Gosip!


Bismillahirrahmanirrahim
 
Madinah Munawwarah heboh. Seisi kota dilanda kasak-kusuk dan cerita tidak sedap. Menyebar diam-diam dari mulut ke mulut, bagai kanker yang menggerogoti tubuh. Tidak main-main, karena yang diperbincangkan adalah istri Rasulullah sendiri; yang masih muda, cerdas, enerjik, berpengaruh, dan sangat cantik. Hampir semua orang terpancing dan dengan cepatnya tersulut aneka spekulasi. Masing-masing dengan argumen dan analisisnya. Bahkan, Rasulullah sendiri sempat bimbang antara menolak dan membenarkan. Beliau pun memanggil sebagian sahabatnya untuk dimintai pertimbangan. Ya, menurut gosip yang beredar, konon katanya: Aisyah berselingkuh!!

Situasi semakin runyam, karena setelah peristiwa yang menyulut gosip itu terjadi, Aisyah justru ditakdirkan sakit, dan – tanpa prasangka apapun – ia minta pulang ke rumah orangtuanya, Abu Bakar ash-Shiddiq. Sebenarnya, permintaan yang sederhana dan normal, karena ia cuma ingin bisa dirawat oleh ibunya. Tetapi, keinginan ini muncul di saat yang tidak tepat. Api fitnah pun semakin membesar. Ditambah lagi, ternyata Aisyah terbaring sakit cukup parah dan samasekali tidak pernah keluar rumah selama satu bulan!
Mungkin, gosip ini setara hebohnya jika ada istri seorang kepala negara diisukan punya affair dengan salah seorang tokoh selebritis. Lalu, ia tiba-tiba pisah rumah dengan sang presiden, dan pulang ke rumah orangtuanya. Kacaunya lagi, sebulan penuh ia tidak tampak batang hidungnya samasekali. Kurang bahan apa lagi?
Tetapi, peristiwa yang dalam Siroh Nabi dikenal sebagai Haditsul Ifki (cerita bohong) ini rupanya ada di bawah skenario tertentu yang Allah tetapkan. Setelah segala sesuatunya nyaris tak terkendali, dan wahyu sepertinya tertahan di langit, tiba-tiba Allah membersihkan nama baik Aisyah, membebaskan pria yang dituduh sebagai “lawan mainnya” dari kenistaan, dan kemudian menegur keras kaum muslimin yang tidak berhati-hati menyaring berita, tetapi justru terpancing prasangka buruk dan dipermainkan syetan melalui lidah-lidah kaum munafik.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagimu. Bahkan, ia adalah baik bagimu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Siapa diantara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (Qs. An-Nur: 11).
Di masa Nabi, gosip itu menjadi baik karena dengan segera akan tersingkap kebencian di hati musuh-musuh Islam, yang senantiasa mengharap kehancuran dan kerusakan bagi kaum muslimin, khususnya Rasulullah dan Ahli Baitnya. Akan menjadi jelas, “siapa” menginginkan “apa”. Di sisi lain, dengan itulah Allah hendak memberi pahala Rasulullah dan keluarganya. Allah melanjutkan tegurannya:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah di sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu semuanya, di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa adzab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu." (Qs an-Nur: 12-14).
Demikianlah etika yang diajarkan Allah. Seharusnya, bukannya larut dalam arus spekulasi, namun kita diminta kritis dan tidak terjerat permainan “tangan-tangan” tidak tampak, yang mengail di air keruh, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, demi egonya sendiri. Lebih tegas lagi, Allah kemudian memperingatkan kaum muslimin, agar tidak mengulangi lagi perbuatan seperti itu, yaitu membicarakan sesuatu yang tidak benar-benar mereka tahu informasinya. Sebab, mungkin bagi mereka hal itu sederhana dan remeh, akan tetapi di mata Allah sangat besar. Lalu, Allah mengancam orang-orang yang suka menyebar-nyebarkan berita buruk dan keji di tengah-tengah masyarakat:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs an-Nur: 19).
Maka, siapa saja yang bekerja aktif atau mendukung kegiatan yang pada intinya menyebarkan berita-berita keji diantara kaum muslimin, sebenarnya ia berada di bawah bayangan ancaman Allah ini. Sebab, meluasnya gosip maupun berita perzinaan, perselingkuhan, perceraian, gonta-ganti pasangan, kemaksiatan, dan sejenisnya, pada kenyataannnya sama dengan mengkampanyekan semua itu agar diterima dan dipersepsi sebagai sebuah gejala normal. Ini adalah tantangan terbuka kepada agama Allah dan ajaran Rasul-Nya. Seharusnya, yang layak serta pantas diserukan dan dipopulerkan adalah kebajikan, prestasi, keteladanan, inspirasi, harmoni, dan semacamanya.
Oleh karenanya, Nabi sendiri sangat anti terhadap kabar buruk yang berkenaan dengan para Sahabatnya. Diriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda, “Jangan sampai salah seorang dari Sahabatku menyampaikan sesuatu (informasi buruk) perihal Sahabat lainnya, sebab aku ingin keluar menjumpai kalian dalam keadaan berhati bersih.” (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud dengan sanad dha’if).
Demikianlah seharusnya yang diajarkan Islam, bahwa selayaknya kita menjaga rahasia dan menutupi aib orang lain, bukan mengobral dan – justru – mengeruk keuntungan pribadi darinya. Bila kita melakukannya, sungguh itu merupakan akhlaq yang sangat tercela. Na’udzu billah.

[*] M. Alimin Mukhtar; 24 Ramadhan 1431 H. Pernah dimuat dalam Lembar Taushiyah, BMH Malang.