Cara Menanamkan Adab - Serial Kutipan Indah (9)



Bismillahirrahmanirrahim

أُدْخِلَ الشَّافِعِيُّ يَوْمًا إِلَى بَعْضِ حُجَرِ هَارُوْنَ الرَّشِيْدِ يَسْتَأْذِنُ عَلَى أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَمَعَهُ سِرَاجٌ الْخَادِمُ فَأَقْعَدَهُ عِنْدَ أَبِى عَبْدِ الصَّمَدِ مُؤَدِّبِ أَوْلاَدِ الرَّشِيْدِ فَقَالَ سِرَاجٌ لِلشَّافِعِىِّ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ هَؤُلاَءِ أَوْلاَدُ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَهَذَا مُؤَدِّبُهُمْ فَلَوْ أَوْصَيْتَهُ بِهِمْ فَأَقْبَلَ عَلَى أَبِى عَبْدِ الصَّمَدِ فَقَالَ لَهُ : لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَبْدَأُ بِهِ مِنْ إِصْلاَحِ أَوْلاَدِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ إِصْلاَحَكَ نَفْسَكَ فَإِنَّ أَعْيُنَهُمْ مَعْقُوْدَةٌ بِعَيْنِكَ فَالْحَسَنُ عِنْدَهُمْ مَا تَسْتَحْسِنُهُ وَالْقَبِيْحُ عِنْدَهُمْ مَا تَرَكْتَهُ عَلِّمْهُمْ كِتَابَ اللهِ وَلاَ تُكْرِبُهُمْ عَلَيْهِ فَيَمِلُّوْا وَلاَ تَتْرُكْهُمْ فَيَهْجُرُوْهُ ثُمَّ رَوِهِمْ مِنَ الشِّعْرِ أَعَفَّهُ وَمِنَ الْحَدِيْثِ أَشْرَفَهُ وَلاَ تُخْرِجَنَّهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِلَى غَيْرِهِ حَتَّى يُحْكِمُوْهُ فَإِنَّ ازْدِحَامَ الْكَلاَمِ فِي السَّمْعِ مُضِلَّةٌ لِلسَّمْعِ
Pada suatu hari, Imam asy-Syafi'i dibawa masuk ke salah satu ruangan milik Harun Ar-Rasyid. Beliau minta izin untuk berjumpa dengan Amirul Mu’minin. Beliau ditemani Siraj, si pelayan itu. Lalu, beliau didudukkan di samping Abu ‘Abdish Shamad, sang pendidik (mu'addib) dari putra-putra Ar-Rasyid. Siraj berkata kepada asy-Syafi’i, “Wahai Abu ‘Abdillah, itu adalah putra-putra Amirul Mu’minin, sedangkan ini adalah pendidik mereka. Andai Anda berkenan menasihatinya dikarenakan anak-anak itu.” Maka, beliau pun menghadap kepada Abu ‘Abdish Shamad, lalu berkata kepadanya, “Hendaknya yang pertama-tama engkau perbaiki diantara (kegiatan) perbaikan terhadap putra-putra Amirul Mu’minin adalah memperbaiki dirimu sendiri; sebab mata mereka terikat dengan matamu;[1] apa yang baik bagi mereka adalah apa yang menurutmu baik, dan apa yang buruk bagi mereka adalah apa yang engkau tinggalkan. Ajari mereka Kitabullah dan jangan kaubuat mereka menjadi susah atasnya, sehingga mereka pun menjadi bosan.[2] Akan tetapi, jangan pula kaubiarkan mereka (dari Kitabullah itu) sehingga mereka menelantarkannya. Kemudian, lantunkan untuk mereka syair-syair yang (isinya) paling terjaga (dari hal yang buruk dan dosa); dan riwayatkan kepada mereka hadits yang paling mulia. Jangan engkau pindahkan mereka dari suatu ilmu kepada ilmu yang lain sebelum mereka sempurna menguasainya, sebab bertumpuk-tumpuknya perkataan di telinga itu akan menyesatkannya.”[3]

