Bismillahirrahmanirrahim
ILMU USHUL FIQH
Kata ushul merupakan
bentuk jamak dari ashl, yang – dalam konteks ini – berarti dalil atau
dasar hukum. Dengan demikian, istilah dalil identik dengan ushul,
yakni dasar atau landasan.
Definisi. Berikut kami kemukakan beberapa definisi Ushul
Fiqh menurut para ulama’:
·
Menurut ‘Abdul Hamid Hakim, “Dalil-dalil fiqh
secara umum/global,” yakni kaidah-kaidah pengambilan hukum.
·
Menurut Abu Ishaq asy-Syirazi, “Dalil-dalil yang diatasnya
dibangun suatu hukum fiqh tertentu, dan yang dipergunakan sebagai jalan untuk
menetapkan suatu dalil secara global.”
·
Menurut al-Qannuji, “Ilmu yang dengannya bisa
diketahui (metode) pengambilan hukum-hukum syar’i yang bersifat furu’
(cabang) dari dalil-dalil syar’i yang global dan bersifat yaqin.”
·
Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu tentang
berbagai kaidah dan pembahasan yang dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan
hukum syar’iyyah ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci,” – atau
– “Kumpulan dari berbagai kaidah dan pembahasan yang dapat dipergunakan untuk
menarik kesimpulan hukum syar’iyyah ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang
terperinci.”
·
Menurut asy-Syarif al-Jurjani, “Pengetahuan tentang
berbagai kaidah yang dapat diterapkan dalam (Ilmu) Fiqh.”
·
Menurut Syekh Syamsuddin al-Akfani as-Sakhawi,
“Suatu ilmu yang dengannya bisa diketahui penetapan tempat pencarian
hukum-hukum syar’iyyah ‘amaliyah, metode penyimpulannya, materi
argumentatifnya, serta penarikan (dalil)-nya dengan menggunakan teori (tertentu).”
Jadi, Ilmu Fiqh mengkaji aspek
praktis hukum dalam kaitan langsungnya dengan amal, sedangkan Ushul Fiqh
berbicara tentang aspek-aspek filosofis, metodologis dan teoritis dari berbagai
status hukum atas amal yang sudah atau belum dikenal.
Ruang
lingkup. Berikut dua
macam penjelasan sebagian ulama’ mengenai ruang lingkup kajian Ushul Fiqh,
yaitu:
·
Secara ringkas, ilmu ini mencakup dua hal saja,
yaitu itsbat dan tsubut. Maksudnya, penetapan (itsbat)
dalil-dalil untuk setiap hukum, dan tetapnya (tsubut) setiap hukum
adalah dengan adanya dalil-dalil yang mendukungnya. Misalnya, penetapan firman
Allah aqiimuu ash-shalaah [tegakkan shalat] sebagai dalil dari hukum wajibnya
shalat; dan tetapnya kewajiban shalat berdasar firman Allah aqiimuu
ash-shalaah [tegakkan shalat] tersebut. Kata aqiimuu [tegakkan]
adalah kata perintah, dan setiap perintah menunjukkan kewajiban. Jadi, menegakkan
shalat hukumnya adalah wajib.
·
Dalil-dalil syar’i yang universal/umum
dilihat dari aspek “bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum syar’i dari
dalil-dalil tersebut”.
Manfaat. Berikut ini manfaat dan tujuan mempelajari ilmu
ini menurut sebagian ulama’. Kami mengutip beberapa uraian berbeda, namun
arahnya kurang lebih sama.
·
Dengan ilmu ini bisa diketahui secara pasti atau
diduga kuat hukum-hukum Allah, dan untuk mengubah status seseorang dari sekedar
taqlid (ikut-ikutan) menuju tingkatan yang lebih tinggi dalam beragama. Bagi
seorang mujtahid, ilmu ini dapat diterapkan untuk mengambil kesimpulan hukum (istinbath)
atas cabang-cabang hukum (furu’) yang berasal dari suatu pokok hukum (ushul)
tertentu. Bagi seorang muttabi’, maka ilmu ini dapat dipergunakan untuk
merujukkan setiap cabang hukum kepada pokoknya (raddu al-furu’ ila al-ushul),
sehingga amalnya dalam beragama menjadi bersih dan murni.
