Terjemah "Risalah Fil Jarh Wat Ta'dil", karya al-Hafizh al-Mundziri

رسالة في الجرح والتعديل
RISALAH FI AL-JARH WA AT-TA’DIL
[ makalah singkat tentang jarh dan ta’dil ]

Penulis        : Al-Hafizh ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawy al-Mundziri Abu Muhammad
Penerbit       : Maktabah Dar Al-Aqsha, Kuwait
Cet./thn       : Pertama, 1406 H
Muhaqqiq   : ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Jabbar Al-Faryawa’iy
Sumber        : Al-Maktabah Al-Syamilah, ver. 3.15 updated [Nopember 2008]


[ PERTANYAAN ]
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammadin wa aalihi wa shahbihi
Apa yang dimaksud oleh perkataan para ulama’ besar dan para imam [di bidang Ilmu Hadits] dalam bentuk ungkapan-ungkapan tertentu yang mereka pergunakan untuk menilai para perawi hadits, misalnya:
Yahya bin Ma’in berkata, “Dia [perawi] adalah shalihul hadits.” Abu Hatim berkata, “Haditsnya boleh ditulis, namun tidak boleh dijadikan sebagai pegangan (yuktabu haditsuhu wa la yuhtajju bihi).” Ahmad bin Hanbal berkata, “Dia bisa dipercaya (tsiqah).” Ulama’ yang lain berkata, “Dia shaduuq (sangat jujur).”
[Disini], perkataan mereka, bahwa dia bisa dipercaya serupa dengan ungkapan haditsnya boleh ditulis. [Akan tetapi], apa pengertian dari ungkapan mereka, bahwa dia boleh ditulis haditsnya tetapi tidak boleh dijadikan sebagai pegangan? Apa perbedaan antara ungkapan haditsnya tidak bisa dijadikan pegangan dengan ungkapan haditsnya ditinggalkan (huwa matruukul hadits)?
Jika salah seorang ulama’ menyatakan bahwa seseorang itu bisa dipercaya (tsiqah), sedangkan ulama’ lain mengatakan bahwa dia bukan apa-apa (laysa bi syai’in), maka pendapat siapa yang bisa dipilih?
Jika pendapat ulama’ yang menyatakan dia bukan apa-apa lebih diutamakan dibanding pernyataan bahwa dia bisa dipercaya, maka kami mendapati dalam jajaran para perawi al-Kutub as-Sittah – dimana keenam kitab itu merupakan sandaran ilmu-ilmu Islam – terdapat nama-nama yang [dinilai] secara kontroversial seperti ini.
Sebagai misal dapat dikemukakan nama Muhammad bin Ishaq. Tentang beliau, Syu’bah dan Sufyan menyatakan bahwa beliau adalah Amirul Mu’minin fil Hadits, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Mahdi. Namun, Malik bin Anas dan Yahya bin Sa’id menjatuhkan jarh (penilaian negatif) kepada beliau.
Yahya bin Ma’in pun pernah ditanya perihal Ibnu Ishaq ini, maka beliau menjawab, “Bisa dipercaya  tetapi tidak bisa dijadikan pegangan (tsiqah wa laysa bi hujjah).” Di lain waktu beliau mengatakan, “Dia sangat jujur tetapi tidak bisa dijadikan pegangan (huwa shaduuq wa lakinnahu laysa bi hujjah). Yang bisa dijadikan pegangan adalah perawi seperti ‘Ubaidullah bin ‘Umar dan Malik bin Anas.”
Terhadap Ibnu Ishaq ini, Ahmad bin Hanbal berkomentar, “Jika ada orang yang menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq bisa dijadikan pegangan, maka pernyataannya itu kurang tepat. Akan tetapi, dia (Ibnu Ishaq) adalah bisa dipercaya.”
Ya’qub bin Syaibah berkata: saya bertanya kepada Yahya bin Ma’in, “Bagaimana [status] Muhammad bin Ishaq menurut Anda?” Beliau menjawab, “Menurutku, dia tidak begitu kuat (laysa huwa ‘indiy bi dzaaka).” Beliau tidak menilainya sebagai perawi yang kuat (tsabit) dan menganggapnya lemah, namun tidak menilainya sebagai sangat lemah (dha’if jiddan). Saya bertanya lagi, “Apakah ada sesuatu yang Anda [curigai] dalam hal kejujurannya?” Beliau menjawab, “Tidak, dia itu sangat jujur.”
Bagaimana cara mengkompromikan ungkapan-ungkapan seperti ini, padahal dia [Ibnu Ishaq] termasuk salah seorang perawi dalam kitab-kitab yang mu’tamad (dijadikan pedoman)?
Ibnu ‘Ady berkata, “Andaikan Ibnu Ishaq tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain [perannya] yang mengubah ketertarikan para penguasa dari mengkaji buku-buku yang tidak ada gunanya kepada [kajian] mengenai maghazi Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wasallam, juga mengenai [kisah] diutusnya beliau sebagai Nabi serta asal-usul penciptaan, maka sungguh ini merupakan keutamaan yang dirintis pertamakali olehnya. Setelah itu orang lain menyusulnya dalam penulisan [tema] tersebut, namun tidak bisa menyamai kedudukan yang telah dicapai oleh Ibnu Ishaq. Saya sendiri telah memeriksa hadits-hadits [yang diriwayatkannya] yang sangat banyak itu, namun tidak saya dapati hadits yang layak untuk divonis dha’if (lemah). Bisa saja beliau keliru (akhtha’a) atau ragu-ragu (wahama) dalam sesuatu dan lain hal, namun ternyata para perawi tsiqah dan para imam tidak mau ketinggalan untuk mengambil riwayat darinya. Beliau baik-baik saja (la ba’sa bihi).”
Tadi adalah ungkapan Ibnu ‘Ady tentang Ibnu Ishaq. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) semacam ini jelas memicu kebingungan.
Ada lagi [perawi lain yang kontroversial seperti itu], misalnya Syabbabah bin Sawwar, dimana Iman al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain memasukkan perawi ini dalam kitab-kitab mereka. Terhadap Syabbabah ini, Abu Hatim berkata, “Dia sangat jujur, boleh ditulis haditsnya, namun tidak bisa dijadikan pegangan (huwa shaduuq yuktabu haditsuhu wa la yuhtajju bihi).”
‘Abdurrahman bin Yusuf bin Khirasy berkata, “Ahmad bin Hanbal tidak meridhainya.”
