Ilmu Tafsir - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (4)


Bismillahirrahmanirrahim

ILMU TAFSIR

Definisi. Ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ulama’:
·         Menurut al-Qannuji, “Ilmu yang membahas tentang makna rangkaian Al-Qur’an sebatas kemampuan manusiawi dan sebatas apa yang diindikasikan dengan kuat oleh kaidah-kaidah bahasa Arab.”
·         Menurut penulis Kasysyafu Ishthilahi al-Funun, “Ilmu yang dengannya bisa diketahui penurunan ayat-ayat, sya’n-nya, kisah-kisahnya, sebab-sebab penurunannya, kemudian urutan makkiyah dan madaniyah-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, nasikh dan mansukh-nya, khash dan ‘aam-nya, muthlaq dan muqayyad-nya, mujmal dan mufassar-nya, halal dan haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya, dan lain sebagainya.”
·         Menurut Abu Hayyan, “Ilmu yang membahas tentang tatacara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an, obyek yang dimaksudkan olehnya, hukum-hukumnya baik yang bersifat mandiri maupun berangkai, serta makna-maknanya yang muncul akibat kondisi susunan kalimatnya, serta (segala hal yang menjadi) penyempurnanya.”
·         Menurut az-Zarkasyi, “Ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan berbagai hukum dan hikmah darinya.”
·         Menurut Quthbuddin ar-Razi, “Ilmu yang membahas apa yang dikehendaki Allah ta’ala dari Al-Qur’an-Nya yang mulia.”
·         Menurut at-Taftazani, “Ilmu yang membahas keadaan-keadaan lafazh – yakni, firman Allah ta’ala – dari aspek apa yang ditunjuk secara kuat sebagai maksud Allah dengannya.”
Khusus dua definisi terakhir ini mengandung kontroversi tertentu dalam detailnya, yang berusaha diluruskan oleh yang berikut ini.
·         Menurut Syekh Shadruddin al-Qunyawi, “Pengetahuan tentang keadaan-keadaan firman Allah ta’ala dari aspek Qur’ani-nya dan dari aspek hal-hal yang mengarah kepada apa yang diketahui atau diduga kuat sebagai maksud Allah dengannya, sesuai dengan tingkat kemampuan manusiawi.”
Ruang lingkup. Kajian ilmu ini berfokus kepada firman-firman Allah yang merupakan sumber segala hikmah dan tambang aneka rupa keutamaan (fadhilah). Firman Allah yang dikaji hanya sebatas apa yang ada dalam Al-Qur’an, tidak termasuk hadits Qudsi.
Manfaat. Tujuannya adalah mengetahui makna rangkaian (ayat atau surah Al-Qur’an) menurut batas kemampuan manusiawi. Ilmu ini sangat bermanfaat untuk memperoleh kemampuan menarik kesimpulan hukum syar’iyyah secara benar, mengambil pelajaran dari kisah dan ‘ibrah Al-Qur’an, serta menghiasi diri dengan akhlaq mulia yang diajarkannya. Sebenarnya masih banyak lagi manfaat mengkaji ilmu ini, sebab Al-Qur’an sendiri bagaikan lautan yang tak bertepi.
Keutamaan. Status suatu ilmu sangat tergantung kepada obyek yang dikajinya. Ia menjadi mulia atau bahkan terlarang karena faktor ini. Menurut al-Ashbahani, kemuliaan Ilmu Tafsir dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari obyek kajiannya, yaitu firman Allah yang merupakan sumber hikmah dan keutamaan. Kedua, dari tujuan mempelajarinya, yaitu berpegang teguh kepada al-‘urwah al-wutsqa (tali pengikat yang sangat kokoh) dan mencapai kebahagiaan hakiki. Ketiga, dari urgensinya bagi kita, sebab setiap kesempurnaan duniawi maupun ukhrawi memerlukan ilmu syar’iyyah dan pengetahuan diniyah, sementara dua hal terakhir ini sangat tergantung kepada penguasaan terhadap Kitabullah.
