
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz al-Hadlaq[1] bercerita:
Syaikh Hamd al-Jasir[2] berkata,
“Tatkala saya mengunjungi Thaha Husain di rumahnya, saya bertanya kepadanya:
‘Wahai Doktor, apa yang Anda katakan dalam buku Anda, Fi asy-Syi’ri
al-Jahiliy, apakah Anda masih berpendapat seperti itu sekarang?” Maka,
Thaha Husain pun menjawab, “Itu
hanya permainan anak muda!”
Saya pun berkata kepada Syaikh, “Mahmud
Syakir menyitir dalam catatan kaki salah satu bukunya, bahwa beliau diberitahu
perihal Thaha Husain yang telah mencabut pernyataan-pernyataan yang pernah
dilontarkannya. Mahmud Syakir kemudian mengomentari hal itu: ‘Begitulah para
tokoh itu, mereka melakukan kesalahan secara terang-terangan, namun bertaubat
secara diam-diam!’”[3]
Dr. Muhammad ad-Dasuqi bersaksi:
Ustadz Ibrahim Mushthafa mengaku bahwa
pada tahun 1950 mendengar secara langsung dari Thaha Husain, bahwa dia telah
mencabut pandangannya dalam buku Fi asy-Syi’ri al-Jahiliy, dan dia pun
menyatakannya secara terus terang. Hal itu dilakukan Thaha Husain setelah
dihadiahi sejumlah literatur yang mendeskripsikan kehidupan bangsa Arab yang
disimpulkan dari syair-syair era jahiliyah. Namun, ketika Ustadz Ibrahim
Mushthafa meminta Thaha Husain untuk mengumumkan pencabutan pandangan-pandangannya tersebut secara terbuka, dia tersenyum dan berkata,
“Tidak, tidak, tidak!”[4]
Maryam Jameelah (Margaret Marcus)
menulis dalam Islam dan Modernisme:
Pendukung Dr. Thaha Husain menyatakan bahwa dalam umurnya yang tua
sekarang ini,[5] ia merasa bersalah dengan beberapa perbuatannya di masa muda,
dan tulisan-tulisannya yang baru menunjukkan simpati kepada cita-cita Islam,
maka masa lalunya hendaknya dimaafkan. Saya tidak setuju. Pikiran-pikiran Dr.
Thaha Husain seperti yang terlihat dalam buku-bukunya diatas masih sangat
berperan, pengaruhnya yang berbahaya itu bahkan lebih kuat saat ini daripada
ketika buku itu ditulis beberapa dekade yang lalu. Jika ia minta maaf atas
kesalahannya di masa muda, tetapi tidak pernah dinyatakan secara luas, hal itu
tidak akan bisa menghilangkan akibat buruk dari kesalahan-kesalahannya.[6]
[1] ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman Al-Hadlaq, saat ini menjabat associate
professor di Fakultas Tarbiyah, King Saud University, Saudi Arabia. Selengkapnya lihat,
link: http://faculty.ksu.edu.sa/2440/default.aspx
[2] Hamd al-Jasir, lahir 1910 dan wafat September 2000; seorang ulama’,
peneliti, mantan anggota sejumlah akademi ternama di Baghdad, Damakus, dan
Kairo. Beliau adalah pendiri koran pertama di Riyadh, al-Yamamah, tahun
1952. Lihat selengkapnya, link: http://ar.wikipedia.org/wiki/حمد_الجاسر
[3] Min Majalisi ‘Alimil Jazirah asy-Syaikh Hamd al-Jasir, no. 11, link:
http://islamtoday.net/nawafeth/artshow-43-123388.htm
[4] Thaha Husain fi Mizanil ‘Ulama’ wal Udaba’, hal. 659-660, karya
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, al-Maktab al-Islami, cet. 1, 1403 H/1983 M.
[5] Maryam Jameelah menyelesaikan bukunya pada tahun 1965, dan usia Dr. Thaha
Husain waktu itu sekitar 75 tahun, karena dilahirkan tahun 1890. Thaha Husain sendiri
meninggal tahun 1973.
[6] Islam dan Modernisme, hal. 201, Usaha Nasional, Surabaya, 1982;
penerjemah: A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni. Pernyataan senada juga ditulis Dr.
Muhammad ad-Dasuqi, sebagaimana dikutip Mahmud Mahdi al-Istanbuli diatas.