Bismillahirrahmanirrahim
اِعْلَمْ أَنَّ مَا ذَكَرْنَاهُ فِي
تَرْجَمَةِ الْعَقِيْدَةِ يَنْبَغِيْ أَنْ يُقَدَّمَ إِلَى الصَّبِيِّ فِي أَوَّلِ
نُشْوِهِ لِيَحْفَظَهُ حِفْظًا ثُمَّ لاَ يَزَالُ يَنْكَشِفُ لَهُ مَعْنَاهُ فِي
كِبَرِهِ شَيْئًا فَشَيْئًا فَابْتِدَاؤُهُ الْحِفْظُ ثُمَّ الْفَهْمُ ثُمَّ
اْلإِعْتِقَادُ وَالإِيْقَانُ وَالتَّصْدِيْقُ بِهِ وَذَلِكَ مِمَّا يَحْصُلُ فِي
الصَّبِيِّ بِغَيْرِ بُرْهَانٍ
Ketahuilah bahwa
semua yang telah kami sebutkan dalam pemaparan tentang akidah seyogyanya
diberikan kepada anak-anak sejak awal masa pertumbuhannya, yakni agar mereka
menghafalkannya secara sempurna. Kemudian, sedikit demi sedikit maknanya akan
tersingkap saat mereka telah beranjak dewasa. Awal mulanya adalah: hafalan,
kemudian pemahaman, kemudian kepercayaan, keyakinan, dan pembenaran. Semua ini
bisa terwujud pada anak-anak dengan tanpa memerlukan bukti argumen. (Imam
al-Ghazali).[1]
يُرَادُ لِلْعِلْمِ الْحِفْظُ وَالْعَمَلُ
وَالإِسْتِمَاعُ وَالإِنْصَاتُ وَالنَّشْرُ
Yang diperlukan untuk
(meraih) ilmu itu adalah: menghafalkan, mengamalkan, mendengarkan,
memperhatikan dengan teliti, dan menyebarkan. (Sufyan bin ‘Uyainah).[2]
أَوَّلُ الْعِلْمِ الإِسْتِمَاعُ ثُمَّ
الْفَهْمُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ النَّشْرُ
Permulaan ilmu adalah:
mendengarkan, kemudian memahami, kemudian menghafalkan, kemudian mengamalkan,
kemudian menyebarkan.” (Sufyan bin ‘Uyainah).[3]
كَانَ يُقَالُ أَوَّلُ الْعِلْمِ
الصُّمْتُ وَالثَّانِي اْلاِسْتِمَاعُ لَهُ وَحِفْظُهُ وَالثَّالِثُ الْعَمَلُ
بِهِ وَالرَّابِعُ نَشْرُهُ وَتَعْلِيْمُهُ
Ada dikatakan,
“Permulaan ilmu adalah diam, kedua adalah mendengarkan dan menghafalkannya,
ketiga adalah mengamalkannya, keempat adalah menyebarkan dan mengajarkannya.”