Sejarah dan tokohnya. Sejak masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ilmu ini sudah berkembang. Namun, beliau tidak menafsirkan semua ayat. Bahkan riwayat tafsir dari beliau boleh dikatakan sedikit saja. Beliau hanya menafsirkan apa yang dirasa sukar dimengerti oleh para sahabat. Selebihnya sudah cukup mudah difahami mengingat Al-Qur’an turun dalam bahasa mereka dan mereka sendiri adalah generasi yang sangat fasih berbahasa Arab. Penafsiran yang lebih luas baru berkembang para periode berikutnya, yang mengiringi meluasnya wilayah kaum muslimin dan masuknya berbagai bangsa non-Arab ke dalam pelukan Islam. Mereka inilah yang sangat membutuhkan penjelasan dan penafsiran yang lebih rinci, akibat keawaman mereka terhadap bahasa al-Qur'an. Di sisi lain, generasi baru bangsa Arab sendiri tumbuh berbaur dengan bangsa-bangsa asing, sehingga lidah mereka tidak sefasih para pendahulunya. Bahkan, banyak diantaranya yang hanya berdarah Arab, namun tidak lagi mengenal bahasa nenek-moyangnya.
Ahli tafsir dari kalangan sahabat adalah khalifah yang empat (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah bin az-Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir bin ‘Abdillah, dan ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiya-llahu ‘anhum ajma’in. Diantara empat khalifah, hanya ‘Ali yang paling banyak dikutip riwayatnya. Tiga lainnya sudah lebih dulu wafat sehingga sangat jarang ditemukan riwayat tafsir dari mereka.
Dari generasi tabi’in, para ahli tafsir adalah murid-murid Ibnu ‘Abbas di Makkah, diantaranya Mujahid bin Jabr al-Makki, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas, Thawus bin Kaysan al-Yamani, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah al-Makki. Kemudian murid-murid Ibnu Mas’ud di Kufah, diantaranya ‘Alqamah bin Qays, al-Aswad bin Yazid, Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Kemudian murid-murid Zaid bin Aslam, diantaranya ‘Abdurrahman bin Zaid dan Malik bin Anas. Kemudian al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’ bin Abi Salamah Maysarah al-Khurasani, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-‘Aliyah Rafi’ bin Mahran ar-Riyaahi, adh-Dhahhak bin Muzahim, ‘Athiyyah bin Sa’id al-‘Aufi, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi, ar-Rabi’ bin Anas dan as-Suddi.
Setelah mereka, lahir para ulama’ yang menyusun kitab-kitab tafsir yang mengumpulkan pendapat generasi sahabat dan tabi’in. Diantara mereka adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj bin al-Ward, Yazid bin Harun, ‘Abdurrazzaq, Adam bin Abi Iyas, Ishaq bin Rahawaih, Rauh bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Humaid, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan lain-lain.
Setelah ini muncul satu lapisan ulama’ ahli tafsir lagi, diantaranya adalah ‘Abdurrazzaq, ‘Ali bin Abu Thalhah, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Abu asy-Syaikh Ibnu Hibban, dan Ibnu Mundzir.
Setelahnya lahir generasi para penulis tafsir yang kaya informasi namun tanpa disertakan sanad-nya, seperti Abu Ishaq az-Zajjaj dan Abu ‘Ali al-Farisi. Ada lagi Abu Bakr an-Naqqasy, Abu Ja’far an-Nahhas, Makky bin Abi Thalib dan Abu al-‘Abbas al-Mahdawi.
Setelah mereka, menjamur berbagai corak tafsir yang sanad-nya diringkas dan teks riwayatnya sering dikutip tidak lengkap. Dari sinilah berbagai penyusupan terjadi, riwayat yang shahih bercampur aduk dengan yang cacat, dan bahkan setiap orang berani mengungkap pendapat apa saja yang terlintas di benaknya mengenai Al-Qur’an. Lebih celaka lagi, orang-orang yang datang setelahnya mengutip begitu saja pendapat mereka karena mengira ada dasarnya, dengan tanpa mengecek dan merujuknya kepada pendapat maupun tokoh yang lebih otoritatif dalam bidang ini.
