Ilmu Ushul Fiqh - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (11)


Bismillahirrahmanirrahim

ILMU USHUL FIQH
Kata ushul merupakan bentuk jamak dari ashl, yang – dalam konteks ini – berarti dalil atau dasar hukum. Dengan demikian, istilah dalil identik dengan ushul, yakni dasar atau landasan.
Definisi. Berikut kami kemukakan beberapa definisi Ushul Fiqh menurut para ulama’:
·         Menurut ‘Abdul Hamid Hakim, “Dalil-dalil fiqh secara umum/global,” yakni kaidah-kaidah pengambilan hukum.
·         Menurut Abu Ishaq asy-Syirazi, “Dalil-dalil yang diatasnya dibangun suatu hukum fiqh tertentu, dan yang dipergunakan sebagai jalan untuk menetapkan suatu dalil secara global.”
·         Menurut al-Qannuji, “Ilmu yang dengannya bisa diketahui (metode) pengambilan hukum-hukum syar’i yang bersifat furu’ (cabang) dari dalil-dalil syar’i yang global dan bersifat yaqin.”
·         Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu tentang berbagai kaidah dan pembahasan yang dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan hukum syar’iyyah ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci,” – atau – “Kumpulan dari berbagai kaidah dan pembahasan yang dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan hukum syar’iyyah ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
·         Menurut asy-Syarif al-Jurjani, “Pengetahuan tentang berbagai kaidah yang dapat diterapkan dalam (Ilmu) Fiqh.”
·         Menurut Syekh Syamsuddin al-Akfani as-Sakhawi, “Suatu ilmu yang dengannya bisa diketahui penetapan tempat pencarian hukum-hukum syar’iyyah ‘amaliyah, metode penyimpulannya, materi argumentatifnya, serta penarikan (dalil)-nya dengan menggunakan teori (tertentu).”
Jadi, Ilmu Fiqh mengkaji aspek praktis hukum dalam kaitan langsungnya dengan amal, sedangkan Ushul Fiqh berbicara tentang aspek-aspek filosofis, metodologis dan teoritis dari berbagai status hukum atas amal yang sudah atau belum dikenal.
Ruang lingkup. Berikut dua macam penjelasan sebagian ulama’ mengenai ruang lingkup kajian Ushul Fiqh, yaitu:
·         Secara ringkas, ilmu ini mencakup dua hal saja, yaitu itsbat dan tsubut. Maksudnya, penetapan (itsbat) dalil-dalil untuk setiap hukum, dan tetapnya (tsubut) setiap hukum adalah dengan adanya dalil-dalil yang mendukungnya. Misalnya, penetapan firman Allah aqiimuu ash-shalaah [tegakkan shalat] sebagai dalil dari hukum wajibnya shalat; dan tetapnya kewajiban shalat berdasar firman Allah aqiimuu ash-shalaah [tegakkan shalat] tersebut. Kata aqiimuu [tegakkan] adalah kata perintah, dan setiap perintah menunjukkan kewajiban. Jadi, menegakkan shalat hukumnya adalah wajib.
·         Dalil-dalil syar’i yang universal/umum dilihat dari aspek “bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil tersebut”.
Manfaat. Berikut ini manfaat dan tujuan mempelajari ilmu ini menurut sebagian ulama’. Kami mengutip beberapa uraian berbeda, namun arahnya kurang lebih sama.
·         Dengan ilmu ini bisa diketahui secara pasti atau diduga kuat hukum-hukum Allah, dan untuk mengubah status seseorang dari sekedar taqlid (ikut-ikutan) menuju tingkatan yang lebih tinggi dalam beragama. Bagi seorang mujtahid, ilmu ini dapat diterapkan untuk mengambil kesimpulan hukum (istinbath) atas cabang-cabang hukum (furu’) yang berasal dari suatu pokok hukum (ushul) tertentu. Bagi seorang muttabi’, maka ilmu ini dapat dipergunakan untuk merujukkan setiap cabang hukum kepada pokoknya (raddu al-furu’ ila al-ushul), sehingga amalnya dalam beragama menjadi bersih dan murni.
·         Memperoleh suatu malakah (tabiat, naluri, karakter) yang dengannya seseorang mampu menarik kesimpulan hukum syar’iyyah far’iyyah (bersifat cabang) dari empat dalil utamanya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
·         Menarik kesimpulan hukum secara benar.
Keutamaan. Termasuk ilmu yang sangat penting, sebab dengan ini seseorang dapat terjaga dari kesalahan dalam menyimpulkan hukum. Menurut Ibnu Khaldun, “Ilmu Ushul Fiqh termasuk ilmu syar’iyyah yang paling agung, sebab dengannya bisa diambil berbagai hukum, taklif, dan pokok-pokok dalil syar’i....
Perintis. Kebanyakan peneliti sepakat bahwa ulama’ pertama yang menulis di bidang ini adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dengan karyanya ar-Risalah. Setelah itu tampil banyak ulama’ lain yang menggeluti ushul fiqh dan dikenal mahir di bidang ini, seperti Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali ar-Razi (w. 370 H) yang lebih dikenal dengan sebutan al-Jashshash; Fakhl al-Islam Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Bazdawi (w. 482 H), Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik bin Yusuf al-Juwaini (lahir 410 H) yang lebih dikenal sebagai Imam al-Haramain; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad (wafat sekitar tahun 500-an hijriyah) yang lebih dikenal sebagai Syams al-A’immah as-Sarkhasi; ‘Ali bin Muhammad bin Salim ats-Tsa’labi (w. 631 H) yang lebih dikenal sebagai Saifuddin al-Amidi; Abu al-Barakat ‘Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Abu Hafsh ‘Umar bin Ishaq bin Ahmad al-Ghaznawi (w. 773 H) yang lebih dikenal sebagai Sirajuddin al-Hindi; dan al-Hafizh Abu 'Abdillah Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani al-Yamani (1255 H).
