Bismillahirrahmanirrahim
Sejak wahyu pertama,
Al-Qur’an sudah membicarakan masalah ilmu, dan secara eksplisit
mengisyaratkannya sebagai nikmat terbesar yang diperoleh manusia setelah
penciptaan. Wahyu pertama ini, yakni QS al-’Alaq: 1-5, menegaskan agar kaum
muslimin membaca serta mengkaji ilmu, terutama Al-Qur’an, karena ia merupakan
sumber segala ilmu. Ayat-ayat tersebut juga mengisyaratkan makna strategis
pencatatan yang akurat sebagai basis peradaban, yakni melalui al-qalam
(pena).
Iqra’ – atau,
bentuk dasarnya: qara’a – adalah kalimat yang mengandung makna sangat
padat. Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat
dengan yang semisalnya dalam suatu tartil, yakni melafalkan
huruf-hurufnya secara terpadu (dalam suatu kalimat). Derivasi (bentuk turunan)
kata dasar ini bisa memiliki makna-makna: berusaha memahami (tafahhama),
terus mempelajari (daarasa), berupaya mengerti secara mendalam (tafaqqaha),
dan beribadah dengan tekun (tanassaka). Dalam hal ini, hafalan adalah
salah satu dari bentuk yang menjadi maknanya. Karena, menghafal (hafizha)
juga berarti mengumpulkan (jama’a) dan menyatukan (dhamma). Makna
lain yang juga muncul adalah haid dan suci darinya, pemisah bait sya’ir (qawafi),
dan lain sebagainya.[1] Al-fiqh
sendiri makna asalnya adalah pemahaman yang lebih cermat dan mendalam, tidak
sekedar tahu.[2]
Demikianlah, dengan iqra’
Islam memulai programnya untuk membalikkan segala budaya pembodohan dan
perbudakan yang selalu mengemuka di setiap zaman, dalam aneka bentuk dan
coraknya. Ketika bangsa-bangsa lain menganggap baca-tulis sebagai keistimewaan
kaum tertentu, Islam justru memberikannya kepada setiap orang. Di saat berbagai
agama dan sistem keyakinan menyembunyikan teks-teks sucinya, dan terkadang
menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang mencoba mengintip isinya tanpa hak,
Islam justru mencela siapa saja yang tidak mau mengkajinya. Bahkan, menurut
Islam, kesengajaan menyembunyikan ilmu adalah kejahatan berat yang dihukum dengan
mulut dikekang api neraka pada hari kiamat nanti!
Allah berfirman, “Dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah
tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia,
kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya....”[3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
t: Nabi r bersabda, “Siapa saja yang
ditanyai tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka akan dipasangkan pada (mulutnya) kekang dari api neraka pada
hari kiamat nanti.”[4]
Tatkala sekelompok rahib
dan pendeta membungkam siapa saja yang mencoba menggunakan nalar-kritisnya
terhadap ajaran agamanya, yang mengakibatkan mayoritas umatnya terbiar dalam
prasangka dan ketidaktahuan terhadap kitab sucinya, sehingga para pemuka agar
itu pun bebas memalsukan apa saja yang mereka mau tanpa bisa dikritik; Islam
justru menantang seluruh umat manusia untuk berpikir dan bahkan mencela para
penganut tradisi-tradisi leluhur yang tak pernah mempertanyakannya.
Allah berfirman, “Dan diantara mereka
ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan
bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan
yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka,
akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang
besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”[5]
Allah berfirman, “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[6]
Allah berfirman, “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[7]
Juga firman-Nya, “Apabila dikatakan
kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti
Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak
kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk?”[8]
Di sisi lain, dalam QS
al-Jumu’ah: 2-3, Allah menyatakan bahwa fungsi kerasulan adalah: melaksanakan tilawah
ayat-ayat-Nya, melakukan tazkiyah, dan menyelenggarakan ta’limah
terhadap al-kitab dan al-hikmah. Sebagian besar ahli tafsir
sepakat bahwa keduanya merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Walau kerasulan
telah berakhir, namun warisan ilmunya masih lestari, sehingga sebuah lembaga
pendidikan pada dasarnya berfungsi menjaga dan menjalankan fungsi tersebut
sepeninggalnya.
Tilawah memiliki unsur makna
khusus yang membedakannya dari qira’ah, walau sering sama-sama dimaknai
dengan “membaca”. Makna awalnya adalah mengikuti (tabi’a) secara
langsung dengan tanpa pemisah. Karena dalam Al-Qur’an tilawah hanya
dipakai ketika berkaitan dengan sumber-sumber suci, maka istilah ini secara
khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah
(intelektual dan spiritual) atau menjalankan apa yang digariskan di dalamnya (irtisam).[9] Dengan jelas
kita melihat bahwa tilawah mengungkapkan aspek praktis dari ‘membaca’,
yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun
fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Tilawah
mengisyaratkan bahwa membaca Al-Qur’an tidak boleh sekedar secara intelektual (qira’ah)
atau lisan (tartil), namun mengharuskan adanya tindak lanjut yang nyata.
Terjemah Inggris untuk tilawah adalah “to follow” (mengikuti);
atau “bergerak maju”, mengikuti urutan, pergi mengejar, mengambil sebagai pembimbing,
pemimpin, model, menerima wewenang, mendukung penyebabnya, bertindak,
mempraktekkan jalan hidup, memahami, mengikuti latihan berpikir – atau
mengikuti membaca, memahami dan mengikuti (petunjuk) Al-Qur’an.[10] Jadi, tilawah
merupakan upaya intensif untuk mengikatkan diri kepada firman-firman Allah satu
demi satu, selangkah demi selangkah, hingga mencapai taraf tertentu yang
dipersyaratkan untuk siap memasuki tingkatan selanjutnya.