Juga muncul fenomena baru, dimana sekelompok orang yang sangat menguasai satu bidang tertentu menulis tafsir yang khusus mengurai sudut pandang disiplin ilmunya. Akhirnya terkesan bahwa Al-Qur’an diturunkan hanya berisi ilmu yang dikuasainya tersebut, padahal ia merupakan penjelas atas segala sesuatu. Para pakar nahwu akan mengulas Al-Qur’an sehingga berubah seolah-olah menjadi kitab tatabahasa, seperti al-Basith karya al-Wahidi, tafsir karya az-Zajjaj, dan al-Bahr serta an-Nahr karya Abu Hayyan. Para ahli sejarah dan kisah tidak tertarik untuk membicarakan selain paparan berbagai kejadian, tidak perduli riwayatnya shahih maupun bathil, seperti ats-Tsa’labi. Ahli fiqh tak ketinggalan menulis tafsir, lalu menyebutkan aneka ragam cabang-cabang hukum fiqh beserta dalilnya secara sangat detail, bahkan menyertakan banyak perbedaan pendapat (khilafiyah) dan jawabannya dalam tafsir tersebut meski sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan ayat yang sedang dibicarakan, seperti al-Qurthubi. Pakar ilmu-ilmu ‘aqliyah, terutama Fakhruddin ar-Razi, akan memasukkan kata-kata para filosof satu demi satu sehingga sebagian ulama’ merasa heran dan berkomentar, “Di dalamnya terdapat semua hal, kecuali tafsir.” Penganut aliran-aliran bid’ah juga memanfaatkan tafsir untuk mendukung madzhab pemikirannya yang rusak. Setiap kali mereka mendapati satu peluang sekecil apapun dari Al-Qur’an, mereka akan bergegas untuk mengulasnya sedemikian rupa, seperti al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari. Meski pun ketokohannya diakui dalam bidang balaghah dan bahasa, namun beliau seorang penganut Mu’tazilah yang fanatik. Termasuk jenis ini adalah kalangan yang berbicara tentang tafsir Al-Qur’an tanpa landasan sanad, riwayat dari generasi salaf, berpegang para kaidah ushuluddin maupun kebahasaan; pendeknya merupakan penafsiran yang sembarangan dan ngawur, seperti al-‘Aja’ib wal Ghara’ib karya Mahmud bin Hamzah al-Kirmani. Sebagian kalangan sufi juga menulis tafsir, namun tidak diakui sebagai tafsir yang sebenarnya oleh para peneliti, seperti Haqa’iqu at-Tafsir karya as-Sulami.
Nama. Ilmu Tafsir, kadang disebut juga Ilmu Ta’wil.
Sumber bahan kajian. Dua uraian berikut berasal dari ulama’ berbeda, namun intinya sama.
·         Disiplin ilmu ini dalam kajiannya berlandaskan kepada ilmu-ilmu kebahasaan (Arab), dasar-dasar teologi, ushul fiqh, logika, dan lain-lain.
·         Ilmu Tafsir mengambil bahan kajiannya dari ilmu kebahasaan (Arab), nahwu, tashrif, ilmu bayan, ushul fiqh, dan qira’at.
Kebutuhan kepada tafsir. Allah menurunkan kitab-Nya dalam bahasa yang dapat difahami hamba-Nya. Oleh karenanya pula Dia mengutus para rasul dengan bahasa kaumnya. Lalu, mengapa tafsir masih dibutuhkan? Setidaknya karena tiga alasan. Pertama, kesempurnaan Al-Qur’an yang sangat tinggi, sehingga mampu menyatukan berbagai makna dalam untaian kalimat yang ringkas saja. Dengan tafsir maka makna-makna yang tersembunyi bisa ditampakkan. Masing-masing orang akan berbeda-beda dalam hal ini, tergantung berbagai faktor. Hal inilah yang menjelaskan mengapa penafsiran seorang ahli kadang terlihat jauh lebih baik dibanding ahli lainnya. Kedua, adanya kata maupun kalimat yang mengandung lebih dari satu pengertian, seperti majaz, isytirak dan dalalah iltizam. Ketiga, Al-Qur’an diturunkan pada masa hidupnya para ahli bahasa Arab yang paling fasih. Meski demikian sebagian dari ayat-ayatnya masih sukar dimengerti oleh mereka sehingga ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di zaman sekarang, dimana penguasaan kita terhadap bahasa Arab sangat minim, maka tafsir merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat diabaikan.