Pernah ditanyakan kepada Yahya bin Ma’in, “Mana yang lebih Anda sukai, Syabbabah atau al-Aswad bin ‘Amir?” Beliau menjawab, “Syabbabah.” Beliau juga pernah berkata, “Dia sangat jujur (shaduuq).”
Ibnu Sa’id berkata, “Dia bisa dipercaya, baik keadaannya dalam periwayatan hadits, hanya saja dia seorang murji’ah (huwa tsiqah shalih al-amri fi al-hadits illa annahu kaana murji’an).”
[Hanya saja], yang mau mengambil riwayat dari Syabbabah ini antara lain Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Khaytsamah, Ahmad bin Sinan al-Qaththan, dan banyak lagi yang lain.
Perbedaan pendapat terhadap [status] Syabbabah ini, kemana hendaknya diarahkan? Pendapat siapa yang bisa dijadikan pegangan?
Bisakah suatu penilaian negatif (al-jarh) terhadap seorang perawi diterima, walau tanpa penjelasan sebab dari penilaian tersebut?
Kapankah suatu penilaian negatif (al-jarh) pasti bisa diterima, walau tanpa disertai penjelasan sebabnya?
Apa sebab yang melatari diterimanya penilaian negatif (al-jarh) dari para imam tersebut, walau tanpa disertai penjelasan apa yang menjadi dasarnya? Juga apa [sebab-sebab yang melatari mengapa] mereka meninggalkan perawi lainnya?
Apakah perbedaan pendapat di kalangan para imam [Ahli Hadits] sama dengan yang terjadi di kalangan fuqaha’ (ahli fiqh)? Jika ya, maka boleh disimpulkan bahwa perbedaan semacam itu merupakan konsekuensi logis dari ijtihad, padahal [dalam masalah kritik perawi] semacam ini yang ada hanyalah penyampaian informasi saja (laysa fihi siwa an-naql). Sebab, tidak mungkin kondisi seseorang itu jujur sekaligus pembohong.
Ada lagi banyak perawi yang dinyatakan sebagai bukan apa-ala (laysa bi syai’in), padahal kami dapati hadits-hadits yang mereka riwayatkan tercantum dalam [kitab karya] al-Bukhari, Muslim, dan lain sebagainya. Lalu, apa pengertian dari pernyataan bahwa si A ini bukan apa-apa (fulaan laysa bi syai’in)? Apakah ungkapan ini mempunyai pengertian lain di luar yang eksplisit (zhahir), atau tidak?
Apakah ungkapan bahwa si A bisa dijadikan pegangan (fulaan hujjah) sama dengan ungkapan dia bisa dipercaya (huwa tsiqah)?
[Contohnya] adalah Syuja’ bin al-Walid Abu Qays as-Sakuni. Orang-orang yang mengambil riwayat darinya antara lain Abu Hammam al-Walid bin Syuja’, Ahmad bin Hanbal, Muslim bin Ibrahim, Yahya bin Ma’in, Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair, Ishaq bin Rahawaih, ‘Ali bin al-Madini, dan para imam lainnya.
Terhadap [Syuja’] ini, Abu Hatim berkata, “’Abdullah bin Bakr as-Sahmi lebih saya sukai dibanding Syuja’ bin al-Walid; dia ini seorang guru hadits yang tidak kokoh ingatannya dan haditsnya tidak bisa dijadikan pegangan (syaikhun laysa bi al-matiin la yuhtajju bi haditsihi).”
Abu Bakr al-Marwadzi berkata: saya katakan kepada Ahmad bin Hanbal, “[Apakah] Syuja’ bin al-Walid orang yang bisa dipercaya (tsiqah)?” Beliau menjawab, “Saya berharap dia ini orang yang sangat jujur (shaduuq), sebab beliau telah duduk untuk belajar kepada orang-orang yang shalih.”
Waki’ berkata: aku mendengar Sufyan berkata, “Di Kufah tidak ada orang yang lebih giat beribadah melebihinya.”
Hanbal bin Ishaq berkata: Abu ‘Abdullah – yakni Ahmad bin Hanbal – berkata, “Dia seorang guru hadits yang shalih dan sangat jujur, kami mencatat hadits darinya (kaana syaikhan shalihan shaduuqan katabnaa ‘anhu).” Beliau berkata lagi, “Suatu hari Yahya bin Ma’in berjumpa dengannya, dan [Yahya] berkata kepadanya: hai pembohong! Maka sang syaikh membalas: jika benar saya ini pembohong [maka panggilan itu layak bagi saya], tapi jika tidak maka semoga Allah mencelakakanmu!”
Diriwayatkan pula dari Yahya bin Ma’in, bahwa beliau berkata perihal [Syuja’] ini, “Dia bisa dipercaya.”
Ahmad bin ‘Abdullah berkata, “Baik-baik saja (la ba’sa bihi).”
Lihatlah perbedaan pendapat dalam masalah [perawi] ini, padahal Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah mencantumkan riwayatnya dalam kitab-kitab mereka. Bagaimana sebenarnya kedudukan orang-orang semacam ini menurut para imam dan panutan [dalam Ilmu Hadits] tersebut? Bukankah mereka menggariskan [suatu kaidah] dalam periwayatan hadits, yakni [harus] diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan dhabith dari sumber perawi yang ‘adil dan dhabith juga, sehingga sampai kepada Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wasallam? Demikianlah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu ash-Shalah rahimahullah dalam kitabnya [tentang] ‘ulumul hadits, dan juga para ulama’ lainnya.
Jika rangkaian semacam ini tidak berlaku bagi orang yang mengetahui standar periwayatan yang dirumuskan al-Bukhari dan Muslim (syarthu asy-syaikhaini), semoga Anda bersedia untuk menguraikan standar tersebut agar semakin lengkap keterangan yang Anda berikan, dengan izin Allah. Semoga Allah membalas [kebaikan] Anda.
Dengan ilmu yang Anda miliki, tolong jelaskan masalah ini. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengan kehadiran Anda. Semoga Allah menganugerahkan kepada Anda [kedudukan] bersanding dengan orang-orang yang baik dan suci. Amin. Amin.
Wa shalla-llahu ‘ala muhammadin an-nabiyyi al-ummiyyi wa ‘ala aalihi wa ashhabihi ajma’in wa sallama tasliiman katsiiran.

