Terjemah "al-Ikhlash wan Niyah", karya Ibnu Abid Dunya


بسم الله الرحمن الرحيم

MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi Rasulullah, keluarga dan sahabatnya, wa ba'du.
Naskah yang tengah Anda baca ini merupakan terjemahan dari kitab al-Ikhlash wa an-Niyah, karya al-Hafizh Abu Bakr bin Abid Dunya al-Baghdadi rahimahullaah. Ini merupakan sebuah karya ringkas yang memuat berbagai riwayat seputar masalah keikhlasan dan niat.
Dalam pengalihbahasaan, kami membiarkan karya ini seperti aslinya, tanpa modifikasi dalam susunan maupun model penyajian. Satu-satunya penyesuaian yang kami lakukan adalah memangkas rangkaian sanad yang umum menghiasi kitab-kitab klasik. Selain itu, jika ada yang perlu dijelaskan, kami berikan uraian seperlunya dengan memberi inisial [pen] di belakangnya.
Penulis kitab ini adalah seorang ulama' hadits yang hidup di Baghdad pada abad ke-3 Hijiriyah. Menurut catatan beliau lahir sekitar tahun 208 H, dan wafat pada tahun 281 H. Periode ini masih termasuk zaman keemasan khilafah 'Abbasiyah, dan sebagian darinya masih semasa dengan kehidupan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.
Nama lengkap beliau adalah 'Abdullah bin Muhammad bin 'Ubaid bin Sufyan al-Qurasyi al-Umawi, maula Bani Umayyah, Abu Bakr, Ibnu Abi ad-Dunya, al-hafizh, al-Baghdadi. Termasuk perawi Ibnu Majah dalam Tafsir-nya. Menurut Ibnu Hajar, beliau adalah ulama' yang shaduuq dan banyak menulis karya-karya termasyhur.
Selain karya yang terjemahannya ada di tangan Anda sekarang, al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya banyak menulis risalah-risalah ringkas dalam tema spesifik seputar akhlaq dan adab. Rata-rata dalam ukuran kecil jika dibandingkan dengan berbagai karya di bidang hadits yang umum ditulis di zamannya. Kitab al-Ikhlash wa an-Niyah sendiri berisi 56 riwayat, ditambah 18 riwayat dari mustadrak karya al-Hafizh Ibnu Rajab dan 6 riwayat lagi dari mustadrak karya as-Sayyid Murtadha az-Zabidy. Jadi, total berjumlah 80 riwayat.
Akhir kata, selamat membaca dan menelaah isi buku kecil ini. Semoga usaha sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kita bersama, dan menjadi jalan untuk hidupnya kembali sunnah Rasulullah di tengah-tengah kita. Amin.
Wa la haula wa la quwwata illa billah.

Sumbersekar, Syawwal 1428 H
Penerjemah

[*]

KEIKHLASAN DAN NIAT
1 ― Dari Tsauban maula Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam berkata: "Suatu hari saya menghadiri majelis Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, disana beliau bersabda, 'Beruntunglah orang-orang yang mukhlis, merekalah lentera-lentera petunjuk (hidayah) yang mana segala fitnah yang gelap-gulita akan tersingkir dari mereka'."
2 ― Abu 'Abd an-Nabaji berkata, "Ada lima perkara yang dengannya amal menjadi sempurna, yaitu: iman yang disertai dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), mengenal kebenaran (al-haqq), mengikhlaskan amal semata-mata untuk Allah, beramal berlandaskan Sunnah, dan memakan makanan yang halal. Jika satu saja hilang, maka amal tidak akan diterima. Sebab, jika engkau mengenal Allah tetapi tidak mengenal kebenaran, maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal kebenaran tetapi tidak mengenal Allah, maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal Allah dan mengenal kebenaran tetapi tidak mengikhlaskan amal (semata-mata bagi-Nya), maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal bagi-Nya semata tetapi amalmu tidak berdasarkan Sunnah, maka tidak ada gunanya; jika keempat hal tersebut sudah lengkap tetapi makanan yang engkau makan tidak halal maka tidak ada gunanya juga."
3 ― Ar-Rabi' bin Anas berkata, "Pertanda agama adalah ikhlas semata-mata untuk Allah, dan pertanda ilmu adalah takut kepada-Nya."
