Bismillahirrahmanirrahim
ILMU TAFSIR
Definisi. Ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ulama’:
·
Menurut al-Qannuji, “Ilmu yang membahas tentang
makna rangkaian Al-Qur’an sebatas kemampuan manusiawi dan sebatas apa yang
diindikasikan dengan kuat oleh kaidah-kaidah bahasa Arab.”
·
Menurut penulis Kasysyafu Ishthilahi al-Funun,
“Ilmu yang dengannya bisa diketahui penurunan ayat-ayat, sya’n-nya, kisah-kisahnya,
sebab-sebab penurunannya, kemudian urutan makkiyah dan madaniyah-nya,
muhkam dan mutasyabih-nya, nasikh dan mansukh-nya, khash
dan ‘aam-nya, muthlaq dan muqayyad-nya, mujmal dan mufassar-nya,
halal dan haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya, dan lain
sebagainya.”
·
Menurut Abu Hayyan, “Ilmu yang membahas tentang
tatacara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an, obyek yang dimaksudkan olehnya,
hukum-hukumnya baik yang bersifat mandiri maupun berangkai, serta
makna-maknanya yang muncul akibat kondisi susunan kalimatnya, serta (segala hal
yang menjadi) penyempurnanya.”
·
Menurut az-Zarkasyi, “Ilmu yang digunakan untuk
memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan berbagai hukum dan hikmah darinya.”
·
Menurut Quthbuddin ar-Razi, “Ilmu yang membahas apa
yang dikehendaki Allah ta’ala dari Al-Qur’an-Nya yang mulia.”
·
Menurut at-Taftazani, “Ilmu yang membahas
keadaan-keadaan lafazh – yakni, firman Allah ta’ala – dari aspek
apa yang ditunjuk secara kuat sebagai maksud Allah dengannya.”
Khusus dua definisi terakhir ini mengandung kontroversi
tertentu dalam detailnya, yang berusaha diluruskan oleh yang berikut ini.
·
Menurut Syekh Shadruddin al-Qunyawi, “Pengetahuan
tentang keadaan-keadaan firman Allah ta’ala dari aspek Qur’ani-nya dan
dari aspek hal-hal yang mengarah kepada apa yang diketahui atau diduga kuat
sebagai maksud Allah dengannya, sesuai dengan tingkat kemampuan manusiawi.”
Ruang
lingkup. Kajian ilmu
ini berfokus kepada firman-firman Allah yang merupakan sumber segala hikmah dan
tambang aneka rupa keutamaan (fadhilah). Firman Allah yang dikaji hanya
sebatas apa yang ada dalam Al-Qur’an, tidak termasuk hadits Qudsi.
Manfaat. Tujuannya adalah mengetahui makna rangkaian (ayat
atau surah Al-Qur’an) menurut batas kemampuan manusiawi. Ilmu ini sangat
bermanfaat untuk memperoleh kemampuan menarik kesimpulan hukum syar’iyyah
secara benar, mengambil pelajaran dari kisah dan ‘ibrah Al-Qur’an, serta
menghiasi diri dengan akhlaq mulia yang diajarkannya. Sebenarnya masih banyak
lagi manfaat mengkaji ilmu ini, sebab Al-Qur’an sendiri bagaikan lautan yang
tak bertepi.
Keutamaan. Status suatu ilmu sangat tergantung kepada obyek
yang dikajinya. Ia menjadi mulia atau bahkan terlarang karena faktor ini. Menurut
al-Ashbahani, kemuliaan Ilmu Tafsir dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama,
dari obyek kajiannya, yaitu firman Allah yang merupakan sumber hikmah dan
keutamaan. Kedua, dari tujuan mempelajarinya, yaitu berpegang teguh
kepada al-‘urwah al-wutsqa (tali pengikat yang sangat kokoh) dan
mencapai kebahagiaan hakiki. Ketiga, dari urgensinya bagi kita, sebab
setiap kesempurnaan duniawi maupun ukhrawi memerlukan ilmu syar’iyyah
dan pengetahuan diniyah, sementara dua hal terakhir ini sangat
tergantung kepada penguasaan terhadap Kitabullah.