Syarat ahli tafsir. Sebagian ulama’ tidak mengizinkan siapapun menafsirkan Al-Qur’an dan mencukupkan diri dengan atsar terkait tafsir yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama’ yang lain memberi kelonggaran, walau tetap harus memenuhi syaratnya, yaitu menguasai 15 macam ilmu: (1) bahasa, (2) nahwu, (3) tashrif, (4) isytiqaq, (5) ma’ani, (6) bayan, (7) badi’, (8) qira’at, (9) ushuluddin atau teologi, (10) ushul fiqh, (11) asbabun nuzul dan kisah-kisah, (12) an-nasikh wal mansukh, (13) fiqh, (14) hadits-hadits yang mengandung penjelasan terhadap hal-hal yang masih samar atau global dalam Al-Qur’an, (15) ilmu mawhabah, yaitu ilmu yang dikaruniakan Allah kepada siapa saja yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Selain itu, seorang ahli tafsir juga harus menjaga adab-adab yang selayaknya ketika berinteraksi dengan firman Allah.
Menurut kami, ditetapkannya ilmu ke-15 (ilmu mawhabah) sebagai syarat seorang penafsir adalah cara paling halus untuk mengatakan bahwa hanya seorang mukmin yang bermoral baik dan berkomitmen kuat kepada agamanya yang layak menafsirkan Al-Qur’an. Dengan ini, maka orang-orang kafir, fasiq dan penganut aliran bid’ah akan tersingkir dari pentas ilmiah tafsir Kitabullah, walaupun mereka sanggup menguasai 14 ilmu lainnya. Menghapus atau mengabaikan syarat terakhir ini adalah kesalahan fatal, terlebih jika ilmu-ilmu yang lain tidak dikuasai dengan baik atau bahkan juga diabaikan; belum lagi jika memang adab kepada Allah dan firman-Nya dilanggar.
Ta’wil. Istilah ini berarti memalingkan makna suatu ayat kepada makna lain yang selaras dengan (ayat) sebelum maupun sesudahnya, sepanjang makna itu dimungkinkan oleh ayat yang bersangkutan, sejalan dengan kaidah kebahasaan serta tidak mengandung pertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maupun pokok-pokok agama yang sudah lazim. Jadi, ta’wil lebih khusus dari tafsir. Seringkali tafsir dikesankan sebagai penjelasan aspek lahiriah Al-Qur’an, yakni makna yang segera bisa ditangkap dengan membaca teksnya; sedang ta’wil adalah penjelasan aspek batin darinya, yang hanya diketahui dengan pengamatan yang jeli dan hati-hati. Namun, sebagian ulama’ ada yang tidak membedakan antara tafsir dengan ta’wil.
Tarjamah. Sebetulnya, tarjamah atau terjemah adalah bentuk harfiah dari tafsir, hanya saja ada aspek khusus dimana ia berusaha memindahkan makna dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sebagian orang kurang menyukai istilah ‘tarjamah al-Qur’an’, sebab teks Kitabullah adalah suci sehingga tidak bisa dipindahkan kepada bahasa lain. Bagaimanapun juga, teks hasil terjemahan tidak terjamin dari kesalahan dan bukan sesuatu yang suci, sebab ia hasil karya manusia. Oleh karenanya, digunakan istilah tarjamatu ma’aaniiha ila al-lughah... (penerjemahan makna-makna Al-Qur’an ke dalam bahasa...), sebab yang bisa dialihbahasakan adalah pengertiannya, bukan teks aslinya. Dilatari sebab-sebab ini pula maka teks asli Al-Qur’an harus selalu disertakan bersamaan dengan teks terjemahannya, dimana yang terakhir ini tidak boleh diterbitkan secara terpisah.
Ulumul Qur’an. Ada sangat banyak cabang dari ilmu ini, yang bahkan memerlukan buku tersendiri untuk sekedar menguraikannya satu persatu. Dalam konteks Madrasah, hanya aspek praktis yang diajarkan secara intensif, yaitu ilmu tajwid dasar sebagai bekal membaca Al-Qur’an dengan lancar dan benar (murattal dan mujawwad), mengenal tafsir paling sederhana, dan hafalan dalam kadar tertentu. Meski demikian, di tahun terakhir siswa tetap diberi satu muqaddimah yang memberikan gambaran lebih luas terhadap ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya, seperti asbabun nuzul, nasikh-mansukh, tartib nuzul, qira’at, gharib, i’rab, mufradat, dan lain-lain.