4 ― Abu Tsumamah berkata, "Al-Hawariyyun (para sahabat Nabi 'Isa) bertanya kepada Nabi 'Isa 'alaihis salam, 'Apakah (yang dimaksud dengan) ikhlas semata-mata bagi Allah itu?' Beliau menjawab, 'Yaitu orang yang mengerjakan suatu amal, dia tidak ingin dipuji atas amalnya itu oleh seorang manusia pun.' Mereka bertanya lagi, 'Lalu, siapakah (yang disebut) orang yang memberi nasihat semata-mata bagi Allah itu?' Beliau menjawab, 'Yaitu orang yang menunaikan hak Allah sebelum hak manusia. Jika kepadanya dihadapkan dua perkara, satu untuk dunia dan lainnya untuk akhirat, maka ia memulainya dengan urusan Allah sebelum urusan dunia.'"
5 ― 'Atha' bin as-Saa'ib berkata, "Telah sampai berita kepadaku bahwa 'Ali bin Abi Thalib berkata, 'Amal shalih adalah amal yang mana engkau tidak ingin satu pun memujimu atas amal itu selain Allah ta'ala'."
6 ― 'Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu 'anhu berkata, "Amal yang disertai taqwa itu tidak bisa dianggap sedikit, terlebih-lebih lagi amal yang diterima."
7 ― Salah seorang putra Ibnu Mas'ud berkata, "Beruntunglah orang yang mengikhlaskan ibadah dan doanya hanya untuk Allah; orang yang hatinya tidak tersibukkan oleh apa yang dilihat oleh matanya; orang yang dizikirnya tidak terlupakan oleh apa yang didengar oleh telinganya; dan orang yang jiwanya tidak menjadi sedih atas apa yang diberikan Allah kepada orang selainnya."
8 ― 'Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Terkabulnya permohonan itu diiringi dengan keikhlasan, keduanya tak terpisahkan."
9 ― Muhammad bin al-Walid bercerita, "'Umar bin 'Abdul 'Aziz melewati seseorang yang memegang kerikil di tangannya dan memain-mainkannya, seraya berdoa, 'Ya Allah, kawinkanlah aku dengan bidadari yang bermata jeli', maka 'Umar pun bangkit mendekati orang itu dan berkata, 'Kamu adalah seburuk-buruk orang yang berbicara. Mengapa tidak kau buang kerikil itu dan kau ikhlaskan doa semata-mata untuk Allah?'"
10 ― 'Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu 'anhu berkata, "Jadilah kalian orang yang mengkhawatirkan diterimanya amal kalian melebihi kekhawatiran kalian terhadap (bagaimana) amal itu sendiri. Tidakkah kalian mendengar firman Allah, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa."? (QS al-Maidah: 27)
11 ― Ibrahim (bin Yazid an-Nakha'i) berkata, "Sesungguhnya seseorang mengerjakan suatu amal yang baik menurut pandangan orang lain atau amal yang tidak dimaksudkan untuk mendapatkan wajah Allah, bisa saja ia mendapatkan kebencian dan aib di mata manusia, sehingga hal itu benar-benar menjadi aib baginya. Dan sesungguhnya seseorang mengerjakan suatu amal atau perkara yang tidak disukai orang lain dimana ia bermaksud mendapatkan wajah Allah dengannya, bisa saja ia mendapatkan kebencian dan kebaikan dari manusia."
12 ― Muhammad bin Wasi' berkata, "Ketika seseorang berfokus hanya kepada Allah, maka Allah akan mengarahkan hati para hamba-Nya (yang lain) kepadanya."
13 ― 'Abdul Malik bin 'Attab al-Latti bercerita, "Aku melihat 'Amir bin 'Abdu Qays dalam mimpi, maka kutanyakan kepadanya, 'Amal apakah yang Anda dapati sebagai yang paling utama?' Beliau menjawab, 'Amal yang dengannya kuharapkan wajah Allah.'"
14 ― Abu Hazim berkata, "Ketika hati telah diluruskan, maka dosa-dosa besar akan diampuni. Dan manakala seorang hamba berniat kuat (ber-'azam) untuk meninggalkan dosa-dosa besar, maka (saat) terbukanya pintu ma'rifat akan datang kepadanya."
15 ― Seorang bekas budak (maula) dari Ibnu Muhayriz bercerita, "Saya bersama Ibnu Mauhayriz masuk ke sebuah kios milik seorang penjual kain untuk membeli sesuatu darinya, lalu dia menaikkan harga penawaran sementara dia tidak mengenali beliau. Aku pun mengisyaratkan kepadanya bahwa beliau adalah Ibnu Muhayriz. Penjual itu kemudian berkata, 'Keluar kamu! Sesungguhnya kami berjual beli dengan harta kami, bukan dengan agama kami.'"
