Hadits dan ilmu pengetahuan - Serial Pendidikan Islam (5)




Bismillahirrahmanirrahim

Hadits adalah sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi kaum muslimin, setelah Al-Qur’an Al-Karim. Sebagaimana banyak disitir dalam ayat Al-Qur’an maupun hadits itu sendiri, kedua sumber ini merupakan puncak otoritas dalam hierarki sumber ilmu. Dengan demikian, pemahaman yang memadai terhadap keduanya akan membuka pintu-pintu ilmu dan amal lain yang tidak saja sah secara syar’i, namun sekaligus mengantarkan pemiliknya untuk meraih kapabilitas mengenali dan mendudukkan berbagai persoalan pada tempat yang semestinya.
Ketidaktahuan terhadap Al-Qur’an dan hadits pada akhirnya akan memicu kebutaan akut, dimana diantara fenomena umumnya adalah kegagalan meletakkan segala sesuatu secara tepat dan proporsional, sesuai hakikat dan martabatnya masing-masing, atau lebih dikenal sebagai tindakan zhalim. Menurut sebuah hadits, hal itu disitir dalam fenomena tampilnya para pemimpin yang bodoh (ru’usan juhhalan), yang memberi fatwa atau merumuskan kebijakan apa pun tanpa landasan ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Dengan kata lain, para pemimpin itu akan menyeret diri mereka sendiri dan komunitas yang dipimpinnya ke dalam kehancuran, kebingungan, atau persoalan yang semakin rumit, walau lahiriahnya kebijakan-kebijakan tersebut ditujukan untuk menjadi solusi dari suatu krisis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh fatwa, teladan dan kebijakan yang salah biasanya jauh lebih besar dibanding kebaikan yang semula diniatkan dengannya.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash t: Nabi r bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama’, sehingga tatkala tidak ada lagi seorang ulama’ pun, masyarakat akan mengangkat para pemimpin yang bodoh, lalu mereka ditanyai dan memberi fatwa tanpa landasan ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.”[1]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menulis surat untuk penduduk Madinah (yang isinya): “Siapa saja yang beribadah tanpa ilmu, maka apa yang ia rusak lebih banyak dibanding yang ia perbaiki....”[2]
Al-Hasan al-Bashriy berkata, “Carilah ilmu dengan kesungguhan yang tidak membahayakan ibadah, dan carilah ibadah dengan kesungguhan yang tidak membahayakan ilmu. Sebab, siapa saja yang beramal tanpa dasar ilmu, maka ia lebih banyak merusak dibanding memperbaiki.”[3]
Di masa silam, jauh sebelum ilmu-ilmu lain berkembang di tengah-tengah kaum muslimin, istilah “ilmu” selalu berkonotasi hadits dan sanad-nya. Sebab, bagaimanapun juga hal yang paling berguna adalah memahami Al-Qur’an, dimana ia tidak mungkin dicapai tanpa berita yang bersambung kepada Rasulullah r dan para sahabatnya. Bahkan, cara membaca teks Al-Qur’an itu sendiri pun harus ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui sanad, yang dikenal sebagai ilmu qira’at, tidak semata-mata berpegang kepada eksistensi teks tertulis sebagaimana disangkakan oleh sebagian Orientalis. Secara alami, situasi inilah yang mendorong lahirnya Ilmu Hadits, baik dirayah maupun riwayah. Kisah-kisah perjalanan para pencari ilmu di masa silam pada dasarnya adalah kisah para pencari hadits, bukan ilmu-ilmu lainnya. Hadits atau atsar adalah ilmu pertama dalam Islam. Tepatnya, generasi awal umat ini hanya mengerti makna “ilmu” sebagai Al-Qur’an dan Sunnah, dalam pengertiannya yang paling komprehensif. Tradisi pendidikan pertama di dalam Islam adalah pendidikan hadits itu sendiri, yang mewarnai hampir seluruh aspek dan kemudian berkembang menjadi aneka disiplin ilmu yang spesifik.