·
Memperoleh suatu malakah (tabiat, naluri,
karakter) yang dengannya seseorang mampu menarik kesimpulan hukum syar’iyyah
far’iyyah (bersifat cabang) dari empat dalil utamanya, yaitu Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
·
Menarik kesimpulan hukum secara benar.
Keutamaan. Termasuk ilmu yang sangat penting, sebab dengan ini
seseorang dapat terjaga dari kesalahan dalam menyimpulkan hukum. Menurut Ibnu
Khaldun, “Ilmu Ushul Fiqh termasuk ilmu syar’iyyah yang paling agung,
sebab dengannya bisa diambil berbagai hukum, taklif, dan pokok-pokok
dalil syar’i....”
Perintis. Kebanyakan peneliti sepakat bahwa ulama’ pertama
yang menulis di bidang ini adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dengan
karyanya ar-Risalah. Setelah itu tampil banyak ulama’ lain yang
menggeluti ushul fiqh dan dikenal mahir di bidang ini, seperti Abu Bakr
Ahmad bin ‘Ali ar-Razi (w. 370 H) yang lebih dikenal dengan sebutan
al-Jashshash; Fakhl al-Islam Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Bazdawi (w. 482 H),
Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik bin Yusuf al-Juwaini (lahir 410 H) yang lebih
dikenal sebagai Imam al-Haramain; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad (wafat sekitar
tahun 500-an hijriyah) yang lebih dikenal sebagai Syams al-A’immah as-Sarkhasi;
‘Ali bin Muhammad bin Salim ats-Tsa’labi (w. 631 H) yang lebih dikenal sebagai
Saifuddin al-Amidi; Abu al-Barakat ‘Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Abu Hafsh
‘Umar bin Ishaq bin Ahmad al-Ghaznawi (w. 773 H) yang lebih dikenal sebagai
Sirajuddin al-Hindi; dan al-Hafizh Abu 'Abdillah Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani
al-Yamani (1255 H).
Nama. Ilmu Ushul Fiqh atau Ilmu Dirayah. Nama terakhir
ini juga mencakup Ilmu Fiqh, sebab pada dasarnya kedua ilmu ini tidak
terpisahkan.
Sumber bahan
kajian. Dengan menggabungkan berbagai referensi
yang kami miliki, maka sumber kajian dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah:
·
Menurut Imam al-Haramain al-Juwayni, ada tiga
yaitu: bahasa, teologi dan fiqh.
·
Menurut Syekh ‘Abdul Hamid Hakim, ada dua yaitu:
ilmu tauhid dan bahasa.
·
Menurut al-Qannuji, ada tiga yaitu: bahasa,
ilmu-ilmu syar’i yang lain seperti teologi, tafsir dan hadits; serta
logika.
Mengapa Ilmu
Tauhid atau Teologi? Sebab, semua dalil syar’i sangat tergantung kepada ma’rifatullah
(mengenal dan mengakui Allah) serta membenarkan sang penyampai risalah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Tanpa kedua sikap ini, maka Ilmu Ushul
Fiqh sudah pasti menyimpang sejak langkah pertama.
Mengapa Bahasa
Arab? Sebab, pemahaman terhadap
Kitabullah dan Sunnah Nabi, serta kemampuan untuk mengambil dalil sangat
tergantung kepada penguasaan bahasa ini. Bagaimana pun juga, kedua sumber hukum
Islam tersebut berbahasa Arab. Tidak mungkin seseorang bisa dipercaya dalam studi
Ushul Fiqh selama ia belum mencapai kemapanan dan kematangan dalam penguasaan
bahasa Arab, walau tidak harus sangat mendalam dan rumit.