16 ― Sulaimain al-Khawwash (Abu Ibrahim) lewat di dekat Ibrahim bin Adham, yang saat itu berada di tengah-tengah sekelompok orang yang telah menjadikan beliau sebagai tamu mereka dan mereka pun memuliakannya. Maka, beliau berkata, "Sebaik-baik sesuatu adalah yang seperti ini, wahai Abu Ibrahim, jika saja bukan merupakan penghormatan karena agama."
17 ― Yahya bin Abi Katsir berkata, "Ada seorang malaikat yang naik ke langit membawa amal seorang hamba dengan girang dan berseri-seri, tatkala ia sampai di hadapan Rabb-nya maka Allah pun berfirman, 'Bawa dia ke neraka Sijjin, karena Aku tidak menginginkan (amal) seperti ini.'"
18 ― Dari Dhamrah bin Habib: Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya para malaikat naik membawa amal salah seorang hamba Allah, sedang mereka menilainya sebagai sangat banyak dan menganggapnya sangat bersih, sehingga ketika mereka sampai di tempat yang dikehendaki Allah dari kekuasaan-Nya, maka Allah mewahyukan kepada mereka, 'Sesungguhnya kalian adalah penjaga amal hamba-Ku sedangkan Aku adalah Pengawas atas apa yang ada di dalam jiwanya, sesungguhnya hamba-Ku yang ini tidak mengikhlaskan amalnya hanya untuk-Ku maka letakkan ia di neraka Sijjin.'" Rasulullah melanjutkan sabdanya, "Para malaikat juga naik membawa amal salah seorang hamba Allah, sedang mereka menilainya sebagai sangat sedikit dan mereka pun meremehkannya, sehingga ketika mereka sampai di tempat yang dikehendaki Allah dari kekuasaan-Nya, maka Allah mewahyukan kepada mereka, 'Sesungguhnya kalian adalah penjaga amal hamba-Ku sedangkan Aku adalah Pengawas atas apa yang ada di dalam jiwanya, maka lipat-gandakan amalnya dan letakkan ia di surga 'Illiyyin (puncak tertinggi)."
19 ― Muhammad bin Abi Manshur bercerita, bahwa ada seseorang dari Bani Israil yang beribadah kepada Allah di padang gurun selama 40 tahun, maka malaikat pun membawa naik amalnya ke langit tetapi tidak diterima, maka malaikat itu pun bertanya, "Demi keagungan-Mu wahai Rabb kami, kami tidaklah membawa naik amalnya kecuali dalam keadaan sembunyi-sembunyi?" Allah kemudian berfirman, "Engkau benar wahai malaikat-Ku, akan tetapi dia (beribadah seperti itu) adalah agar diakui kedudukannya (oleh orang lain)."
20 ― Fudhalah bin 'Ubaid berkata, "Jika saja aku bisa mengetahui bahwa sesungguhnya Allah telah menerima amalku seukuran biji sawi seberat satu dzarrah saja, hal itu lebih aku sukai dibanding dunia seisinya, sebab Allah berfirman, "...sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertaqwa..." (QS al-Maidah: 27).
21 ― Isma'il bin Katsir as-Sulaimi bercerita, "Pernah ditanyakan kepada 'Atha' as-Sulaimi, 'Apakah yang dimaksud dengan kehati-hatian (al-hadzar) itu?' Beliau menjawab, 'Menjaga diri agar jangan sampai suatu amal (dikerjakan) bukan karena Allah.'"
22 ― Al-Fudhail bin 'Iyadh mengomentari ayat ini, "...supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya..." (QS Huud: 7 dan al-Mulk: 2), maksudnya adalah amal yang paling bersih (khalish) dan paling benar (shawaab). Sesungguhnya suatu amal, jika ia bersih namun tidak benar maka tidak diterima; jika ia benar tetapi tidak bersih, maka tidak diterima juga; sampai amal itu menjadi bersih dan benar (baru bisa diterima). Amal yang bersih adalah yang hanya diperuntukkan bagi Allah, sedang amal yang benar adalah yang sesuai dengan Sunnah."
23 ― 'Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu 'anhu berkata, "Barangsiapa yang lahiriahnya lebih berat dibanding batiniahnya, maka timbangan amalnya akan ringan pada hari kiamat nanti; dan barangsiapa yang batiniahnya lebih berat dibanding lahiriahnya, maka timbangan amalnya akan berat pada hari kiamat nanti."
24 ― Zubaid (bin al-Harits al-Iyaami) berkata, "Barangsiapa yang sarirah-nya lebih utama daripada 'alaniyah­-nya maka itulah keutamaan; barangsiapa yang sarirah-nya sama dengan 'alaniyah-nya maka itulah pertengahan; dan barangsiapa yang sarirah-nya lebih rendah daripada 'alaniyah-nya maka itulah perbuatan aniaya."
