Itu kakak saya, dia shalat sepanjang malam


 
Ada seseorang yang bercerita:
Ketika saya sedang berjalan di salah satu jalan di Yaman, saya berjumpa dengan seorang bocah remaja yang berdiri di jalan seraya melantunkan bait-bait syair yang memuji keagungan Allah. Saya mendengar ia bersenandung:
“Raja di langit, dengan-Nya aku berbangga; Dzat yang Maha Kuasa, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.”
Saya pun mendekat dan mengucapkan salam kepadanya. Ia berkata, “Aku tidak akan menjawab ucapan salammu sebelum engkau mau memberikan hakku yang wajib engkau tunaikan.” Saya bertanya, “Apa hakmu itu?” Dia menjawab, “Aku adalah remaja yang mengikuti jalan hidup Nabi Ibrahim kekasih Allah. Setiap hari, aku tidak akan sarapan atau makan malam sebelum berjalan satu atau dua mil untuk mencari seorang tamu.” Maka, saya pun memenuhi undangannya. Ia pun menyambut saya dengan gembira dan berjalan bersama-sama hingga mendekati sebuah tenda berbahan bulu. Ketika kami telah dekat, ia berseru, “Wahai kakak!” Ada seorang remaja putri yang kemudian menyambut seruannya, “Ya.” Anak laki-laki itu berkata kepadanya, “Bangkitlah, siapkan sambutan untuk tamu kita ini!” Saudarinya menjawab, “Bersabarlah sejenak. Aku mau berterima kasih kepada Allah yang telah mengantarkan kepada kita tamu ini.” Ia pun berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat, untuk bersyukur kepada Allah.
Anak laki-laki itu kemudian membawa saya masuk ke dalam tendanya, dan mempersilakan saya duduk. Ia kemudian bangkit mengambil sebilah pisau dan memilih seekor anak kambing untuk disembelihnya. Saat saya telah duduk, saya menyaksikan seorang gadis yang sangat cantik wajahnya. Saya pun mencuri-curi pandang ke arahnya. Ia menyadari perbuatan saya, dan berkata, “Hei! Tidakkah engkau tahu bahwa telah diriwayatkan dari Penguasa Yatsrib – maksudnya, Rasulullah pemimpin Madinah – itu, bahwa: “Zinanya mata adalah melihat”? Saya tidak bermaksud mencela Anda, tetapi saya ingin mengingatkan agar Anda tidak mengulanginya lagi.”
Ketika waktu tidur telah tiba, saya bermalam bersama anak laki-laki itu di luar tenda, sementara kakaknya tinggal di dalam. Saya mendengar dengungan bacaan Al-Qur’an sepanjang malam, dengan suara yang sangat merdu dan lembut. Pada pagi harinya, saya bertanya kepada anak laki-laki itu, “Suara siapakah tadi malam itu?” Dia menjawab, “Itu kakak saya. Dia shalat sepanjang malam, sampai pagi.” Saya berkata, “Nak, engkau lebih berhak untuk mengerjakan amalan itu dibanding saudarimu. Engkau laki-laki dan dia perempuan.” Dia tersenyum dan berkata, “Aduh, Anda ini! Tidakkah Anda tahu, bahwa hal itu karena ia diberi taufiq (muwaffaq) dan ditundukkan hatinya (makhdzul)?”

(*) dari Alfu Qishshatin wa Qishshah, hal. 9-10, kisah no. 7, karya Hani al-Hajj.