Bismillahirrahmanirrahim
Hadits adalah sumber
inspirasi yang tidak pernah kering bagi kaum muslimin, setelah Al-Qur’an
Al-Karim. Sebagaimana banyak disitir dalam ayat Al-Qur’an maupun hadits itu
sendiri, kedua sumber ini merupakan puncak otoritas dalam hierarki sumber ilmu.
Dengan demikian, pemahaman yang memadai terhadap keduanya akan membuka
pintu-pintu ilmu dan amal lain yang tidak saja sah secara syar’i, namun
sekaligus mengantarkan pemiliknya untuk meraih kapabilitas mengenali dan
mendudukkan berbagai persoalan pada tempat yang semestinya.
Ketidaktahuan terhadap
Al-Qur’an dan hadits pada akhirnya akan memicu kebutaan akut, dimana diantara
fenomena umumnya adalah kegagalan meletakkan segala sesuatu secara tepat dan
proporsional, sesuai hakikat dan martabatnya masing-masing, atau lebih dikenal
sebagai tindakan zhalim. Menurut sebuah hadits, hal itu disitir dalam fenomena
tampilnya para pemimpin yang bodoh (ru’usan juhhalan), yang memberi fatwa
atau merumuskan kebijakan apa pun tanpa landasan ilmu, sehingga mereka sesat
dan menyesatkan. Dengan kata lain, para pemimpin itu akan menyeret diri mereka
sendiri dan komunitas yang dipimpinnya ke dalam kehancuran, kebingungan, atau
persoalan yang semakin rumit, walau lahiriahnya kebijakan-kebijakan tersebut ditujukan
untuk menjadi solusi dari suatu krisis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh fatwa,
teladan dan kebijakan yang salah biasanya jauh lebih besar dibanding kebaikan
yang semula diniatkan dengannya.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-’Ash t: Nabi r bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari
hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama’, sehingga tatkala tidak ada lagi seorang ulama’ pun, masyarakat akan
mengangkat para pemimpin yang bodoh, lalu mereka ditanyai dan memberi fatwa
tanpa landasan ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.”[1]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
menulis surat untuk penduduk Madinah (yang isinya): “Siapa saja yang
beribadah tanpa ilmu, maka apa yang ia rusak lebih banyak dibanding yang ia
perbaiki....”[2]
Al-Hasan al-Bashriy
berkata, “Carilah ilmu dengan kesungguhan yang tidak membahayakan ibadah,
dan carilah ibadah dengan kesungguhan yang tidak membahayakan ilmu. Sebab,
siapa saja yang beramal tanpa dasar ilmu, maka ia lebih banyak merusak
dibanding memperbaiki.”[3]
Di masa silam, jauh
sebelum ilmu-ilmu lain berkembang di tengah-tengah kaum muslimin, istilah “ilmu”
selalu berkonotasi hadits dan sanad-nya. Sebab, bagaimanapun juga hal
yang paling berguna adalah memahami Al-Qur’an, dimana ia tidak mungkin dicapai
tanpa berita yang bersambung kepada Rasulullah r dan para sahabatnya.
Bahkan, cara membaca teks Al-Qur’an itu sendiri pun harus ditransmisikan dari
generasi ke generasi melalui sanad, yang dikenal sebagai ilmu qira’at,
tidak semata-mata berpegang kepada eksistensi teks tertulis sebagaimana
disangkakan oleh sebagian Orientalis. Secara alami, situasi inilah yang
mendorong lahirnya Ilmu Hadits, baik dirayah maupun riwayah.
Kisah-kisah perjalanan para pencari ilmu di masa silam pada dasarnya adalah
kisah para pencari hadits, bukan ilmu-ilmu lainnya. Hadits atau atsar
adalah ilmu pertama dalam Islam. Tepatnya, generasi awal umat ini hanya
mengerti makna “ilmu” sebagai Al-Qur’an dan Sunnah, dalam pengertiannya yang
paling komprehensif. Tradisi pendidikan pertama di dalam Islam adalah
pendidikan hadits itu sendiri, yang mewarnai hampir seluruh aspek dan kemudian
berkembang menjadi aneka disiplin ilmu yang spesifik.
