أُدْخِلَ الشَّافِعِيُّ يَوْمًا إِلَى بَعْضِ حُجَرِ هَارُوْنَ الرَّشِيْدِ يَسْتَأْذِنُ
عَلَى أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَمَعَهُ سِرَاجٌ الْخَادِمُ فَأَقْعَدَهُ عِنْدَ
أَبِى عَبْدِ الصَّمَدِ مُؤَدِّبِ أَوْلاَدِ الرَّشِيْدِ فَقَالَ سِرَاجٌ لِلشَّافِعِىِّ
يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ هَؤُلاَءِ أَوْلاَدُ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَهَذَا مُؤَدِّبُهُمْ
فَلَوْ أَوْصَيْتَهُ بِهِمْ فَأَقْبَلَ عَلَى أَبِى عَبْدِ الصَّمَدِ فَقَالَ لَهُ
: لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَبْدَأُ بِهِ مِنْ إِصْلاَحِ أَوْلاَدِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
إِصْلاَحَكَ نَفْسَكَ فَإِنَّ أَعْيُنَهُمْ مَعْقُوْدَةٌ بِعَيْنِكَ فَالْحَسَنُ عِنْدَهُمْ
مَا تَسْتَحْسِنُهُ وَالْقَبِيْحُ عِنْدَهُمْ مَا تَرَكْتَهُ عَلِّمْهُمْ كِتَابَ
اللهِ وَلاَ تُكْرِبُهُمْ عَلَيْهِ فَيَمِلُّوْا وَلاَ تَتْرُكْهُمْ فَيَهْجُرُوْهُ
ثُمَّ رَوِهِمْ مِنَ الشِّعْرِ أَعَفَّهُ وَمِنَ الْحَدِيْثِ أَشْرَفَهُ وَلاَ تُخْرِجَنَّهُمْ
مِنْ عِلْمٍ إِلَى غَيْرِهِ حَتَّى يُحْكِمُوْهُ فَإِنَّ ازْدِحَامَ الْكَلاَمِ فِي
السَّمْعِ مُضِلَّةٌ لِلسَّمْعِ
Pada suatu hari, Imam
asy-Syafi'i dibawa masuk ke salah satu ruangan milik Harun Ar-Rasyid. Beliau
minta izin untuk berjumpa dengan Amirul Mu’minin. Beliau ditemani Siraj, si
pelayan itu. Lalu, beliau didudukkan di samping Abu ‘Abdish Shamad, sang pendidik
(mu'addib) dari putra-putra Ar-Rasyid. Siraj berkata kepada asy-Syafi’i,
“Wahai Abu ‘Abdillah, itu adalah putra-putra Amirul Mu’minin, sedangkan ini
adalah pendidik mereka. Andai Anda berkenan menasihatinya dikarenakan anak-anak
itu.” Maka, beliau pun menghadap kepada Abu ‘Abdish Shamad, lalu berkata
kepadanya, “Hendaknya yang pertama-tama engkau perbaiki diantara (kegiatan)
perbaikan terhadap putra-putra Amirul Mu’minin adalah memperbaiki dirimu
sendiri; sebab mata mereka terikat dengan matamu;[1] apa yang
baik bagi mereka adalah apa yang menurutmu baik, dan apa yang buruk bagi mereka
adalah apa yang engkau tinggalkan. Ajari mereka Kitabullah dan jangan kaubuat
mereka menjadi susah atasnya, sehingga mereka pun menjadi bosan.[2] Akan tetapi,
jangan pula kaubiarkan mereka (dari Kitabullah itu) sehingga mereka
menelantarkannya. Kemudian, lantunkan untuk mereka syair-syair yang (isinya) paling terjaga
(dari hal yang buruk dan dosa); dan riwayatkan kepada mereka hadits
yang paling mulia. Jangan engkau pindahkan mereka dari suatu ilmu kepada ilmu yang
lain sebelum mereka sempurna menguasainya, sebab bertumpuk-tumpuknya perkataan
di telinga itu akan menyesatkannya.”[3]
( وَأَمَّا الَّذِيْ يَجِبُ عَلَى الشَّيْخِ فِى تَأْدِيْبِ الْمُرِيْدِ
) فَهُوَ أَنْ يَقْبَلَهُ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ لِنَفْسِهِ فَيُعَاشِرُهُ بِحُكْمِ
النَّصِيْحَةِ وَيُلاَحِظُهُ بِعَيْنِ الشَّفَقَةِ وَيُلاَيِنُهُ بِالرِّفْقِ عِنْدَ
