Menghafal Al-Qur'an - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (3)


Bismillahirrahmanirrahim

MENGHAFAL AL-QUR’AN

Keutamaannya. Menghafal Al-Qur’an adalah mukjizat dan keajaiban yang tiada duanya. Betapa banyak penghafal kitab suci ini, baik dari kalangan anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Lebih ajaib lagi adalah jutaan orang yang sebenarnya tidak memahami bahasa Arab namun mampu membaca dan menghafal Al-Qur’an dengan sangat fasih, terkadang jauh lebih baik daripada bangsa Arab sendiri.
Dimudahkannya Al-Qur’an untuk dihafal dan dibaca adalah bagian dari pemeliharaan Allah terhadap kitab-Nya. Dengan cara ini maka Al-Qur’an menyatu dengan kaum muslimin, yakni bersemayam di dalam dada, bukan hanya ada diatas lembaran-lembaran yang mati. Jika bersama hafalan itu disertakan pula pemahaman, maka dengan izin Allah, Al-Qur’an akan hidup dan mewarnai keseharian mereka, sebagaimana yang Allah firmankan: “Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS al-Ankabut: 49).
Oleh karena itu, di masa silam, Al-Qur’an adalah materi pertama dalam jenjang pendidikan dasar yang dilalui anak-anak sebelum mereka mencapai usia baligh (dengan cara tasmi', bukan qira'ah) selain tata cara ibadah wajib, aqidah, adab dan bahasa. Sebagian anak ada yang menghafalnya sampai tuntas, sedang yang lain menghafal sesuai kemampuannya. Dengan kata lain, menghafal Al-Qur’an adalah bagian dari metode tarbiyah yang sangat dahsyat, baik terhadap pribadi maupun umat. Sebab, diantara tujuan penyelenggaraan halaqah tahfizh adalah melatih diri dengan adab serta akhlaq yang diajarkan Al-Qur’an, selain meraih kadar tertentu dalam hafalan.
Ayat Al-Qur’an, hadits Nabi dan kata-kata ulama’ tentang keutamaan membaca, mempelajari, mengajarkan dan menghafal Al-Qur’an sangatlah banyak, yang akan terlalu panjang jika diuraikan semuanya disini. Sebagai contoh, cukuplah kami nukil beberapa diantaranya, sbb:
Allah ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi; agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." (QS Fathir: 29-30).
Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya." (Riwayat al-Bukhari).
Beliau juga bersabda, "(Kelak di Hari Kiamat) akan dikatakan kepada shahib Al-Qur'an, 'Bacalah, naiklah, dan tartil-kanlah sebagaimana engkau men-tartil-nya di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah (sesuai) ayat terakhir yang engkau baca." (Riwayat at-Tirmidzi; hadits hasan-shahih). Disini, shahib Al-Qur'an adalah orang yang mengamalkan isinya, menerapkan akhlaq-akhlaqnya, dan rutin membacanya.
Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan, sedangkan kebaikan itu (dibalas) dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Laam Miim itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (Riwayat at-Tirmidzi; hadits hasan-shahih).
Beliau juga bersabda, "Ahli Al-Qur'an adalah ahlullah dan orang khusus-Nya." (Riwayat Ahmad).
Generasi salaf yang shalih dari umat ini benar-benar memahami nilai-nilai kebaikan diatas sebagai sesuatu yang membuat para pelajar dan pengajar Al-Qur'an menjadi istimewa di tengah-tengah mereka. Inilah Abu 'Abdirrahman as-Sulami, ulama’ yang duduk membacakan Al-Qur'an kepada kaum muslimin selama 40 tahun di Masjid Kufah, beliau berkata, "Hadits Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam yang berbunyi, 'Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an', inilah yang membuat aku duduk di tempat ini."
Imam asy-Syafi'i berkata, "Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur'an, maka menjadi besarlah nilai dirinya."
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, "Tidak diragukan lagi, bahwa orang yang menyatukan antara mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya adalah orang yang menyempurnakan dirinya dan orang lain sekaligus. Dia telah menyatukan antara manfaat yang terbatas (bagi dirinya) dan manfaat yang menular (kepada orang lain). Oleh karenanya ia menjadi lebih utama."
Kaidah hafalan. Menghafal Al-Qur’an adalah tugas yang mulia, sebagaimana sudah dijelaskan sebelum ini. Oleh karena itu, perlu dimengerti kaidah-kaidahnya supaya dapat diraih manfaatnya secara maksimal, selain memudahkan proses hafalan maupun upaya pemeliharaannya. Berikut dikemukakan kaidah-kaidah utama dalam tahfizh Al-Qur’an. Bagian ini kami ringkas dari buku Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, tanpa uraian maupun rinciannya, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian dari kami sendiri.
Sepuluh kaidah pokok dalam menghafal, yaitu:
1.       Ikhlas semata-mata karena Allah.
2.       Tekad yang bulat dan kuat.
3.       Pahamilah besarnya nilai amalan ini.
4.       Amalkanlah apa yang telah dihafalkan.
5.       Bentengi diri dari jerat-jerat dosa dan kemaksiatan.
6.       Berdoalah.
7.       Pahamilah makna ayat dengan benar.
8.       Kuasailah ilmu tajwid dengan baik.
9.       Sering-seringlah melakukan muraja’ah (mengulang hafalan).
