Menuntut ilmu dan hubungannya dengan adab - Serial Pendidikan Islam (6)


Bismillahirrahmanirrahim

Sebenarnya, mustahil membayangkan kejayaan budaya dan peradaban Islam di masa lalu bisa lahir tanpa landasan epistemologi ilmu dan metodologi pendidikan tertentu yang menopangnya. Bagaimanapun, tidak ada budaya dan peradaban yang lahir dari ruang kosong, atau muncul secara tiba-tiba tanpa elemen tertentu yang membentuknya. Masa kejayaan yang merentang berabad-abad, keluasan serta keabadian pengaruh yang ditanamkannya kepada berbagai bangsa dan benua, deretan panjang sarjana dan pujangga legendaris dari berbagai bidang, juga jutaan peninggalan eksotis yang masih menjadi pemicu decak kagum hingga kini, sudah cukup memberi kita kesadaran akan adanya ruh yang menghidupinya. Siapapun yang memahami kewibawaan Madinah di era kenabian, atau mengerti kegemilangan Baghdad, Cordoba dan Istanbul di zaman berikutnya, tidak akan berkata bahwa semua itu terjadi begitu saja. Belum lagi ribuan khalifah (pemimpin tertinggi), sulthan (raja), wazir (perdana menteri), wali (gubernur), amir al-jaisy (komandan militer) dan ‘ummal (pejabat administratif pemerintahan) di seluruh penjuru kawasan yang mengharu-biru dunia dengan segala prestasi dan sepak-terjang mereka.
Tidakkah kita bertanya-tanya, bagaimanakah mereka dididik?
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, kita mesti menelusuri satu persatu catatan otentik para ahli terhadap makna, tujuan, falsafah, metodologi, teknik, materi, atau ringkasnya bagaimana “ilmu dan pendidikan” dipersepsi serta diselenggarakan di zaman mereka. Walaupun semua ini bersifat historis, namun kita tidak cukup bersandar kepada laporan para ahli sejarah (akhbari), sebab metodologi mereka cenderung longgar. Satu-satunya komunitas ilmiah yang dengan teguh menjaga standar pencatatan beritanya adalah ahli hadits (muhadditsun), sehingga dokumen yang mereka hasilkan memiliki nilai sejarah dan ilmiah yang sangat tinggi. Maka, menganalisis kitab al-’ilmi dalam karya-karya ahli hadits merupakan salah satu pilihan paling logis.
Ilmu – sebagaimana dicatat para ahli hadits – adalah sesuatu yang lebih bersifat spiritual dibanding material. Ia tidak semata-mata memerlukan kesigapan fisik, namun sekaligus keteguhan mental. Ia terutama adalah makanan ruhani, sehingga mutu maupun jumlahnya haruslah memenuhi kriteria tertentu, agar benar-benar mencukupi dan bermanfaat, bukannya meracuni. Kita akan temukan banyak riwayat yang senada dengan kesimpulan ini dalam kitab al-’ilmi atau lainnya. Memandang ilmu sebagai semata-mata elemen dunia material adalah kesalahan fatal, yang sayangnya telah menjadi kelaziman peradaban kontemporer. Gagasan seperti ini telah menyebabkan penelantaran jiwa manusia dalam tingkat yang akut, dan bahkan telah membunuhnya. Manusia pun hidup dalam kehampaan dan ketersesatan, tanpa tahu harus bagaimana dan kemana. Pengingkaran Barat terhadap jiwa dan metafisika telah membawa mereka untuk mengabaikan kenyataan ini, dan memandang setiap gangguan jiwa sebagai gejala fisik belaka. Kita berhadapan dengan fenomena ironis, sebab psikologi – ilmu jiwa – pada dasarnya tidak mempercayai jiwa, dan justru berkembang menjadi ilmu tentang kelainan-kelainan fisik yang membingungkan!