عَجْزِهِ عَنِ احْتِمَالِ الرِّيَاضَةِ فَيُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةَ الْوَالِدَةِ لِوَلَدِهَا
وَالْوَالِدِ الْحَكِيْمِ اللَّبِيْبِ لِوَلَدِهِ وَغُلاَمِهِ . فَيَأْخُذُهُ بِالأَسْهَلِ
وَلاَ يُحَمِّلِهُ مَا لاَ طَاقَةَ لَهُ بِهِ ثُمَّ بِالأَشَدِّ فَيَأْمُرُهُ أَوَّلاً
بِتَرْكِ مُتَابَعَةِ الطَّبْعِ فِى جَمِيْعِ أُمُوْرِهِ وَاتِّبَاعِ رُخَصِ الشَّرْعِ
حَتىَّ يَخْرُجَ بِذَلِكَ عَنْ قَيْدِ الطَّبْعِ وَحُكْمِهِ وَيَحْصُلَ فِى قَيْدِ
الشَّرْعِ وَرِقِّهِ ثُمَّ يُنْقِلُهُ مِنَ الرُّخَصِ إِلَى الْعَزِيْمَةِ شَيْئًا
بَعْدَ شَيْءٍ فَيَمْحُو خَصْلَةً مِنَ الرُّخَصِ وَيُثْبِتُ مَكَانَهَا خَصْلَةً
مِنَ الْعَزِيْمَةِ . فَإِنْ وَجَدَ فِى ابْتِدَاءِ أَمْرِهِ فِيْهِ صِدْقَ الْمُجَاهَدَةِ
وَالْعَزِيْمَةِ وَتَفَرَّسَ فِيْهِ ذَلِكَ بِنُوْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمُكَاشَفَتِهِ
وَعَلِمَ مِنْ قِبَلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ – عَلَى مَا قَدْ مَضَتْ سُنَّةُ اللهِ
فِى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَالأَحْبَابِ الأُمَنَاءِ الْعُلَمَاءِ
بِهِ – فَحِيْنَئِذٍ لاَ يُسَامِحُهُ فِى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بَلْ يَأْخُذُ بِالأَشَدِّ
مِنَ الرِّيَاضَاتِ الَّتِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ تَتَقَاصَرُ قُوَّةُ إِرَادَتِهِ
عَنْهَا إِذْ ثَبَتَ عِنْدَهُ أَنَّهُ مَخْلُوْقٌ لِذَلِكَ وَجَدِيْرٌ بِهِ وَهُوَ
مِنْ شَأْنِهِ فَلاَ يَخُوْنُهُ فِى التَّهْوِيْنِ عَلَيْهِ
(Hal yang Harus Dilakukan Seorang Guru dalam Mendidik Muridnya). Dia harus menerima murid itu karena Allah ‘azza
wajalla, bukan karena dirinya sendiri. Maka, guru pun harus berinteraksi dengan
muridnya dengan (menerapkan) hukum pemberian nasihat. Guru memperhatikannya
dengan tatapan mata penuh kasih-sayang, serta bersikap lunak dan lemah-lembut
ketika ia belum mampu menyelesaikan tugas dan latihan (riyadhah) yang
diberikannya. Guru mendidiknya sebagaimana seorang ibu yang mengasuh anaknya; sebagaimana
seorang ayah yang penyayang, bijak lagi cerdik ketika menghadapi anak-anak dan
para pembantunya. Guru memberikan kepada muridnya (beban dan tugas) yang paling
mudah, dan tidak memikulkan kepadanya sesuatu yang tidak akan ia mampui; kemudian
baru diberi yang lebih berat. Pertama-tama, guru menyuruhnya untuk meninggalkan
kecenderungan menuruti tabiatnya dalam segala hal, dan (menyuruhnya) untuk
mengikuti kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan-ringan, sehingga ia bisa
keluar dari belenggu dan dominasi tabiatnya itu, serta berhasil pindah ke bawah
ikatan dan pengabdian kepada syari’at. Kemudian, guru memindahkannya dari yang
bersifat ringan-ringan (rukhshah) itu kepada yang bersifat lebih ketat (‘azimah)
sedikit demi sedikit. Maka, guru menghapuskan perkara-perkara yang bersifat rukhshah
tadi, dan menetapkan sebagai gantinya sesuatu perkara lain yang bersifat ‘azimah.