( وَأَمَّا الَّذِيْ يَجِبُ عَلَى الشَّيْخِ فِى تَأْدِيْبِ الْمُرِيْدِ ) فَهُوَ أَنْ يَقْبَلَهُ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ لِنَفْسِهِ فَيُعَاشِرُهُ بِحُكْمِ النَّصِيْحَةِ وَيُلاَحِظُهُ بِعَيْنِ الشَّفَقَةِ وَيُلاَيِنُهُ بِالرِّفْقِ عِنْدَ عَجْزِهِ عَنِ احْتِمَالِ الرِّيَاضَةِ فَيُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةَ الْوَالِدَةِ لِوَلَدِهَا وَالْوَالِدِ الْحَكِيْمِ اللَّبِيْبِ لِوَلَدِهِ وَغُلاَمِهِ . فَيَأْخُذُهُ بِالأَسْهَلِ وَلاَ يُحَمِّلِهُ مَا لاَ طَاقَةَ لَهُ بِهِ ثُمَّ بِالأَشَدِّ فَيَأْمُرُهُ أَوَّلاً بِتَرْكِ مُتَابَعَةِ الطَّبْعِ فِى جَمِيْعِ أُمُوْرِهِ وَاتِّبَاعِ رُخَصِ الشَّرْعِ حَتىَّ يَخْرُجَ بِذَلِكَ عَنْ قَيْدِ الطَّبْعِ وَحُكْمِهِ وَيَحْصُلَ فِى قَيْدِ الشَّرْعِ وَرِقِّهِ ثُمَّ يُنْقِلُهُ مِنَ الرُّخَصِ إِلَى الْعَزِيْمَةِ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ فَيَمْحُو خَصْلَةً مِنَ الرُّخَصِ وَيُثْبِتُ مَكَانَهَا خَصْلَةً مِنَ الْعَزِيْمَةِ . فَإِنْ وَجَدَ فِى ابْتِدَاءِ أَمْرِهِ فِيْهِ صِدْقَ الْمُجَاهَدَةِ وَالْعَزِيْمَةِ وَتَفَرَّسَ فِيْهِ ذَلِكَ بِنُوْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمُكَاشَفَتِهِ وَعَلِمَ مِنْ قِبَلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ – عَلَى مَا قَدْ مَضَتْ سُنَّةُ اللهِ فِى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَالأَحْبَابِ الأُمَنَاءِ الْعُلَمَاءِ بِهِ – فَحِيْنَئِذٍ لاَ يُسَامِحُهُ فِى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بَلْ يَأْخُذُ بِالأَشَدِّ مِنَ الرِّيَاضَاتِ الَّتِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ تَتَقَاصَرُ قُوَّةُ إِرَادَتِهِ عَنْهَا إِذْ ثَبَتَ عِنْدَهُ أَنَّهُ مَخْلُوْقٌ لِذَلِكَ وَجَدِيْرٌ بِهِ وَهُوَ مِنْ شَأْنِهِ فَلاَ يَخُوْنُهُ فِى التَّهْوِيْنِ عَلَيْهِ
(Hal yang Harus Dilakukan Seorang Guru dalam Mendidik Muridnya). Dia harus menerima murid itu karena Allah ‘azza wajalla, bukan karena dirinya sendiri. Maka, guru pun harus berinteraksi dengan muridnya dengan (menerapkan) hukum pemberian nasihat. Guru memperhatikannya dengan tatapan mata penuh kasih-sayang, serta bersikap lunak dan lemah-lembut ketika ia belum mampu menyelesaikan tugas dan latihan (riyadhah) yang diberikannya. Guru mendidiknya sebagaimana seorang ibu yang mengasuh anaknya; sebagaimana seorang ayah yang penyayang, bijak lagi cerdik ketika menghadapi anak-anak dan para pembantunya. Guru memberikan kepada muridnya (beban dan tugas) yang paling mudah, dan tidak memikulkan kepadanya sesuatu yang tidak akan ia mampui; kemudian baru diberi yang lebih berat. Pertama-tama, guru menyuruhnya untuk meninggalkan kecenderungan menuruti tabiatnya dalam segala hal, dan (menyuruhnya) untuk mengikuti kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan-ringan, sehingga ia bisa keluar dari belenggu dan dominasi tabiatnya itu, serta berhasil pindah ke bawah ikatan dan pengabdian kepada syari’at. Kemudian, guru memindahkannya dari yang bersifat ringan-ringan (rukhshah) itu kepada yang bersifat lebih ketat (‘azimah) sedikit demi sedikit. Maka, guru menghapuskan perkara-perkara yang bersifat rukhshah tadi, dan menetapkan sebagai gantinya sesuatu perkara lain yang bersifat ‘azimah. Namun, jika sejak semula guru telah merasakan dalam diri muridnya suatu kesungguhan serta semangat yang serius, dan guru sendiri telah mendapat firasat tentang hal itu – berkat cahaya dan mukasyafah dari Allah, serta dia sudah tahu akan hal itu dari (pemberitahuan) Allah sebagaimana sunnatullah yang sudah lazim terjadi di kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangan para wali, kekasih