Ini kisah nyata Abu
‘Abdirrahman Baqiy bin Makhlad al-Andalusi, al-hafizh, yang lahir tahun
201 H dan wafat tahun 276 H. Beliau berjalan kaki dari negerinya di Andalusia
(Spanyol) menuju Baghdad (Iraq), dengan satu tujuan: bertemu dan belajar dari
Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menuturkan sendiri kisahnya, sbb:
“Ketika aku telah
mendekati Baghdad, sampailah kabar mihnah yang menimpa Imam Ahmad
bin Hanbal, dan bahwasannya ada larangan menemui maupun mendengar hadits
darinya. Aku pun merasa sangat cemas dengan keadaan ini. Kemudian aku sampai ke
tempat yang kutuju, dan aku tidak naik keatas apapun setelah meletakkan
barang-barangku di rumah yang kusewa dari salah satu penginapan, karena
bergegas mendatangi Masjid Jami’. Aku ingin bergabung ke dalam halaqah-halaqah
yang ada disana dan mendengarkan apa yang mereka perbincangkan.
Aku tertarik bergabung ke
sebuah halaqah besar yang ramai, dan disana ada seorang pembicara yang
mengungkap keadaan para perawi hadits. Beliau kadang melemahkan (status seorang
perawi) dan kadang menguatkannya. Aku pun bertanya kepada seseorang yang ada di
dekatku, ‘Siapa orang ini?’ Dijawabnya, ‘Beliau Yahya bin Ma’in.’ Aku melihat
sedikit tempat yang kosong di dekat beliau, maka aku pun berdiri mendekat dan
bertanya, ‘Wahai Abu Zakariyya, semoga Allah merahmati Anda, saya ini orang
asing yang jauh kampung halamannya. Saya ingin bertanya, mohon Anda tidak
menyepelekan saya!’ Beliau membalas, ‘Bicaralah!’ Aku pun bertanya kepada
beliau tentang (status) sebagian Ahli Hadits yang pernah aku temui. Sebagian
ada yang beliau kuatkan kedudukannya, sebagian yang lain beliau lemahkan. Pada
pertanyaan terakhir, aku bertanya tentang Hisyam bin ‘Ammar, dimana aku sendiri
telah banyak mengambil riwayat darinya. Beliau menjawab, ‘Abul Walid Hisyam bin
‘Ammar adalah sosok yang rajin mengerjakan shalat, tinggal di Damaskus,
terpercaya dan sangat amat terpercaya (tsiqah wa fauqa ats-tsiqah).
Andai saja di balik selendangnya terdapat kesombongan atau ia menyandang kesombongan,
maka hal itu tidak akan mempengaruhi kedudukannya barang sedikit pun,
dikarenakan kebaikan dan keutamaannya.’
Maka, orang-orang yang
hadir di halaqah itu pun berteriak, ‘Cukup! Cukup! Semoga Allah
mengasihi Anda! Orang lain juga ingin bertanya!’ Aku pun tetap bertanya,
sementara aku masih berdiri, ‘Saya minta Anda menjelaskan kepada saya perihal
satu orang ini: Ahmad bin Hanbal?’ Maka, beliau pun memandangi saya, sepertinya
beliau merasa sangat keheranan, lalu berkata, ‘Apakah orang seperti kami pantas
menjelaskan status Ahmad bin Hanbal? Sungguh, beliau adalah pemimpin kaum
muslimin, yang terbaik dan paling utama diantara mereka!’
Aku kemudian keluar dan
minta ditunjukkan dimana rumah Ahmad bin Hanbal. Aku pun diberitahu tempatnya,
lalu kuketuk pintu rumah itu. Beliau keluar dan membuka pintu, dan melihatku
sebagai orang asing yang tidak dikenalnya. Aku berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdillah,
saya ini berasal dari negeri asing, dan ini adalah kali pertama saya masuk ke
negeri ini. Saya adalah pencari dan pengumpul hadits, sementara perjalanan saya
ini tidak lain hanya untuk menjumpai Anda.’ Beliau berkata, ‘Masuklah ke lorong
jalan masuk rumah, dan jangan sampai ada yang melihatmu!’ Beliau kemudian
bertanya, ‘Dari mana tempat asalmu?’ Aku jawab, ‘Negeri timur yang terjauh (al-magh-rib
al-aqsha).’ Beliau bertanya, ‘Afrika?’ Aku jawab, ‘Lebih jauh lagi. Saya
harus menyeberang lautan dari negeri saya untuk sampai ke Afrika. (Tepatnya,
saya berasal dari) Andalusia.’ Beliau berkata, ‘Negeri asalmu benar-benar
sangat jauh. Dan, tidak ada yang paling aku senangi selain membantu orang-orang
sepertimu dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan apa yang dicarinya. Hanya
saja, dalam waktu-waktu sekarang ini, aku sedang diuji dengan apa yang –
mungkin – sudah sampai kepadamu (bagaimana masalahnya).’ Aku menjawab, ‘Benar,
saya sudah mendengar hal itu, ketika saya mendekati negeri Anda ini untuk
menjumpai Anda.’
