KHATIMAH
Khazanah ilmiah kaum muslimin
sangatlah kaya, bahkan kata “kaya” sebenarnya tidaklah memadai untuk
mengungkapkan betapa melimpahnya khazanah tersebut. Perhatikanlah daftar kitab
tafsir yang telah ditulis para ulama’ sejak berabad silam, dan pasti tidak akan
tersedia cukup usia bagi kita sekedar untuk menelaahnya halaman demi halaman setiap
hari. Bayangkanlah fakta ini: 12 juz Tafsir ath-Thabari, 9 juz Tafsir
Abu Su’ud, 4 juz Tafsir Ibnu Katsir, 8 juz Tafsir ad-Durr
al-Mantsur karya as-Suyuthi, 20 juz Tafsir al-Qurthubi, 4 juz Tafsir
an-Nasafi, 5 juz Tafsir Fath al-Qadir karya asy-Syaukani, 30 juz Tafsir
Ruuh al-Ma’ani karya al-Alusi, 9 juz Tafsir Zaad al-Masir karya Ibnu
al-Jauzi, dan 4 juz Tafsir ats-Tsa’alibi. Masih banyak lagi karya lain dalam
ukuran besar yang ditulis pada zaman lebih akhir, seperti Tafsir al-Manar,
al-Maraghi, Fi Zhilali al-Qur’an dan at-Tafsir al-Hadits, juga
berbagai kitab tafsir yang hanya terdiri dari satu juz seperti Tafsir
al-Jalalain, al-Baghawi, al-Baydhawi, al-Wajiz karya al-Wahidi, dan Taysiru
al-Karim ar-Rahman karya Syekh as-Sa’di; atau karya-karya lokal Indonesia
seperti Tafsir Al-Manar tulisan Buya HAMKA dan Tafsir Sinar milik Buya Malik.
Ini baru satu disiplin ilmu.
Tambahkanlah daftarnya dengan merinci literatur penting dari berbagai disiplin
ilmu yang lain, misalnya hadits dan fiqh. Untuk hadits, kita pernah
menyinggungnya pada bagian terdahulu. Untuk saat ini, mari kita mencoba menengok
bagian fiqh barang sedikit. Ada al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi
yang terdiri dari 12 juz, 4 juz dari al-Mudawwanah al-Kubra, 12 juz dari
asy-Syarh al-Kabir, 4 juz dari Mughni al-Muhtaj, 4 juz dari al-Kafi
fi Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, 3 juz dari al-Muhadzdzab, 3 juz dari Syarh
Muntaha al-Iradaat, 2 juz dari Manaaru as-Sabil, 4 juz dari al-Iqna’,
9 juz dari Nailu al-Authar, 2 juz dari ar-Raudhatu an-Nadiyyah, dan
masih banyak lagi. Bagaimana jika kita memutuskan untuk menelaah seluruh disiplin
ilmu? Mungkin kita perlu hidup sepanjang dua atau tiga kali umur normal, lalu setiap
hari hanya membaca dengan diselingi shalat serta memenuhi kebutuhan dasar
secara minimal, barulah sebagian besar literatur tersebut akan terbaca.
Sederhana saja masalahnya,
sebab pada suatu masa kita – umat Islam – pernah berjaya dan memimpin peradaban
umat manusia. Adalah tidak mungkin jika kemegahan yang mampu bertahan ratusan
tahun itu berdiri diatas “lahan” kosong, tanpa landasan yang sangat kokoh secara
intelektual. Sayangnya, di hari-hari kita dewasa ini, hampir seluruh pencapaian
yang mengesankan tersebut banyak disepelekan, dicibir, dan diterlantarkan. Para
sarjana kontemporer – kecuali sedikit diantara mereka yang dirahmati Allah – lebih
sibuk serta bangga menelaah karya-karya intelektual yang berasal dari tradisi
ilmiah Barat, yang secara ideologis, metodologis maupun historis sangat pantas
untuk diragukan “niat baiknya”. Mereka silau kepada lilin kecil, melupakan
matahari yang gilang-gemilang cahayanya. Banyak pula para sarjana dan pelajar
terbaik dari berbagai lembaga pendidikan tidak diarahkan untuk mengkaji
ilmu-ilmu ini, namun berlomba-lomba mengejar ilmu-ilmu lain yang sangat
pragmatis dan cenderung menjadi pelayan kapitalisme belaka, seperti manajemen, teknik,
dan informatika.
Ironis. Nasib mereka ibarat
anak ayam yang hampir mati kelaparan di lumbung padi. Bukan karena kekurangan
pangan, namun karena kebodohannya sendiri. Inilah akibat paling nyata dari
sikap tidak menghargai para ulama’ dan keengganan untuk ta’zhim kepada
otoritas mereka. Sungguh, “darah” ulama’ itu beracun, sehingga siapa pun yang
berani menghalalkannya akan ditimpa “kematian” yang sangat mengenaskan, cepat
atau lambat. Tentu saja, bukan kematian fisik, namun kematian jiwa dan hati
yang jauh lebih menakutkan.
Maka, sebagai guru dan
pelajar, diantara sikap yang paling berharga dalam menghadapi ilmu adalah
ketawadhu’an dan adab yang baik. Kesombongan dan akhlaq yang buruk tidak saja
merusak watak, namun lebih jauh akan membutakan hati dan menghalangi masuknya
cahaya hidayah, yakni puncak ilmu. Jika seluruh proses belajar tidak mampu
menarik hidayah Allah, berarti telah ada pelanggaran besar yang membuat Sang Pemilik
Hidayah tidak ridha. Berhati-hatilah dan berdoalah, semoga kita terhindar darinya.
Allahumma
baa’id bainana wa baina khathaayana kamaa baa’adta baina al-masyriqi wa
al-maghribi; allahumma-hdina ila ahsani al-‘ilmi wa ahsani al-a’maal; fa innahu
laa yahdi ila ahsaniha illaa anta.
Tiada daya dan kekuatan
kecuali atas izin-Nya.
Wallahu
a’lam bish-shawab. [*]