(Sufyan ats-Tsauriy).[4]
أَوَّلُ الْعِلْمِ الإِنْصَاتُ ثُمَّ الإِسْتِمَاعُ لَهُ ثُمَّ حِفْظُهُ
ثُمَّ الْعَمَلُ بِهِ ثُمَّ بَثُّهُ
Permulaan ilmu adalah
memperhatikan, kemudian mendengarkan, kemudian menghafalkan, kemudian mengamalkan,
kemudian menyebarkan. (Muhammad bin an-Nadhr
al-Haritsi).[5]
أَوَّلُ الْعِلْمِ الصُّمْتُ
وَالثَّانِي حُسْنُ الإِسْتِمَاعِ وَالثَّالِثُ حُسْنُ السُّؤَالِ وَالرَّابِعُ حُسْنُ
الْحِفْظِ وَالْخَامِسُ نَشْرُهُ عِنْدَ أَهْلِهِ
Permulaan ilmu adalah
diam, kedua adalah mendengarkan dengan baik,
ketiga adalah mengajukan pertanyaan yang baik, keempat adalah hafalan
yang baik, dan kelima adalah menyebarkannya kepada orang yang tepat. (Abu ‘Amr bin al-‘Ala’).[6]
أَوَّلُ
الْعِلْمِ النِّيَةُ ثُمَّ الإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْفَهْمُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ
ثُمَّ النَّشْرُ
Permulaan ilmu adalah
motivasi (niat), kemudian
mendengarkan, kemudian memahami, kemudian menghafalkan, kemudian mengamalkan,
kemudian menyebarkan. (‘Abdullah bin
al-Mubarak).[7]
أَوَّلُ
الْعِلْمِ الإِنْصَاتُ ثُمَّ الإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ
النَّشْرُ
Ilmu itu dimulai dari
memperhatikan dengan teliti, kemudian mendengarkan, kemudian menghafalkan,
kemudian mengamalkan, kemudian menyebarkan. (Al-Fudahil bin ‘Iyadh).[8]
تَعَلَّمُوا
الصَّمْتَ ثُمَّ تَعَلَّمُوا الْحِلْمَ ثُمَّ تَعَلَّمُوا الْعَمَلَ بِالْعِلْمِ، ثُمَّ
انْشُرُوا
Pelajarilah diam, kemudian pelajarilah kesantunan,
kemudian pelajarilah (bagaimana) mengamalkan ilmu, kemudian sebarkanlah. (Jabir bin ‘Abdullah).[9]
حِيْنَ أَرَدْتُ النَّحْوَ
أَتَيْتُ الْحَلْقَةَ فَجَلَسْتُ سَنَةً لاَ أَتَكَلَّمُ إِنَّمَا أَسْمَعُ فَلَمَّا
كَانَ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ نَظَرْتُ فَلَمَّا كَانَ فِي السَّنَةِ الثَّالِثَةِ
تَدَبَّرْتُ لَمَّا كَانَ فِي السَّنَةِ الرَّابِعَةِ سَأَلْتُ وَتَكَلَّمْتُ
Pada saat saya bermaksud mempelajari Nahwu,
saya mendatangi halaqah lalu duduk tidak berbicara selama setahun. Saya
hanya mendengarkan. Pada tahun kedua, saya mulai membaca. Pada tahun ketiga,
saya mulai menganalisis. Pada tahun keempat, saya mulai bertanya dan
berbicara. (Khalil bin Ahmad al-Farahidy).[10]
يُلاَزِمُ حُضُوْرَ الْمَجْلِسِ
وَاسْتِمَاعِ الدَّرْسِ فَإِذَا مَضَى لَهُ بُرْهَةً فِي الْحُضُوْرِ وَأَنِسَ بِمَا
سَمِعَهُ سَأَلَ الْفَقِيْهَ أَنْ يُمْلِي عَلَيْهِ مِنْ أَوَّلِ الْكِتَابِ شَيْئًا
وَيَكْتُبُ مَا يُمْلِيْهِ ثُمَّ يَعْتَزِلُ وَيَنْظُرُ فِيْهِ فَإِذَا فَهِمَهُ اِنْصَرَفَ
وَطَالَعَهُ وَكَرَّرَ مُطَالَعَتُهُ حَتىَّ يُعَلِّقَ بِحِفْظِهِ ثُمَّ يُعِيْدُهُ
عَلَى نَفْسِهِ يُتْقِنُهُ فَإِذَا حَضَرَ الْمَجْلِسَ بَعْدُ سَأَلَ الْفَقِيْهَ أَنْ
يَسْتَمِعَهُ مِنْهُ وَيَذْكُرُهُ لَهُ مِنْ حِفْظِهِ ثُمَّ يَسْأَلُ الْفَقِيْهَ إِمْلاَءَ
مَا بَعْدَهُ وَيَصْنَعُ فِيْهِ كَصَنِيْعِهِ فِيْمَا تَقَدَّمَ
Dia (murid) kontinyu menghadiri majelis
belajar dan mendengarkan pelajaran. Jika telah berlalu beberapa lama dalam
menghadiri majelis belajar, dan dia pun sudah mulai akrab dengan apa yang
didengarnya, maka dia boleh meminta kepada guru untuk mendiktekan kepadanya