Aku berkata lagi, ‘Wahai
Abu ‘Abdillah, ini adalah kali pertama saya datang kemari, sehingga saya tidak
dikenal oleh siapa-siapa diantara kalian (di kota ini). Jika Anda mengizinkan,
saya akan datang kepada Anda dengan berpakaian seperti seorang pengemis, lalu
akan saya katakan sesuatu di depan pintu rumah Anda seperti yang biasa mereka
ucapkan, kemudian Anda keluar ke tempat ini. Andai pun Anda hanya menyampaikan
satu hadits saja kepada saya setiap harinya, sungguh hal itu pun sudah cukup.’
Beliau menjawab, ‘Baik, dengan syarat jangan sampai engkau ungkapkan hal ini di
halaqah-halaqah atau di antara para Ahli Hadits.’ Aku menjawab,
‘Baiklah.’ Aku pun mengambil sebatang tongkat di tangan dan melilitkan secarik
kain di kepala, sedangkan kertas catatan dan tempat tinta kuletakkan di dalam
lengan baju. Kemudian aku mendatangi pintu rumah beliau dan berseru, ‘Raihlah
pahala! Semoga Allah mengasihi kalian!’ Para pengemis disana memang begitu
ucapannya. Beliau pun keluar (dan mengajak saya masuk), lalu menutup pintu
rumahnya. Beliau kemudian menyampaikan kepadaku dua tiga hadits atau lebih.
Aku terus melakukan yang
demikian itu sampai orang yang menimpakan mihnah kepada beliau
meninggal (yakni, khalifah), dan yang menggantikannya adalah sosok yang berpegang
kepada madzhab sunnah. Ahmad bin Hanbal pun tampil keluar kembali.
Namanya menjadi tenar dan diagungkan di mata semua orang. Ketokohannya pun
semakin menjulang. Orang-orang menempuh perjalanan jauh untuk belajar
kepadanya. Dan, beliau sangat menghargai kesabaranku. Setiap kali aku datang ke
halaqah-nya, beliau melapangkan tempatnya dan dan memintaku duduk di
dekatnya. Beliau berkata kepada para pelajar hadits, ‘Seperti inilah orang
yang layak disebut sebagai pencari ilmu itu!’ Kemudian beliau menceritakan
kepada mereka kisahku dengan beliau. Beliau kadang mengizinkanku meriwayatkan
haditsnya dengan cara munawalah (yakni, dengan menyerahkan catatan
saja); kadang beliau membacakannya kepadaku; dan kadang aku yang membaca di
hadapannya.
Suatu saat aku sakit dan
kemudian sembuh setelah itu. Beliau mencari-cariku di majlisnya dan menanyakan
keberadaanku. Beliau kemudian diberitahu bahwa aku sedang sakit. Saat itu juga
beliau bangkit berdiri untuk menjengukku bersama semua orang yang hadir di
majlisnya. Aku sendiri sedang terbaring di dalam rumah yang kusewa. Tumpukan
barang ada di bawahku, pakaian-pakaian ada di atasku, sedangkan buku-buku ada
di dekat kepalaku. Aku mendengar penghuni penginapan gaduh sahut-menyahut.
Mereka berkata, ‘Dia ada disana! Coba lihat dia! Ini pemimpin kaum muslimin
datang!’ Pemilik penginapan pun menemuiku dengan tergopoh-gopoh, ‘Hai Abu
‘Abdirrahman! Ini Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, pemimpin kaum muslimin,
datang menjengukmu!’ Beliau pun masuk dan duduk di dekat kepalaku, sementara
rumah itu penuh-sesak oleh murid-murid beliau sehingga tidak mampu
menampungnya. Sampai-sampai sekelompok murid ada yang terpaksa berdiri di dalam
rumah itu sementara pena ada di tangan mereka. Beliau tidak mengucapkan
kata-kata lebih dari ini, ‘Hai Abu ‘Abdirrahman, bergembiralah dengan pahala
dari Allah. Hari-hari sehat yang tiada rasa sakit di dalamnya; hari-hari
sakit yang tiada kesehatan di dalamnya – yakni, keadaan di
akhirat – Semoga Allah
mengangkat (derajatmu) hingga engkau sehat kembali. Semoga pula Allah
menghapuskan (rasa sakit) darimu.” Maka, kulihat pena-pena mencatat ucapan
beliau itu. Beliau kemudian keluar dari kamarku. Setelah itu para penghuni
penginapan mendatangiku dan bersikap baik kepadaku. Mereka melayaniku karena
motivasi agama dan ingin mendapat keridhaan Allah. Ada yang datang membawakan
alas tidur, ada yang membawakan selimut, dan ada pula yang mengirimkan
makanan-makanan terlezat. Perawatan mereka selama aku sakit jauh melebihi apa
yang dilakukan keluargaku sendiri andaikan aku sakit di tengah-tengah mereka,
hanya karena seorang lelaki shalih yang datang menjengukku.”
(*) Dinukil oleh Syekh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam Shafahat min Shabril 'Ulama' 'ala Syada'idil 'Ilmi wat Tahshil, hal. 26-29. Aslinya bersumber dari al-Manhaj al-Ahmad fi Tarajum Ashabil Imam Ahmad, I/177, dan Ikhtishar an-Nablusiy li Thabaqat al-Hanabilah li-Ibni Abi Ya'la, hal. 79.