Seluruh literatur klasik
Islam pun bermuara kepada metodologi Ahli Hadits, baik dalam tafsir, fiqh,
sirah dan maghazi, bahkan kalam (teologi) dan tashawwuf.
Biasanya karya-karya yang mengabaikannya akan dikesampingkan, kalau tidak
dibuang samasekali. Halaman pertama atau terakhir berbagai buku klasik acapkali
diisi catatan matarantai sima’at (proses mendengar riwayat), mulai dari
pemilik salinan naskah itu sampai kepada pengarangnya sendiri, yang darinya
penelusuran keabsahan karya dimaksud dapat dilakukan. Para pelajar di masa
silam juga berbangga dengan naskah-naskah milik mereka yang secara faktual
telah divalidasi di hadapan seorang ahli, bukan dengan selembar ijazah yang
kadang bisa dibeli atau dipalsukan. Mungkin, hanya filsafat yang nyaris lepas
samasekali dari lingkaran ini, dan – tentu saja, dengan cepat – ia mendapat
respon paling negatif. Berbagai elemen umat yang ‘tersentuh’ filsafat dan tidak
memperhatikan sanad segera disorot tajam, terutama kaum teolog dan sufi.
Memang, sejak awal sudah tidak memungkinkan lagi menelusuri sanad dalam
filsafat. Siapakah yang tahu matarantai riwayat filsafat mulai dari tokoh-tokoh
terawalnya semisal Thales, Pythagoras, Zeno, Socrates, Plato, dan Aristoteles
hingga sampai kepada ahli-ahli filsafat di zaman berikutnya, dari generasi ke
generasi? Bagaimana menjamin buku-buku dan riwayat yang beredar itu asli, selamat
dari sisipan tangan-tangan kotor, dan bukan kabar burung atau pencatutan yang
tidak bertanggung jawab?
Imam Abu Hanifah berkata, “Semoga Allah melaknat ‘Amr bin
‘Ubaid, sebab ia membuka jalan bagi manusia untuk memperbincangkan (kalam)
sesuatu perbincangan (kalam) yang tidak ada perlunya bagi mereka.”[4]
Imam Malik berkata, “Siapa saja yang mencari agama
melalui teologi (ilmu kalam), ia pasti menjadi zindiq (sesat). Siapa saja yang mencari
harta dengan ilmu kimia, ia pasti bangkrut. Siapa saja yang mencari
hadits-hadits yang aneh (gharibul hadits), ia pasti berbohong.”[5]
Imam asy-Syafi’i berkata, “Andaikan
seseorang mewasiatkan kitab-kitabnya untuk (diberikan kepada) orang lain, dan di dalamnya ada kitab-kitab teologi
(kalam), maka itu tidak termasuk dalam wasiat, sebab ia tidak termasuk ilmu.”[6]
Sudah menjadi hal yang
lazim di kalangan para sarjana muslim, bahwa cara terbaik menilai otoritas
maupun validitas setiap karya klasik adalah dengan menguji sanad dari
materi yang dikandungnya, dan dengan cara demikian pula berbagai karya
diurutkan tingkatannya. Itu berarti pula bahwa akan terdapat hierarki tetap
literatur pokok yang tidak tergoyahkan otoritasnya, dan akhirnya menjadi ijma’
(konsensus). Penetapan yang bersifat permanen ini penting, sebab ilmu-ilmu awal
itu adalah bagian utama dari agama (Islam). Tentu saja, ia harus bersifat
permanen. Sebab, jika saja sebuah agama secara mutlak boleh berpijak kepada
sesuatu yang bersifat evolutif, kondisional dan situasional, kita akan
menemukan di dalamnya dominasi selera manusia, dan sifat ketuhanan maupun
kesakralannya jelas akan punah. Al-Qur’an menyebut hal terakhir ini dengan ahwaa’,
yakni tarikan nafsu. Kristen adalah contoh paling tragis dari sebuah agama yang
berevolusi dari waktu ke waktu, menurut kehendak para tokoh dan pemeluknya,
bahkan hingga hari-hari ini. Persoalan rumit ini merupakan konsekuensi langsung
dari ketiadaan sumber yang benar-benar permanen dan otoritatif di kalangan
mereka. Bibel (Old and New Testaments) sendiri selalu berkembang dan
berevolusi, bahkan hingga abad ke-21 sekarang. Bukan hal aneh bagi Barat untuk
menyaksikan kelahiran kitab suci baru setiap tahun. Bahkan, “pembaharuan”
dengan watak dasar semacam itu sudah menjadi keharusan peradaban mereka yang “selalu
mencari dan tidak pernah menemukan”, atau “senantiasa ragu dan tidak
pernah sampai kepada keyakinan” itu. Tampaknya, akar-akar filsafat
humanisme maupun teori evolusi yang sangat antroposentris di Barat berakar
kepada watak agama Kristen itu sendiri yang juga antroposentris dan evolutif.
