Pilar-pilar Penanaman Adab - Serial Kutipan Indah (7)

Bismillahirrahmanirrahim

أُصُوْلُنَا سِتَّةُ أَشْيَاءَ : التَّمَسُّكُ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى وَالإِقْتِدَاءُ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَكْلُ الْحَلاَلِ وَكَفُّ الأَذَى وَاجْتِنَابُ الآثَامِ وَالتَّوْبَةُ وَأَدَاءُ الْحُقُوْقِ
Pokok-pokok (jalan) kami ada enam perkara, yaitu berpegang teguh kepada Kitabullah, meneladani Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memakan yang halal, menahan diri dari menyakiti, menjauhi dosa-dosa dan bertaubat, serta menunaikan hak-hak. (Abu ‘Abdillah Sahl bin ‘Abdillah at-Tustary).[1]

خَمْسُ خِصَالٍ بِهَا تَمَامُ الْعَمَلِ : الإِيْمَانُ بِمَعْرِفَةِ اللهِ وَمَعْرِفَةُ الْحَقِّ وَإِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ وَالْعَمَلُ عَلَى السُّنَّةِ وَأَكْلُ الْحَلاَلِ فَإِنْ فَقَدَتْ وَاحِدَةٌ لَمْ يَرْتَفِعْ العَمَلُ وَذَلِكَ أَنَّكَ إِذَا عَرَفْتَ اللهَ وَلَمْ تَعْرِفِ الْحَقَّ لَمْ تَنْتَفِعْ وَإِذَا عَرَفْتَ الْحَقَّ وَلَمْ تَعْرِفِ اللهَ لَمْ تَنْتَفِعْ وَإِنْ عَرَفْتَ اللهَ وَعَرَفْتَ الْحَقَّ وَلَمْ تُخْلِصِ الْعَمَلَ لَمْ تَنْتَفِعْ وَإِنْ عَرَفْتَ اللهَ وَعَرَفْتَ الْحَقَّ وَأَخْلَصْتَ الْعَمَلَ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى السُّنَّةِ لَمْ تَنْتَفِعْ وَإِنْ تَمَّتْ الأَرْبَعُ وَلَمْ يَكُنْ الأَكْلُ مِنْ حَلاَلٍ لَمْ تَنْتَفِعْ
Ada lima perkara yang dengannya amal menjadi sempurna, yaitu: iman yang disertai dengan mengenal Allah, mengenal kebenaran, mengikhlaskan amal semata-mata untuk Allah, beramal berlandaskan Sunnah, dan memakan makanan yang halal. Jika satu saja hilang, maka amal tidak akan diterima. Sebab, jika engkau mengenal Allah tetapi tidak mengenal kebenaran, maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal kebenaran tetapi tidak mengenal Allah, maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal Allah dan mengenal kebenaran tetapi tidak mengikhlaskan amal (semata-mata bagi-Nya), maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal bagi-Nya semata tetapi amalmu tidak berdasarkan Sunnah, maka tidak ada gunanya; jika keempat hal tersebut sudah lengkap tetapi makanan yang engkau makan tidak halal maka tidak ada gunanya juga. (Abu ‘Abd an-Nabajiy).[2]