Literatur penting. Ada tiga jenis kitab tafsir yang sudah ditulis para ulama’, dipandang dari ukurannya: ringkas, sedang dan panjang. Diantara karya yang ringkas adalah Zaadu al-Masir karya Ibnu al-Jauzi, al-Wajiz karya al-Wahidi, Tafsir al-Wadhih karya ar-Razi, dan Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli.
Diantara karya berukuran sedang adalah al-Wasith karya al-Wahidi, Tafsir al-Maturidi, Tafsir at-Taysir karya Najmuddin an-Nasafi, al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, Tafsir ath-Thayyibi, Tafsir al-Baghawi, Tafsir al-Kawasyi, Tafsir al-Baydhawi, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir Sirajuddin al-Hindi, Tafsir Madariku at-Tanzil karya Abu al-Barakat an-Nasafi dan Tafsir Ibnu Katsir. Imam asy-Syaukani menulis satu kitab tafsir berukuran sedang yang dipandang sebagai salah satu karya paling baik dari generasi khalaf, berjudul Fathul Qadir, terdiri dari 5 juz.
Diantara karya yang berukuran besar adalah al-Basith karya al-Wahidi, Tafsir ar-Raghib karya al-Ashfahani, al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan, at-Tafsir al-Kabir karya ar-Razi, Tafsir al-‘Alami yang terdiri dari 40 jilid, Tafsir Ibnu ‘Athiyyah ad-Dimasyqi, Tafsir al-Khuraqi, Tafsir al-Huufi, Tafsir al-Qusyairi, Tafsir Ibnu ‘Aqil, ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur karya as-Suyuthi, Tafsir ath-Thabari dan I’rabu al-Qur’an karya as-Safaqisi.
Saran bacaan. Jika seseorang ingin menelaah tafsir, karya mana yang sebaiknya dibaca pertamakali? Secara umum, karya Ibnu Jarir ath-Thabari dapat dipandang sebagai karya paling utama, sebagaimana disarankan oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan. Selain itu, dapat dipilih pula karya Ibnu Katsir. Kedua karya ini ditulis berdasar metode tafsir bil ma’tsur, dimana bahasanya mudah dimengerti, ungkapannya ringkas dan langsung ke pokok persoalan, terjauh dari uraian bertele-tele yang tidak ada kaitannya dengan ayat. Sebagai pertimbangan lebih lanjut, berikut dikemukakan judul-judul yang dianggap sebagai karya yang baik dan cukup ringkas, yaitu:
1.       Jaami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Aayi al-Qur’an, lebih dikenal dengan Tafsir ath-Thabari, terdiri dari 12 juz, karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari (w. 310 H). Menurut an-Nawawi, belum pernah ada karya tafsir sebagus ini, dan para ulama’ sepakat menobatkannya sebagai literatur terbaik di bidangnya.
2.       Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, lebih dikenal sebagai Tafsir Ibnu Katsir, karya Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi (w. 774 H). Tafsir yang terdiri dari 4 juz ini sangat termasyhur. Di dalamnya beliau menafsirkan ayat dengan ayat, dengan hadits maupun atsar dari sahabat dan tabi’in. Ada banyak ringkasan untuk kitab ini, diantaranya ‘Umdatu at-Tafsir ‘an al-Hafizh Ibn Katsir karya Syekh Ahmad Muhammad Syakir (w. 1370 H), dan Taysiru al-‘Aliyy al-Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibn Katsir karya Syekh Muhammad Nasib ar-Rifa’i (w. 1413 H).