Karena watak ilmu yang demikian, maka ia tidak bisa didekati dan diraih secara sembarangan tanpa memperhatikan prasyarat serta tatacara yang selaras dengannya. Adalah kekeliruan serius menganggap ilmu sebagai semacam barang bebas yang dapat dipungut setiap orang, tak perduli bagaimana sikap, tujuan dan kesiapan spiritualnya. Ilmu adalah anugrah ketuhanan, cahaya ke dalam relung jiwa manusia yang dengannya mereka menjadi berbeda dengan makhluk lain. Ia merupakan warisan kenabian, hanya setingkat di bawahnya, yang tidak mungkin dianugrahkan ke dalam jiwa-jiwa yang tidak layak menampungnya.[1] Oleh karenanya, Islam memperkenalkan “adab”, sebuah disiplin fisik dan spiritual yang dengannya manusia siap menerima karunia-karunia ilmu dan mencerna manfaatnya.
Di lain pihak, nilai dan kedudukan ilmu yang sangat agung menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak bisa didapat dengan mudah. Ini sesuatu yang alamiah dan seharusnya. Diperlukan banyak prasyarat untuk meraih ilmu, secara lahir maupun batin. Syekh az-Zarnuji menulis dalam pembukaan Ta’limu al-Muta’allim, “Ketika saya melihat mayoritas pelajar di zaman ini berusaha keras untuk menyelesaikan studi namun gagal mendapatkan manfaat ilmu, atau minimal mereka terhalang untuk mencapainya, yakni mengamalkan dan menyebarkannya, sebab mereka keliru memilih jalannya dan tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya; dan, siapa pun yang keliru memilih jalan, ia pasti tersesat, gagal mencapai maksud dan tujuannya, baik sedikit maupun banyak, maka saya ingin menjelaskan kepada mereka cara mencari ilmu menurut apa yang telah saya baca dari berbagai kitab dan saya dengar dari guru-guru saya, ahli ilmu dan hikmah, dengan harapan...”[2]
Sebenarnya, tanpa adab, seorang pelajar bukan tidak mungkin menguasai ilmu yang ditekuninya. Ia bahkan bisa saja sangat mahir dan kompeten. Namun, tanpa adab, ia pasti gagal meraih manfaat dan keberkahan ilmunya, yaitu: amal yang bersih, rasa takut kepada Allah, atau singkatnya: hidayah. Menurut pandangan Islam, ketika ilmu gagal mengubah perilaku, melahirkan ketulusan amal, kehidupan yang lurus, perasaan ta’zhim dan pengenalan yang selayaknya terhadap Allah, maka ilmu itu pasti tidak bermanfaat bagi pemiliknya.
Al-Hasan berkata, “Dulu, bila seseorang telah mencari ilmu, maka (pengaruhnya) akan selalu terlihat pada tatapan matanya, kekhusyu’annya, lidahnya, tangannya, shalatnya dan kezuhudannya.”[3]
Sufyan berkata, “Tidaklah ilmu seorang hamba bertambah, lalu kencintaannya kepada dunia juga semakin bertambah, melainkan ia akan semakin bertambah jauh dari Allah.”[4]
Hassan berkata, “Tidaklah ilmu seseorang itu semakin bertambah melainkan ia akan semakin bertambah lurus (jalan hidupnya), dan tidaklah Allah mengalungkan sesuatu yang lebih baik kepada seorang hamba dibanding ketenangan (as-sakinah).”[5]
Malik bin Dinar berkata, “Siapa saja yang tidak diberi suatu ilmu yang bisa mengekangnya (dari dunia), maka sebenarnya ia tidak diberi ilmu yang bermanfaat baginya.”[6]
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Siapa saja yang mencintai dan menggemari dunia, pasti lenyap dari hatinya rasa takut terhadap akhirat. Siapa saja yang semakin bertambah ilmunya kemudian semakin rakus kepada dunia, pasti ia semakin jauh dari Allah, dan pasti ia semakin dimurkai oleh Allah.”[7]