Seluruh literatur klasik Islam pun bermuara kepada metodologi Ahli Hadits, baik dalam tafsir, fiqh, sirah dan maghazi, bahkan kalam (teologi) dan tashawwuf. Biasanya karya-karya yang mengabaikannya akan dikesampingkan, kalau tidak dibuang samasekali. Halaman pertama atau terakhir berbagai buku klasik acapkali diisi catatan matarantai sima’at (proses mendengar riwayat), mulai dari pemilik salinan naskah itu sampai kepada pengarangnya sendiri, yang darinya penelusuran keabsahan karya dimaksud dapat dilakukan. Para pelajar di masa silam juga berbangga dengan naskah-naskah milik mereka yang secara faktual telah divalidasi di hadapan seorang ahli, bukan dengan selembar ijazah yang kadang bisa dibeli atau dipalsukan. Mungkin, hanya filsafat yang nyaris lepas samasekali dari lingkaran ini, dan – tentu saja, dengan cepat – ia mendapat respon paling negatif. Berbagai elemen umat yang ‘tersentuh’ filsafat dan tidak memperhatikan sanad segera disorot tajam, terutama kaum teolog dan sufi. Memang, sejak awal sudah tidak memungkinkan lagi menelusuri sanad dalam filsafat. Siapakah yang tahu matarantai riwayat filsafat mulai dari tokoh-tokoh terawalnya semisal Thales, Pythagoras, Zeno, Socrates, Plato, dan Aristoteles hingga sampai kepada ahli-ahli filsafat di zaman berikutnya, dari generasi ke generasi? Bagaimana menjamin buku-buku dan riwayat yang beredar itu asli, selamat dari sisipan tangan-tangan kotor, dan bukan kabar burung atau pencatutan yang tidak bertanggung jawab?
Imam Abu Hanifah berkata, “Semoga Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid, sebab ia membuka jalan bagi manusia untuk memperbincangkan (kalam) sesuatu perbincangan (kalam) yang tidak ada perlunya bagi mereka.”[4]
Imam Malik berkata, “Siapa saja yang mencari agama melalui teologi (ilmu kalam), ia pasti menjadi zindiq (sesat). Siapa saja yang mencari harta dengan ilmu kimia, ia pasti bangkrut. Siapa saja yang mencari hadits-hadits yang aneh (gharibul hadits), ia pasti berbohong.”[5]
Imam asy-Syafi’i berkata, “Andaikan seseorang mewasiatkan kitab-kitabnya untuk (diberikan kepada) orang lain, dan di dalamnya ada kitab-kitab teologi (kalam), maka itu tidak termasuk dalam wasiat, sebab ia tidak termasuk ilmu.”[6]
Sudah menjadi hal yang lazim di kalangan para sarjana muslim, bahwa cara terbaik menilai otoritas maupun validitas setiap karya klasik adalah dengan menguji sanad dari materi yang dikandungnya, dan dengan cara demikian pula berbagai karya diurutkan tingkatannya. Itu berarti pula bahwa akan terdapat hierarki tetap literatur pokok yang tidak tergoyahkan otoritasnya, dan akhirnya menjadi ijma’ (konsensus). Penetapan yang bersifat permanen ini penting, sebab ilmu-ilmu awal itu adalah bagian utama dari agama (Islam). Tentu saja, ia harus bersifat permanen. Sebab, jika saja sebuah agama secara mutlak boleh berpijak kepada sesuatu yang bersifat evolutif, kondisional dan situasional, kita akan menemukan di dalamnya dominasi selera manusia, dan sifat ketuhanan maupun kesakralannya jelas akan punah. Al-Qur’an menyebut hal terakhir ini dengan ahwaa’, yakni tarikan nafsu. Kristen adalah contoh paling tragis dari sebuah agama yang berevolusi dari waktu ke waktu, menurut kehendak para tokoh dan pemeluknya, bahkan hingga hari-hari ini. Persoalan rumit ini merupakan konsekuensi langsung dari ketiadaan sumber yang benar-benar permanen dan otoritatif di kalangan mereka. Bibel (Old and New Testaments) sendiri selalu berkembang dan berevolusi, bahkan hingga abad ke-21 sekarang. Bukan hal aneh bagi Barat untuk menyaksikan kelahiran kitab suci baru setiap tahun. Bahkan, “pembaharuan” dengan watak dasar semacam itu sudah menjadi keharusan peradaban mereka yang “selalu mencari dan tidak pernah menemukan”, atau “senantiasa ragu dan tidak pernah sampai kepada keyakinan” itu. Tampaknya, akar-akar filsafat humanisme maupun teori evolusi yang sangat antroposentris di Barat berakar kepada watak agama Kristen itu sendiri yang juga antroposentris dan evolutif. Sudah umum dimengerti bahwa nyaris tidak ada elemen Kristiani yang selamat dari campur tangan manusia, mulai dari doktrin ketuhanan, kredo (akidah), ritual, sampai sistem sosial dan filsafat moralnya.