serta kepercayaan Allah dan ulama’ (orang-orang yang mengenal-Nya) – maka ketika itu guru tidak boleh memberikan dispensasi barang sedikit pun kepada murid tadi. Bahkan, seharusnya guru menugasinya dengan latihan-latihan lebih berat yang menurut penilaiannya masih mampu dijangkau oleh daya kemauan dari si murid; sebab guru sebenarnya telah yakin bahwa si murid memang terlahir untuk itu, pantas menerima (perlakuan) yang demikian, dan hal itu pun sudah merupakan kondisi nyata dalam diri si murid. Maka, (pada keadaan seperti ini) sudah selayaknya guru tidak mengkhianati muridnya dengan memberinya beban-beban yang enteng. (Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jilani).[4]

( وَأَمَّا الْغَايَةُ الَّتِي يَلْمَحُهَا الْمُذَكِّرُ ) فَيَنْبَغِي أَنْ يُزَوِّرَ فِي نَفْسِهِ صِفَةَ الْمُسْلِمِ فِي أَعْمَالِهِ وَحِفْظِ لِسَانِهِ وَأَخْلاَقِهِ وَأَحْوَالِهِ الْقَلْبِيَّةِ وَمُدَاوَمَتِهِ عَلَى اْلأَذْكَارِ ثُمَّ لِيَتَحَقَّقَ فِيْهِمْ تِلْكَ الصِّفَةُ بِكَمَالِهَا بِالتَّدْرِيْجِ عَلَى حَسْبِ فَهْمِهِمْ فَيَأْمُرُ أَوَّلاً بِفَضَائِلِ الْحَسَنَاتِ وَمَسَاوِئِ السَّيِّئَاتِ فِي اللِّبَاسِ وَالزِّيِّ وَالصَّلَوَاتِ وَغَيْرِهَا فَإِذَا تَأَدَّبُوْا فَلْيَأْمُرْ بِالأَذْكَارِ فَإِذَا أَثَرَ فِيْهِمْ فَلْيُحَرِّضْهُمْ عَلَى ضَبْطِ اللِّسَانِ وَالْقَلْبِ وَلْيَسْتَعِنْ فِي تَأْثِيْرِ هَذِهِ فِي قُلُوْبِهِمْ بِذِكْرِ أَيَّامِ اللهِ وَوَقَائِعِهِ مِنْ بَاهِرِ أَفْعَالِهِ وَتَصْرِيْفِهِ وَتَعْذِيْبِهِ ِلأُمَمٍ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ بِهَوْلِ الْمَوْتِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَشِدَّةِ يَوْمِ الْحِسَابِ وَعَذَابِ النَّارِ وَكَذَلِكَ بِتَرْغِيْبَاتٍ عَلَى حَسْبِ مَا ذَكَرْنَا
(Tujuan yang Harus Disadari oleh Pemberi Peringatan). Hendaknya seorang pemberi peringatan (guru) memperindah di dalam dirinya sifat-sifat seorang muslim, yaitu dalam amal perbuatan, pemeliharaan lisan, akhlaq, dan isi hatinya; serta selalu kontinyu berdzikir. Kemudian, agar tujuan itu terwujud dalam diri mereka (murid) secara utuh, bertahap, dan sesuai tingkat pemahamannya; maka pertama-tama suruhlah mereka untuk mengerjakan kebajikan-kebajikan tambahan (fadha’il) dan menghindari keburukan yang kecil-kecil, terutama dalam berpakaian, berdandan, (tatacara) shalat, dan lain-lain. Jika mereka telah terbiasa dengan semua itu, maka suruhlah mereka untuk (melazimkan) dzikir. Jika dzikir telah membekas dalam diri mereka, doronglah mereka untuk mulai mengendalikan lisan dan hatinya. Untuk menanamkan pengaruh ini ke dalam hati murid, seorang pemberi peringatan (guru) dapat menuturkan ayyamullah (hari-hari Allah) dan kejadian-kejadian (yang telah diperbuat-Nya) – maksudnya: kisah-kisah umat terdahulu – yang berupa hebatnya tindakan, pengendalian dan siksaan Allah kepada umat-umat (yang durhaka) di dunia ini. Kemudian, (dapat diulas pula) dahsyatnya kematian, siksa kubur, hari perhitungan amal, dan siksa neraka. Bisa juga (disampaikan) beragam motivasi, sesuai apa yang sudah kami paparkan.” (Syah Waliyullah ad-Dahlawi).[5]