JAWABAN
Asy-syaikh, al-imam, al-hafizh, al-‘allamah, zakiyyuddin, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawiy bin ‘Abdullah al-Mundziri asy-Syafi’i – semoga Allah meridhainya – menulis jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan diatas, sbb:
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wa shallallahu ‘ala muhammadin wa ‘ala aalihi wa sallama tasliimaa.
Amma ba’du:
Segala puji bagi Allah, Maha Tinggi, Maha Agung. Shalawat semoga terlimpah kepada makhluk-Nya yang terbaik, Muhammad, sang Nabi yang mulia, juga untuk keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang layak mendapatkan penghormatan dan pengagungan.
Saya telah memahami apa yang Anda maksudkan, semoga Allah melanggengkan bagi Anda kebaikan, melindungi Anda sebaik-baiknya, serta meletakkan segala urusan Anda pada posisi terbaik. Saya juga berharap agar Allah melimpahi kita semua dengan keberkahan dari pemimpin para Nabi, shalla-llahu ‘alaihi wasallam, wa ‘alaihim ajma’in.
Saat ini saya sedang bersiap menjawab sebagian pertanyaan Anda, juga memberikan pengantar pemahaman untuk sebagian pertanyaan lainnya; dengan senantiasa berharap agar Allah yang Maha Agung memberi limpahan taufiq-Nya kepada saya dalam perkataan dan tindakan; serta senantiasa mohon perlindungan kepada-Nya dari segenap kekeliruan dan kealpaan.

TINGKATAN AL-JARH WA AT-TA’DIL MENURUT IBNU ABI HATIM
Al-Hafizh Abu Muhammad al-Qasim bin al-Hafizh Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hasan ad-Dimasyqi mengabarkan kepada kami, dalam suratnya kepadaku, diantaranya beliau berkata: al-Hafizh Abu Thahir Ahmad bin Muhammad bin Ahmad mengabarkan kepada kami, dalam suratnya kepadaku [yang dikirim] dari pesisir Iskandariyah, beliau berkata: Abu Maktum ‘Isa bin al-Hafizh Abu Dzarr ‘Abd bin Ahmad al-Harawi mengabarkan kepada kami, dengan seizin darinya, beliau berkata: ayahku telah memberitahu kami, beliau berkata: Abu ‘Ali Hamd bin ‘Abdullah al-Ashbahani memberitahu kami, beliau berkata: al-Imam Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim  Muhammad bin Idris al-Hanzhali berkata:
“Saya mendapati ungkapan yang menunjukkan jarh dan ta’dil itu memiliki tingkatan yang beraneka rupa:
A.     Tingkatan ta’dil (penilaian positif, yang menguatkan)
  1. Jika dikatakan untuk seseorang bahwa dia bisa dipercaya (tsiqah) atau sangat menguasai bidangnya (mutqin) lagi kokoh ingatannya (tsabat), maka dia termasuk perawi yang haditsnya bisa dijadikan pegangan (yuhtajju bi haditsihi).
  2. Jika dikatakan dia sangat jujur (shaduuq) atau statusnya jujur (mahalluhu ash-shidq), atau dia baik-baik saja (la ba’sa bihi), maka orang tersebut tergolong perawi yang boleh ditulis haditsnya (yuktabu haditsuhu) dan diperiksa lebih teliti dalam periwayatannya (yunzharu fiihi). Ini adalah tingkatan kedua.
  3. Jika dikatakan dia seorang guru hadits (syaikh), maka dia berada dalam tingkatan yang ketiga, serta diperiksa lebih teliti di dalamnya riwayatnya, namun masih di bawah tingkatan yang kedua diatas.
  4. Jika dikatakan dia baik haditsnya (shalihul hadits), maka haditsnya boleh ditulis untuk ditelusuri apakah ada jalur lain yang mendukung serta menguatkannya (li al-i’tibaar).
B.     Tingkatan jarh (penilaian negatif, yang melemahkan)
  1. Jika mereka [para ulama’] memberikan jawaban perihal status seseorang bahwa dia lemah haditsnya (layyinul hadits), maka haditsnya masih boleh ditulis dan diperiksa untuk dicari jalur lainnya (i'tibaar).
  2. Jika mereka menyatakan bahwa dia tidak kuat (laysa bil qawiy), maka kedudukannya sama dengan yang pertama diatas dalam hal kebolehan dicatat haditsnya, akan tetapi tingkatannya masih di bawah kelompok pertama itu.
  3. Jika mereka mengatakan bahwa dia lemah haditsnya (dha’iful hadits), maka tingkatannya ada di bawah yang kedua tadi. Haditsnya tidak dibuang akan tetapi dicoba untuk ditelusuri jalur lainnya (yu’tabaru bihi).
  4. Jika mereka menyatakan bahwa dia ditinggalkan hadistnya (matruukul hadits), atau haditsnya dibuang (dzaahibul hadits), atau pembohong (kadzdzab), maka haditsnya gugur, tidak boleh dicatat haditsnya (saaqithul hadits la yuktabu haditsuhu). Ini adalah peringkat yang keempat.
Inilah yang dituturkan oleh Ibnu Abi Hatim jika beliau mendapati pernyataan-pernyataan ulama’ tentang status seorang perawi hadits.

