarang keras kita saling mengejek dan memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk (Qs. Al-Hujurat: 11).
Maka, para guru, pengasuh, orang tua, pendidik, juga kita semua,
seharusnya berhati-hati dalam berbicara. Jangan sampai label, gelar atau cap
yang kita berikan kepada seseorang justru menjadi alat bagi syetan untuk
menjerumuskannya. Astaghfirullah!
[*] M. Alimin Mukhtar, 24 Ramadhan 1431 H; pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.