وَيَنْبَغِي أَنْ لاَ يَمْتَنِعَ مِنْ تَعْلِيْمِ أَحَدٍ لِكَوْنِهِ غَيْرَ صَحِيْحِ النِّيَةِ فَإِنَّهُ يُرْجَى لَهُ حُسْنُ النِّيَةِ وَرُبَمَا عَسَرَ فِي كَثِيْرٍ مِنَ الْمُبْتَدِئِيْنَ بِالإِشْتِغَالِ تَصْحِيْحُ النِّيَةِ لِضُعْفِ نُفُوْسِهِمْ وَقِلَّةِ أُنْسِهِمْ بِمُوْجِبَاتِ تَصْحِيْحِ النِّيَةِ فَالإِمْتِنَاعُ مِنْ تَعْلِيْمِهِمْ يُؤَدِّى إِلَى تَفْوِيْتِ كَثِيْرٍ مِنَ الْعِلْمِ مَعَ أَنَّهُ يُرْجَى بِبَرَكَةِ الْعِلْمِ تَصْحِيْحُهَا إِذَا أَنِسَ بِالْعِلْمِ . وَقَدْ قَالُوْا : طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَأَبَي أَنْ يَكُوْنَ إِلاَّ ِللهِ . مَعْنَاهُ كَانَتْ عَاقِبَتُهُ إِنْ صَارَ ِللهِ . وَيَنْبَغِي أَنْ يُؤَدِّبَ الْمُتَعَلِّمَ عَلَى التَّدْرِيْجِ بِالآدَابِ السُّنِّيَّةِ وَالشِّيَمِ الْمَرْضِيَّةِ وَرِيَاضَةِ نَفْسِهِ بِالآدَابِ وَالدَّقَائِقِ الْخَفِيَّةِ وَتَعَوَّدَهُ الصِّيَانَةَ فِي جَمِيْعِ أُمُوْرِهِ الْكَامِنَةِ وَالْجَلِيَّةِ . فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ يُحَرِّضَهُ بِأَقْوَالِهِ وَأَحْوَالِهِ الْمُتَكَرِّرَاتِ عَلَى الإِخْلاَصِ وَالصِّدْقِ وَحُسْنِ النِّيَاتِ وَمُرَاقَبَةِ اللهِ تَعَالَى فِي جَمِيْعِ اللَّحَظَاتِ وَأَنْ يَكُوْنَ دَائِمًا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى الْمَمَاتِ . وَيُعَرِّفَهُ أَنَّ بِذَلِكَ تَنْفَتِحُ عَلَيْهِ أَبْوَابُ الْمَعَارِفِ وَيَنْشَرِحُ صَدْرُهُ وَتَتَفَجَّرُ مِنْ قَلْبِهِ يَنَابِيْعُ الْحِكَمِ وَاللَّطَائِفِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي حَالِهِ وَعِلْمِهِ وَيُوَفَّقُ لِلإِصَابَةِ فِي قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَحُكْمِهِ . وَيُزْهِدَهُ فِي الدُّنْيَا وَيُصْرِفَهُ عَنِ التَّعَلُّقِ بِهَا وَالرُّكُوْنِ إِلَيْهَا وَالإِغْتِرَارِ بِهَا وَيُذَكِّرَهُ أَنَّهَا فَانِيَةٌ وَالآخِرَةُ آتِيَةٌ بَاقِيَةٌ وَالتَّأَهُّبُ لِلْبَاقِي وَالإِعْرَاضُ عَنِ الْفَانِي هُوَ طَرِيْقُ الْحَازِمِيْنَ وَدَأْبُ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Semestinya, guru tidak boleh menolak mengajari seseorang hanya karena dia tidak memiliki niat yang benar, sebab dia masih bisa diharapkan memiliki niat yang baik. Boleh jadi, membenahi niat sulit dilakukan oleh sebagian besar pelajar pemula, dikarenakan masih lemahnya jiwa mereka dan masih sedikitnya interaksi mereka dengan hal-hal yang mengharuskan pembenahan niat. Maka, penolakan untuk mengajari mereka dapat mengakibatkan terlewatkannya banyak ilmu, padahal justru dengan keberkahan ilmu itulah maka pembenahan niat bisa dilakukan, yakni jika pelajar tersebut sudah akrab dengan ilmu. Para ulama’ berkata, “Kami dulu mencari ilmu (dengan niat) selain Allah, namun ilmu itu enggan (dicari) kecuali jika diniatkan untuk Allah.” Maksudnya, pada akhirnya ilmu itu membawa ke jalan Allah juga. Seyogyanya, guru mendidik muridnya secara bertahap dengan adab-adab sesuai Sunnah dan adat kebiasaan yang diridhai; melatih jiwanya dengan adab-adab, detil-detil yang tersembunyi, dan membiasakannya untuk bersikap hati-hati dalam semua urusannya, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Pertama-tama, anjurkanlah murid – dengan kata-kata dan perbuatan yang berulang-ulang – untuk ikhlas, jujur, memiliki niat yang baik, serta selalu merasa diawasi oleh Allah setiap saat; dan hendaklah dia senantiasa dalam keadaan seperti itu