APAKAH PERNYATAAN DIA BISA DIJADIKAN PEGANGAN LEBIH KUAT DARI DIA BISA DIPERCAYA?
Tampaknya, pernyataan Yahya bin Ma’in perihal Muhammad bin Ishaq bahwa beliau bisa dipercaya namun tidak bisa dijadikan pegangan (tsiqah wa laysa bi hujjah) adalah pendapatnya sendiri, dimana status seorang perawi yang tsiqah itu masih di bawah perawi hujjah. Ini berbeda dengan pendapat yang dinukil dari para ulama’ lain dalam masalah tersebut.

JAWABAN AD-DARUQUTHNI TENTANG STATUS PERAWI YANG LAYYIN DAN YANG BANYAK MELAKUKAN KESALAHAN [DALAM MENYAMPAIKAN RIWAYAT]
Abu Hafsh ‘Umar bin Muhammad bin Ma’mar al-Baghdadi mengabarkan kepada kami, dengan cara dibacakan di hadapannya sementara saya mendengarkan, di Damaskus; beliau berkata: menteri besar Abu al-Qasim ‘Ali bin naqib an-nuqaba’ Abu al-Fawaris Tharrad bin Muhammad az-Zainabi, dengan cara dibacakan di hadapannya sementara saya mendengarkan; beliau berkata: Abu al-Qasim Isma’il bin Mas’adah al-Jurjani; – jalur sanad lainnya – Syaikh Abu al-Fadhl Ja’far bin ‘Ali al-Muqri’ mengabarkan kepada kami, dengan cara dibacakan di hadapannya sementara saya mendengarkan, dan redaksi yang ada disini adalah darinya; beliau berkata: al-hafizh Abu Thahir Ahmad bin Muhammad bin Ahmad mengabarkan kepada kami; beliau berkata: al-hafizh Abu Nashr al-Mu’taman bin Ahmad as-Saaji mengabarkan kepada kami; beliau berkata: Abu al-Qasim Isma’il bin Mas’adah mengabarkan kepada kami; beliau berkata: aku mendengar Abu al-Qasim Hamzah bin Yusuf as-Sahmi al-hafizh berkata: aku bertanya kepada Abu al-Hasan ad-Daruquthni. Aku tanyakan kepada beliau, “Jika dikatakan bahwa si fulan itu layyin, apa maksudnya?” Beliau menjawab, “Orang itu tidak gugur [periwayatannya] (saaqith) serta ditinggalkan haditsnya (matruukul hadits), akan tetapi dia mendapat penilaian negatif (majruuh) dengan sesuatu hal yang tidak menjatuhkannya dari status adil (al-‘adaalah).” Aku bertanya lagi kepada beliau tentang seorang [perawi] yang sering melakukan kesalahan (katsirul khatha’). Beliau menjawab, “Jika para kritikus mengingatkan dia [perawi itu] dan dia mau memperbaiki [kesalahannya], maka dia tidak gugur [statusnya]. Jika dia tidak mau memperbaiki, maka statusnya pun gugur.”
Al-ashiil Abu al-Muzhaffar ‘Abdurrahim bin al-hafizh Abu Sa’ad ‘Abdul Karim bin al-hafizh Abu Bakr Muhammad bin al-imam Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad as-Sam’ani mengabarkan kepada kami, dalam suratnya kepada saya [yang dikirim] dari Khurasan; beliau berkata: Abu Bakr ‘Ubaidillah bin Ibrahim at-Taftazani mengabarkan kepada kami dengan cara dibacakan di hadapannya sementara saya mendengarkan, di Nasa’ pada bulan Syawwal tahun 144 H; beliau berkata: Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani mengabarkan kepada kami; beliau berkata: Abu Syuraih Isma’il bin Ahmad as-Syaasyi mengabarkan kepada kami; [beliau berkata:] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Maidani mengabarkan kepada kami; beliau berkata: Abu Sa’ad ‘Abdurrahman bin al-Hasan bin ‘Alaik mengabarkan kepada kami – beliau kemudian menyebutkan berbagai masalah yang ditanyakan kepada al-ustadz Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Isfara’ini; diantaranya: jika [seseorang] mendengar dari gurunya bahwa seorang [perawi tertentu] tidak bisa dipercaya dalam periwayatan hadits (ghairu tsiqah fil hadits) atau dia menemukan pernyataan tersebut di dalam kitab [yang ditulis] para hafizh, apakah dia boleh memvonis negatif perawi tersebut (yahkumu bi jarhihi) semata-mata berdasarkan taqlid ini? Dan apakah dia termasuk orang-orang yang menggunjing (ghibah) ataukah tidak? Jawabnya: jika dia mendengar pernyataan tersebut [langsung] dari gurunya, maka hal itu [bisa diterima] sebagai vonis negatif (jarh) terhadap perawi bersangkutan, dan dia tidak termasuk ber-taqlid dalam menjatuhkan vonisnya itu, karena [baginya] sudah ada dalil dan hujjah [yaitu, mendengar langsung sebuah pernyataan dari gurunya]; tetapi dia tidak boleh menjatuhkan vonis tertentu [hanya] berdasarkan apa yang dia dapati dari buku-buku, kecuali jika dia mendengarnya dari dua orang tokoh di kalangan para pakar hadits.