***Sarirah artinya niat, rahasia, isi jiwa, atau segala sesuatu yang tersembunyi dan terbetik di hati. Sedang 'alaniyah adalah apa yang tampak dan terbuka dari seseorang, yakni manifestasi lahiriah dari sarirah-nya. [pen]
25 ― Ma'qil bin 'Ubaidillah al-Jazari berkata, "Dulu, para ulama' jika mereka berjumpa maka akan saling berwasiat dengan kalimat-kalimat ini, dan jika saling berjauhan maka mereka akan saling berkirim surat dengan kalimat-kalimat ini pula, yaitu: "Barangsiapa yang memperbaiki sarirah-nya maka Allah akan memperbaiki 'alaniyah-nya; barangsiapa yang memperbaiki apa yang ada antara dia dengan Allah maka Allah akan mencukupi baginya apa yang ada antara dia dengan segenap manusia lainnya; dan barangsiapa yang sangat memperhatikan urusan akhiratnya maka Allah akan mencukupi baginya urusan dunianya."
26 ― Bilal bin Sa'ad berkata, "Janganlah engkau menjadi wali Allah dalam keadaan 'alaniyah, sementara engkau menjadi musuh-Nya dalam keadaan sarirah."
27 ― 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berkata, "Wahai orang-orang yang menyembunyikan amalnya, ketahuilah bahwasannya di sisi Allah ada satu pertanyaan yang akan membongkar segala aib, Allah berfirman, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu." (QS al-Hijr: 92-93)
28 ― Bilal bin Sa'ad berkata, "Janganlah kamu menjadi manusia berwajah dua dan berlidah dua; engkau menampakkan diri di hadapan orang lain agar mereka memujimu, sedangkan hatimu sebenarnya adalah pendurhaka."
29 ― Ar-Rabi' (bin Anas al-Bakri) bercerita, "Suatu saat al-Hasan (al-Bashri) memberi nasihat, maka ada seorang laki-laki yang menangis tersedu-sedu, kemudian al-Hasan berkata, 'Sungguh, Allah pasti akan menanyaimu pada hari kiamat nanti, apa yang kau kehendaki dengan (tangisanmu) ini.'"
30 ― Al-Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Amal yang paling baik adalah yang paling tersembunyi, (karena) ia paling kuat mencegah godaan syetan dan paling jauh dari riya'."
31 ― Rakb al-Mishri berkata, "Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Beruntunglah orang yang baik pekerjaannya, shalih sarirah-nya, mulia 'alaniyah­-nya, dan menjauhkan orang lain dari kejelekan dirinya.'"
32 ― 'Ashim (bin Bahdalah) bercerita, "Apabila Abu Wa'il (Syaqiq bin Salamah al-Asadi) menyendiri, maka beliau menangis. Ketika bersujud, aku mendengar beliau berdoa, 'Tuhanku, kasihilah aku; Tuhanku, maafkan aku; Tuhanku, bila Engkau memaafkan aku, maka itu adalah karunia-Mu; dan bila Engkau menyiksaku maka Engkau tidaklah zhalim dan terlambat.' Kemudian beliau menangis tersedu-sedu seperti wanita yang ditinggal mati anaknya. Seandainya beliau diberi seluruh dunia lalu diminta untuk menangis, sementara ada satu orang saja yang melihatnya, niscaya beliau tidak akan mau melakukannya."
33 ― Hilal bin Yusaf berkata, "Nabi 'Isa bin Maryam 'alaihis salam pernah bersabda, 'Jika tiba hari puasa salah seorang dari kalian, maka minyakilah jenggot kalian dan basahi bibir kalian, sehingga orang menyangka bahwa kalian tidak berpuasa. Bila memberi sesuatu dengan tangan kanan, maka sembunyikan agar tidak diketahui oleh tangan kiri. Jika shalat di rumah, maka pasanglah tabir; karena sesungguhnya Allah membagikan sanjungan (bagi hamba-Nya) sebagaimana Dia membagikan rezeki.'"
34 ― Abu Hazim berkata, "Apa yang tersembunyi itu lebih kuat dan berkuasa terhadap apa yang terbuka, dibandingkan kekuatan dan kekuasaan apa yang terbuka terhadap apa yang tersembunyi. Perbuatan itu lebih kuat dan berkuasa terhadap perkataan, dibandingkan kekuatan dan kekuasaan perkataan terhadap perbuatan."
35 ― Ma'mar (bin Rasyid) berkata, "Ada seseorang yang menangis di dekat al-Hasan (al-Bashri), maka beliau berkata, 'Sungguh, dulu salah seorang dari mereka (para sahabat) menangis di samping temannya, sedang temannya itu tidak mengetahuinya."