Sejarah dan tokohnya. Sejak masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, ilmu ini sudah berkembang. Namun, beliau tidak menafsirkan semua
ayat. Bahkan riwayat tafsir dari beliau boleh dikatakan sedikit saja. Beliau
hanya menafsirkan apa yang dirasa sukar dimengerti oleh para sahabat. Selebihnya
sudah cukup mudah difahami mengingat Al-Qur’an turun dalam bahasa mereka dan
mereka sendiri adalah generasi yang sangat fasih berbahasa Arab. Penafsiran
yang lebih luas baru berkembang para periode berikutnya, yang mengiringi
meluasnya wilayah kaum muslimin dan masuknya berbagai bangsa non-Arab ke dalam
pelukan Islam. Mereka inilah yang sangat membutuhkan penjelasan dan penafsiran
yang lebih rinci, akibat keawaman mereka terhadap bahasa al-Qur'an. Di sisi
lain, generasi baru bangsa Arab sendiri tumbuh berbaur dengan bangsa-bangsa
asing, sehingga lidah mereka tidak sefasih para pendahulunya. Bahkan, banyak
diantaranya yang hanya berdarah Arab, namun tidak lagi mengenal bahasa nenek-moyangnya.
Ahli tafsir dari kalangan
sahabat adalah khalifah yang empat (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali), Ibnu
Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah
bin az-Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir bin ‘Abdillah, dan ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiya-llahu ‘anhum ajma’in. Diantara empat
khalifah, hanya ‘Ali yang paling banyak dikutip riwayatnya. Tiga lainnya sudah
lebih dulu wafat sehingga sangat jarang ditemukan riwayat tafsir dari mereka.
Dari generasi tabi’in,
para ahli tafsir adalah murid-murid Ibnu ‘Abbas di Makkah, diantaranya Mujahid
bin Jabr al-Makki, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas, Thawus
bin Kaysan al-Yamani, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah al-Makki. Kemudian murid-murid
Ibnu Mas’ud di Kufah, diantaranya ‘Alqamah bin Qays, al-Aswad bin Yazid,
Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Kemudian murid-murid Zaid bin Aslam,
diantaranya ‘Abdurrahman bin Zaid dan Malik bin Anas. Kemudian al-Hasan
al-Bashri, ‘Atha’ bin Abi Salamah Maysarah al-Khurasani, Muhammad bin Ka’ab
al-Qurazhi, Abu al-‘Aliyah Rafi’ bin Mahran ar-Riyaahi, adh-Dhahhak bin
Muzahim, ‘Athiyyah bin Sa’id al-‘Aufi, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi, ar-Rabi’
bin Anas dan as-Suddi.
Setelah mereka, lahir para
ulama’ yang menyusun kitab-kitab tafsir yang mengumpulkan pendapat generasi
sahabat dan tabi’in. Diantara mereka adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’
bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj bin al-Ward, Yazid bin Harun, ‘Abdurrazzaq,
Adam bin Abi Iyas, Ishaq bin Rahawaih, Rauh bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Humaid,
Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan lain-lain.
Setelah ini muncul satu
lapisan ulama’ ahli tafsir lagi, diantaranya adalah ‘Abdurrazzaq, ‘Ali bin Abu
Thalhah, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Abu
asy-Syaikh Ibnu Hibban, dan Ibnu Mundzir.
Setelahnya lahir generasi para
penulis tafsir yang kaya informasi namun tanpa disertakan sanad-nya,
seperti Abu Ishaq az-Zajjaj dan Abu ‘Ali al-Farisi. Ada lagi Abu Bakr
an-Naqqasy, Abu Ja’far an-Nahhas, Makky bin Abi Thalib dan Abu al-‘Abbas
al-Mahdawi.
Setelah mereka, menjamur
berbagai corak tafsir yang sanad-nya diringkas dan teks riwayatnya
sering dikutip tidak lengkap. Dari sinilah berbagai penyusupan terjadi, riwayat
yang shahih bercampur aduk dengan yang cacat, dan bahkan setiap orang
berani mengungkap pendapat apa saja yang terlintas di benaknya mengenai
Al-Qur’an. Lebih celaka lagi, orang-orang yang datang setelahnya mengutip
begitu saja pendapat mereka karena mengira ada dasarnya, dengan tanpa mengecek
dan merujuknya kepada pendapat maupun tokoh yang lebih otoritatif dalam bidang
ini.