Adab juga bukan sesuatu yang bersifat sekunder dan sampingan dalam proses mencari ilmu. Adab adalah metodologi pendidikan. Sebagai metodologi, tentu saja ia inheren dan terikat erat dengan epistemologi tertentu yang “dilayaninya”, yaitu Islam. Kaidah ini berlaku dalam semua metodologi pendidikan yang dianut berbagai lembaga pendidikan di seluruh dunia, baik yang berasal dari Timur maupun Barat, sekuler maupun religius, theistik maupun atheistik, modern maupun klasik. Dengan sendirinya, sebagai misal, kita dapat menyimak bahwa sebenarnya berbagai metodologi, metode maupun teori pendidikan ala Barat semacam CTL (Contextual Teaching and Learning), Quantum Teaching and Learning, Muliple Intelligencies, Neuro Sciences, dan lain sebagainya, pada dasarnya adalah “pelayan” dari sebuah epistemologi tertentu, yakni epistemologi Barat. Sebagai muslim, diperlukan kewaspadaan ekstra untuk bersentuhan dengan elemen-elemen asing seperti ini sebelum mengadopsi dan mengadaptasikannya ke dalam praktik pendidikan kita. Benar, bahwa tidak adil untuk menolak bulat-bulat semua hasil kerja keras ribuan ilmuwan dan spesialis dari Barat di bidang ini, namun menelannya mentah-mentah adalah kebodohan yang tak terjelaskan. Dalam kadar tertentu, adab juga dapat dipandang sebagai teori tentang ilmu, sehingga tidak bisa dilepaskan dari visi dan misi Islam, demi meraih ridha Allah dengan merealisasikan tugas kehambaan dan kehilafahan di muka bumi.
Bertaut-eratnya adab dengan ilmu sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh. Bagaimanapun juga tanpa adab, ilmu tidak akan tumbuh dengan baik dalam jiwa manusia, karena adab adalah proses penyiapan jiwa agar bersih dan layak menerima ilmu. Sekali lagi perlu diingat bahwa – menurut Islam – ilmu adalah sesuatu yang lebih bersifat spiritual, mukan material. Tradisi pendidikan ulama’ salaf menekankan pentingnya mendahulukan adab sebelum ilmu (al-adab qabla al-’ilmi). Malik bin Anas berkata kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum ilmu.”[8] Beliau juga pernah berkisah mengenang masa kecilnya, ketika beliau mulai belajar kepada para gurunya, “Ibuku pernah memakaikan sorbanku, dan berkata: ‘Pergilah kepada Rabi’ah, lalu pelajarilah adabnya sebelum ilmunya.”[9]
Ketika menjelaskan hadits “addabani rabbiy (Tuhanku telah mendidikku)”, Imam al-Minawi antara lain menulis, “...tampak jelas disini bahwa adab itu sangat diagungkan, sehingga dari sinilah orang berkata, “Adab adalah gambaran jiwa, maka gambarkanlah jiwamu sekehendakmu!” Mereka berkata, “Keutamaan itu dengan akal dan adab, bukan dengan asal-usul dan nasab, sebab siapa saja yang buruk adabnya pasti lenyap nasabnya, dan siapa saja yang hilang akalnya maka hilang pula asal-usulnya.” Mereka berkata, “Sucikan hatimu dengan adab, sebagaimana api disucikan dengan kayu. Kebaikan adab itu akan menutupi buruknya nasab.” Dikatakan dalam kitab al-’Awarif, “Dengan adab ilmu bisa dipahami, dengan ilmu amal menjadi baik, dan dengan amal hikmah akan diraih.” Ketika Abu Hafsh an-Nisaburi tiba di Iraq, al-Junaid datang menjumpainya, dan dilihatnya murid-murid beliau berdiri di dekatnya serta melaksanakan segala perintahnya. Al-Junaid berkata, “Engkau mendidik murid-muridmu seperti pendidikan para raja (kepada bawahannya).” Dijawab, “Tidak demikian. Akan tetapi, baiknya adab lahiriah mencerminkan baiknya adab batiniah.”