PERBEDAAN PENDAPAT DIANTARA PAKAR HADITS DALAM MENETAPKAN TA’DIL ATAU TADH’IF TERHADAP SEORANG PERAWI
Telah mengabarkan kepada kami para syaikh, yaitu: [1] Abu Hafsh ‘Umar bin Ma’mar bin Muhammad al-Baghdadi dengan cara dibacakan di hadapannya sementara saya mendengarkan, di Damaskus; [2] Abu al-Hasan ‘Ali bin Nashr al-Wasithi dengan cara saya membaca di hadapannya ketika beliau datang ke kota kami; [3] Abu al-Fadhl Muhammad bin Yusuf an-Nu’mani dengan seizinnya, dan redaksi yang ada disini adalah darinya; para syaikh tersebut berkata: Abu al-Qasim ‘Abdul Malik bin Abu Sahl memberitahukan kepada kami dengan cara dibacakan di hadapannya sementara kami mendengarkan; beliau berkata: Abu al-‘Abbas bin Mahbub mengabarkan kepada kami; telah mengabarkan kepada kami al-imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, beliau berkata, “Para imam ahli ilmu berbeda pendapat dalam menentukan kelemahan (tadh’if) para perawi sebagaimana umumnya perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka dalam disiplin ilmu lainnya.” [ini adalah akhir kata-kata beliau]
A.     Perbedaan Pendapat dalam Menerima Riwayat dari Seorang Penganut Bid’ah
Pakar-pakar hadits berbeda pendapat dalam [menerima] riwayat dari para penganut bid’ah seperti Qadariyah, Rafidhah dan Khawarij.
a)      Sebagian kalangan berpendapat bahwa riwayat mereka tidak diterima, seluruhnya [tanpa kecuali].
b)     Sebagian lagi berpandangan untuk menerima riwayat para pengikut aliran menyimpang (ahli al-ahwa’) yang tidak dikenal menghalalkan berbohong dan [riwayatnya tidak memuat] penguat atas pendapat orang tertentu yang sejalan dengan mereka yang [pendapatnya itu] tidak memiliki dasar.
c)      Sebagian lagi berpendapat untuk menerima riwayat perawi yang tidak termasuk propagandis atau penyeru (ad-du’at) di kalangan penganut bid’ah tersebut. Sementara itu, riwayat para propagandis tidak diterima.
d)     Sebagian lainnya berpandangan untuk menerima hadits yang diriwayatkannya sepanjang di dalamnya tidak mengandung hal-hal yang mendukung bid’ahnya.
B.     Perbedaan Pendapat Mengenai Jumlah Orang yang Memberikan Penilaian Baik (al-Muzakki) dan Pemberi Nilai Negatif (al-Jaarih)
Para pakar hadits juga berbeda pendapat dalam mensyaratkan jumlah orang yang memberikan penilaian baik (al-muzakki), pemberi nilai negatif (al-jaarih), saksi (asy-syaahid) dan perawi (ar-raawi).
a)      Ada yang menetapkan jumlah tertentu dalam masalah ini.
b)     Ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak dipersyaratkan, meskipun yang lebih hati-hati dalam persaksian adalah mendapatkan dukungan dari jumlah orang yang memberi penilaian baik.
c)      Ada yang berpendapat bahwa jumlah dipersyaratkan terhadap saksi, namun tidak terhadap perawi. Karena jumlah bukan merupakan syarat diterimanya sebuah informasi, maka hal itu pun tidak menjadi syarat terhadap perawi. [Hal ini] berbeda dengan persaksian. Karena jumlah dipersyaratkan untuk diterima dan ditetapkannnya sebuah vonis atas dasar persaksian tersebut, maka jumlah pun menjadi syarat dalam persaksian tersebut.
C.      Perbedaan Pendapat dalam Menerima Penilaian Negatif yang Disertai Penjelasan (al-Jarh al-Mufassar) dan yang Tanpa Penjelasan (al-Jarh al-Mubham)
Para pakar hadits juga berbeda pendapat dalam [menerima pernyataan] pemberi penilaian negatif (al-mujrih) jika dia tidak menjelaskan apa yang menjadi sebab penilaiannya itu.
a)      Ada yang berpendapat bahwa penilaian negatif (al-jarh) tidak bisa diterima kecuali jika disertai penjelasan (mufassar).
b)     Ada yang berpandangan bahwa pemberi nilai negatif (al-jaarih) tidak perlu diminta menjelaskan pernyataannya kecuali jika dia itu “buta” dan tidak mengerti [masalah] al-jarh. Tetapi jika dia mengerti, maka tidak usah dimintai penjelasan.

