Qira'ah, Tilawah dan Penanaman Ilmu dalam Al-Qur'an - Serial Pendidikan Islam (4)


Bismillahirrahmanirrahim

Sejak wahyu pertama, Al-Qur’an sudah membicarakan masalah ilmu, dan secara eksplisit mengisyaratkannya sebagai nikmat terbesar yang diperoleh manusia setelah penciptaan. Wahyu pertama ini, yakni QS al-’Alaq: 1-5, menegaskan agar kaum muslimin membaca serta mengkaji ilmu, terutama Al-Qur’an, karena ia merupakan sumber segala ilmu. Ayat-ayat tersebut juga mengisyaratkan makna strategis pencatatan yang akurat sebagai basis peradaban, yakni melalui al-qalam (pena).

Iqra’ – atau, bentuk dasarnya: qara’a – adalah kalimat yang mengandung makna sangat padat. Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat dengan yang semisalnya dalam suatu tartil, yakni melafalkan huruf-hurufnya secara terpadu (dalam suatu kalimat). Derivasi (bentuk turunan) kata dasar ini bisa memiliki makna-makna: berusaha memahami (tafahhama), terus mempelajari (daarasa), berupaya mengerti secara mendalam (tafaqqaha), dan beribadah dengan tekun (tanassaka). Dalam hal ini, hafalan adalah salah satu dari bentuk yang menjadi maknanya. Karena, menghafal (hafizha) juga berarti mengumpulkan (jama’a) dan menyatukan (dhamma). Makna lain yang juga muncul adalah haid dan suci darinya, pemisah bait sya’ir (qawafi), dan lain sebagainya.[1] Al-fiqh sendiri makna asalnya adalah pemahaman yang lebih cermat dan mendalam, tidak sekedar tahu.[2]
Demikianlah, dengan iqra’ Islam memulai programnya untuk membalikkan segala budaya pembodohan dan perbudakan yang selalu mengemuka di setiap zaman, dalam aneka bentuk dan coraknya. Ketika bangsa-bangsa lain menganggap baca-tulis sebagai keistimewaan kaum tertentu, Islam justru memberikannya kepada setiap orang. Di saat berbagai agama dan sistem keyakinan menyembunyikan teks-teks sucinya, dan terkadang menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang mencoba mengintip isinya tanpa hak, Islam justru mencela siapa saja yang tidak mau mengkajinya. Bahkan, menurut Islam, kesengajaan menyembunyikan ilmu adalah kejahatan berat yang dihukum dengan mulut dikekang api neraka pada hari kiamat nanti!
Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya....”[3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah t: Nabi r bersabda, “Siapa saja yang ditanyai tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka akan dipasangkan pada (mulutnya) kekang dari api neraka pada hari kiamat nanti.”[4]
Tatkala sekelompok rahib dan pendeta membungkam siapa saja yang mencoba menggunakan nalar-kritisnya terhadap ajaran agamanya, yang mengakibatkan mayoritas umatnya terbiar dalam prasangka dan ketidaktahuan terhadap kitab sucinya, sehingga para pemuka agar itu pun bebas memalsukan apa saja yang mereka mau tanpa bisa dikritik; Islam justru menantang seluruh umat manusia untuk berpikir dan bahkan mencela para penganut tradisi-tradisi leluhur yang tak pernah mempertanyakannya.
Allah berfirman, “Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”[5]
Allah berfirman, Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[6]
Allah berfirman, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[7]
Juga firman-Nya, “Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?[8]
Di sisi lain, dalam QS al-Jumu’ah: 2-3, Allah menyatakan bahwa fungsi kerasulan adalah: melaksanakan tilawah ayat-ayat-Nya, melakukan tazkiyah, dan menyelenggarakan ta’limah terhadap al-kitab dan al-hikmah. Sebagian besar ahli tafsir sepakat bahwa keduanya merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Walau kerasulan telah berakhir, namun warisan ilmunya masih lestari, sehingga sebuah lembaga pendidikan pada dasarnya berfungsi menjaga dan menjalankan fungsi tersebut sepeninggalnya.
Tilawah memiliki unsur makna khusus yang membedakannya dari qira’ah, walau sering sama-sama dimaknai dengan “membaca”. Makna awalnya adalah mengikuti (tabi’a) secara langsung dengan tanpa pemisah. Karena dalam Al-Qur’an tilawah hanya dipakai ketika berkaitan dengan sumber-sumber suci, maka istilah ini secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual dan spiritual) atau menjalankan apa yang digariskan di dalamnya (irtisam).[9] Dengan jelas kita melihat bahwa tilawah mengungkapkan aspek praktis dari ‘membaca’, yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Tilawah mengisyaratkan bahwa membaca Al-Qur’an tidak boleh sekedar secara intelektual (qira’ah) atau lisan (tartil), namun mengharuskan adanya tindak lanjut yang nyata. Terjemah Inggris untuk tilawah adalah “to follow” (mengikuti); atau “bergerak maju”, mengikuti urutan, pergi mengejar, mengambil sebagai pembimbing, pemimpin, model, menerima wewenang, mendukung penyebabnya, bertindak, mempraktekkan jalan hidup, memahami, mengikuti latihan berpikir – atau mengikuti membaca, memahami dan mengikuti (petunjuk) Al-Qur’an.[10] Jadi, tilawah merupakan upaya intensif untuk mengikatkan diri kepada firman-firman Allah satu demi satu, selangkah demi selangkah, hingga mencapai taraf tertentu yang dipersyaratkan untuk siap memasuki tingkatan selanjutnya.