Juga muncul fenomena baru,
dimana sekelompok orang yang sangat menguasai satu bidang tertentu menulis
tafsir yang khusus mengurai sudut pandang disiplin ilmunya. Akhirnya terkesan
bahwa Al-Qur’an diturunkan hanya berisi ilmu yang dikuasainya tersebut, padahal
ia merupakan penjelas atas segala sesuatu. Para pakar nahwu akan
mengulas Al-Qur’an sehingga berubah seolah-olah menjadi kitab tatabahasa,
seperti al-Basith karya al-Wahidi, tafsir karya az-Zajjaj, dan al-Bahr
serta an-Nahr karya Abu Hayyan. Para ahli sejarah dan kisah tidak
tertarik untuk membicarakan selain paparan berbagai kejadian, tidak perduli
riwayatnya shahih maupun bathil, seperti ats-Tsa’labi. Ahli fiqh
tak ketinggalan menulis tafsir, lalu menyebutkan aneka ragam cabang-cabang
hukum fiqh beserta dalilnya secara sangat detail, bahkan menyertakan banyak perbedaan
pendapat (khilafiyah) dan jawabannya dalam tafsir tersebut meski
sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan ayat yang sedang dibicarakan,
seperti al-Qurthubi. Pakar ilmu-ilmu ‘aqliyah, terutama Fakhruddin
ar-Razi, akan memasukkan kata-kata para filosof satu demi satu sehingga
sebagian ulama’ merasa heran dan berkomentar, “Di dalamnya terdapat semua hal,
kecuali tafsir.” Penganut aliran-aliran bid’ah juga memanfaatkan tafsir untuk
mendukung madzhab pemikirannya yang rusak. Setiap kali mereka mendapati satu
peluang sekecil apapun dari Al-Qur’an, mereka akan bergegas untuk mengulasnya
sedemikian rupa, seperti al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari. Meski pun ketokohannya
diakui dalam bidang balaghah dan bahasa, namun beliau seorang penganut
Mu’tazilah yang fanatik. Termasuk jenis ini adalah kalangan yang berbicara tentang
tafsir Al-Qur’an tanpa landasan sanad, riwayat dari generasi salaf,
berpegang para kaidah ushuluddin maupun kebahasaan; pendeknya merupakan
penafsiran yang sembarangan dan ngawur, seperti al-‘Aja’ib wal
Ghara’ib karya Mahmud bin Hamzah al-Kirmani. Sebagian kalangan sufi juga
menulis tafsir, namun tidak diakui sebagai tafsir yang sebenarnya oleh para peneliti,
seperti Haqa’iqu at-Tafsir karya as-Sulami.
Nama. Ilmu Tafsir, kadang disebut juga Ilmu Ta’wil.
Sumber bahan
kajian. Dua uraian berikut berasal dari
ulama’ berbeda, namun intinya sama.
·
Disiplin ilmu ini dalam kajiannya berlandaskan
kepada ilmu-ilmu kebahasaan (Arab), dasar-dasar teologi, ushul fiqh,
logika, dan lain-lain.
·
Ilmu Tafsir mengambil bahan kajiannya dari ilmu
kebahasaan (Arab), nahwu, tashrif, ilmu bayan, ushul fiqh, dan
qira’at.
Kebutuhan
kepada tafsir. Allah
menurunkan kitab-Nya dalam bahasa yang dapat difahami hamba-Nya. Oleh karenanya
pula Dia mengutus para rasul dengan bahasa kaumnya. Lalu, mengapa tafsir masih dibutuhkan?
Setidaknya karena tiga alasan. Pertama, kesempurnaan Al-Qur’an yang
sangat tinggi, sehingga mampu menyatukan berbagai makna dalam untaian kalimat
yang ringkas saja. Dengan tafsir maka makna-makna yang tersembunyi bisa
ditampakkan. Masing-masing orang akan berbeda-beda dalam hal ini, tergantung
berbagai faktor. Hal inilah yang menjelaskan mengapa penafsiran seorang ahli
kadang terlihat jauh lebih baik dibanding ahli lainnya. Kedua, adanya
kata maupun kalimat yang mengandung lebih dari satu pengertian, seperti majaz,
isytirak dan dalalah iltizam. Ketiga, Al-Qur’an diturunkan
pada masa hidupnya para ahli bahasa Arab yang paling fasih. Meski demikian
sebagian dari ayat-ayatnya masih sukar dimengerti oleh mereka sehingga
ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di zaman sekarang,
dimana penguasaan kita terhadap bahasa Arab sangat minim, maka tafsir
merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat diabaikan.