فَإِنَّ بَيَانَ كَيْفِيَّةِ طَرِيْقِنَا وَبُرْهَانَ أَهْلِ تَحْقِيْقِنَا مَبْنِيٌّ عَلَى عَشْرَةِ قَوَاعِدَ تُوْقِظُ النَّائِمَ وَتُقِيْمُ الْقَاعِدَ . القَاعِدَةُ الأُوْلَى النِّيَةُ الصَّادِقَةُ الْوَاقِعَةُ مِنْ غِيْرِ اِلْتِوَاءٍ . الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ الْعَمَلُ ِللهِ مِنْ غَيْرِ شَرِيْكٍ وَلاَ اشْتِرَاكٍ . القَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ مُوَافَقَةُ الْحَقِّ بِالإِتِّفَاقِ وَالْوَفَاقِ وَمُخَالَفَةُ النَّفْسِ بِالصَّبْرِ عَلَى الْفِرَاقِ وَالْمَشَاقِّ وَتَرْكِ الْهَوَى وَجَفَاءِ الْمَلاَذِّ وَالْمَكَانِ وَالْخِلاَفِ . القَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ الْعَمَلُ بِالإِتِّبَاعِ لاَ الإِبْتِدَاعِ لِئَلاَّ يَكُوْنَ صَاحِبَ هَوًى وَلاَ يَزْهُوْ بِرَأْيِهِ زَهْوًا . القَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ الْهِمَّةُ الْعُلْيَا الْمُجَرَّدَةُ عَنْ تَسْوِيْفٍ يُفْسِدُكَ . القَاعِدَةُ السَّادِسَةُ الْعَجْزُ وَالذِّلَّةُ لاَ بِمَعْنَى الْكَسَلِ فِى الطَّاعَاتِ وَتَرْكِ الإِجْتِهَادِ بَلْ عَجْزُكَ عَنْ كُلِّ فِعْلٍ إِلاَّ بِقُدْرَةِ الْحَقِّ الْجَوَّادِ وَأَنْ تَرَى الْخَلْقَ بِعَيْنِ التَّوْقِيْرِ وَالإِحْتِرَامِ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ وَسَائِطُ بَعْضٍ إِجْلاَلاً لِحَضْرَةِ ذِى الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . القَاعِدَةُ السَّابِعَةُ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ مَعْنىً وَعَدَمُ الإِطْمِئْنَانِ بِجَلاَلِ الإِحْسَانِ إِلاَّ عِنْدَ الْعِيَانِ فَحَسِّنْ ظَنَّكَ مِنْكَ بِالْجَوَّادِ الْحِسَانِ . القَاعِدَةُ الثَّامِنَةُ دَوَامُ الْوِرْدِ إِمَّا فِي حَقِّ الْحَقِّ أَوْ حَقِّ الْعِبَادِ فَإِنَّ مَنْ لَيْسَ لَهُ وِرْدٌ فَمَا لَهُ مِنَ الْمَوَارِدِ إِمْدَادٌ . الْقَاعِدَةُ التَّاسِعَةُ الْمُدَاوَمَةُ عَلَى الْمُرَاقَبَةِ وَلاَ يَغِيْبُ عَنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى طَرْفَةَ عَيْنٍ . القَاعِدَةُ الْعَاشِرَةُ عِلْمُ مَا يَجِبُ الإِشْتِغَالُ بِهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا اِجْتِهَادًا ِلأَنَّ مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ اِسْتَغْنَى عَنِ الطَّاعَةِ فَهُوَ مُفْلِسٌ مَعَادًا
Sesungguhnya penjelasan tentang tatacara (menempuh) jalan kita, dan landasan argumen dari orang-orang yang telah mencapai haqiqat diantara kita, adalah dibangun diatas sepuluh kaidah, dimana dengannya orang yang tidur akan terbangun dan orang yang duduk akan bangkit berdiri. Kaidah pertama, niat yang sungguh-sungguh dan nyata, tidak terbelokkan. Kaidah kedua, beramal semata-mata karena Allah, tanpa sekutu dan mempersekutukan. Kaidah ketiga, menyesuaikan diri dengan Allah yang Maha Benar dengan penuh kebulatan hati dan perasaan nyaman; serta menentang nafsu dengan penuh kesabaran untuk meninggalkan (apa yang harus ditinggal) dan menghadapi kesulitan-kesulitan; meninggalkan hawa nafsu, dan berpaling dari kenyamanan-kenyamanan, tempat, dan perselisihan. Kaidah keempat, beramal dengan ittiba’ (mengikuti syariat), bukan membuat-buat sendiri, agar dia tidak menjadi penganut hawa nafsu dan tidak membanggakan pendapatnya sendiri. Kaidah kelima, semangat yang tinggi, yang bebas dari menunda-nunda amal yang akan merusakmu. Kaidah keenam, merasa lemah dan hina, bukan dalam pengertian malas mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kesungguhan; akan tetapi engkau merasa lemah dari mengerjakan segala aktifitas kecuali dengan kuasa Allah yang Maha Benar lagi Maha Pemurah; dan hendaknya engkau memandang sesama makhluk dengan tatapan mata penuh penghormatan dan penghargaan, sebab sebagian mereka merupakan perantara bagi sebagian lainnya; karena (dengan semua itu) engkau bermaksud mengagungkan Allah Sang Pemilik keagungan dan kemuliaan. Kaidah ketujuh, merasa takut dan harap secara maknawi, dan tidak merasa tenang dengan berlimpahnya kebaikan (Allah) kecuali pada saat benar-benar ada bukti nyata untuk itu. Maka, perbaikilah persangkaanmu kepada Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Baik. Kaidah kedelapan, kontinyu mengamalkan wirid (amalan rutin harian), entah yang menjadi hak Allah maupun hak sesama hamba; sebab siapa saja yang tidak memiliki wirid maka dia tidak mempunyai sarana untuk mencapai tujuan. Kaidah kesembilan, senantiasa merasa diawasi Allah dan tidak merasa absen dari pengawasan-Nya sekejap mata pun. Kaidah kesepuluh, mengetahui hal-hal yang wajib dia laksanakan, baik bersifat lahir maupun batin, dengan penuh kesungguhan; sebab barangsiapa yang menyangka bahwa dia tidak membutuhkan lagi amal ketaatan, maka dia pasti bangkrut di akhirat kelak. (Imam al-Ghazali).[3]



[1] Hilyatul Awliya’, X/190; dalam biografi Sahl at-Tustary.
[2] Riwayat Ibnu Abid Dunya, dalam al-Ikhlas wan Niyat, no. 2, merupakan pernyataan dari Abu ‘Abd an-Nabajiy.
[3] Diringkas dari kitab al-Qawa’id al-‘Asyrah, karya Imam al-Ghazali, tanpa disertai paparan terinci atas tiap kaidah, namun hanya dinukil pokok-pokok pikirannya.