10.   Gunakan hafalan yang dimiliki dalam shalat.
Sepuluh kaidah pendukung hafalan, yaitu:
1.       Buatlah perencanaan yang jelas, maksudnya tentukan berapa target ayat yang akan dihafalkan dalam periode tertentu.
2.       Bergabunglah dalam kelompok, yakni agar ada teman untuk saling menyimak dalam menghafal.
3.       Bawalah mushhaf ukuran saku, agar memudahkan jika sewaktu-waktu ingin mengulang atau menambah hafalan.
4.       Dengarkan bacaan imam baik-baik (dalam shalat berjamaah), pahamilah makna atau tafsirnya.
5.       Mulailah dari juz atau surah yang relatif mudah dihafal, dan hindari yang cenderung sukar, terutama di awal-awal masa hafalan. Namun, ini bersifat relatif, dan tidak selalu demikian.
a.       Juz atau surah yang relatif mudah dihafal, yaitu: Juz ‘Amma, juz 29, juz 27, surah-surah: Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Yusuf, Yasin, al-Qashash, al-Anfal, al-Ahzab, Luqman, Shad, al-Kahfi, al-Mulk, as-Sajdah, al-Insan (ad-Dahr), al-Jumu’ah, al-Munafiqun, dan Qaaf.
b.       Juz atau surah yang relatif susah dihafal, yaitu: juz 28, surah-surah: Yunus, Fathir, an-Nisa’, an-Nahl, al-Ankabut, dan az-Zumar.
6.       Miliki satu jenis saja mushhaf Al-Qur’an sebagai pegangan tetap dalam menghafal. Jika mempunyai beberapa mushhaf, maka harus sama persis urutan halamannya dan posisi ayat-ayatnya. Jika mushhaf pegangan ini hilang, maka penggantinya harus dari jenis yang sama. Tujuannya: supaya hafalan tidak kacau akibat perbedaan letak ayat, bentuk tulisan, dsb.
7.       Jangan tergesa-gesa berpindah hafalan sebelum benar-benar mantap menghafal bagian sebelumnya.
8.       Bagilah surah-surah yang panjang menjadi beberapa penggalan, sehingga mudah dihafal dan di-muraja’ah secara bertahap.
9.       Perhatikanlah ayat-ayat yang saling serupa, namun mempunyai perbedaan kecil di dalamnya.
10.   Adakan perlombaan menghafal, bila perlu.
Lima kaidah tambahan dalam menghafal, yaitu:
1.       Batasilah porsi hafalan harian.
2.       Jangan menghafal melebihi porsi hafalan harian yang telah ditetapkan, sebelum benar-benar hafal.
3.       Jangan berpindah ke surah lain sebelum menghafal suatu surah secara sempurna.
4.       Selalu perdengarkan hafalan (tasmi’), baik kepada guru atau teman.
5.       Manfaatkan usia muda dalam menghafal.
Bagaimana menghayati Al-Qur’an?
1.       Pelajarilah bahasa Arab dengan baik.
2.       Kajilah sejarah hidup (sirah) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3.       Pahamilah tafsir Al-Qur’an, atau paling tidak terjemahannya.
4.       Perbanyaklah membaca dan mengkaji hadits.
5.       Belajar dan amalkan Al-Qur’an secara total.
Merawat hafalan. Selain dimudahkan untuk dibaca, dihafal, dan dimengerti, ternyata Al-Qur’an juga sangat mudah hilang dari hafalan, jika tidak dirawat dan diperhatikan dengan seksama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rawatlah (hafalan) Al-Qur’an kalian. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh dia lebih mudah lepas dibandingkan seekor unta dari ikatannya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa al-Asyari radhiya-llahu ‘anhu).
Anas bin Malik radhiya-llahu ‘anhu menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ditunjukkan kepadaku pahala-pahala umatku, bahkan termasuk diantaranya adalah (pahala atas) kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid. Ditunjukkan pula kepadaku dosa-dosa umatku, lalu aku tidak melihat ada dosa yang lebih besar dari suatu surah atau ayat Al-Qur’an yang telah diberikan kepada seseorang kemudian dia melupakannya.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya-upaya sistematis dan kontinyu untuk merawat hafalan Al-Qur’an yang sudah dipunyai. Generasi salaf mempunyai tradisi yang berlainan dalam hal ini. Ada yang mengulang hafalannya sehari khatam, tiga hari, lima hari, seminggu, sepuluh hari, sebulan, dua bulan, dan lain-lain. Menurut Imam an-Nawawi, kadar itu dapat disesuaikan dengan kondisi serta kecenderungan masing-masing pribadi. Bagi yang merasa bahwa dengan banyak perenungan akan menemukan makna-makna yang mendalam, silakan membaca menurut kadar yang dapat memenuhi tujuannya. Barangsiapa yang terhalang oleh kesibukan untuk belajar, mengajar, menegakkan agama atau mengurus kemaslahatan kaum muslimin, silakan membaca dalam kadar yang diamampuinya, asal jangan sampai batas lalai dan kosong samasekali. Jika tidak termasuk kelompok diatas, silakan memperbanyak membaca Al-Qur’an semaksimal mungkin, asalkan tidak mengakibatkan kebosanan atau dibaca dengan hadzramah (terlalu cepat sehingga tidak jelas suaranya). Sebagian ulama’ tidak menyukai pengkhataman dalam sehari semalam, berdasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiya-llahu ‘anhuma, “Tidak akan bisa memahami Al-Qur’an, yakni orang yang membacanya (sampai khatam) dalam waktu kurang dari tiga malam.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan lainnya). [*]