36 ― Muhammad bin Wasi' berkata, "Sungguh saya telah menjumpai banyak tokoh. Salah satu dari mereka bersama istrinya, kepala mereka berdua berada diatas satu bantal yang sama. Sungguh bagian bantal di bawah pipinya telah basah oleh air matanya, namun istrinya tidak menyadarinya. Demi Allah, sungguh aku telah mendapati banyak tokoh. Salah satu dari mereka berdiri dalam barisan (shalat), lalu air mata mengalir membasahi pipinya, namun hal itu tidak membuat teman di sampingnya menyadarinya."
37 ― Abu at-Tayyaah berkata, "Ada seseorang yang beribadah dengan tekun selama dua puluh tahun, tapi tetangganya tidak mengetahuinya."
38 ― 'Ubaidullah bin 'Abdullah berkata, "Kebajikan tidak bisa diketahui, baik dalam diri 'Umar maupun Ibnu 'Umar radhiya-llahu 'anhuma, sampai mereka mengatakannya atau mengerjakannya."
39 ― Al-Hasan berkata, "Ada seseorang yang beribadah dengan tekun selama dua puluh tahun, tapi tetangganya tidak mengetahuinya."
Hammad (bin Zaid) berkata, "Boleh jadi, salah seorang dari kalian shalat semalam suntuk atau sebagian malam saja, lalu di pagi harinya hal itu sudah panjang lebar dibicarakan tetangganya."
40 ― Al-Hasan berkata, "Ada seseorang yang mana suatu kaum sungguh-sungguh telah berkumpul mengerumuninya, atau mereka berkumpul bersama, seraya mengkaji (suatu persoalan). Lalu, air matanya hendak keluar, maka ia pun menahannya. Lalu, air matanya hendak keluar lagi, dan ia menahanya. Lalu, air mata itu hendak keluar sekali lagi, dan ia menahannya. Apabila ia khawatir lepas kendali, maka segera ia bangkit (meninggalkan majlis)."
41 ― Hammad bin Zaid berkata, "Suatu kali Ayyub menangis, dan kami menutup mulutnya. Maka beliau berkata, 'Sepertinya pilek tiba-tiba saja datang (kepadaku).' Di saat yang lain, beliau menangis lagi dan kami mencela tangisannya, maka beliau berkata, 'Sungguh, orang itu kalau sudah tua, banyak keluar air liurnya.'"
***Mungkin, yang dimaksud perkataan Ayyub yang terakhir itu adalah beliau tampak menelan ludah karena mulai menangis. [pen]
42 ― 'Abdullah bin al-Mubarak berkata: seseorang memberitahuku: dari Abu as-Salil: bahwa suatu saat beliau sedang menyampaikan hadits atau membaca al-Qur'an, dan tiba-tiba ingin menangis, maka beliau mengalihkannya menjadi tertawa.
43 ― Dari Kahmas bin al-Hasan, yang diriwayatkan dari sebagian murid terdekatnya: bahwa ada seseorang yang menarik nafas berat di dekat 'Umar bin al-Khaththab radhiya-llahu 'anhu, seakan-akan dia menampak-nampakkan kesedihannya, maka beliaupun meninjunya; atau menamparnya.
44 ― Dari seseorang: dari al-Hasan (al-Bashri): bahwa beliau tengah menyampaikan hadits pada suatu hari, atau sedang memberikan nasihat, lalu ada seseorang yang menarik nafas berat di majlis tersebut. Maka, beliaupun berkata, "Jika hal itu (engkau lakukan) karena Allah, maka sungguh engkau telah menonjolkan dirimu sendiri, dan jika karena selain Allah maka celakalah engkau."
45 ― Al-Hasan berkata, "Ada seseorang yang benar-benar mempunyai tamu yang berkunjung kepadanya, lalu ia shalat sepanjang malam atau pada sebagian besar malam, shalatnya itu tidak diketahui oleh tamunya itu."
46 ― Al-Hasan berkata, "Ada seseorang yang mempunyai suatu waktu khusus dimana ia menyendiri dan mengerjakan shalat, lalu ia berpesan kepada keluarganya, 'Jika ada orang yang mencariku, katakan kepadanya (tentang aku): dia sedang ada keperluan.'"