Upaya mewarnai kehidupan dengan mengikuti firman-firman Allah (yakni, proses tilawah) ini pada kenyataannya melahirkan proses tazkiyah. Dengan sendirinya, tazkiyah tidak dapat dilakukan tanpa kesengajaan mengikuti firman Allah secara sistematis, cermat dan terpadu. Tazkiyah sendiri – awalnya, yaitu kata dasar zakaa – bermakna tumbuh, berkembang dan menjadi bersih.[11] Tentu saja, karena tidak ada yang paling mengerti hakikat diri kita selain Sang Pencipta kita, maka mengikuti bimbingan-Nya adalah pilihan paling logis dan adil. Hanya dengannyalah kita akan tumbuh dan berkembang semestinya, menuju arah dan akhir yang paling sempurna. Hanya dengannyalah kita akan menjadi bersih dan sehat secara fisik maupun mental, tanpa khawatir terjebak pada kehancuran akibat kesalahan kita sendiri. Kini kita mengerti, mengapa Allah sangat sering menyifati kaum beriman sebagai tidak ada rasa takut maupun sedih dalam diri mereka!
Perhatikan ayat ini: Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” [12]
Allah juga berfirman, Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[13]
Di awal ayat ke-2 surah Al-Jumu’ah Allah juga menyatakan bangsa Arab sebagai ummiyyin, yakni tidak memiliki peradaban yang maju dan berkembang, lalu di penghujungnya dinyatakan: “...dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Artinya, siapapun yang tidak tersentuh tilawah, tidak mengalami tazkiyah, dan tidak mengenal al-kitab dan al-hikmah selalu dapat disamakan dengan bangsa Arab sebelum kerasulan beliau, yakni benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Ini bersifat abadi dan umum, sebab Allah juga menyatakan (dalam ayat ke-3) bahwa beliau diutus “...kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka.” Dengan kata lain, risalah Islam membangun bangsa Arab dengan menghapuskan dua hal sekaligus: ke-ummiy-an dan ke-jahiliyah-an itu. Maka, mereka pun bangkit secara menakjubkan, dari bangsa yang bobrok dan tidak dikenal menjadi pemimpin dan teladan dunia. Tentu saja, peluang semacam ini masih berlaku sampai sekarang, tinggal ada yang yang memanfaatkannya ataukah tidak.
Tentu saja, tidaklah layak jika sebuah lembaga pendidikan dan para guru di dalamnya berupaya keras mengentas anak didiknya dari buta baca-tulis dan informasi, namun mengabaikan jiwa mereka; sehingga tidak mengikuti jalan Allah, tidak kunjung tumbuh serta bersih kehidupannya, dan tetap buta terhadap Kitabullah dan Hikmah Rasul-Nya. Mereka akhirnya memang melek huruf dan informasi, namun tidak mengenal Allah dan gagal memahami tugas hidupnya yang hakiki. Singkatnya, mereka memang tidak lagi ummiy, namun tetap mengidap ke-jahiliyah-an yang sesungguhnya!!
Dapat dikatakan bahwa pendidikan yang benar merupakan proses terpadu dari tilawah, tazkiyah serta penghapusan ke-jahil-an terhadap Kitabullah dan Hikmah Rasul-Nya. Tanpa itu, bisa jadi para peserta didiknya hanya akan menjadi pelanjut dan pelestari era jahiliyah. Kegagalan sebuah lembaga pendidikan Islam untuk memberi manfaat dengan kehadirannya sudah dapat diprediksi sejak awal ketika di dalamnya tidak ada perhatian serius terhadap hal ini; baik yang bersifat praktis maupun teoritis; sumberdaya manusia maupun sarana-prasarana; budaya dan tradisi lembaga maupun materi dan kurikulum yang diajarkannya. Maka, seluruh kegiatan dan konten pendidikan harus didesain untuk memiliki arah serta kaitan dengan Kitabullah dan Hikmah Rasul-Nya tersebut, tidak terkecuali Bahasa, Matematika, IPA, IPS, informatika, olahraga, life-skills, dan lain-lain.




[1] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 413-414; Mukhtaru ash-Shihah I/220; al-Faa’iq III/177; an-Nihayah fi Gharibil Hadits IV/30-31; Lisanul ‘Arab I/128-133.
[2] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 398.
[3] QS al-An’am: 91.
[4] Musnad Ahmad, no. 7561. Menurut Syu’aib al-Arna’uth: sanad-nya shahih, para perawinya tsiqah  termasuk perawi shahih, selain Abu Kamil. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dengan redaksi sedikit berlainan, dari Abu Hurairah, Anas, dan Abu Sa’id al-Khudriy.
[5] QS al-Baqarah: 78-79.
[6] QS Muhammad: 24. Banyak ayat lain yang senada.
[7] QS an-Nisa’: 82.
[8] QS al-Ma’idah: 104. Ada banyak ayat senada dengannya.
[9] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an, hal. 71-72, karya ar-Raghib al-Ashfahani.
[10] Generasi Qur’ani, hal. 10-11.
[11] Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an, hal. 218.
[12] QS Thaha: 123-127.
[13] QS al-Baqarah: 112. Ada banyak lagi ayat lain yang senada.