Sudah umum dimengerti bahwa nyaris tidak ada elemen Kristiani yang selamat dari
campur tangan manusia, mulai dari doktrin ketuhanan, kredo (akidah), ritual,
sampai sistem sosial dan filsafat moralnya.
Dengan kata lain, isi
kandungan dalam tafsir, hadits, fiqh, sirah dan maghazi, dan
ilmu-ilmu Islam lainnya adalah elemen-elemen utama yang merefleksikan pandangan
dunia (worldview) Islam. Konsekuensinya, mengkaji bagian-bagian ini
secara luas jelas akan membimbing seseorang untuk memahami pandangan Islam
secara lengkap dan menyeluruh, terhadap berbagai hal. Ahmad bin Mani’ bercerita:
Ahmad (bin Hanbal) berjumpa dengan kami (di jalan), dan beliau baru datang dari
Kufah sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi (salinan)
kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke Kufah,
lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai kapan? Bila seseorang telah mencatat
30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak cukup?”
Beliau tetap diam. “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah
dia baru mengerti ‘sesuatu’!”[7] Ya, siapa
kiranya yang tidak memahami apa-apa jika telah mencatat seratus ribu hadits
dengan tangannya sendiri?
Di lain waktu, Abu ‘Ali
adh-Dharir bertanya kepada Ahmad bin Hanbal perihal berapa hadits yang
seharusnya diketahui seseorang sebelum ia dianggap layak berfatwa: apakah
seratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.” Apakah duaratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.”
Apakah tigaratus ribu? Beliau menjawab, “Belum.” Apakah empatratus ribu? Beliau
menjawab, “Belum.” Apakah limaratus ribu? Barulah beliau menjawab, “Ya, saya
harap cukup!”[8]
Sepertinya, adakah yang masih samar-samar bagi seseorang yang telah menguasai
500.000 hadits?
Mudah dimengerti pula
mengapa para sarjana muslim era klasik adalah para universalis, yakni
sosok-sosok yang menguasai berbagai disiplin ilmu sekaligus. Dengan sendirinya,
di masa kini pun sosok seperti mereka masih mungkin dilahirkan kembali. Sebab,
masalahnya – menurut kami – bukan bersifat situasional atau kultural, tetapi
murni metodologis. Artinya, kegagalan kita melahirkan sosok-sosok seperti
mereka lebih disebabkan oleh kekeliruan metodologi, bukan karena situasi dan
kondisi yang tidak mendukung.
Apabila kita perhatikan
isi kandungan hadits – dan, tentunya Al-Qur’an – itu sendiri, terbukti bahwa di
dalamnya terdapat beraneka rupa ilmu, nyaris tak dapat dipilah secara sempurna.
