Bismillahirrahmanirrahim
Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim – salah seorang murid Imam Abu Hanifah
– bercerita: saya biasa duduk bersama khalifah Harun ar-Rasyid dan makan dari
hidangannya. Suatu hari, disajikan kepadanya faludzaj (sejenis makanan mewah),
maka khalifah berkata, “Hai Ya’qub, makanlah ini, sebab makanan seperti ini
tidak dibuat setiap hari untuk kami.” Saya bertanya, “Apa ini, wahai Amirul
Mu’minin?” Dijawab, “Ini adalah faludzaj yang disiram dengan minyak fustuq.” Saya
pun tertawa. Khalifah bertanya, “Mengapa engkau tertawa?” Saya jawab, “Tidak
apa-apa. Semoga Allah mengekalkan Amirul Mu’minin.” Khalifah berkata, dan
benar-benar mendesak saya, “Sungguh, ceritakan kepadaku!”
Saya pun menceritakan sebabnya: ayah saya – Ibrahim bin Habib – meninggal
dunia, sedang saya masih kecil dan diasuh ibu. Saya pun diserahkan kepada tukang
binatu untuk magang bekerja padanya. Suatu hari, saya meninggalkan tukang
binatu dan melewati halaqah Abu Hanifah. Saya pun duduk mendengarkan. Ibu
menyusul saya ke halaqah itu, menarik tangan saya dan membawa saya kembali
kepada tukang binatu. Abu Hanifah sangat memperhatikan saya, sebab beliau
melihat keinginan kuat saya untuk belajar. Karena peristiwa itu terus berulang
dan ibu merasa bosan dengan “pelarian” saya ke majlis Abu Hanifah, ibu pun
berkata kepada beliau, “Anak ini tidak memiliki kekurangan selain kamu! Ia
anak yatim yang tidak punya apa-apa. Aku memberinya makan dari alat pemintal
benangku. Aku berharap ia bisa bekerja mendapatkan uang satu daniq untuk
menghidupi dirinya sendiri.” Beliau pun menjawab, “Pulanglah, bu. Anak
ini sebenarnya sedang belajar makan faludzaj yang disiram dengan minyak
fustuq.” Ibu pun pergi sambil berkata, “Engkau ini orang tua yang
sinting dan tidak waras!”
Khalifah Harun ar-Rasyid sangat takjub mendengar kisah itu, lalu berkata, “Sungguh,
aku bersumpah, ilmu itu benar-benar mengangkat derajat seseorang dan bermanfaat
baginya, baik bagi agamanya maupun kehidupan dunianya.” Khalifah kemudian
mendoakan Abu Hanifah, dan berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya,
sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dilihat dengan mata kepalanya.”
Inilah yang – dalam Islam – disebut firasat, yakni lintasan pikiran
yang terbit dari kekuatan iman dan kedekatan dengan Allah. Dengannya seseorang bisa
menyaksikan apa yang tersembunyi dari mata kepala. Sejenis dengannya adalah karamah,
yaitu tampilnya hal-hal ajaib dari seseorang yang bukan Nabi. Akan tetapi,
perlu diingat bahwa firasat dan karamah adalah karunia Allah; bukan hasil latihan,
belajar maupun warisan. Ia muncul begitu saja sesuai kehendak-Nya, bukan karena
permintaan yang bisa terjadi setiap saat. Maka, kekuatan firasat maupun karamah
tidak bisa dipertontonkan di panggung-panggung hiburan, apalagi menjadi
profesi.
Di zaman ini, ternyata “kemampuan” seperti itu tetap menggoda manusia. Sulap,
magic, hipnotis, kekuatan supranatural, atau entah apapun itu namanya, selalu
menarik perhatian. Terselip kekaguman, rasa ingin tahu, sekaligus kengerian dan
misteri. Kita sering mendapati orang-orang yang dengan “kemampuannya” bisa
memberitahukan apa yang tertutup dan tersembunyi, mengetahui penyakit tanpa
memeriksa pasien, atau “mengobati” dari jarak jauh.
Akan tetapi, apakah semua itu benar dan identik dengan firasat serta karamah?
Untuk memastikan, sebenarnya kita – terlebih dahulu – harus memeriksa siapa
orang itu; agar diketahui darimana “kemampuannya” bersumber.
Rasulullah bersabda, “Berhati-hatilah kamu terhadap firasat seorang
mukmin, sebab ia melihat dengan (diterangi) cahaya Allah.” (Riwayat
Tirmidzi, dari Abu Sa’id al-Khudry). Hadits ini, memang diperselisihkan ulama’.
Sebagian mereka bahkan mengkategorikannya sebagai hadits maudhu’ (palsu),
seperti Ibnul Jauzi dan ash-Shaghani. Namun, Ibnu Hajar, al-Haitsami,
as-Suyuthi dan asy-Syaukani menyatakannya sebagai hadits hasan (baik),
karena maknanya memiliki penguat dari sumber lain. Jadi, ia bisa dijadikan
pegangan.
Yunus bin Abdul A’la pernah berkata kepada Imam Syafi’i, “Tahukan Anda,
wahai Abu ‘Abdillah, apa yang dikatakan oleh teman kami?” Maksudnya, al-Laits
bin Sa’ad atau lainnya. Bahwa ia berkata, “Andaikan engkau melihat dia
(penganut bid’ah) bisa berjalan diatas air, maka jangan percaya, jangan
perdulikan, dan jangan pula berbicara dengannya.” Beliau pun menanggapi, “Sungguh,
demi Allah, dia telah berkata dengan ringkas dan padat.” (lihat: Syarh
I’tiqadi Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya al-Lalika’iy).
Artinya, “kemampuan” semacam itu takkan Allah berikan kepada pelaku
bid’ah, apalagi ahli maksiat dan orang kafir. Menurut Syarif Ali al-Jurjani
dalam at-Ta’rifat, jika saja hal itu muncul dari mereka, maka namanya istidraj,
yakni kemuliaan semu yang akan menyeret mereka ke dalam kehinaan dan siksa-Nya
perlahan-lahan. Benar bahwa tebakan-tebakan mereka adakalanya tepat, namun bangsa
jin suka mencuri dengar berita dari langit, lalu dibisikkannya ke telinga
orang-orang fasik atau kafir yang bekerjasama dengannya, setelah dicampur
dengan sejuta kebohongan.
Dalam kitab Bariqah Mahmudiyah dikatakan bahwa firasat hanya bisa dicapai
dengan komitmen yang kuat kepada Allah, seperti menundukkan pandangan (ghaddhul
bashar), menahan diri dari syahwat, memakmurkan jiwa dengan muraqabah
(senantiasa merasa diawasi oleh Allah), dan membiasakan diri memakan yang halal.
Artinya, hal-hal ajaib yang keluar dari sosok yang terjauh dari jalan Allah, pasti
merupakan bagian dari tipuan syetan untuk menyesatkan manusia. Biasanya,
setelah itu syetan akan menggiring kepada kemaksiatan yang sesungguhnya. Syetan
punya maksud-maksud lain di balik itu, yang tidak selalu kita tahu. Oleh
karenanya, waspadalah!
[*] M. Alimin Mukhtar, 27 Ramadhan 1431 H. Pernah diterbitkan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.