Khatimah - Al-Mabadi' Al-'Asyah (15)


KHATIMAH

Khazanah ilmiah kaum muslimin sangatlah kaya, bahkan kata “kaya” sebenarnya tidaklah memadai untuk mengungkapkan betapa melimpahnya khazanah tersebut. Perhatikanlah daftar kitab tafsir yang telah ditulis para ulama’ sejak berabad silam, dan pasti tidak akan tersedia cukup usia bagi kita sekedar untuk menelaahnya halaman demi halaman setiap hari. Bayangkanlah fakta ini: 12 juz Tafsir ath-Thabari, 9 juz Tafsir Abu Su’ud, 4 juz Tafsir Ibnu Katsir, 8 juz Tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 20 juz Tafsir al-Qurthubi, 4 juz Tafsir an-Nasafi, 5 juz Tafsir Fath al-Qadir karya asy-Syaukani, 30 juz Tafsir Ruuh al-Ma’ani karya al-Alusi, 9 juz Tafsir Zaad al-Masir karya Ibnu al-Jauzi, dan 4 juz Tafsir ats-Tsa’alibi. Masih banyak lagi karya lain dalam ukuran besar yang ditulis pada zaman lebih akhir, seperti Tafsir al-Manar, al-Maraghi, Fi Zhilali al-Qur’an dan at-Tafsir al-Hadits, juga berbagai kitab tafsir yang hanya terdiri dari satu juz seperti Tafsir al-Jalalain, al-Baghawi, al-Baydhawi, al-Wajiz karya al-Wahidi, dan Taysiru al-Karim ar-Rahman karya Syekh as-Sa’di; atau karya-karya lokal Indonesia seperti Tafsir Al-Manar tulisan Buya HAMKA dan Tafsir Sinar milik Buya Malik.
Ini baru satu disiplin ilmu. Tambahkanlah daftarnya dengan merinci literatur penting dari berbagai disiplin ilmu yang lain, misalnya hadits dan fiqh. Untuk hadits, kita pernah menyinggungnya pada bagian terdahulu. Untuk saat ini, mari kita mencoba menengok bagian fiqh barang sedikit. Ada al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi yang terdiri dari 12 juz, 4 juz dari al-Mudawwanah al-Kubra, 12 juz dari asy-Syarh al-Kabir, 4 juz dari Mughni al-Muhtaj, 4 juz dari al-Kafi fi Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, 3 juz dari al-Muhadzdzab, 3 juz dari Syarh Muntaha al-Iradaat, 2 juz dari Manaaru as-Sabil, 4 juz dari al-Iqna’, 9 juz dari Nailu al-Authar, 2 juz dari ar-Raudhatu an-Nadiyyah, dan masih banyak lagi. Bagaimana jika kita memutuskan untuk menelaah seluruh disiplin ilmu? Mungkin kita perlu hidup sepanjang dua atau tiga kali umur normal, lalu setiap hari hanya membaca dengan diselingi shalat serta memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, barulah sebagian besar literatur tersebut akan terbaca.
Sederhana saja masalahnya, sebab pada suatu masa kita – umat Islam – pernah berjaya dan memimpin peradaban umat manusia. Adalah tidak mungkin jika kemegahan yang mampu bertahan ratusan tahun itu berdiri diatas “lahan” kosong, tanpa landasan yang sangat kokoh secara intelektual. Sayangnya, di hari-hari kita dewasa ini, hampir seluruh pencapaian yang mengesankan tersebut banyak disepelekan, dicibir, dan diterlantarkan. Para sarjana kontemporer – kecuali sedikit diantara mereka yang dirahmati Allah – lebih sibuk serta bangga menelaah karya-karya intelektual yang berasal dari tradisi ilmiah Barat, yang secara ideologis, metodologis maupun historis sangat pantas untuk diragukan “niat baiknya”. Mereka silau kepada lilin kecil, melupakan matahari yang gilang-gemilang cahayanya. Banyak pula para sarjana dan pelajar terbaik dari berbagai lembaga pendidikan tidak diarahkan untuk mengkaji ilmu-ilmu ini, namun berlomba-lomba mengejar ilmu-ilmu lain yang sangat pragmatis dan cenderung menjadi pelayan kapitalisme belaka, seperti manajemen, teknik, dan informatika.
Ironis. Nasib mereka ibarat anak ayam yang hampir mati kelaparan di lumbung padi. Bukan karena kekurangan pangan, namun karena kebodohannya sendiri. Inilah akibat paling nyata dari sikap tidak menghargai para ulama’ dan keengganan untuk ta’zhim kepada otoritas mereka. Sungguh, “darah” ulama’ itu beracun, sehingga siapa pun yang berani menghalalkannya akan ditimpa “kematian” yang sangat mengenaskan, cepat atau lambat. Tentu saja, bukan kematian fisik, namun kematian jiwa dan hati yang jauh lebih menakutkan.
Maka, sebagai guru dan pelajar, diantara sikap yang paling berharga dalam menghadapi ilmu adalah ketawadhu’an dan adab yang baik. Kesombongan dan akhlaq yang buruk tidak saja merusak watak, namun lebih jauh akan membutakan hati dan menghalangi masuknya cahaya hidayah, yakni puncak ilmu. Jika seluruh proses belajar tidak mampu menarik hidayah Allah, berarti telah ada pelanggaran besar yang membuat Sang Pemilik Hidayah tidak ridha. Berhati-hatilah dan berdoalah, semoga kita terhindar darinya.
Allahumma baa’id bainana wa baina khathaayana kamaa baa’adta baina al-masyriqi wa al-maghribi; allahumma-hdina ila ahsani al-‘ilmi wa ahsani al-a’maal; fa innahu laa yahdi ila ahsaniha illaa anta.
Tiada daya dan kekuatan kecuali atas izin-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab. [*]