Syarat ahli
tafsir. Sebagian ulama’ tidak
mengizinkan siapapun menafsirkan Al-Qur’an dan mencukupkan diri dengan atsar
terkait tafsir yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagian ulama’ yang lain memberi kelonggaran, walau tetap harus memenuhi
syaratnya, yaitu menguasai 15 macam ilmu: (1) bahasa, (2) nahwu, (3) tashrif,
(4) isytiqaq, (5) ma’ani, (6) bayan, (7) badi’, (8)
qira’at, (9) ushuluddin atau teologi, (10) ushul fiqh,
(11) asbabun nuzul dan kisah-kisah, (12) an-nasikh wal mansukh,
(13) fiqh, (14) hadits-hadits yang mengandung penjelasan terhadap hal-hal yang
masih samar atau global dalam Al-Qur’an, (15) ilmu mawhabah, yaitu ilmu
yang dikaruniakan Allah kepada siapa saja yang mengamalkan apa yang
diketahuinya. Selain itu, seorang ahli tafsir juga harus menjaga adab-adab yang
selayaknya ketika berinteraksi dengan firman Allah.
Menurut kami, ditetapkannya
ilmu ke-15 (ilmu mawhabah) sebagai syarat seorang penafsir adalah cara
paling halus untuk mengatakan bahwa hanya seorang mukmin yang bermoral baik dan
berkomitmen kuat kepada agamanya yang layak menafsirkan Al-Qur’an. Dengan ini,
maka orang-orang kafir, fasiq dan penganut aliran bid’ah akan
tersingkir dari pentas ilmiah tafsir Kitabullah, walaupun mereka sanggup
menguasai 14 ilmu lainnya. Menghapus atau mengabaikan syarat terakhir ini
adalah kesalahan fatal, terlebih jika ilmu-ilmu yang lain tidak dikuasai dengan
baik atau bahkan juga diabaikan; belum lagi jika memang adab kepada Allah dan
firman-Nya dilanggar.
Ta’wil. Istilah ini berarti memalingkan makna suatu ayat
kepada makna lain yang selaras dengan (ayat) sebelum maupun sesudahnya, sepanjang
makna itu dimungkinkan oleh ayat yang bersangkutan, sejalan dengan kaidah
kebahasaan serta tidak mengandung pertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
maupun pokok-pokok agama yang sudah lazim. Jadi, ta’wil lebih khusus
dari tafsir. Seringkali tafsir dikesankan sebagai penjelasan
aspek lahiriah Al-Qur’an, yakni makna yang segera bisa ditangkap dengan membaca
teksnya; sedang ta’wil adalah penjelasan aspek batin darinya, yang hanya
diketahui dengan pengamatan yang jeli dan hati-hati. Namun, sebagian ulama’ ada
yang tidak membedakan antara tafsir dengan ta’wil.
Tarjamah. Sebetulnya, tarjamah atau terjemah adalah
bentuk harfiah dari tafsir, hanya saja ada aspek khusus dimana ia berusaha
memindahkan makna dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sebagian orang kurang
menyukai istilah ‘tarjamah al-Qur’an’, sebab teks Kitabullah adalah suci
sehingga tidak bisa dipindahkan kepada bahasa lain. Bagaimanapun juga, teks
hasil terjemahan tidak terjamin dari kesalahan dan bukan sesuatu yang suci,
sebab ia hasil karya manusia. Oleh karenanya, digunakan istilah tarjamatu
ma’aaniiha ila al-lughah... (penerjemahan makna-makna Al-Qur’an ke dalam
bahasa...), sebab yang bisa dialihbahasakan adalah pengertiannya, bukan teks
aslinya. Dilatari sebab-sebab ini pula maka teks asli Al-Qur’an harus selalu
disertakan bersamaan dengan teks terjemahannya, dimana yang terakhir ini tidak boleh
diterbitkan secara terpisah.
Ulumul
Qur’an. Ada sangat banyak cabang dari
ilmu ini, yang bahkan memerlukan buku tersendiri untuk sekedar menguraikannya
satu persatu. Dalam konteks Madrasah, hanya aspek praktis yang diajarkan secara
intensif, yaitu ilmu tajwid dasar sebagai bekal membaca Al-Qur’an dengan lancar
dan benar (murattal dan mujawwad), mengenal tafsir paling
sederhana, dan hafalan dalam kadar tertentu. Meski demikian, di tahun terakhir
siswa tetap diberi satu muqaddimah yang memberikan gambaran lebih luas
terhadap ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya, seperti asbabun nuzul,
nasikh-mansukh, tartib nuzul, qira’at, gharib, i’rab, mufradat, dan
lain-lain.