Dengan kata lain, isi kandungan dalam tafsir, hadits, fiqh, sirah dan maghazi, dan ilmu-ilmu Islam lainnya adalah elemen-elemen utama yang merefleksikan pandangan dunia (worldview) Islam. Konsekuensinya, mengkaji bagian-bagian ini secara luas jelas akan membimbing seseorang untuk memahami pandangan Islam secara lengkap dan menyeluruh, terhadap berbagai hal. Ahmad bin Mani’ bercerita: Ahmad (bin Hanbal) berjumpa dengan kami (di jalan), dan beliau baru datang dari Kufah sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi (salinan) kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke Kufah, lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai kapan? Bila seseorang telah mencatat 30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak cukup?” Beliau tetap diam. “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah dia baru mengerti ‘sesuatu’!”[7] Ya, siapa kiranya yang tidak memahami apa-apa jika telah mencatat seratus ribu hadits dengan tangannya sendiri?
Di lain waktu, Abu ‘Ali adh-Dharir bertanya kepada Ahmad bin Hanbal perihal berapa hadits yang seharusnya diketahui seseorang sebelum ia dianggap layak berfatwa: apakah seratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.” Apakah duaratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.” Apakah tigaratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.” Apakah empatratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.” Apakah limaratus ribu? Barulah beliau menjawab, “Ya, saya harap cukup!”[8] Sepertinya, adakah yang masih samar-samar bagi seseorang yang telah menguasai 500.000 hadits?
Mudah dimengerti pula mengapa para sarjana muslim era klasik adalah para universalis, yakni sosok-sosok yang menguasai berbagai disiplin ilmu sekaligus. Dengan sendirinya, di masa kini pun sosok seperti mereka masih mungkin dilahirkan kembali. Sebab, masalahnya – menurut kami – bukan bersifat situasional atau kultural, tetapi murni metodologis. Artinya, kegagalan kita melahirkan sosok-sosok seperti mereka lebih disebabkan oleh kekeliruan metodologi, bukan karena situasi dan kondisi yang tidak mendukung.
Apabila kita perhatikan isi kandungan hadits – dan, tentunya Al-Qur’an – itu sendiri, terbukti bahwa di dalamnya terdapat beraneka rupa ilmu, nyaris tak dapat dipilah secara sempurna. Sebuah ayat atau matan hadits seringkali merupakan pembangkit kajian berbagai disiplin ilmu yang berbeda sekaligus, mulai dari tatabahasa, manajemen, psikologi, sejarah, strategi militer, sains, sampai hal-hal gaib dan supranatural. Ini merupakan konsekuensi dari pandangan islami terhadap ilmu dan seluruh realitas, yakni “konsep tauhid”. Tentu saja, karena Islam memandang bahwa semua ilmu pada dasarnya adalah karunia Allah, maka sebenarnya tidak dikenal pemisahan tajam seperti yang diajukan konsep sekuler Barat. Memang benar ada “ilmu” yang dilarang, seperti astrologi dan sihir; namun kedua “ilmu” ini dan yang sejenisnya sebenarnya adalah ilmu semu (pseudo-science), yang pada galibnya hanya berpijak kepada prasangka tak berdasar. Prinsip seperti ini tidak mungkin diterima dalam cakupan konsep ilmu menurut Islam, yang menekankan kepada adanya dasar-dasar yang akurat, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tentu saja, seiring perjalanan waktu, selain hadits yang bersumber dari Rasulullah r dan sahabatnya, hadir pula berbagai riwayat yang berisi penjelasan para ulama’ yang otoritatif di zamannya, baik dalam bidang hadits itu sendiri, tafsir, fiqh, sejarah, dan lain sebagainya. Uraian semacam ini dapat kita jumpai dalam Sunan ad-Darimi dan juga Syu’abu al-Iman karya al-Baihaqi – yang keduanya sama-sama dikutip dalam buku ini. Namun, tetap saja seluruh periwayatannya menyertakan dan mementingkan kualitas sanad; agar – seperti dikatakan Ibnul Mubarak – tidak setiap orang yang ingin bisa mengatakan apa saja yang ia mau![9]
Sanad adalah sesuatu yang khas Islam, dan pencapaian standar ilmiahnya tidak ada duanya di dunia ini. Jika pun dapat disederhanakan, maka sanad mirip dengan catatan kaki (footnote) dan catatan akhir (endnote) yang dipergunakan dalam berbagai karya ilmiah modern. Jika sekarang footnote dan endnote biasanya dipakai untuk menunjukkan sumber sebuah kutipan penting, maka di masa lalu sebuah sanad dipergunakan untuk memenuhi tujuan itu. Penelitian terhadap kualitas sumber dan otoritas penulis yang dicantumkan dalam catatan kaki buku-buku masa kini dapat dianalogkan dengan penelitian terhadap sanad dalam metode periwayatan hadits. Walau harus diakui pula bahwa di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan lain yang tidak dapat disederhanakan begitu saja.