47 ― 'Abdul Mu'min Abu 'Abdillah berkata, "Di tokonya, al-Hassan bin Abi Sinan mempunyai satu (bilik yang diberi) tirai. Beliau mengeluarkan bakul tempat alat hitung dan menyebarkan isinya. Lalu, dinaikkannya seorang bocah pembantu ke atas (untuk mengawasi) pintu, seraya berpesan: 'jika engkau melihat seseorang tampak menuju kemari dan menurutmu ia ingin mencariku, maka beritahu aku.' Kemudian beliau mulai mengerjakan shalat. Jika ada seseorang yang datang, maka bocah pembantu itu memberitahunya, dan beliau segera duduk seolah-olah sedang melakukan penghitungan."
48 ― Abu Muhammad 'Abdullah bin 'Isa berkata: ayahku berkata: "Hassan bin Abu Sinan pernah mengunjungi masjid Malik bin Dinar. Tatkala Malik sudah mulai berbicara, maka Hassan pun menangis sehingga air matanya mengalir (membasahi pangkuannya), tanpa terdengar suaranya."
49 ― Muhammad bin 'Abdillah az-Zarrad berkata, "Sepertinya Hassan bin Abu Sinan pernah membeli anggota keluarga seseorang (budak) berikut semua yang berada di dalam tanggungan nafkahnya, kemudian beliau merdekakan seluruhnya. Lalu beliau tidak mau memperkenalkan dirinya kepada mereka dan tidak pula memberitahu mereka siapa beliau sebenarnya."
50 ― Abu ath-Thayyib Musa bin Yasar berkata, "Aku menemani Muhammad bin Wasi' dari Makkah sampai ke Bashrah. Suatu ketika beliau pernah shalat semalam suntuk sambil duduk diatas kendaraannya, dengan menggunakan isyarat gerakan kepala. Beliau menyuruh penghalau untanya berada di belakangnya dan mengeraskan suaranya, sehingga tidak ada yang terpikir (bahwa beliau sedang shalat)."
***Seorang penghalau unta (al-haady) biasanya menuntun unta dengan disertai suara-suara nyanyian. [pen]
51 ― Muhammad bin Wasi' berkata, "Ada seseorang yang menangis selama 20 tahun, dan istrinya selalu bersamanya, tetapi ia tidak pernah mengetahuinya."
52 ― Maimun bin Mahran berkata, "Suatu hari 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berbicara, dan di sisinya ada sekelompok orang dari teman-teman beliau. Beliau memberikan perkataan dan nasihat baik yang tepat sekali, lalu dilihatnya salah seorang yang duduk mendengarkannya bercucuran air matanya, kemudian air matanya berhenti mengalir. Saya pun berkata kepada beliau, 'Wahai amirul mu'minin, lanjutkan kata-kata Anda, karena saya sungguh berharap agar Allah memberikan anugrah kepada siapa saja yang mendengarnya (langsung) atau pun sampai kepadanya (kata-kata ini).' Beliau menjawab, 'Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya dalam perkataan itu terdapat fitnah, sedangkan banyak bekerja itu lebih baik bagi seorang mu'min dibanding berbicara.'"
53 ― Ibrahim berkata, "Adalah mereka (para ulama'), jika sudah berkumpul, tidak suka bila seseorang mengungkapkan (kata-kata) terbaik yang dimilikinya."
54 ― Dari as-Sirry bin Yahya: sesungguhnya 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berkhutbah. Beliau memuji Allah, dan kemudian tercekat oleh (keinginan untuk) menangis. Lalu beliau berkata, "Wahai manusia, perbaikilah akhirat kalian, niscaya Allah akan memperbaiki dunia kalian. Benahilah sarirah kalian, niscaya Allah akan membenahi 'alaniyah kalian. Demi Allah, sungguh seorang hamba itu, tiadalah antara dirinya dengan Adam seorang leluhur pun kecuali ia telah mati, (dan dia sendiri) sungguh punya akar kematian dalam dirinya."
"Punya akar kematian" maksudnya seperti "punya akar kedermawanan", yakni punya bibit dan turunan dalam hal tersebut. Lebih tepatnya lagi, "kematian itu tidak bisa dihindari", yakni sudah menjadi bakat turunan Adam dan anak cucunya.
55 ― Abu al-'Aliyah berkata, "Sahabat-sahabat Muhammad shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam berkumpul (mengelilingi) aku, lalu mereka berkata, 'Hai Abu al-'Aliyah, jangan kau kerjakan suatu amal yang kautujukan kepada selain Allah, sehingga Allah menjadikan pahalanya ada pada (tanggungan) siapa yang engkau kehendaki itu. Hai Abu al-'Aliyah, jangan berserah diri kepada selain Allah, sehingga Allah menyerahkan dirimu kepada siapa yang engkau serahi itu.'"