Namun, jika sejak semula guru telah merasakan dalam diri muridnya suatu kesungguhan
serta semangat yang serius, dan guru sendiri telah mendapat firasat tentang hal
itu – berkat cahaya dan mukasyafah dari Allah, serta dia sudah tahu akan
hal itu dari (pemberitahuan) Allah sebagaimana sunnatullah yang sudah
lazim terjadi di kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangan para wali,
kekasih serta kepercayaan Allah dan ulama’ (orang-orang yang mengenal-Nya) –
maka ketika itu guru tidak boleh memberikan dispensasi barang sedikit pun
kepada murid tadi. Bahkan, seharusnya guru menugasinya dengan latihan-latihan
lebih berat yang menurut penilaiannya masih mampu dijangkau oleh daya kemauan
dari si murid; sebab guru sebenarnya telah yakin bahwa si murid memang terlahir
untuk itu, pantas menerima (perlakuan) yang demikian, dan hal itu pun sudah
merupakan kondisi nyata dalam diri si murid. Maka, (pada keadaan seperti ini) sudah
selayaknya guru tidak mengkhianati muridnya dengan memberinya beban-beban yang
enteng. (Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jilani).[4]
( وَأَمَّا الْغَايَةُ الَّتِي يَلْمَحُهَا الْمُذَكِّرُ ) فَيَنْبَغِي أَنْ
يُزَوِّرَ فِي نَفْسِهِ صِفَةَ الْمُسْلِمِ فِي أَعْمَالِهِ وَحِفْظِ لِسَانِهِ وَأَخْلاَقِهِ
وَأَحْوَالِهِ الْقَلْبِيَّةِ وَمُدَاوَمَتِهِ عَلَى اْلأَذْكَارِ ثُمَّ لِيَتَحَقَّقَ
فِيْهِمْ تِلْكَ الصِّفَةُ بِكَمَالِهَا بِالتَّدْرِيْجِ عَلَى حَسْبِ فَهْمِهِمْ
فَيَأْمُرُ أَوَّلاً بِفَضَائِلِ الْحَسَنَاتِ وَمَسَاوِئِ السَّيِّئَاتِ فِي اللِّبَاسِ
وَالزِّيِّ وَالصَّلَوَاتِ وَغَيْرِهَا فَإِذَا تَأَدَّبُوْا فَلْيَأْمُرْ بِالأَذْكَارِ
فَإِذَا أَثَرَ فِيْهِمْ فَلْيُحَرِّضْهُمْ عَلَى ضَبْطِ اللِّسَانِ وَالْقَلْبِ وَلْيَسْتَعِنْ
فِي تَأْثِيْرِ هَذِهِ فِي قُلُوْبِهِمْ بِذِكْرِ أَيَّامِ اللهِ وَوَقَائِعِهِ مِنْ
بَاهِرِ أَفْعَالِهِ وَتَصْرِيْفِهِ وَتَعْذِيْبِهِ ِلأُمَمٍ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ
بِهَوْلِ الْمَوْتِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَشِدَّةِ يَوْمِ الْحِسَابِ وَعَذَابِ
النَّارِ وَكَذَلِكَ بِتَرْغِيْبَاتٍ عَلَى حَسْبِ مَا ذَكَرْنَا
(Tujuan yang Harus Disadari oleh Pemberi Peringatan). Hendaknya seorang pemberi peringatan (guru)
memperindah di dalam dirinya sifat-sifat seorang muslim, yaitu dalam amal
perbuatan, pemeliharaan lisan, akhlaq, dan isi hatinya; serta selalu kontinyu
berdzikir. Kemudian, agar tujuan itu terwujud dalam diri mereka (murid) secara
utuh, bertahap, dan sesuai tingkat pemahamannya; maka pertama-tama suruhlah mereka