Al-Minawi juga mengutip kisah seseorang yang datang kepada Burhanuddin al-Biqa’iy untuk membaca sebuah kitab, lalu ia duduk bersila di hadapannya sehingga beliau enggan meneruskannya seraya berkata, “Engkau lebih butuh kepada adab dibanding kepada ilmu yang engkau cari dengan datang kemari itu.” Dikisahkan pula bahwa di awal masa belajarnya, Syamsuddin al-Jauhari berkeliling menemui para ulama’ besar di negerinya, namun tidak satupun yang dianggapnya hebat karena beliau memang orang yang sangat cerdas. Lalu, pada suatu saat datanglah Syaikhul Islam Yahya al-Minawi ke negerinya, dan al-Jauhari pun segera mendatanginya untuk belajar. Dipikirnya, al-Minawi ini sama saja dengan semua ulama’ lain yang pernah dijumpainya, sehingga beliau agak sembrono berperilaku di hadapannya dan langsung saja membaca. Ketika itulah al-Minawi memperhatikannya dan didapatinya salah satu ujung jari kakinya terbuka, tidak tertutup oleh ujung bajunya; maka dibentaknya al-Jauhari saat itu juga, “Kurang ajar kau ini! Jangan sampai hal ini kau lakukan lagi dalam belajar! Tutup jari kakimu itu dan gunakan adab yang baik!” Saat itu jugalah padam seluruh kesombongan al-Jauhari sehingga akhirnya beliau tampil sebagai seorang ulama’ besar.[10]
Ibnul Mubarak berkata, “Siapa saja yang meremehkan adab, ia dihukum dengan terhalang dari (amalan-amalan) sunnah; siapa saja yang meremehkan (amalan-amalan) sunnah, ia dihukum dengan terhalang dari (amalan-amalan) fardhu; dan siapa saja yang meremehkan (amalan-amalan) fardhu, ia dihukum dengan terhaladang dari ma’rifat.”[11] Maka, cukup jelas kiranya, seorang pelajar akan gagal mencapai ma’rifat hanya karena ia meremehkan adab. Menurut al-Jurjani, ma’rifat adalah memahami sesuatu menurut hakikat sesuatu itu sendiri, setelah sebelumnya tidak tahu (jahil).[12]
Inilah yang melatari mengapa sebagian ahli hadits tidak memisahkan bab-bab ilmu dalam kitab tersendiri, dan justru memadukannya begitu saja dengan bab-bab adab, sebagaimana yang dapat kita saksikan dalam Kitab al-Jami’ karya Ma’mar bin Rasyid, Sunan Sa’id bin Manshur dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Membicarakan konsep ilmu dalam Islam sebenarnya tidak mungkin dilepaskan dari konteks asalnya sebagai bagian dari konsep adab. Menurut Islam, mendidik manusia pada kenyataannya adalah proses menanamkan adab itu. Tentu saja, menjadi keharusan alami jika kitab al-adab memuat penjelasan praktis bagaimana cara yang tepat dalam berpikir, merasa, berbicara, dan bertindak; serta apa saja yang diperintahkan maupun dilarang di dalamnya. Adakah materi pendidikan yang lebih bermanfaat selain ini? Bukankah sia-sia belaka mempelajari sesuatu yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kehidupan dan bahkan tidak bisa dibangun diatasnya amal? Maka, adab akan menanamkan – pertama-tama dan diutamakan – hal-hal praktis, atau “ilmu yang bermanfaat”,[13] karena dengan itulah kita hidup dan mengabdi kepada Allah; bukan dengan sesuatu yang muluk dan berbelit-belit.