Dewasa ini, memahami bahwa “ilmu” juga identik dengan “hadits” – selain, Al-Qur’an – adalah sesuatu yang sangat penting. Menurut pengamatan kami, salah satu faktor yang mengaburkan pemahaman dan pengamalan Islam di tengah-tengah umat adalah terkuburnya hadits dari ingatan kultur keseharian mereka. Tradisi yang sampai kepada kita meneguhkan bahwa hanya haditslah yang memiliki otoritas tertinggi menjelaskan makna dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Tanpa hadits, keinginan untuk kembali kepada Kitabullah nyaris sia-sia. Kalam Allah itu akan tetap “mengambang” dan terasa sukar diamalkan, karena hadits sebagai penjelasan teknisnya tidak kita pelajari. Ini sesuatu yang sudah disepakati kebenarannya oleh para ulama’. Dengan kata lain, hadits adalah bagian utama kurikulum pendidikan Islam yang paling otentik, selain Al-Qur’an dan segala ilmu yang terikat dengannya. Maka, tidak berlebihan kiranya bila kita sangat butuh untuk menyertakan hadits dalam kurikulum pendidikan umat ini, sebagai materi pokok dan sumber ilmu, bukan pelengkap dan aksesoris belaka.
Satu hal lagi, yang juga termasuk dalam kelompok hadits adalah riwayat sirah dan maghazi, atau biasa disebut sirah saja. Sirah secara harfiah berarti perjalanan atau biografi, yang biasanya menjelaskan sejarah sipil Rasulullah r dan para sahabat, yakni bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari sebagai warga masyarakat biasa, walau di dalamnya juga disertakan riwayat pertempuran yang terjadi di masa itu. Sementara itu, maghazi yang arti harfiahnya adalah pertempuran (tempat dan waktu), lebih berfokus untuk mengabadikan dan merinci sejarah militer generasi mereka, yakni di saat-saat khusus dimana seluruh komponen umat terjun untuk membela kehormatan agamanya di medan perang. Ironisnya, sebagian orang terlalu enggan mempelajari sejarah sipil generasi tersebut, terlebih lagi sejarah militernya, dengan beragam alasan.
Sirah adalah catatan otentik ketika Al-Qur’an berhasil dihadirkan ke dalam sejarah riil umat manusia. Mengenal sirah adalah bagian dari upaya mengenal keaslian Islam, termasuk dengan mengenal kebalikannya, yakni jahiliyah. Diriwayatkan bahwa ‘Umar t berkata, “Simpul-simpul Islam hanya akan terurai satu demi satu bila tumbuh (suatu generasi) dalam Islam yang tidak mengenal jahiliyah.”[10] Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa sirah adalah tafsir yang disusun oleh Rasulullah r sendiri, bukan dalam bentuk tertulis, namun dalam tampilan nyata. Sepanjang riwayatnya benar, maka – menurut kami – sirah dapat dimutlakkan seperti itu, sebab pada dasarnya ia adalah bagian dari sunnah Nabi r. Maka, berbicara tentang sirah seharusnya tidak dilakukan sambil lalu, dengan mengutip sembarang riwayat dan cerita, di bawah naungan metodologi yang longgar dan asal-asalan. Bahaya besar telah menanti. Sebab, jika kita salah menggambarkan sirah, kita akan keliru mengenali keaslian agama kita sendiri, dan bisa jadi akan memicu kesesatan.
 



[1] Riwayat al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain. Ini redaksi al-Bukhari, no. 100.
[2] Teksnya diringkas, selengkapnya: “...siapa saja yang menganggap perkataannya merupakan bagian dari amalnya, pasti sedikit berbicara, kecuali dalam hal yang penting baginya; dan siapa saja yang menjadikan agamanya sebagai obyek pertengkaran, pasti sering berganti-ganti pendapat.” Riwayat ad-Darimi, no. 305. Husain Salim Asad berkata: para perawinya tsiqah, hanya saja – setahu kami – Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz tidak menjumpai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
[3] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 35192. Maksudnya, jangan sampai kesibukan mencari ilmu melalaikan dari ibadah, atau kesungguhan beribadah membuat lupa dari mencari ilmu. Keduanya harus seimbang dan selaras.
[4] Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi, no. 1020. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah guru besar dan “pendiri” madzhab Qadariyah dan Mu’tazilah, termasuk atba’ tabi’in senior, meninggal di Bashrah tahun 143 H atau sebelumnya.
[5] Idem, no. 859.
[6] Al-Adab asy-Syar’iyah, I/253.
[7] Al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 369.
[8] Idem.
[9] Dikutip Muslim adalam Muqaddimah kitab Shahih-nya, juga at-Tirmidzi no. 4341.
[10] Mukhtashar Sirati ar-Rasul, hal. 11-12. Atsar dari ‘Umar tersebut termasyhur, dikutip antara lain oleh Ibnu Taimiyah dalam Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, III/24.