3.       Tafsir al-Baydhawi, yakni Anwaaru at-Tanzil wa Asraaru at-Ta’wil, karya al-‘Allamah Nashiruddin Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad al-Baydhawi (w. 685 H). Karya ini merupakan ringkasan dan seleksi materi dari al-Kasysyaf milik az-Zamakhsyari, at-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi, dan al-Mufradat susunan ar-Raghib al-Ashfahani. Kitab ini termasuk mendapat sambutan yang baik dari kaum muslimin. Dalam setiap surah diiringi riwayat tentang keutamaannya, walau nyaris seluruhnya tidak shahih. Penafsirannya mengikuti metode Asy’ariyah dalam masalah-masalah teologi. Para ulama’ telah menulis hasyiyah untuk melengkapi faidah karya ini, diantaranya Syekh Musthafa bin Ibrahim Ibnu at-Tamjid (w. 880 H) dan Syekh Abu al-Fadhl al-Qurasyi ash-Shiddiqi al-Kazruni (w. 940 H). Tafsir al-Baydhawi ini pun telah ada ringkasannya.
4.       Tafsir as-Sa’di, yaitu Taysiru al-Karim ar-Rahman fi Tafsiri Kalami al-Mannan, karya Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (w. 1376 H). Karya ini aslinya terdiri dari 5 jilid tebal, namun sudah diringkas sendiri oleh penulisnya dan biasanya dicetak dalam satu jilid tebal berjudul Taysiru al-Lathif al-Mannan fi Khulashati Tafsir al-Qur’an. Merupakan seleksi penafsiran terbaik dari para ulama’ terpercaya atas ayat-ayat Al-Qur’an. Ungkapan-ungkapannya ringan dan uraiannya mudah dipahami.
5.       Tafsir Al-Qur’an al-Karim, lebih dikenal sebagai Tafsir al-Jalalain, terdiri dari satu juz sedang, yang ditulis oleh dua ulama’ terkemuka yang sama-sama bergelar Jalaluddin, yakni Jalaluddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Mahalli (w. 846 H) dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakr as-Suyuthi (w. 911). Jalaluddin al-Mahalli menulis tafsirnya dari surah al-Kahfi sampai an-Naas, dan meninggal setelah memulai penafsiran al-Fatihah. Karya setengah jadi ini kemudian dituntaskan oleh Jalaluddin as-Suyuthi, yang meneruskannya mulai dari surah al-Baqarah sampai al-Isra’. Beliau mulai menulis di permulaan Ramadhan 870 H dan selesai tanggal 10 Syawal tahun itu juga. Karya yang sangat luas diterima ini betul-betul ringkas, sehingga para peneliti menyadari bahwa ia sebenarnya lebih merupakan pegangan bagi para penelaah tafsir yang sudah sangat mahir, dan tidak menyarankannya bagi pemula. Gaya penafsirannya mengikuti madzhab teologi Asy’ariyah dan banyak menyoroti aspek gramatika. Ada beberapa hasyiyah yang ditulis oleh para ulama’ untuk melengkapi dan menyempurnakan kitab ini, seperti karya Syekh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w. 1241 H) dan Syekh Sulaiman bin ‘Umar al-‘Ujaili (w. 1402 H).
Kajian terkait. Sebenarnya, apa yang diuraikan disini merupakan "hasil jadi" dari penelaahan oleh disiplin ilmu tafsir terhadap ayat-ayat Kitabullah. Sebagai sebuah disiplin ilmu, tentu ada metodologi dan pokok-pokok kaidahnya, yang biasanya dikenal sebagai Ushul at-Tafsir. Terdapat karya-karya penting yang ditulis para ulama’ di bidang ini, antara lain Al-Iksir fi ‘Ilm at-Tafsir karya Syekh Sulaiman bin ‘Abdul Qawi bin ‘Abdul Karim ash-Sharshari al-Baghdadi (w. 716 H), Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), at-Taysir fi Qawa’idi ‘Ilm at-Tafsir karya Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji (w. 879 H), at-Tahbir fi ‘Ilm at-Tafsir karya Jalaluddin as-Suyuthi, dan al-Qawa’id al-Hisan li Tafsiri al-Qur’an karya Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
Selain itu, berbagai kitab tentang ‘ulumul Qur’an, baik yang global maupun spesifik, dapat dipandang sebagai bekal dalam penafsiran al-Qur’an, seperti tentang asbabun nuzul, tarikh nuzul, nasikh-mansukh, lughatul Qur’an, i’rabul Qur’an, i’jazul Qur’an, qira’at, dan lain sebagainya. Masing-masing sub tema telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, selayaknya dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber segala ilmu. [*]