Mengapa Fiqh? Sebab, Fiqh merupakan objek yang ditunjuk oleh
pokok-pokok hukum yang sedang dibahas. Adalah tidak mungkin memahami suatu dalil
dengan tanpa memahami objek yang dimaksudkannya.
Mengapa Logika
(manthiq)? Sebab,
setiap hukum berpijak kepada sebab atau ‘illat, dan ini merupakan salah
satu watak dalam logika, yakni berpikir sistematis dengan memperhatikan prinsip
sebab-akibat. Imam al-Ghazali adalah ulama’ yang menambahkan komponen ini ke
dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqh. Meski demikian, penggunaan akal sehat dan alur
berpikir yang lurus sudah merupakan landasan yang dimaklumi bersama dalam
disiplin ilmu manapun.
Berbagai disiplin ilmu syar’i
yang lain seperti hadits, tafsir, dsb juga berjalin erat dengan Ushul Fiqh,
sebab seluruhnya berperan dalam usaha memahami sumber-sumber hukum Islam,
sehingga setiap kesimpulan yang didapat oleh salah satu ilmu akan berpengaruh
kepada ilmu lainnya. Misalnya, jika sebuah hadits sudah dinyatakan tidak shahih
menurut standar ilmiah dalam Ilmu Hadits, maka ia tidak bisa dipakai lagi
dalam Fiqh, Ushul Fiqh, Teologi, Tafsir, dsb.
Menurut Imam ‘Ala’uddin
al-Hanafi, “Ilmu Ushul Fiqh adalah cabang dari Ilmu Ushuluddin, sehingga sudah
barang tentu setiap karya yang ditulis tentang disiplin ilmu ini sangat
mencerminkan keyakinan (i’tiqad) dari penulisnya.....”
Hukum
mempelajarinya. Bagi
seseorang yang berkehendak untuk menjadi ulama’, hakim maupun Mufti, maka ilmu
ini adalah perangkat wajib yang harus dikuasainya. Tanpa itu, dia akan
kesulitan dan bahkan bisa salah dalam merumuskan fatwa. Selain tujuan ini, maka
sifatnya fardhu kifayah.
Masalah yang
dikaji. Ilmu ini membahas berbagai
kaidah umum yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan dari dalil-dalil syar’i
yang terperinci, misalnya: “semua perintah pada dasarnya adalah bermakna wajib
(dilaksanakan)”. Di bawah kaidah umum inilah seluruh perintah yang ada dalam
Al-Qur’an dan Sunnah dianalisis dan ditentukan kesimpulan hukumnya. Jika kaidah
umum ini tidak mungkin dikenakan kepada suatu teks dalil, maka akan ada
perkecualian yang dirumuskan melalui kaidah dan parameter khusus lainnya.
Literatur
penting. Diantara karya klasik di
bidang ini adalah al-Asrar karya al-Jashshash dan Tartibu al-Adillah
karya Imam Zaid ad-Dabbusi (w. 402 H). Selain itu, ada Jam’u al-Jawami’ karya
Tajuddin as-Subki, al-Ushul karya al-Bazdawi, al-Ushul karya
as-Sarkhasi, Ihkamu al-Ahkam karya al-Amidi, al-Manar karya
an-Nasafi, Irsyadu al-Fuhul karya asy-Syaukani, al-Mahshul
karya Fakhruddin ar-Razi, at-Tanqih karya at-Taftazani, Minhaju
al-Wushul karya al-Baydhawi, al-Burhan dan al-Waraqaat karya
al-Juwaini, al-Muwafaqaat karya asy-Syathibi, al-Mustashfa dan al-Mankhul
karya al-Ghazali, al-Luma’ karya Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Qawa’id
ash-Shughra karya al-‘Izz bin ‘Abdissalam, dan lain-lain. [*]