Sebuah ayat atau matan hadits seringkali merupakan pembangkit kajian berbagai
disiplin ilmu yang berbeda sekaligus, mulai dari tatabahasa, manajemen,
psikologi, sejarah, strategi militer, sains, sampai hal-hal gaib dan
supranatural. Ini merupakan konsekuensi dari pandangan islami terhadap ilmu dan
seluruh realitas, yakni “konsep tauhid”. Tentu saja, karena Islam
memandang bahwa semua ilmu pada dasarnya adalah karunia Allah, maka sebenarnya
tidak dikenal pemisahan tajam seperti yang diajukan konsep sekuler Barat.
Memang benar ada “ilmu” yang dilarang, seperti astrologi dan sihir; namun kedua
“ilmu” ini dan yang sejenisnya sebenarnya adalah ilmu semu (pseudo-science),
yang pada galibnya hanya berpijak kepada prasangka tak berdasar. Prinsip
seperti ini tidak mungkin diterima dalam cakupan konsep ilmu menurut Islam,
yang menekankan kepada adanya dasar-dasar yang akurat, valid dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Tentu saja, seiring
perjalanan waktu, selain hadits yang bersumber dari Rasulullah r dan sahabatnya, hadir pula berbagai riwayat yang berisi
penjelasan para ulama’ yang otoritatif di zamannya, baik dalam bidang hadits
itu sendiri, tafsir, fiqh, sejarah, dan lain sebagainya. Uraian semacam ini
dapat kita jumpai dalam Sunan ad-Darimi dan juga Syu’abu al-Iman
karya al-Baihaqi – yang keduanya sama-sama dikutip dalam buku ini. Namun, tetap
saja seluruh periwayatannya menyertakan dan mementingkan kualitas sanad;
agar – seperti dikatakan Ibnul Mubarak – tidak setiap orang yang ingin bisa
mengatakan apa saja yang ia mau![9]
Sanad adalah sesuatu yang khas
Islam, dan pencapaian standar ilmiahnya tidak ada duanya di dunia ini. Jika pun
dapat disederhanakan, maka sanad mirip dengan catatan kaki (footnote)
dan catatan akhir (endnote) yang dipergunakan dalam berbagai karya
ilmiah modern. Jika sekarang footnote dan endnote biasanya
dipakai untuk menunjukkan sumber sebuah kutipan penting, maka di masa lalu
sebuah sanad dipergunakan untuk memenuhi tujuan itu. Penelitian terhadap
kualitas sumber dan otoritas penulis yang dicantumkan dalam catatan kaki
buku-buku masa kini dapat dianalogkan dengan penelitian terhadap sanad
dalam metode periwayatan hadits. Walau harus diakui pula bahwa di antara
keduanya ada perbedaan-perbedaan lain yang tidak dapat disederhanakan begitu
saja.
Dewasa ini, memahami bahwa
“ilmu” juga identik dengan “hadits” – selain, Al-Qur’an – adalah sesuatu yang
sangat penting. Menurut pengamatan kami, salah satu faktor yang mengaburkan
pemahaman dan pengamalan Islam di tengah-tengah umat adalah terkuburnya hadits
dari ingatan kultur keseharian mereka. Tradisi yang sampai kepada kita
meneguhkan bahwa hanya haditslah yang memiliki otoritas tertinggi menjelaskan
makna dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Tanpa hadits, keinginan untuk kembali
kepada Kitabullah nyaris sia-sia. Kalam Allah itu akan tetap “mengambang” dan
terasa sukar diamalkan, karena hadits sebagai penjelasan teknisnya tidak kita
pelajari. Ini sesuatu yang sudah disepakati kebenarannya oleh para ulama’.
Dengan kata lain, hadits adalah bagian utama kurikulum pendidikan Islam yang
paling otentik, selain Al-Qur’an dan segala ilmu yang terikat dengannya. Maka,
tidak berlebihan kiranya bila kita sangat butuh untuk menyertakan hadits dalam
kurikulum pendidikan umat ini, sebagai materi pokok dan sumber ilmu, bukan
pelengkap dan aksesoris belaka.
