Bismillahirrahmanirrahim
ILMU TASHRIF
Definisi. Mengubah satu bentuk dasar kepada bentuk-bentuk
yang beraneka ragam untuk mendapatkan makna-makna yang diinginkan, dimana
makna-makna tersebut tidak mungkin didapat kecuali dengan melakukan perubahan
tersebut.
Antara ilmu tashrif
dengan sharf adalah identik, namun sebagian ulama’ membedakannya. Secara
bahasa, kata tashrif sendiri berarti perubahan (taghyir).
Menurut Ibnu al-Hajib, “Tashrif
adalah pengetahuan mengenai (kaidah-kaidah) dasar yang dengannya bisa diketahui
keadaan bangunan atau bentuk kata yang tidak termasuk dalam bahasan i’rab
maupun bina’.” Sebab, kajian mengenai i’rab dan bina’
adalah wilayah nahwu.
Yang dimaksud bangunan atau
bentuk kata (bina’ al-kalimah) adalah shighat-nya; tepatnya
wazan yang membentuknya yaitu keadaan-keadaan khusus yang memungkinkan
bagi kata-kata lain untuk dikategorikan bersamanya, yakni dilihat dari
jumlah huruf yang menyusunnya, serta harakat dan sukun yang ada
padanya, dengan tetap memperhatikan dimana posisi huruf asli maupun huruf
tambahan dalam susunan huruf yang membentuk kata tersebut.
Ruang
lingkup. Kajian
dalam tashrif diarahkan kepada bentuk-bentuk (shighat) tertentu dari
aspek-aspek yang dikehendaki. Maka, tashrif hanya membicarakan bina’
al-kalimah saja secara mandiri, tidak ada hubungannya dengan kata-kata yang
lain. Dengan ilmu ini bisa diketahui apakah suatu kata itu terdiri dari tiga,
empat, lima atau enam huruf; mana huruf aslinya dan mana pula yang tambahan;
bagaimana cara membedakan antara huruf asli dengan huruf tambahan tersebut; harakat
dan sukun-nya, apakah tsaqilah atau khafifah. Karena
bentuk dasar kosakata dalam bahasa Arab adalah kata kerja (fi’il), maka
ilmu ini juga mengulas bagaimana bentuk kata kerja tersebut, baik yang
menunjukkan masa lalu (al-madhi), sekarang (al-hadhir)
maupun akan datang (al-mustaqbal).
Manfaat. Tujuan mengkaji tashrif adalah menghindari
kekeliruan dalam aspek-aspek yang disebutkan dalam ruang lingkup kajiannya.
Manfaatnya adalah menguasai suatu kecakapan berbahasa dari aspek-aspek yang
disebutkan dalam ruang lingkupnya.
Hubungan
dengan ilmu lain. Sebagaimana
telah dikemukakan dalam uraian tentang nahwu, pada awalnya tashrif
adalah bagian dari nahwu. Jika nahwu lebih banyak membahas
keadaan kosakata ketika berada dalam susunan kalimat, yani bagaimana ia
dirangkai dalam suatu pola tertentu untuk mengungkapkan makna yang diinginkan;
maka tashrif memusatkan kajiannya pada keadaan kosakata itu ketika ia
berdiri sendiri, tepatnya bagaimana komponen kata tersebut – yaitu huruf –
diubah dari suatu bentuk ke bentuk lain untuk memperoleh makna yang diharapkan.
Menurut al-muhaqqiq
‘Abdul Hakim dalam hasyiyah syarh al-jaamy, bahwa tashrif, ma’ani,
bayan, badi’ dan nahwu bahkan semua ilmu kesusastraan sama-sama
membahas kata (al-kalimah) dan susunan kalimat (al-kalam), hanya
saja sudut pandangnya yang berlainan.
Perintis. Ada sebagian sumber yang menyebutkan bahwa peletak
dasarnya adalah Mu’adz bin Jabal radhiya-llahu ‘anhu, salah seorang
sahabat Nabi yang termasyhur. Ini adalah riwayat yang rancu. Sebab, yang benar
bukan beliau, namun Mu’adz bin Muslim al-Harra’ yang wafat di Baghdad pada
tahun 87 H. Menurut sumber lain, peletak dasar tashrif adalah Mazin Abu
‘Utsman Bakr al-Mazini al-Bashri (w. 248 H). Nama terakhir inilah yang dikenal
paling identik dengan tashrif. Jajaran ulama’ lain yang dikenal sebagai
pakar tashrif generasi awal adalah Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinny (w. 392
H), Abu ‘Umar ‘Utsman bin ‘Umar (w. 646 H) atau dikenal sebagai Ibnu al-Hajib; Abu
al-Hasan ‘Ali bin Mu’min bin al-‘Ushfur (w. 669 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin
Malik (w. 672 H), dan Fakhruddin Ahmad bin al-Hasan al-Jarabardy (w. 746 H).
Satu hal perlu dicatat bahwa
kebanyakan pakar nahwu dapat dikatakan sebagai ulama’ tashrif
juga, demikian pula sebaliknya, karena kedua ilmu ini tidak terpisah secara tegas.
Itu dapat berarti pula bahwa bibit ilmu ini sudah mulai tumbuh dan berkembang seiring
ilmu nahwu.
Sumber bahan
kajian. Kaidah maupun bentuk kata
dalam tashrif hanya diketahui melalui pengamatan yang cermat terhadap
pola-pola penggunaannya dalam percakapan bangsa Arab. Apa yang tidak dikenal
dalam kultur mereka tidak diakui sebagai bagian dari bahasa Arab yang fasih.
Masalah yang
dikaji. Hukum atau ketetapan yang
diberlakukan atas obyek-obyek kajiannya, misalnya “kata itu bisa berbentuk mujarrad
(asli tanpa tambahan) maupun mazid (mengandung tambahan)”; atau
“permulaan suatu kata itu tidak boleh berupa huruf mati”; atau “kata itu bisa
jadi terdiri dari tiga, empat, atau lima huruf”; atau “peng-i’lal-an itu
bisa dengan cara mengubah, membuang, atau mematikan huruf”; dan lain
sebagainya.
Literatur
penting. Ada banyak karya dalam bidang
ini yang ditulis secara mandiri, selain yang disertakan dalam kitab-kitab nahwu.
Dalam daftarnya kita bisa memasukkan Tashrif Mazini karya Mazin Abu
‘Utsman Bakr al-Mazini, at-Tashrif al-Muluki karya Ibnu Jinny, asy-Syafiyah
karya Ibnu al-Hajib, Maraahu al-Arwaah karya Ahmad bin
‘Ali bin Mas’ud, Asasu ash-Sharf karya Muhammad bin Hamzah bin Khalil
al-Fanari ar-Rumi, al-Bayan fi Ma’rifati al-Auzan karya Syekh ‘Ali bin
Sa’id bin Hamamah ash-Shanhaji, Matn at-Tashrif al-‘Izzi karya ‘Izzuddin
az-Zanjani (w. 665 H), al-Maqshud karya al-imam al-a’zham Abu
Hanifah, Jami’ ash-Sharf, al-Basith Syarh ath-Tashrif, dan lain-lain. [*]