MUHAMMAD BIN ISHAQ DALAM PANDANGAN PARA AHLI
Para ulama’ banyak memperdebatkan perawi ini, baik yang memuji maupun mencelanya. Al-Bukhari dan Muslim sedikit pun tidak mau berhujjah dengan [riwayat] Ibnu Ishaq dalam kitab Shahih mereka. Muslim hanya mengelurkan hadits (takhrij) melalui Ibnu Ishaq dalam riwayat-riwayat pendukung (mutaaba’aat) saja, bukan pada riwayat utama (al-ushuul). Demikian pula al-Bukhari. Beliau tidak mengeluarkan satu hadits pun melalui Ibnu Ishaq dalam riwayat-riwayat utamanya. Beliau hanya mencantumkannya dalam riwayat penguat (istisyhaad). Hal ini selaras dengan kebiasaan al-Bukhari dan Muslim dalam [memperlakukan] para perawi yang riwayatnya tidak mereka pergunakan sebagai hujjah. [Hal itu] sebagaimana yang dilakukan oleh al-Bukhari terhadap Abu az-Zubair al-Makki, Suhail bin Abi Shalih, dan orang-orang yang serupa dengannya. Juga perlakuan Muslim terhadap ‘Ikrimah maula ‘Abdullah bin ‘Abbas, Syuraik bin ‘Abdillah al-qadhi, dan orang-orang yang serupa dengannya.
Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali al-Khathib berkata, “Tidak sedikit ulama’ yang tidak mau berhujjah dengan riwayat-riwayat Ibnu Ishaq dengan berbagai alasan, diantaranya beliau cenderung syi’ah, dikategorikan sebagai [kaum] qadariyah, serta melakukan tadlis dalam periwayatannya. Adapun dalam hal kejujuran, [Ibnu Ishaq] tidak ditolak.”
Sulaiman bin Dawud berkata: Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata kepadaku, “Aku bersaksi bahwa Muhammad bin Ishaq adalah pembohong (kadzdzab).” Saya bertanya kepadanya, “Darimana Anda tahu hal itu?” Beliau menjawab, “Wuhaib bin Khalid berkata kepadaku: dia [Ibnu Ishaq] adalah pembohong.” Saya [Yahya al-Qaththan] bertanya kepada Wuhaib, “Darimana Anda tahu hal itu?” Beliau menjawab, “Malik bin Anas berkata kepadaku: saya bersaksi bahwa dia [Ibnu Ishaq] adalah pembohong.” Saya [Wuhaib] bertanya kepada Malik, “Darimana Anda tahu hal itu?” Beliau menjawab, “Hisyam bin ‘Urwah berkata kepadaku: saya bersaksi bahwa dia [Ibnu Ishaq] adalah pembohong.” Saya [Malik] bertanya kepada Hisyam, “Darimana Anda tahu hal itu?” Beliau menjawab, “Dia [Ibnu Ishaq] meriwayatkan hadits dari istriku, Fathimah binti al-Mundzir, padahal aku membawanya ke rumahku saat dia berusia 9 tahun, dan tidak seorang laki-laki pun yang pernah melihatnya sampai ia meninggal.”
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Ayah menyampaikan hadits [riwayat] Ibnu Ishaq, lalu berkata: Hisyam mengingkarinya. Bisa jadi Ibnu Ishaq datang dan minta izin [bertemu], lalu dia mengizinkannya.” Saya [‘Abdullah] yakin, ayah berkata, “Sementara dia [Hisyam] tidak tahu.”
Di lain waktu al-imam Ahmad berkata, “Sangat mungkin Ibnu Ishaq mendengar [riwayat] dari Fathimah binti al-Mundzir, [yakni, pada saat] kami [Hisyam] keluar ke masjid atau dia [Fathimah] yang sedang keluar, kemudian Ibnu Ishaq mendengar [riwayat] darinya. Wallahu a’lam.”
‘Ali bin al-Madini berkata, “Apa yang dikatakan oleh Hisyam tidak bisa dijadikan hujjah. Sangat mungkin Ibnu Ishaq masuk menemui istri Hisyam pada saat dia [Ibnu Ishaq] masih kanak-kanak, lalu dia mendengar [riwayat] darinya.”
Orang yang tidak mau berhujjah dengan hadits riwayat Ibnu Ishaq mungkin disebabkan karena masalah qadar [yakni, pendapat Ibnu Ishaq tentang takdir], atau karena kecenderungan syi’ah-nya (tasyayyu’), atau karena faktor seringnya beliau melakukan tadlis, yakni menurut pendapat kalangan yang memandang hal-hal tersebut sebagai cacat yang menjatuhkan kredibilitas seorang perawi. Atau, ketidakmauan tersebut dan juga hal-hal lain yang diperdebatkan dalam diri Ibnu Ishaq – walaupun tidak sampai menjadi hujjah [yang pasti] untuk menolak riwayatnya – namun semua itu memunculkan semacam keraguan yang membuat seseorang enggan berhujjah dengan riwayatnya. Hal terakhir inilah yang sempat disinggung oleh dua orang hafizh, yakni Ahmad bin Ibrahim al-Jurjani dan Ahmad bin ‘Ali al-Khathib.
[Sementara itu], kalangan yang bersedia menjadikan riwayat Ibnu Ishaq sebagai hujjah mungkin beranggapan bahwa bid’ah-nya tidak menghalangi [penerimaan riwayatnya], tidak juga masalah tadlis-nya, cerita yang disampaikan Hisyam sudah dibantah, penilaian seputar dirinya yang tidak disertai penjelasan [dasarnya] tidak berpengaruh apa-apa, dan informasi yang datang dari satu sumber saja tidaklah dianggap – yakni bagi mereka yang menuntut dipenuhinya jumlah tertentu dalam hal ini. Wallahu a’lam.