untuk mengerjakan kebajikan-kebajikan tambahan (fadha’il) dan
menghindari keburukan yang kecil-kecil, terutama dalam berpakaian, berdandan,
(tatacara)
shalat, dan lain-lain. Jika mereka telah terbiasa dengan semua itu, maka
suruhlah mereka untuk (melazimkan) dzikir. Jika dzikir telah membekas dalam
diri mereka, doronglah mereka untuk mulai mengendalikan lisan dan hatinya.
Untuk menanamkan pengaruh ini ke dalam hati murid, seorang pemberi peringatan (guru)
dapat menuturkan ayyamullah (hari-hari Allah) dan kejadian-kejadian
(yang telah diperbuat-Nya) – maksudnya: kisah-kisah umat terdahulu – yang
berupa hebatnya tindakan, pengendalian dan siksaan Allah kepada umat-umat (yang
durhaka) di dunia ini. Kemudian, (dapat diulas pula) dahsyatnya kematian, siksa
kubur, hari perhitungan amal, dan siksa neraka. Bisa juga (disampaikan) beragam
motivasi, sesuai apa yang sudah kami paparkan.” (Syah Waliyullah ad-Dahlawi).[5]
وَيَنْبَغِي أَنْ لاَ يَمْتَنِعَ مِنْ تَعْلِيْمِ أَحَدٍ لِكَوْنِهِ غَيْرَ صَحِيْحِ
النِّيَةِ فَإِنَّهُ يُرْجَى لَهُ حُسْنُ النِّيَةِ وَرُبَمَا عَسَرَ فِي كَثِيْرٍ
مِنَ الْمُبْتَدِئِيْنَ بِالإِشْتِغَالِ تَصْحِيْحُ النِّيَةِ لِضُعْفِ نُفُوْسِهِمْ
وَقِلَّةِ أُنْسِهِمْ بِمُوْجِبَاتِ تَصْحِيْحِ النِّيَةِ فَالإِمْتِنَاعُ مِنْ تَعْلِيْمِهِمْ
يُؤَدِّى إِلَى تَفْوِيْتِ كَثِيْرٍ مِنَ الْعِلْمِ مَعَ أَنَّهُ يُرْجَى بِبَرَكَةِ
الْعِلْمِ تَصْحِيْحُهَا إِذَا أَنِسَ بِالْعِلْمِ . وَقَدْ قَالُوْا : طَلَبْنَا
الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَأَبَي أَنْ يَكُوْنَ إِلاَّ ِللهِ . مَعْنَاهُ كَانَتْ
عَاقِبَتُهُ إِنْ صَارَ ِللهِ . وَيَنْبَغِي أَنْ يُؤَدِّبَ الْمُتَعَلِّمَ عَلَى
التَّدْرِيْجِ بِالآدَابِ السُّنِّيَّةِ وَالشِّيَمِ الْمَرْضِيَّةِ وَرِيَاضَةِ نَفْسِهِ
بِالآدَابِ وَالدَّقَائِقِ الْخَفِيَّةِ وَتَعَوَّدَهُ الصِّيَانَةَ فِي جَمِيْعِ
أُمُوْرِهِ الْكَامِنَةِ وَالْجَلِيَّةِ . فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ يُحَرِّضَهُ بِأَقْوَالِهِ
وَأَحْوَالِهِ الْمُتَكَرِّرَاتِ عَلَى الإِخْلاَصِ وَالصِّدْقِ وَحُسْنِ النِّيَاتِ
وَمُرَاقَبَةِ اللهِ تَعَالَى فِي جَمِيْعِ اللَّحَظَاتِ وَأَنْ يَكُوْنَ دَائِمًا
عَلَى ذَلِكَ حَتَّى الْمَمَاتِ . وَيُعَرِّفَهُ أَنَّ بِذَلِكَ تَنْفَتِحُ عَلَيْهِ
أَبْوَابُ الْمَعَارِفِ وَيَنْشَرِحُ صَدْرُهُ وَتَتَفَجَّرُ مِنْ قَلْبِهِ يَنَابِيْعُ
الْحِكَمِ وَاللَّطَائِفِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي حَالِهِ وَعِلْمِهِ وَيُوَفَّقُ لِلإِصَابَةِ
فِي قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَحُكْمِهِ . وَيُزْهِدَهُ فِي الدُّنْيَا وَيُصْرِفَهُ عَنِ