Literatur penting. Ada tiga jenis kitab tafsir yang sudah ditulis
para ulama’, dipandang dari ukurannya: ringkas, sedang dan panjang. Diantara
karya yang ringkas adalah Zaadu al-Masir karya Ibnu al-Jauzi, al-Wajiz
karya al-Wahidi, Tafsir al-Wadhih karya ar-Razi, dan Tafsir
al-Jalalain karya Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli.
Diantara karya berukuran
sedang adalah al-Wasith karya al-Wahidi, Tafsir al-Maturidi, Tafsir
at-Taysir karya Najmuddin an-Nasafi, al-Kasysyaf karya
az-Zamakhsyari, Tafsir ath-Thayyibi, Tafsir al-Baghawi, Tafsir
al-Kawasyi, Tafsir al-Baydhawi, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir Sirajuddin al-Hindi,
Tafsir Madariku at-Tanzil karya Abu al-Barakat an-Nasafi dan Tafsir Ibnu
Katsir. Imam asy-Syaukani menulis satu kitab tafsir berukuran sedang yang
dipandang sebagai salah satu karya paling baik dari generasi khalaf,
berjudul Fathul Qadir, terdiri dari 5 juz.
Diantara karya yang berukuran
besar adalah al-Basith karya al-Wahidi, Tafsir ar-Raghib karya
al-Ashfahani, al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan, at-Tafsir al-Kabir karya
ar-Razi, Tafsir al-‘Alami yang terdiri dari 40 jilid, Tafsir Ibnu
‘Athiyyah ad-Dimasyqi, Tafsir al-Khuraqi, Tafsir al-Huufi, Tafsir
al-Qusyairi, Tafsir Ibnu ‘Aqil, ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur
karya as-Suyuthi, Tafsir ath-Thabari dan I’rabu al-Qur’an karya
as-Safaqisi.
Saran bacaan.
Jika seseorang ingin menelaah
tafsir, karya mana yang sebaiknya dibaca pertamakali? Secara umum, karya Ibnu
Jarir ath-Thabari dapat dipandang sebagai karya paling utama, sebagaimana
disarankan oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan. Selain itu, dapat
dipilih pula karya Ibnu Katsir. Kedua karya ini ditulis berdasar metode tafsir
bil ma’tsur, dimana bahasanya mudah dimengerti, ungkapannya ringkas dan
langsung ke pokok persoalan, terjauh dari uraian bertele-tele yang tidak ada
kaitannya dengan ayat. Sebagai pertimbangan lebih lanjut, berikut dikemukakan judul-judul
yang dianggap sebagai karya yang baik dan cukup ringkas, yaitu:
1. Jaami’ al-Bayan ‘an Ta’wili
Aayi al-Qur’an, lebih dikenal
dengan Tafsir ath-Thabari, terdiri dari 12 juz, karya Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari (w. 310 H). Menurut an-Nawawi, belum
pernah ada karya tafsir sebagus ini, dan para ulama’ sepakat menobatkannya
sebagai literatur terbaik di bidangnya.
2. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, lebih dikenal sebagai Tafsir Ibnu Katsir,
karya Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi (w. 774
H). Tafsir yang terdiri dari 4 juz ini sangat termasyhur. Di dalamnya beliau
menafsirkan ayat dengan ayat, dengan hadits maupun atsar dari sahabat
dan tabi’in. Ada banyak ringkasan untuk kitab ini, diantaranya ‘Umdatu
at-Tafsir ‘an al-Hafizh Ibn Katsir karya Syekh Ahmad Muhammad Syakir (w.
1370 H), dan Taysiru al-‘Aliyy al-Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibn Katsir
karya Syekh Muhammad Nasib ar-Rifa’i (w. 1413 H).