Satu hal lagi, yang juga
termasuk dalam kelompok hadits adalah riwayat sirah dan maghazi,
atau biasa disebut sirah saja. Sirah secara harfiah berarti
perjalanan atau biografi, yang biasanya menjelaskan sejarah sipil Rasulullah r dan para sahabat, yakni bagaimana mereka menjalani
kehidupan sehari-hari sebagai warga masyarakat biasa, walau di dalamnya juga
disertakan riwayat pertempuran yang terjadi di masa itu. Sementara itu, maghazi
yang arti harfiahnya adalah pertempuran (tempat dan waktu), lebih berfokus
untuk mengabadikan dan merinci sejarah militer generasi mereka, yakni di
saat-saat khusus dimana seluruh komponen umat terjun untuk membela kehormatan
agamanya di medan perang. Ironisnya, sebagian orang terlalu enggan mempelajari
sejarah sipil generasi tersebut, terlebih lagi sejarah militernya, dengan
beragam alasan.
Sirah adalah catatan otentik
ketika Al-Qur’an berhasil dihadirkan ke dalam sejarah riil umat manusia.
Mengenal sirah adalah bagian dari upaya mengenal keaslian Islam,
termasuk dengan mengenal kebalikannya, yakni jahiliyah. Diriwayatkan
bahwa ‘Umar t berkata, “Simpul-simpul Islam hanya akan terurai satu
demi satu bila tumbuh (suatu generasi) dalam Islam yang tidak mengenal
jahiliyah.”[10]
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa sirah adalah tafsir yang disusun oleh
Rasulullah r sendiri, bukan dalam bentuk tertulis, namun dalam
tampilan nyata. Sepanjang riwayatnya benar, maka – menurut kami – sirah
dapat dimutlakkan seperti itu, sebab pada dasarnya ia adalah bagian dari sunnah
Nabi r. Maka, berbicara tentang sirah seharusnya tidak
dilakukan sambil lalu, dengan mengutip sembarang riwayat dan cerita, di bawah
naungan metodologi yang longgar dan asal-asalan. Bahaya besar telah menanti. Sebab,
jika kita salah menggambarkan sirah, kita akan keliru mengenali keaslian
agama kita sendiri, dan bisa jadi akan memicu kesesatan.
[1] Riwayat al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain. Ini redaksi al-Bukhari, no. 100.
[2] Teksnya diringkas, selengkapnya: “...siapa saja yang menganggap
perkataannya merupakan bagian dari amalnya, pasti sedikit berbicara, kecuali
dalam hal yang penting baginya; dan siapa saja yang menjadikan agamanya sebagai
obyek pertengkaran, pasti sering berganti-ganti pendapat.” Riwayat ad-Darimi, no. 305. Husain Salim Asad berkata:
para perawinya tsiqah, hanya saja – setahu kami – Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz
tidak menjumpai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
[3] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 35192. Maksudnya,
jangan sampai kesibukan mencari ilmu melalaikan dari ibadah, atau kesungguhan
beribadah membuat lupa dari mencari ilmu. Keduanya harus seimbang dan selaras.
[4] Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi, no. 1020. ‘Amr
bin ‘Ubaid adalah guru besar dan “pendiri” madzhab Qadariyah dan Mu’tazilah,
termasuk atba’ tabi’in senior, meninggal di Bashrah tahun 143 H atau
sebelumnya.
[5] Idem, no. 859.
[6] Al-Adab asy-Syar’iyah, I/253.
[7] Al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal,
hal. 369.
[8] Idem.
[9] Dikutip Muslim adalam Muqaddimah kitab Shahih-nya,
juga at-Tirmidzi no. 4341.
[10] Mukhtashar Sirati ar-Rasul, hal. 11-12. Atsar
dari ‘Umar tersebut termasyhur, dikutip antara lain oleh Ibnu Taimiyah dalam Dar’u
Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, III/24.