sampai akhir hayatnya. Hendaknya guru memberitahu murid bahwasanya dengan semua itu maka pintu-pintu ma’rifat akan terbuka baginya, dadanya menjadi lapang, sumber-sumber hikmah dan kepekaan mengalir deras dari hatinya, kondisi diri dan ilmunya akan diberkahi, serta dibimbing agar selalu tepat dalam perkataan, perbuatan dan (keputusan) hukumnya. Hendaklah guru mendorong murid agar berlaku zuhud di dunia ini, memalingkannya dari ketergantungan kepada dunia, bersandar kepadanya, dan tertipu olehnya. Hendaklah guru mengingatkan muridnya bahwa dunia ini fana’ (tidak abadi) sementara akhirat pasti datang dan kekal. Bersiap-siap menyongsong yang kekal dan berpaling dari yang tidak abadi merupakan jalan orang-orang yang berhati teguh dan tradisi hamba-hamba Allah yang shalih. (Imam Muhyiddin an-Nawawi).[6]

وَلَيْسَ الطَّرِيْقُ فِي تَقْوِيَتِهِ وَإِثْبَاتِهِ أَنْ يَعْلَمَ صُنْعَةَ الْجَدَلِ وَالْكَلاَمِ بَلْ يَشْتَغِلَ بِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ وَتَفْسِيْرِهِ وَقِرَاءَةِ الْحَدِيْثِ وَمَعَانِيْهِ وَيَشْتَغِلُ بِوَظَائِفِ الْعِبَادَاتِ فَلاَ يَزَالُ اِعْتِقَادُهُ يَزْدَادُ رُسُوْخًا بِمَا يُقْرِعُ سَمْعَهُ مِنْ أَدِلَّةِ الْقُرْآنِ وَحُجَجِهِ وَبِمَا يَرِدُ عَلَيْهِ مِنْ شَوَاهِدِ الأَحَادِيْثِ وَفَوَائِدِهَا وَبِمَا يَسْطَعُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْوَارِ الْعِبَادَاتِ وَوَظَائِفِهَا وَبِمَا يَسْرِى إِلَيْهِ مِنْ مُشَاهَدَةِ الصَّالِحِيْنَ وَمُجَالَسَتِهِمْ وَسِيْمَاهُمْ وَسِمَاعِهِمْ وَهَيْآتِهِمْ فِي الْخُضُوْعِ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالْخَوْفِ مِنْهُ وَالإِسْتِكَانَةِ لَهُ
Jalan untuk menguatkan dan meneguhkannya (yakni: keyakinan di dalam hati) bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan: menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, membaca hadits disertai maknanya, dan menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang sampai kepadanya, kemudian oleh cahaya ibadah dan tugas-tugasnya yang meneranginya; juga sejalan dengan menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya. (Imam al-Ghazali).[7]



[1] Dalam riwayat lain: “…sebab mata mereka terikat dengan mulutmu…”
[2] Dalam riwayat lain: “…jangan kaupaksa mereka terhadapnya (Kitabullah), sehingga mereka menjadi bosan kepadanya…”
[3] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dikutip dalam Adabul ‘Ulama’ wal Muta’allimin, hal. 19; dan al-Khathib dalam Tarikh Baghdad, III/187, no. 1227.
[4] Dari: al-Ghun-yah li Thalibi Thariqi al-Haqq ‘Azza wa Jalla, II/284-286, karya Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani.
[5] Abjadu al-‘Ulum, bagian kedua yang diberi judul as-Sahaab al-Markum al-Mumthir bi Anwa’ al-Funun wa Ashnaf al-‘Ulum, II/537, karya Shiddiq bin Hasan bin ‘Ali al-Qannuji. Aslinya berasal dari karya Syah Waliyullah ad-Dahlawi berjudul al-Qaul al-Jamil fi Bayani Sawaa’i as-Sabil, dalam pasal tentang Adab Menasihati dan juga bagi Pemberi Nasihat.
[6] Muqaddimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, bab Adabul Mu’allim, karya Imam Muhyiddin an-Nawawi, dicetak tersendiri, hal. 34.
[7] Ihya’ ‘Ulumiddin, I/94.