Sifat pendidikan yang semacam ini memastikan bahwa materinya berlaku untuk segala situasi dan kondisi, dan juga lebih adil karena semua orang bisa mempelajari dan menyerapnya, tanpa diperlukan prasyarat khusus. Misalnya, kitab al-adab menggariskan bahwa mengharap kematian adalah pikiran terlarang, sebaliknya kita dituntun memohon pertolongan Allah dan selalu bersandar kepada-Nya. Perasaan kita dituntun untuk tidak merasa iri-dengki kepada sesama, sebaliknya ditempa agar turut bergembira atas karunia yang diterima orang lain. Kata-kata yang keluar dari mulut harus dikendalikan, agar tidak merusak orang lain maupun diri sendiri. Maka, melontarkan ejekan kepada ayah orang lain disamakan dengan mengejek ayah sendiri, dan kita diminta menghormati siapa saja yang lebih tua. Setiap tindakan kita pun harus dilandasi “pemikiran yang jauh”, sehingga – sebagai misal – kaum wanita dilarang mengenakan pakaian yang ketat dan tipis, karena itu sama dengan menjatuhkan martabat diri sendiri dan mendorong orang lain melakukan kejahatan; sebaliknya ia didorong untuk menutup aurat dan memelihara rasa malu. Demikian seterusnya. Semua ini biasa kita temukan dalam kitab al-adab, yang mencitrakan bahwa Islam menekankan – dalam porsi besar – pendidikan sebagai proses pembentukan jiwa, sementara fisik mengikutinya. Disini tidak berlaku semboyan materialis yang sangat menyesatkan: “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Sebab, Islam mendefinisikan kesehatan fisik sebagai kondisi tatkala ia ringan menaati Allah, tidak didominasi nafsu jahat dan merusak, serta mampu mempersembahkan manfaat bagi sekitarnya; bukan semata-mata ketika ia tidak sakit dan bisa berfungsi dengan benar. Ketika Al-Qur’an menyebut kaum munafiq sebagai “orang sakit”, maka makna inilah yang sedang dimaksudkannya.
Secara alamiah, konsep ilmu dan adab pasti memiliki kaitan yang erat dengan bab-bab tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Alasannya tidak sulit dicari, sebab ketika kita percaya bahwa jiwa merupakan rahasia Allah,[14] maka berpegang kepada tuntunan wahyu adalah pilihan paling logis. Siapakah yang lebih memahami sebuah teka-teki selain penciptanya sendiri? Jelasnya, sebagaimana akan Anda temukan sendiri dalam buku ini, “menyerahkan sesuatu kepada ahlinya” dipandang sebagai salah satu prinsip paling penting dalam Islam, yang dengannya keselarasan dan kebajikan senantiasa dapat dipelihara. Kondisi chaos dan rusak kebanyakan diawali dari kezhaliman, yang adalah kebalikan dari adab itu sendiri. Di puncak sikap zhalim itu bertenggerlah syirik, sebuah kezhaliman yang terbesar.[15]
Oleh karenanya, segenap hal terkait Al-Qur’an menjadi sangat penting untuk dihadirkan: hakikat, sejarah penurunan, susunan, pengumpulan, keutamaan, penafsiran, rasm, qira’at, asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ayat dan surah, adab, segala yang berhubungan dengannya. Sebab, betapa sering kita memusuhi segala yang tidak kita kenal, dan mengesampingkan apapun yang tidak kita mengerti. Dewasa ini, banyak orang sanggup berbicara berjam-jam seputar musik, sport, teknologi, dan makanan, namun segera tersedak dan bisu jika harus membahas kitab sucinya sendiri. Maka, menelusuri rangkaian bab tentang Al-Qur’an pelan-pelan akan membawa kita pada satu cakrawala baru: “seolah-olah kita hadir disana saat ia diturunkan!”