sebagian dari bagian awal kitab (yang diajarkan), dan dia menulis apa yang
didiktekan itu. Lalu, dia menyendiri dan membacanya. Jika dia telah
memahaminya, dia boleh meninggalkan (menyendiri), menelaahnya, dan
mengulang-ulang penelaahan sampai melekat pada ingatannya. Kemudian dia
mengulang-ulang untuk dirinya sendiri, untuk memantapkan penguasaannya. Jika
dia menghadiri lagi majelis belajar setelah itu, dia boleh meminta gurunya agar
mendengarkan (bacaannya) dan dia menyebutkan kepada gurunya langsung dari
ingatannya. Kemudian, dia meminta kepada guru untuk mendiktekan bagian
selanjutnya. Dia melakukan tindakan yang sama sebagaimana yang telah dia
lakukan sebelumnya. (Al-Khathib al-Baghdadi).[11]
يُوْنُسُ بْنُ يَزِيْدُ قَالَ : قَالَ
لِي ابْنُ شِهَابٍ : يَا يُوْنُسُ لاَ تُكَابِرْ هَذَا الْعِلْمَ ؛ فَإِنَّمَا هُوَ
أَوْدِيَةٌ فَأَيُّهَا أَخَذْتَ فِيْهِ قَبْلَ أَنْ تَبْلُغَهُ قُطِعَ بِكَ وَلَكِنْ
خُذْهُ مَعَ اللَّيَالِي وَالأَيَّامِ
Yunus bin Yazid
berkata: Ibnu Syihab berkata kepada saya, “Wahai Yunus, jangan kausombongi ilmu
ini. Sebab, ia terdiri dari banyak wadah. Bagian mana saja yang kauambil
sebelum engkau (layak untuk) sampai kepadanya, ia pasti akan diputuskan darimu.
Akan tetapi, ambillah ilmu ini bersama dengan malam-malam dan hari-hari.”[12] Yakni,
sedikit demi sedikit dan bertahap.
[1] Ihya’ ‘Ulumiddin, I/94.
[2] Sunan ad-Darimi, no. 345,
dicetak bersama syarah-nya, III/23, melalui jalur ‘Abdullah bin Sa’id.
Menurut Husaian Salim Asad, isnad-nya shahih. Dalam syarah-nya
dinyatakan, bahwa Ibnu ‘Uyainah ingin menjelaskan tahapan, tingkatan, dan
tatacara (mencari) ilmu, agar seorang pelajar meraih kejelasan dan pengertian
dalam belajar, mengkaji dan mengembannya. Hal ini dijelaskan oleh riwayat lain
melalui Dzun Nun al-Mishri, bahwa Ibnu ‘Uyainah berkata, “Permulaan ilmu
adalah… dst.”
[3] Syu’abul Iman, IV/314, no. 1749; dan Jami’
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi,
II/85, no. 555.
[4] Hilyatul Auliya’, VI/362, dalam
biografi Sufyan ats-Tsauri; dan Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II/84, no. 553.
[5] Hilyatul Auliya’, VIII/217,
dalam biografi Muhammad al-Haritsi; al-Jami’ li-Akhlaqi ar-Rawi, I/379,
no. 327; az-Zuhd kaya Imam Ahmad, V/243, no. 2184; Jami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, II/83, no. 553; dan al-Madkhal ila Sunan al-Kubra,
I/477, no. 470.
[6] Al-Faqih wal Mutafaqqih, I/456,
no. 852, pernyataan dari Abu ‘Amr bin al-‘Alaa’.
[7] Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi,
II/82, no. 552.
[8] Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi,
II/86, no. 556.
[9] Syu’abul Iman, III/282,
no. 1652, bagian kelanjutan dari riwayat sebelumnya, pernyataan Jabir bin ‘Abdillah;
dan Tarikh Dimasyqa,
XI/234, namun kata terakhirnya dibaca: dan berbahagialah. Mungkin, ini
keliru. Wallahu a’lam.
[10] Al-Faqih
wal Mutafaqqih,
I/456,
no. 853, pernyataan
al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
[11] Idem. Merupakan komentar dan kesimpulan yang diberikan al-Khathib
al-Baghdadi atas pernyataan al-Khalil bin Ahmad, dan lain-lain.