التَّعَلُّقِ بِهَا وَالرُّكُوْنِ إِلَيْهَا وَالإِغْتِرَارِ بِهَا وَيُذَكِّرَهُ أَنَّهَا
فَانِيَةٌ وَالآخِرَةُ آتِيَةٌ بَاقِيَةٌ وَالتَّأَهُّبُ لِلْبَاقِي وَالإِعْرَاضُ
عَنِ الْفَانِي هُوَ طَرِيْقُ الْحَازِمِيْنَ وَدَأْبُ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Semestinya, guru tidak boleh menolak
mengajari seseorang hanya karena dia tidak memiliki niat yang benar, sebab dia masih bisa diharapkan memiliki niat yang baik. Boleh
jadi, membenahi niat sulit dilakukan oleh sebagian besar pelajar pemula,
dikarenakan masih lemahnya jiwa mereka dan masih sedikitnya interaksi mereka
dengan hal-hal yang mengharuskan pembenahan niat. Maka, penolakan untuk
mengajari mereka dapat mengakibatkan terlewatkannya banyak ilmu,
padahal justru dengan keberkahan ilmu itulah maka pembenahan niat bisa dilakukan, yakni jika pelajar tersebut
sudah akrab dengan ilmu. Para ulama’
berkata, “Kami dulu mencari ilmu (dengan niat) selain Allah, namun ilmu itu
enggan (dicari) kecuali jika diniatkan untuk Allah.” Maksudnya, pada akhirnya
ilmu itu membawa ke jalan Allah juga. Seyogyanya, guru mendidik muridnya secara
bertahap dengan adab-adab sesuai Sunnah dan adat kebiasaan yang diridhai;
melatih jiwanya dengan adab-adab, detil-detil yang tersembunyi, dan
membiasakannya untuk bersikap hati-hati dalam semua urusannya, baik yang
tersembunyi maupun terang-terangan. Pertama-tama, anjurkanlah murid – dengan kata-kata
dan perbuatan yang berulang-ulang – untuk ikhlas, jujur, memiliki niat yang
baik, serta selalu merasa diawasi oleh Allah setiap saat; dan hendaklah dia
senantiasa dalam keadaan seperti itu sampai akhir hayatnya. Hendaknya guru memberitahu murid bahwasanya dengan
semua itu maka pintu-pintu ma’rifat akan terbuka baginya, dadanya
menjadi lapang, sumber-sumber hikmah dan kepekaan mengalir deras dari hatinya, kondisi
diri dan ilmunya akan diberkahi, serta dibimbing agar selalu tepat dalam
perkataan, perbuatan dan (keputusan) hukumnya. Hendaklah guru mendorong murid
agar berlaku zuhud di dunia ini, memalingkannya dari ketergantungan
kepada dunia, bersandar kepadanya, dan tertipu olehnya. Hendaklah guru
mengingatkan muridnya bahwa dunia ini fana’ (tidak abadi) sementara
akhirat pasti datang dan kekal. Bersiap-siap menyongsong yang kekal dan
berpaling dari yang tidak abadi merupakan jalan orang-orang yang berhati teguh
dan tradisi hamba-hamba Allah yang shalih. (Imam Muhyiddin an-Nawawi).[6]
وَلَيْسَ الطَّرِيْقُ فِي تَقْوِيَتِهِ وَإِثْبَاتِهِ أَنْ يَعْلَمَ