SYABBABAH BIN SAWWAR DALAM PANDANGAN PARA AHLI
Imam al-Bukhari dan Muslim mau berhujjah dengan riwayatnya dalam karya mereka, dan tiga imam ahli hadits lainnya juga mengutip riwayat darinya.
Sebagian ulama’ memang mengomentari negatif perawi ini (takallama fiihi). Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya meninggalkannya. [Saya] tidak mengutip riwayat darinya karena masalah irja’.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Abu ‘Abdillah, bagaimana dengan Abu Mu’awiyah?” Beliau menjawab, “Syabbabah ini seorang da’iyah (penyeru kepada bid’ah-nya).”
*) Yang dimaksud irja’ disini adalah kaum murji’ah. Diantara pendapat mereka adalah maksiat itu tidak akan mempengaruhi iman sebagaimana ketaatan itu tidak berdampak bersama kekufuran. Kaidah yang disepakati Ahlus Sunnah dalam masalah ini berbunyi: iman adalah perkataan dan perbuatan. Untuk keterangan lebih jauh, silakan merujuk ke buku-buku akidah. Penerjemah.
Pernah ditanyakan kepada ‘Ali bin al-Madini perihal hadits Syabbabah yang beliau riwayatkan dari Syu’bah dalam masalah ad-dubba’. Beliau menjawab, “Apa lagi yang bisa kita komentari dari orang ini (maksudnya, Syabbabah)? Dia adalah seorang guru hadits yang sangat jujur (syaikh shaduuq). Hanya saja, dia menganut pandangan irja’. Dia juga tidak bisa mengenali pada seseorang yang mendengar seribu atau dua ribu hadits dari orang lain ketika orang yang pertama tadi mengemukakan satu hadits yang gharib.
Abu Bakr Ahmad al-Jurjani berkata, “Yang saya ingkari darinya adalah kesalahannya. Sangat boleh jadi dia meriwayatkan hadits dari hafalannya.”
Pernah ditanyakan kepada Abu Zur’ah perihal Abu Mu’awiyah, “Apakah dia menganut pandangan irja’?” Beliau menjawab, “Ya, dan dia mengajak orang lain [untuk menganutnya juga].” Ditanyakan lagi, “Apakah demikian juga dengan Syabbabah bin Sawwar?” Beliau menjawab, “Ya.” Ditanyakan lagi, “Apa [benar] dia telah mencabut pandangan-pandangannya?” Beliau menjawab, “Ya. Dia berkata: iman adalah perkataan dan amal perbuatan.”
Demikianlah, Imam Ahmad terang-terangan meninggalkan [riwayat] Syabbabah karena faktor aktivitasnya yang mengajak orang lain kepada pandangan irja’-nya. Sebaliknya, ‘Ali bin al-Madini tidak menilai pandangan irja’ Syabbabah serta kesendiriannya dalam meriwayatkan [yang gharib] sebagai sesuatu yang mempengaruhi kredibilitasnya. Sementara itu, mengenai kesalahan, adalah mustahil ada orang yang tidak pernah melakukannya.
Orang yang yang mau berhujjah dengan riwayatnya beranggapan bahwa pandangan irja’, seruannya kepada pandangan ini, serta kesendirian dalam meriwayatkan sesuatu, bukanlah cacat yang menjatuhkan kredibilitasnya, terlebih-lebih lagi terdapat informasi yang menyatakan bahwa Syabbabah telah meninggalkan pandangan irja’-nya itu.
[Sebaliknya], orang yang tidak mau berhujjah dengan haditsnya berpandangan bahwa semua itu merupakan faktor-faktor penghalang berhujjah dengan haditsnya. Baginya, semua itu menimbulkan keragu-raguan yang membuatnya menahan diri tidak berhujjah dengan haditsnya. Wallahu a’lam.

APAKAH PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN MUHADDITSIN DALAM JARH DAN TA’DIL SAMA DENGAN PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN FUQAHA’ DALAM MASALAH-MASALAH FIQH?
Perbedaan pendapat di kalangan mereka adalah sama dengan perbedaan pendapat para fuqaha’. Semua itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah ijtihad. Seorang hakim, bila ada seseorang yang bersaksi di hadapannya yang [isinya] menjatuhkan kredibilitas orang lain, maka dia berijtihad apakah kadar kesaksian yang diberikan itu berpengaruh ataukah tidak. Demikian pula seorang ahli hadits, jika dia ingin berhujjah dengan hadits yang diriyawatkan seseorang, sementara dia mendapatkan informasi [yang isinya] menjatuhkan kredibilitas (jarh) perawi tersebut, maka dia pun berijtihad apakah hal itu berpengaruh ataukah tidak. Informasi itu juga bisa diperdebatkan lagi, apakah di dalamnya mengandung penjelasan [atas dasar jarh-nya itu] ataukah tidak. Juga, apakah [muhaddits tadi] menuntut dipenuhinya jumlah tertentu dari orang-orang yang memberinya informasi jarh [ataukah tidak], sebagaimana yang biasa dilakukan oleh seorang ahli fiqh. Sama halnya pemberi informasi jarh tadi menyampaikannya secara langsung kepada muhaddits atau mengutipnya dari orang lain dengan menyebutkan jalur periwayatannya. Wallahu a’lam.