Nama. Ilmu Ushul Fiqh atau Ilmu Dirayah. Nama terakhir ini juga mencakup Ilmu Fiqh, sebab pada dasarnya kedua ilmu ini tidak terpisahkan.
Sumber bahan kajian. Dengan menggabungkan berbagai referensi yang kami miliki, maka sumber kajian dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah:
·         Menurut Imam al-Haramain al-Juwayni, ada tiga yaitu: bahasa, teologi dan fiqh.
·         Menurut Syekh ‘Abdul Hamid Hakim, ada dua yaitu: ilmu tauhid dan bahasa.
·         Menurut al-Qannuji, ada tiga yaitu: bahasa, ilmu-ilmu syar’i yang lain seperti teologi, tafsir dan hadits; serta logika.
Mengapa Ilmu Tauhid atau Teologi? Sebab, semua dalil syar’i sangat tergantung kepada ma’rifatullah (mengenal dan mengakui Allah) serta membenarkan sang penyampai risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tanpa kedua sikap ini, maka Ilmu Ushul Fiqh sudah pasti menyimpang sejak langkah pertama.
Mengapa Bahasa Arab? Sebab, pemahaman terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi, serta kemampuan untuk mengambil dalil sangat tergantung kepada penguasaan bahasa ini. Bagaimana pun juga, kedua sumber hukum Islam tersebut berbahasa Arab. Tidak mungkin seseorang bisa dipercaya dalam studi Ushul Fiqh selama ia belum mencapai kemapanan dan kematangan dalam penguasaan bahasa Arab, walau tidak harus sangat mendalam dan rumit.
Mengapa Fiqh? Sebab, Fiqh merupakan objek yang ditunjuk oleh pokok-pokok hukum yang sedang dibahas. Adalah tidak mungkin memahami suatu dalil dengan tanpa memahami objek yang dimaksudkannya.
Mengapa Logika (manthiq)? Sebab, setiap hukum berpijak kepada sebab atau ‘illat, dan ini merupakan salah satu watak dalam logika, yakni berpikir sistematis dengan memperhatikan prinsip sebab-akibat. Imam al-Ghazali adalah ulama’ yang menambahkan komponen ini ke dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqh. Meski demikian, penggunaan akal sehat dan alur berpikir yang lurus sudah merupakan landasan yang dimaklumi bersama dalam disiplin ilmu manapun.
Berbagai disiplin ilmu syar’i yang lain seperti hadits, tafsir, dsb juga berjalin erat dengan Ushul Fiqh, sebab seluruhnya berperan dalam usaha memahami sumber-sumber hukum Islam, sehingga setiap kesimpulan yang didapat oleh salah satu ilmu akan berpengaruh kepada ilmu lainnya. Misalnya, jika sebuah hadits sudah dinyatakan tidak shahih menurut standar ilmiah dalam Ilmu Hadits, maka ia tidak bisa dipakai lagi dalam Fiqh, Ushul Fiqh, Teologi, Tafsir, dsb.
Menurut Imam ‘Ala’uddin al-Hanafi, “Ilmu Ushul Fiqh adalah cabang dari Ilmu Ushuluddin, sehingga sudah barang tentu setiap karya yang ditulis tentang disiplin ilmu ini sangat mencerminkan keyakinan (i’tiqad) dari penulisnya.....”
Hukum mempelajarinya. Bagi seseorang yang berkehendak untuk menjadi ulama’, hakim maupun Mufti, maka ilmu ini adalah perangkat wajib yang harus dikuasainya. Tanpa itu, dia akan kesulitan dan bahkan bisa salah dalam merumuskan fatwa. Selain tujuan ini, maka sifatnya fardhu kifayah.
Masalah yang dikaji. Ilmu ini membahas berbagai kaidah umum yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan dari dalil-dalil syar’i yang terperinci, misalnya: “semua perintah pada dasarnya adalah bermakna wajib (dilaksanakan)”. Di bawah kaidah umum inilah seluruh perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah dianalisis dan ditentukan kesimpulan hukumnya. Jika kaidah umum ini tidak mungkin dikenakan kepada suatu teks dalil, maka akan ada perkecualian yang dirumuskan melalui kaidah dan parameter khusus lainnya.
Literatur penting. Diantara karya klasik di bidang ini adalah al-Asrar karya al-Jashshash dan Tartibu al-Adillah karya Imam Zaid ad-Dabbusi (w. 402 H). Selain itu, ada Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin as-Subki, al-Ushul karya al-Bazdawi, al-Ushul karya as-Sarkhasi, Ihkamu al-Ahkam karya al-Amidi, al-Manar karya an-Nasafi, Irsyadu al-Fuhul karya asy-Syaukani, al-Mahshul karya Fakhruddin ar-Razi, at-Tanqih karya at-Taftazani, Minhaju al-Wushul karya al-Baydhawi, al-Burhan dan al-Waraqaat karya al-Juwaini, al-Muwafaqaat karya asy-Syathibi, al-Mustashfa dan al-Mankhul karya al-Ghazali, al-Luma’ karya Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Qawa’id ash-Shughra karya al-‘Izz bin ‘Abdissalam, dan lain-lain. [*]