صُنْعَةَ الْجَدَلِ وَالْكَلاَمِ بَلْ يَشْتَغِلَ بِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ وَتَفْسِيْرِهِ
وَقِرَاءَةِ الْحَدِيْثِ وَمَعَانِيْهِ وَيَشْتَغِلُ بِوَظَائِفِ الْعِبَادَاتِ فَلاَ
يَزَالُ اِعْتِقَادُهُ يَزْدَادُ رُسُوْخًا بِمَا يُقْرِعُ سَمْعَهُ مِنْ أَدِلَّةِ
الْقُرْآنِ وَحُجَجِهِ وَبِمَا يَرِدُ عَلَيْهِ مِنْ شَوَاهِدِ الأَحَادِيْثِ وَفَوَائِدِهَا
وَبِمَا يَسْطَعُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْوَارِ الْعِبَادَاتِ وَوَظَائِفِهَا وَبِمَا يَسْرِى
إِلَيْهِ مِنْ مُشَاهَدَةِ الصَّالِحِيْنَ وَمُجَالَسَتِهِمْ وَسِيْمَاهُمْ وَسِمَاعِهِمْ
وَهَيْآتِهِمْ فِي الْخُضُوْعِ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالْخَوْفِ مِنْهُ وَالإِسْتِكَانَةِ
لَهُ
Jalan untuk menguatkan dan meneguhkannya (yakni: keyakinan di dalam hati) bukanlah dengan
mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi
dengan: menyibukkan
diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, membaca hadits disertai maknanya, dan
menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil
dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan
hadits-hadits beserta faidahnya yang sampai kepadanya, kemudian oleh cahaya ibadah dan
tugas-tugasnya yang meneranginya;
juga sejalan dengan menyaksikan kehidupan
orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka,
mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam
ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan
mereka kepada-Nya. (Imam al-Ghazali).[7]
[1] Dalam riwayat lain: “…sebab
mata mereka terikat dengan mulutmu…”
[2] Dalam riwayat lain: “…jangan
kaupaksa mereka terhadapnya (Kitabullah), sehingga mereka menjadi bosan
kepadanya…”
[3] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dikutip
dalam Adabul ‘Ulama’ wal Muta’allimin, hal. 19; dan al-Khathib dalam Tarikh
Baghdad, III/187, no. 1227.
[4] Dari: al-Ghun-yah
li Thalibi Thariqi al-Haqq ‘Azza wa Jalla,
II/284-286, karya Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani.
[5] Abjadu
al-‘Ulum,
bagian kedua yang diberi judul as-Sahaab
al-Markum al-Mumthir bi Anwa’ al-Funun wa Ashnaf al-‘Ulum, II/537, karya
Shiddiq bin Hasan bin ‘Ali al-Qannuji. Aslinya berasal dari karya Syah
Waliyullah ad-Dahlawi berjudul al-Qaul al-Jamil fi Bayani Sawaa’i
as-Sabil, dalam pasal tentang Adab Menasihati dan juga bagi Pemberi Nasihat.
[6] Muqaddimah kitab al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, bab Adabul Mu’allim, karya Imam Muhyiddin an-Nawawi,
dicetak tersendiri, hal. 34.