SYUJA’ BIN AL-WALID DALAM PANDANGAN PARA AHLI
Mengenai Syuja’ bin al-Walid Abu Badr ini, sebenarnya al-Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan haditsnya dalam kitab Shahih-nya; demikian pula banyak penyusun kitab hadits yang lain. Kedudukan perawi ini dalam ketekunan ibadah serta keshalihan pribadinya sudah sangat terkenal.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menyinggung perawi ini, dalam sebuah kisah yang beliau tuturkan, “Dia – yakni Syuja’ – selalu menyatakan kepada kami: ‘ini dituturkan (dzakarahu) oleh Sulaiman bin Mahran’, dan dia tidak pernah menyatakan: ‘al-A’masy berkata (qaala)’. [Juga ia menyatakan]: ini dituturkan oleh Mughirah; dituturkan oleh Sa’id bin Abu ‘Arubah; dan nyaris tidak pernah menyatakan kepada kami: ‘telah menceritakan kepada kami (haddatsana)’. Lalu, setelah itu dia pernah menyatakan kepada kami: ‘si fulan telah menceritakan kepada kami (haddatsana)’; Musa bin ‘Uqbah memberitahu kami (akhbarana); dan dia tidak pernah menyatakan kepada kami kecuali: ‘ini dituturkan oleh’ (dzakarahu)’.
Waki’ bin al-Jarrah pernah ditanya tentang Abu Badr Syuja’ bin al-Walid, maka beliau menjawab, “Dia itu tetangga kami disini. Kami tidak pernah mengetahuinya [berkenaan] dengan ‘Atha’ bin as-Saa’ib, tidak juga dengan Mughirah. Namun, orang lain mengatakan bahwa dia meriwayatkan dari dua orang itu. Diambil atas orang ini riwayat hadits Salman al-Farisi radhiya-llahu ‘anhu tentang kebencian kepada bangsa Arab, padahal ini adalah hadits munkar. Diambil pula atasnya bahwa dia me-marfu’-kan hadits riwayat Syuraik dari Abu Hushain tentang al-hashaat dan syair yang dilantunkannya, padahal itu adalah riwayat mauquf.
Orang yang mau berhujjah dengan riwayatnya tidak memandang hal-hal tersebut sebagai penghalang untuk menerima riwayatnya. Mungkin bisa dikatakan bahwa belakangan dia ingat pernah mendengar langsung (as-simaa’) sebuah riwayat dan kemudian menyatakan hal itu secara terbuka (sharraha bi at-tahdits); atau perawi ini kadang bersemangat lalu menyebutkan sanad-nya dan kadang malas sehingga tidak menyebutkannya; dia mungkin juga kadang diam tidak menyebutkan nama seseorang dan justru menyebutkannya di lain waktu sesuai situasi dan kondisi.
Sementara itu, orang yang tidak mau berhujjah dengannya berpandangan bahwa semua itu sudah cukup membuat Syuja’ disingkirkan [riwayatnya], walau belum secara pasti ada jarh untuknya, sehingga dia pun memilih untuk menahan diri [dari berhujjah dengan riwayatnya]. Wallahu a’lam.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN “SI FULAN ITU BUKAN APA-APA (LAYSA BI SYAI’IN)”?
Perkataan para ahli hadits bahwa si fulan itu bukan apa-apa (laysa bi syai’in), atau terkadang mereka mengatakan bahwa haditsnya bukan apa-apa (laysa haditsuhu bi syai’in), maknanya dapat dimaknai dengan dua cara. [Pertama], jika orang yang dikomentari seperti itu ternyata juga dinyatakan tsiqah oleh kritikus lain dan dia juga mau berhujjah dengannya, maka pernyataan tadi mungkin dapat diartikan bahwa haditsnya bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai hujjah, namun menurutnya haditsnya boleh dicatat untuk ditelusuri jalur lainnya (lil i'tibaar) serta dapat dijadikan sebagai penguat (lil istisyhaad), dan lain sebagainya.
[Kedua], jika orang yang dikomentari seperti itu dikenal sebagai perawi yang lemah (dha’if) dan tidak ada seorang imam ahli hadits pun yang menilai baik terhadap dirinya, maka pernyataan tadi dapat diartikan bahwa haditsnya bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai hujjah, tidak juga untuk ditelusuri jalur lainnya, tidak dapat pula dipakai sebagai penguat, dan haditsnya ini dikelompokkan kepada hadits matruuk. Wallahu a’lam.


STANDAR PERIWAYATAN HADITS MENURUT AL-BUKHARI DAN MUSLIM (SYURUTH ASY-SYAIKHAINI)
Mengenai standar riwayat hadits menurut mereka berdua, para imam ahli hadits menyatakan bahwa tidak ada informasi apapun dari keduanya bahwa mereka berkata, “Saya mensyaratkan untuk mengeluarkan hadits dalam kitab saya ini apa-apa yang memenuhi syarat [menurut] si fulan.” Hanya saja, standar seperti itu diketahui oleh orang-orang yang menekuni secara detail kitab mereka dan menelusuri riwayat-riwayat yang dikeluarkan di dalamnya [satu demi satu].
[Mengenai pertanyaan Anda, yakni tentang kedudukan orang-orang yang statusnya kontroversial, dikaitkan dengan kaidah mereka gariskan dalam periwayatan hadits, bahwa sebuah hadits [yang bisa diterima] haruslah diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan dhabith dari sumber perawi yang ‘adil dan dhabith juga, sehingga sampai kepada Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wasallam]
Maka, ada beberapa jawaban yang diberikan oleh para imam ahli hadits, juga [oleh] orang yang menyatakan bahwa “ini hadits musnad yang bersambung sanad-nya dengan periwayatan oleh perawi yang ‘adil lagi dhabith dari perawi lain yang juga ‘adil lagi dhabith, demikian seterusnya sampai akhir sanad-nya”. Jika kepada orang ini ditanyakan, “Beliau telah men-takhrij hadits dari si fulan ini, padahal ada yang mengomentari status perawi ini begini begitu?” Dijawab, “Perawi ini, menurut pandangan orang yang mau berhujjah dengan haditsnya dalam kitab shahih-nya, adalah perawi yang ‘adil lagi dhabith.” Jawaban serupa akan diberikan perihal para perawi yang dikomentari seperti itu. Wallahu a’lam.
‘Alaihi as-salaam [salam penutup dari Imam al-Mundziri kepada si penanya].
Akhirnya, segala puji hanya milik Allah, sebenar-benarnya pujian. Shalawat serta salam semoga terlimpah bagi pribadi pilihan diantara makhluk-Nya, Muhammad, sang Nabi dan hamba-Nya; demikian pula bagi keluarga serta sahabat beliau sepeninggalnya. Semoga Allah melimpahkan keselamatan sebanyak-banyaknya. Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia lah sebaik-baik penolong.[]


Selesai dialihbahasakan oleh M. Alimin Mukhtar, pada: Dzulqa’dah 1429 H – Nopember 2008 M

Diizinkan bagi siapa saja untuk menyalin naskah ini dan menyebarkannya, dengan syarat tidak mengubah keaslian dan tidak untuk diperjual belikan. Semoga bermanfaat.