Untuk itu, perlu dihadirkan rekaman otentik tentang “suasana” saat Al-Qur’an itu diturunkan, termasuk bagaimana sikap dan tindakan sang penerima wahyu itu sendiri. Kebutuhan terhadap hal ini terpenuhi dalam bab-bab khusus yang biasanya disebut kitab as-sunnah atau ittiba’u as-sunnah. Bila Anda membaca satu demi satu riwayat pada bagian ini, ayat demi ayat dari Al-Qur’an akan terjelaskan, rahasia demi rahasia dalam firman Allah pun tersingkap satu demi satu. Sungguh tepat apa yang dinyatakan oleh Masruq, “Tidak ada satu masalah pun yang kami tanyakan kepada para sahabat Muhammad r melainkan ilmu tentangnya (sudah ada) di dalam Al-Qur’an, hanya saja pengetahuan kami terhadapnya sangat terbatas.”[16]
Bila kita melanjutkan membaca bab-bab tentang Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menyadari bahwa keduanya membutuhkan peragaan nyata. Konsep-konsep sehebat apapun selalu membutuhkan para pendukung setia. Di sinilah arti penting kumpulan riwayat yang biasanya dicatat dalam bentuk biografi Rasulullah r, fragmen kehidupan para sahabat dan juga atsar-atsar yang mereka wariskan. Di sepanjang zaman, kita tidak mungkin mengabaikan catatan-catatan ini, sebab merekalah yang menerima dan mengalami wahyu, mempraktikkan, dibimbing langsung, dan kemudian diumumkan sebagai puncak kesempurnaan eksistensi agama-Nya di muka bumi, sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Ma’idah: 03. Mendapatkan gambaran perihal kehidupan mereka samadengan memandangi potret manusia-manusia yang telah dididik dengan benar, yang benar-benar telah terdidik.
Seluruh kitab al-’ilmi yang kami alihbahasakan disini menyajikan benang merah diatas secara nyata. Tidak satu pun yang terlepas dari logika ini, baik keseluruhan maupun sebagian. Konsep-konsep tentang ilmu (al-’ilmu), adab (al-adab), keutamaan Al-Qur’an (fadha’il al-qur’an), mengikuti sunnah (ittiba’ as-sunnah), peperangan dan jejak kehidupan Nabi r (al-maghazi wa as-siyar), keutamaan generasi sahabat (fadha’il ash-shahabah), bisa saja ditulis terpisah, saling berbaur begitu saja, atau sebagian dipadukan dengan lainnya menurut kadar kemiripannya satu sama lain. Sepertinya, ketika tema-tema tersebut menyatu sedemikian erat, para ulama’ pun menulis menurut ijtihadnya masing-masing. Sunan Ibnu Majah adalah contoh kasus paling eksplisit, dimana semua topik diatas disatukan sebagai matarantai tak terputus dalam muqaddimmah-nya. Fenomena ini juga muncul dalam sistematika penulisan Sunan ad-Darimi, Shahih al-Bukhari dan Shahih Ibn Hibban. Adapun Kitab al-Jami’ dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah keduanya menempatkan adab sebagai puncak dimana di tema-tema lain tercakup di bawahnya. Tak kalah menarik adalah ditempatkannya tema-tema diatas sebagai cabang-cabang iman oleh al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman. Ini mempertegas kesimpulan bahwa ilmu adalah sesuatu yang – pertama-tama – bersifat spiritual, karena ia merupakan bagian dari tuntutan iman; walau selanjutnya kita tidak boleh lupa bahwa iman sendiri mencakup ucapan verbal (iqrar bi al-lisan), penerimaan hati (tashdiq bi al-qalb) dan tindakan fisik (‘amal bi al-jawarih).
