Ilmu Tashrif - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (14)


Bismillahirrahmanirrahim

ILMU TASHRIF

Definisi. Mengubah satu bentuk dasar kepada bentuk-bentuk yang beraneka ragam untuk mendapatkan makna-makna yang diinginkan, dimana makna-makna tersebut tidak mungkin didapat kecuali dengan melakukan perubahan tersebut.
Antara ilmu tashrif dengan sharf adalah identik, namun sebagian ulama’ membedakannya. Secara bahasa, kata tashrif sendiri berarti perubahan (taghyir).
Menurut Ibnu al-Hajib, “Tashrif adalah pengetahuan mengenai (kaidah-kaidah) dasar yang dengannya bisa diketahui keadaan bangunan atau bentuk kata yang tidak termasuk dalam bahasan i’rab maupun bina’.” Sebab, kajian mengenai i’rab dan bina’ adalah wilayah nahwu.
Yang dimaksud bangunan atau bentuk kata (bina’ al-kalimah) adalah shighat-nya; tepatnya wazan yang membentuknya yaitu keadaan-keadaan khusus yang memungkinkan bagi kata-kata lain untuk dikategorikan bersamanya, yakni dilihat dari jumlah huruf yang menyusunnya, serta harakat dan sukun yang ada padanya, dengan tetap memperhatikan dimana posisi huruf asli maupun huruf tambahan dalam susunan huruf yang membentuk kata tersebut.
Ruang lingkup. Kajian dalam tashrif diarahkan kepada bentuk-bentuk (shighat) tertentu dari aspek-aspek yang dikehendaki. Maka, tashrif hanya membicarakan bina’ al-kalimah saja secara mandiri, tidak ada hubungannya dengan kata-kata yang lain. Dengan ilmu ini bisa diketahui apakah suatu kata itu terdiri dari tiga, empat, lima atau enam huruf; mana huruf aslinya dan mana pula yang tambahan; bagaimana cara membedakan antara huruf asli dengan huruf tambahan tersebut; harakat dan sukun-nya, apakah tsaqilah atau khafifah. Karena bentuk dasar kosakata dalam bahasa Arab adalah kata kerja (fi’il), maka ilmu ini juga mengulas bagaimana bentuk kata kerja tersebut, baik yang menunjukkan masa lalu (al-madhi), sekarang (al-hadhir) maupun akan datang (al-mustaqbal).
Manfaat. Tujuan mengkaji tashrif adalah menghindari kekeliruan dalam aspek-aspek yang disebutkan dalam ruang lingkup kajiannya. Manfaatnya adalah menguasai suatu kecakapan berbahasa dari aspek-aspek yang disebutkan dalam ruang lingkupnya.
Hubungan dengan ilmu lain. Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian tentang nahwu, pada awalnya tashrif adalah bagian dari nahwu. Jika nahwu lebih banyak membahas keadaan kosakata ketika berada dalam susunan kalimat, yani bagaimana ia dirangkai dalam suatu pola tertentu untuk mengungkapkan makna yang diinginkan; maka tashrif memusatkan kajiannya pada keadaan kosakata itu ketika ia berdiri sendiri, tepatnya bagaimana komponen kata tersebut – yaitu huruf – diubah dari suatu bentuk ke bentuk lain untuk memperoleh makna yang diharapkan.
Menurut al-muhaqqiq ‘Abdul Hakim dalam hasyiyah syarh al-jaamy, bahwa tashrif, ma’ani, bayan, badi’ dan nahwu bahkan semua ilmu kesusastraan sama-sama membahas kata (al-kalimah) dan susunan kalimat (al-kalam), hanya saja sudut pandangnya yang berlainan.
Perintis. Ada sebagian sumber yang menyebutkan bahwa peletak dasarnya adalah Mu’adz bin Jabal radhiya-llahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi yang termasyhur. Ini adalah riwayat yang rancu. Sebab, yang benar bukan beliau, namun Mu’adz bin Muslim al-Harra’ yang wafat di Baghdad pada tahun 87 H. Menurut sumber lain, peletak dasar tashrif adalah Mazin Abu ‘Utsman Bakr al-Mazini al-Bashri (w. 248 H). Nama terakhir inilah yang dikenal paling identik dengan tashrif. Jajaran ulama’ lain yang dikenal sebagai pakar tashrif generasi awal adalah Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinny (w. 392 H), Abu ‘Umar ‘Utsman bin ‘Umar (w. 646 H) atau dikenal sebagai Ibnu al-Hajib; Abu al-Hasan ‘Ali bin Mu’min bin al-‘Ushfur (w. 669 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Malik (w. 672 H), dan Fakhruddin Ahmad bin al-Hasan al-Jarabardy (w. 746 H).
Satu hal perlu dicatat bahwa kebanyakan pakar nahwu dapat dikatakan sebagai ulama’ tashrif juga, demikian pula sebaliknya, karena kedua ilmu ini tidak terpisah secara tegas. Itu dapat berarti pula bahwa bibit ilmu ini sudah mulai tumbuh dan berkembang seiring ilmu nahwu.
Sumber bahan kajian. Kaidah maupun bentuk kata dalam tashrif hanya diketahui melalui pengamatan yang cermat terhadap pola-pola penggunaannya dalam percakapan bangsa Arab. Apa yang tidak dikenal dalam kultur mereka tidak diakui sebagai bagian dari bahasa Arab yang fasih.
Masalah yang dikaji. Hukum atau ketetapan yang diberlakukan atas obyek-obyek kajiannya, misalnya “kata itu bisa berbentuk mujarrad (asli tanpa tambahan) maupun mazid (mengandung tambahan)”; atau “permulaan suatu kata itu tidak boleh berupa huruf mati”; atau “kata itu bisa jadi terdiri dari tiga, empat, atau lima huruf”; atau “peng-i’lal-an itu bisa dengan cara mengubah, membuang, atau mematikan huruf”; dan lain sebagainya.
Literatur penting. Ada banyak karya dalam bidang ini yang ditulis secara mandiri, selain yang disertakan dalam kitab-kitab nahwu. Dalam daftarnya kita bisa memasukkan Tashrif Mazini karya Mazin Abu ‘Utsman Bakr al-Mazini, at-Tashrif al-Muluki karya Ibnu Jinny, asy-Syafiyah karya Ibnu al-Hajib, Maraahu al-Arwaah karya Ahmad bin ‘Ali bin Mas’ud, Asasu ash-Sharf karya Muhammad bin Hamzah bin Khalil al-Fanari ar-Rumi, al-Bayan fi Ma’rifati al-Auzan karya Syekh ‘Ali bin Sa’id bin Hamamah ash-Shanhaji, Matn at-Tashrif al-‘Izzi karya ‘Izzuddin az-Zanjani (w. 665 H), al-Maqshud karya al-imam al-a’zham Abu Hanifah, Jami’ ash-Sharf, al-Basith Syarh ath-Tashrif, dan lain-lain. [*]