3. Tafsir al-Baydhawi, yakni Anwaaru at-Tanzil wa Asraaru at-Ta’wil,
karya al-‘Allamah Nashiruddin Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad
al-Baydhawi (w. 685 H). Karya ini merupakan ringkasan dan seleksi materi dari al-Kasysyaf
milik az-Zamakhsyari, at-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi, dan al-Mufradat
susunan ar-Raghib al-Ashfahani. Kitab ini termasuk mendapat sambutan yang baik
dari kaum muslimin. Dalam setiap surah diiringi riwayat tentang keutamaannya,
walau nyaris seluruhnya tidak shahih. Penafsirannya mengikuti metode
Asy’ariyah dalam masalah-masalah teologi. Para ulama’ telah menulis hasyiyah
untuk melengkapi faidah karya ini, diantaranya Syekh Musthafa bin Ibrahim Ibnu
at-Tamjid (w. 880 H) dan Syekh Abu al-Fadhl al-Qurasyi ash-Shiddiqi al-Kazruni
(w. 940 H). Tafsir al-Baydhawi ini pun telah ada ringkasannya.
4. Tafsir as-Sa’di, yaitu Taysiru al-Karim ar-Rahman fi Tafsiri
Kalami al-Mannan, karya Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (w. 1376 H).
Karya ini aslinya terdiri dari 5 jilid tebal, namun sudah diringkas sendiri
oleh penulisnya dan biasanya dicetak dalam satu jilid tebal berjudul Taysiru
al-Lathif al-Mannan fi Khulashati Tafsir al-Qur’an. Merupakan seleksi
penafsiran terbaik dari para ulama’ terpercaya atas ayat-ayat Al-Qur’an. Ungkapan-ungkapannya
ringan dan uraiannya mudah dipahami.
5.
Tafsir Al-Qur’an al-Karim, lebih dikenal sebagai Tafsir al-Jalalain,
terdiri dari satu juz sedang, yang ditulis oleh dua ulama’ terkemuka yang
sama-sama bergelar Jalaluddin, yakni Jalaluddin Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Mahalli (w. 846 H) dan Jalaluddin
‘Abdurrahman bin Abu Bakr as-Suyuthi (w. 911). Jalaluddin al-Mahalli menulis
tafsirnya dari surah al-Kahfi sampai an-Naas, dan meninggal setelah memulai
penafsiran al-Fatihah. Karya setengah jadi ini kemudian dituntaskan oleh
Jalaluddin as-Suyuthi, yang meneruskannya mulai dari surah al-Baqarah sampai al-Isra’.
Beliau mulai menulis di permulaan Ramadhan 870 H dan selesai tanggal 10 Syawal
tahun itu juga. Karya yang sangat luas diterima ini betul-betul ringkas,
sehingga para peneliti menyadari bahwa ia sebenarnya lebih merupakan pegangan
bagi para penelaah tafsir yang sudah sangat mahir, dan tidak menyarankannya bagi
pemula. Gaya penafsirannya mengikuti madzhab teologi Asy’ariyah dan banyak
menyoroti aspek gramatika. Ada beberapa hasyiyah yang ditulis
oleh para ulama’ untuk melengkapi dan menyempurnakan kitab ini, seperti karya Syekh
Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w. 1241 H) dan Syekh Sulaiman bin ‘Umar
al-‘Ujaili (w. 1402 H).
Kajian
terkait. Sebenarnya, apa yang
diuraikan disini merupakan "hasil jadi" dari penelaahan oleh disiplin
ilmu tafsir terhadap ayat-ayat Kitabullah. Sebagai sebuah disiplin ilmu, tentu
ada metodologi dan pokok-pokok kaidahnya, yang biasanya dikenal sebagai Ushul
at-Tafsir. Terdapat karya-karya penting yang ditulis para ulama’ di bidang
ini, antara lain Al-Iksir fi ‘Ilm at-Tafsir karya Syekh Sulaiman bin
‘Abdul Qawi bin ‘Abdul Karim ash-Sharshari al-Baghdadi (w. 716 H), Muqaddimah
fi Ushul at-Tafsir karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), at-Taysir
fi Qawa’idi ‘Ilm at-Tafsir karya Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji (w.
879 H), at-Tahbir fi ‘Ilm at-Tafsir karya Jalaluddin as-Suyuthi, dan al-Qawa’id
al-Hisan li Tafsiri al-Qur’an karya Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
Selain itu, berbagai kitab
tentang ‘ulumul Qur’an, baik yang global maupun spesifik, dapat
dipandang sebagai bekal dalam penafsiran al-Qur’an, seperti tentang asbabun
nuzul, tarikh nuzul, nasikh-mansukh, lughatul Qur’an, i’rabul Qur’an, i’jazul
Qur’an, qira’at, dan lain sebagainya. Masing-masing sub tema telah
berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, selayaknya dengan kedudukan Al-Qur’an
sebagai sumber segala ilmu. [*]