56 ― Dari Ibnu Muhayriz: sesungguhnya 'Umar bin al-Khaththab radhiya-llahu 'anhu diundang menghadiri sebuah walimah (pesta pernikahan). Setelah selesai makan, beliau pun keluar seraya berkata, "Sungguh aku berharap tidak pernah menghadiri jamuan makan ini." Ada yang bertanya kepada beliau, "Mengapa demikian, wahai amirul mu'minin?" Beliau menjawab, "Sungguh, aku yakin bahwa temanmu itu tidaklah menyelenggarakannya kecuali karena ingin pamer (riya')."


[*]

Tambahan Materi (Al-Mustadrak) dari Kitab Jami' Al-'Ulum Wa Al-Hikam yang Menjelaskan 50 Hadits dari Kitab Jawami' Al-Kalim Karya Ibnu Rajab Al-Hanbali
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullaah berkata:
57 ― Ibnu Abid Dunya men-takhrij hadits dari 'Umar radhiya-llahu 'anhu: Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Bahwa orang-orang yang saling membunuh itu akan dibangkitkan (di hari kiamat nanti) menurut niatnya masing-masing."
58 ― Imam Ahmad dan Ibnu Majah men-takhrij hadits dari Zaid bin Tsabit radhiya-llahu 'anhu: Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang dunia menjadi obsesinya (hamm), maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefaqirannya tampak di depan matanya, dan dunia ini tidak akan mendatanginya kecuali bagian yang sudah ditetapkan untuknya. Dan, barangsiapa yang akhirat menjadi motivasinya (niyyat), maka Allah akan menyatukan urusannya, menjadikan kekayaannya ada di dalam hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tunduk."
Ini adalah redaksi dari Ibnu Majah. Adapun redaksi Imam Ahmad sedikit berbeda. Ibnu Abid Dunya juga men-takhrij-nya, dan redaksinya adalah: "barangsiapa yang niatnya adalah akhirat, dst."
59 ― Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari 'Umar radhiya-llahu 'anhu dengan sanad yang terputus (munqathi'), beliau berkata, "Tidak ada amal bagi orang yang tidak mempunyai niat, dan tidak ada pahala bagi orang yang tidak mengharapkan Allah."
Maksudnya, tidak ada pahala bagi siapa saja yang tidak mengharapkan pahala amalnya hanya di sisi Allah ta'ala.
60 ― Dengan isnad yang lemah dari Ibnu Mas'ud radhiya-llahu 'anhu, beliau berkata, "Perkataan itu tidak bermanfaat kecuali dengan amal perbuatan. Perkataan dan amal perbuatan itu tidak bermanfaat kecuali dengan niat. Perkataan dan amal perbuatan itu tidak bermanfaat kecuali yang selaras dengan Sunnah."
61 ― Yahya bin Abi Katsir berkata, "Pelajarilah niat, karena sesungguhnya ia lebih mantap dibandingkan dengan amal perbuatan."
62 ― Zubaid (bin al-Harits bin 'Abdul Karim) al-Yaami berkata, "Aku sungguh menginginkan agar mempunyai niat dalam segala hal, bahkan dalam makan dan minum."
63 ― Beliau juga berkata, "Berniatlah dalam segala hal yang engkau maksudkan untuk kebaikan, bahkan ketika engkau hendak pergi ke kamar kecil."
64 ― Dawud (bin Nashir) ath-Tha'i berkata, "Saya melihat semua kebajikan itu disatukan oleh niat yang baik. Cukuplah bagimu kebaikan dengan niat itu. Dan jika engkau......."
***Dalam naskah asli yang kami miliki dari kitab ini, kata-katanya terpotong dan tidak jelas apa maksudnya. [pen]
65 ― Sufyan ats-Tsauri berkata, "Aku tidak pernah menangani sesuatu yang lebih berat bagiku selain niatku sendiri, sebab ia terkadang mengalahkanku."
66 ― Yusuf bin Asbath berkata, "Membersihkan niat dari hal-hal yang merusak itu lebih berat bagi para 'amilin bila dibandingkan dengan ber-ijtihad sekian lama."
***Istilah 'amilin biasanya merujuk kepada orang yang berkomitmen untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya dengan keteguhan sedemikian rupa. Dengan demikian, istilah ijtihad dalam konteks ini merujuk kepada upaya sungguh-sungguh dalam mengamalkan ilmu atau sunnah. [pen]
67 ― Pernah ditanyakan kepada Nafi' bin Jubair, "Tidakkah Anda menyaksikan jenazah?" Beliau menjawab, "Tunggu sebentar, aku mau berniat dulu." Beliau berpikir sejenak, lalu berkata, "Ayo, berangkat."