Menjadi jelaslah bahwa adab merangkum disiplin fisik, mental, dan spiritual sekaligus, yang dengan sendirinya mengarahkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan untuk meraih keberhasilan secara utuh. Ini adalah sesuatu yang khas Islam, yang merupakan konsekuensi langsung dari akidah tauhid yang melandasinya. Maka, tidak mengherankan jika di masa lalu kita menemukan para sarjana yang menguasai berbagai keahlian sekaligus, baik di bidang agama, sains, politik praktis, bahkan kemiliteran. Terlalu banyak contoh yang bisa disebutkan dalam masalah ini. Belum lagi fakta tak terbantahkan yang hampir selalu mewarnai biografi mereka, baik secara eksplisit maupun implisit, bahwa mereka adalah figur-figur dengan ketaatan beribadah yang luar biasa, menganut standar moralitas yang tinggi, dan konsistensi yang luar biasa dalam membela kebenaran. Sebagai misal, kita dapat menyaksikannya dalam biografi yang disertakan untuk para penulis yang karyanya kita pilih, juga para perawi yang namanya terdaftar dalam indeks. Tentu saja kita tidak akan menemukan orang semacam Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), pakar pendidikan anak yang sangat dihormati namun justru membuang dan menelantarkan lima bayi darah dagingnya sendiri![17]
Adab tidak hanya berlaku bagi seorang pelajar (thalib atau muta’allim), namun merupakan kewajiban seluruh komponen yang terlibat dalam proses pencarian ilmu, mulai dari pemimpin lembaga pendidikan atau guru besar (syaikh), pengajar biasa (mudarris), asisten (na’ib), pendamping pelajar atau kakak asuh (mu’id dan mufid), pustakawan (mutawalli al-kutub), penasihat spiritual (wa’izh), pengelola masjid (mu’adzdzin), sampai para staf lain yang terlibat di dalam sebuah lembaga pendidikan, seperti juru masak, pengelola air bersih, penanggung jawab lampu penerangan, penyedia kertas dan tinta, para penyalin naskah, dan lain sebagainya. Berbagai karya telah ditulis dalam masalah ini, dan perpustakaan kita menyimpan khazanah berharga tersebut dengan sangat baik.[18]

 



[1] Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq, dan Abu Dawud [sanad-nya shahih] secara lengkap, dari Abu ad-Darda’. Di dalamnya, Nabi r bersabda, “Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris nabi-nabi.”
[2] Ta’limul Muta’allim Thariqa at-Ta’allum, dicetak bersama syarh-nya, hal. 3.
[3] Sunan ad-Darimi, no. 385. Sanad-nya shahih. Ada tambahan, menurut Ibnul Mubarak: “(dalam) perkataannya”, dan menurut Hisyam: “(dalam) tindak-tanduknya.”
[4] Sunan ad-Darimi, no. 386. Isnad-nya shahih.
[5] Idem. Aslinya adalah tiga atsar yang disatukan, karena isnad-nya sama.
[6] Dikutip dari Fathul Mannan, III/140, dalam syarah untuk hadits no. 408.
[7] Idem.
[8] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, VI/330.
[9] Dikutip al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartibul Madarik, I/31. Rabi’ah disini adalah Ibnu Abi ‘Abdurrahman Farrukh, dikenal sebagai Rabi’ah ar-Ra’yu, salah seorang guru terawal Malik bin Anas.
[10] Faidhul Qadir, I/224, riwayat no. 310.
[11] Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi, no. 1015.
[12] At-Ta’rifaat, hal. 221.
[13] Imam asy-Syafi’i berkata, “Ilmu itu bukan apa yang dihafalkan, akan tetapi apa yang bermanfaat.” [lihat: al-Adab asy-Syar’iyah, II/116; juga Bustanul ‘Arifin, hal. 10].
[14] Allah berfirman, Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” [QS al-Isra’: 85].
[15] QS al-An’am: 82 dan Luqman: 13.
[16] Riwayat Ibnu Abi Khaytsamah, Kitabul ‘Ilmi, no. 51.
[17] Jean-Jacques Rousseau, Intelektual yang Bukan Teladan, oleh Suryanto; dalam Jurnal Islamia, Thn I, No. 2, Juni-Agustus 2004; hal. 93-103.
[18] Salah satunya adalah Ma’alimul Qurbah fi Thalabil Hisbah, karya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Zaid, al-Qurasyi, asy-Syafi’i, Dhiya’uddin, al-muhaddits, atau lebih dikenal sebagai Ibnul Ukhuwwah. Beliau lahir tahun 648 H (1250 M) dan meninggal tanggal 02 Rajab 729 H.