Upaya mewarnai kehidupan
dengan mengikuti firman-firman Allah (yakni, proses tilawah) ini pada
kenyataannya melahirkan proses tazkiyah. Dengan sendirinya, tazkiyah
tidak dapat dilakukan tanpa kesengajaan mengikuti firman Allah secara
sistematis, cermat dan terpadu. Tazkiyah sendiri – awalnya, yaitu kata
dasar zakaa – bermakna tumbuh, berkembang dan menjadi bersih.[11] Tentu saja,
karena tidak ada yang paling mengerti hakikat diri kita selain Sang Pencipta
kita, maka mengikuti bimbingan-Nya adalah pilihan paling logis dan adil. Hanya
dengannyalah kita akan tumbuh dan berkembang semestinya, menuju arah dan akhir
yang paling sempurna. Hanya dengannyalah kita akan menjadi bersih dan sehat
secara fisik maupun mental, tanpa khawatir terjebak pada kehancuran akibat
kesalahan kita sendiri. Kini kita mengerti, mengapa Allah sangat sering menyifati
kaum beriman sebagai tidak ada rasa takut maupun sedih dalam diri mereka!
Perhatikan ayat ini: “Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua
dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan
buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman:
“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” Dan demikianlah Kami membalas
orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan
sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” [12]
Allah juga berfirman, “Bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan,
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[13]
Di awal ayat ke-2 surah
Al-Jumu’ah Allah juga menyatakan bangsa Arab sebagai ummiyyin, yakni
tidak memiliki peradaban yang maju dan berkembang, lalu di penghujungnya
dinyatakan: “...dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” Artinya, siapapun yang tidak tersentuh tilawah,
tidak mengalami tazkiyah, dan tidak mengenal al-kitab dan al-hikmah
selalu dapat disamakan dengan bangsa Arab sebelum kerasulan beliau, yakni
benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Ini bersifat abadi dan umum, sebab
Allah juga menyatakan (dalam ayat ke-3) bahwa beliau diutus “...kepada kaum
yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka.” Dengan kata
lain, risalah Islam membangun bangsa Arab dengan menghapuskan dua hal sekaligus:
ke-ummiy-an dan ke-jahiliyah-an itu. Maka, mereka pun bangkit
secara menakjubkan, dari bangsa yang bobrok dan tidak dikenal menjadi pemimpin
dan teladan dunia. Tentu saja, peluang semacam ini masih berlaku sampai
sekarang, tinggal ada yang yang memanfaatkannya ataukah tidak.
Tentu saja, tidaklah layak
jika sebuah lembaga pendidikan dan para guru di dalamnya berupaya keras mengentas
anak didiknya dari buta baca-tulis dan informasi, namun mengabaikan jiwa mereka;
sehingga tidak mengikuti jalan Allah, tidak kunjung tumbuh serta bersih
kehidupannya, dan tetap buta terhadap Kitabullah dan Hikmah Rasul-Nya. Mereka akhirnya
memang melek huruf dan informasi, namun tidak mengenal Allah dan gagal memahami
tugas hidupnya yang hakiki. Singkatnya, mereka memang tidak lagi ummiy,
namun tetap mengidap ke-jahiliyah-an yang sesungguhnya!!
Dapat dikatakan bahwa pendidikan
yang benar merupakan proses terpadu dari tilawah, tazkiyah serta
penghapusan ke-jahil-an terhadap Kitabullah dan Hikmah Rasul-Nya. Tanpa
itu, bisa jadi para peserta didiknya hanya akan menjadi pelanjut dan pelestari
era jahiliyah. Kegagalan sebuah lembaga pendidikan Islam untuk memberi manfaat
dengan kehadirannya sudah dapat diprediksi sejak awal ketika di dalamnya tidak
ada perhatian serius terhadap hal ini; baik yang bersifat praktis maupun
teoritis; sumberdaya manusia maupun sarana-prasarana; budaya dan tradisi
lembaga maupun materi dan kurikulum yang diajarkannya. Maka, seluruh kegiatan
dan konten pendidikan harus didesain untuk memiliki arah serta kaitan dengan
Kitabullah dan Hikmah Rasul-Nya tersebut, tidak terkecuali Bahasa, Matematika,
IPA, IPS, informatika, olahraga, life-skills, dan lain-lain.
[1] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 413-414; Mukhtaru ash-Shihah I/220; al-Faa’iq
III/177; an-Nihayah fi Gharibil Hadits IV/30-31; Lisanul ‘Arab
I/128-133.
[2] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 398.
[3] QS al-An’am: 91.
[4] Musnad Ahmad, no. 7561. Menurut Syu’aib al-Arna’uth:
sanad-nya shahih, para perawinya tsiqah termasuk perawi shahih, selain Abu
Kamil. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dengan
redaksi sedikit berlainan, dari Abu Hurairah, Anas, dan Abu Sa’id al-Khudriy.
[5] QS al-Baqarah: 78-79.
[6] QS Muhammad: 24. Banyak ayat lain yang senada.
[7] QS an-Nisa’: 82.
[8] QS al-Ma’idah: 104. Ada banyak ayat senada dengannya.
[9] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an, hal. 71-72, karya ar-Raghib al-Ashfahani.
[10] Generasi Qur’ani, hal. 10-11.
[11] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an, hal. 218.
[12] QS Thaha: 123-127.