68 ― Mutharrif bin 'Abdullah berkata, "Ke-shalih-an hati itu dengan ke-shalih-an amal, dan ke-shalih-an amal itu dengan ke-shalih-an niat."
69 ― Sebagian ulama' salaf berkata, "Siapa yang sangat berharap amalnya sempurna, maka hendaklah ia memperbaiki niatnya, karenan sesungguhnya Allah ta'ala memberi pahala kepada seorang hamba ketika niatnya baik, bahkan dalam suapan (makanannya)."
70 ― Ibnu al-Mubarak berkata, "Sangat boleh jadi amal yang kecil dibuat besar oleh niatnya, dan sangat boleh jadi pula amal yang besar dibuat kecil oleh niatnya."
71 ― Ibnu 'Ajlaan berkata, "Amal itu tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga hal: taqwa karena Allah, niat yang baik, dan ketepatan."
***Maksudnya, ketepatan dalam mengikuti jalan sunnah. [pen]
72 ― Al-Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Darimu, Allah ta'ala hanya menginginkan niat dan kehendak (iraadah)."
73 ―  Yusuf bin Asbath berkata, "Mendahulukan (itsar) Allah ta'ala itu lebih afdhal dibanding jihad fi sabilillah."
Semua riwayat ini di-takhrij oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitab al-Ikhlash wa an-Niyah.
74 ― Diriwayatkan juga di dalamnya dengan isnad yang terputus dari 'Umar radhiya-llahu 'anhu, beliau berkata, "Amal yang paling utama adalah menunaikan apa yang diwajibkan oleh Allah ta'ala, bersikap wara' dari apa yang diharamkan-Nya, dan niat yang jujur (shidq) dalam hal apapun di sisi-Nya."

[*]

Tambahan Materi (Al-Mustadrak) dari Kitab Ithaafu As-Saadat Al-Muttaqin yang Merupakan Penjelasan dari Kitab Ihya' 'Ulumiddin karya As-Sayyid Murtadha Az-Zabidy
75 ― Abu 'Imran al-Juni berkata, "Menurut yang kami dengar, sesungguhnya para malaikat berbaris bersama kitab-kitab catatan mereka di langit terendah setiap sore, setelah 'ashar, lalu ada seorang malaikat yang berseru, 'Catat untuk si fulan bin fulan amal begini begitu.' Maka ada malaikat yang bertanya, 'Wahai Rabb kami, sesungguhnya dia belum mengerjakannya?' Allah menjawab, 'Sungguh, dia telah meniatkannya. Sungguh, dia telah meniatkannya.'"
76 ― Isma'il bin Abi Khalid berkata, "Suatu ketika Bani Israil tertimpa kelaparan. Lalu, ada seseorang yang berjalan di atas pasir dan berkata, 'Sungguh aku berharap pasir ini bisa menjadi tepung sehingga aku bisa memberi makan Bani Israil.' Maka, dia pun diberi (pahala) atas niatnya itu."
77 ― Dengan isnad yang lemah dari 'Umar bin al-Khaththab radhiya-llahu 'anhu, beliau berkata: saya mendengar Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Bahwasanya orang-orang yang saling membantai (di medang perang) itu akan dibangkitkan menurut niatnya masing-masing."
78 ― Thawus berkata: ada seseorang yang berkata, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya saya memberikan wakaf, dan saya ingin agar Allah melihat kedudukanku." Beliau tak memberikan jawaban sepatah katapun, sampai akhirnya turun ayat ini: "...barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya." (QS al-Kahfi: 110).
79 ― Mu'adz bin Jabal radhiya-llahu 'anhu berkata, "Ketika Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam mengutusku ke Yaman, aku berkata kepada beliau, 'Berilah saya wasiat.' Maka beliau pun bersabada, 'Ikhlaskan (=murnikan) agamamu, niscaya amal yang sedikit pun sudah cukup bagimu.'"
80 ― 'Umar (bin al-Khaththab) radhiya-llahu 'anhu berkata, "Barangsiapa yang ikhlas niatnya, meskipun atas dirinya sendiri, niscaya Allah akan mencukupi baginya segala sesuatu antara dia dengan orang selainnya."

[*]
Demikian akhir kitab ini. Semoga Allah ta'ala memberikan keberkahan dan petunjuk bagi kita dalam mengamalkannya. Amin. Alhamdulillaah, wash-shalaatu was-salaamu 'alaa rasuulillaah, wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa man waalahu.[pen]

Dialihbahasakan oleh M. Alimin Mukhtar, Syawal 1428 H. Diizinkan untuk meng-copy naskah ini, dengan syarat tidak mengubah isi dan tidak untuk diperjualbelikan. Jangan lupakan kami dalam doa Anda!