Bismillahrrahmanirrahim
ILMU MAU’IZHAH
Definisi. Ilmu yang dengannya bisa diketahui hal-hal yang
dapat menyebabkan seseorang menahan diri dari sesuatu yang terlarang serta terdorong
untuk bangkit mengerjakan sesuatu yang diperintahkan. Secara sederhana, ilmu
ini menguraikan tentang seni memotivasi dan menegur orang.
Sumber bahan
kajian. Bahan yang dipergunakan adalah
riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kisah-kisah
ahli ibadah, para zahid (orang yang zuhud), dan orang-orang
shalih; termasuk dalam jenis ini adalah kisah orang-orang jahat dan ahli
maksiat yang amalnya buruk serta rusak kehidupannya.
Dalam al-Muntakhab,
Ibnu al-Jauzi berkata, “Ingat, penyampaian nasihat sangat dianjurkan oleh Allah,
yakni dalam firman-Nya, “Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman” (QS adz-Dzariyat: 55), dan juga sabda Rasulullah kepada
para pejabat yang beliau tunjuk, “Perhatikan dan rawatlah manusia dengan peringatan”.
Karena penyakit-penyakit hati pun membutuhkan obat, sebagaimana
penyakit-penyakit fisik memerlukan terapi, maka ditulislah buku-buku yang
menguraikan ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dari ilmu ini.
Generasi salaf sendiri mencukupkan diri dengan nasihat yang ringkas,
tanpa kalimat yang diindah-indahkan maupun pembicaraan yang dihias sedemikian
rupa. Siapapun yang merenungkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh al-Husain
bin ‘Ali radhiya-llahu ‘anhuma, atau selainnya, tentu memahami apa yang
saya maksudkan disini.”
Selanjutnya, beliau menulis, “Apa yang saya kutip dari
para ulama’ tersebut, yang berupa pemilihan kata-kata indah atau nasihat yang
berirama tertentu, semuanya tidak keluar dari batasan jawaz (diizinkan
menurut syari’at). Semua itu kurang lebih serupa dengan pengumpulan al-Qur’an
yang dimulai oleh Abu Bakr, dan dilanjutkan kembali oleh ‘Utsman; atau
kebijakan ‘Umar untuk mengumpulkan kaum muslimin di belakang satu qurra’ di
saat mengerjakan qiyam Ramadhan, dan juga izin yang beliau berikan
kepada Tamim ad-Dariy untuk menuturkan kisah-kisah. Tindakan seperti ini tidak
bisa dicela, sebab apa yang dikreasikan tersebut tidak keluar dari batasan yang
diizinkan oleh syari’at. Al-Hasan [al-Bashri] berkata, ‘(Menuturkan)
kisah-kisah itu memang bid’ah, (akan tetapi) betapa banyak orang yang bisa
mengambil manfaat darinya, dan betapa banyak seruan yang bisa diterima.’”
Syekh Waliyyullah ad-Dahlawi menulis dalam kitabnya, al-Qaul
al-Jamil fi Bayani Sawaa’i as-Sabil, dalam pasal tentang Adab Menasihati
dan juga bagi Pemberi Nasihat, “Allah berfirman kepada Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, ‘Berilah peringatan, karena engkau ini hanyalah
pemberi peringatan’ (QS al-A’la: 21). Allah juga berfirman kepada Musa kaliimullaah
‘alaihis salam, ‘Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (yakni,
sejarah umat yang silam).’ (QS Ibrahim: 5) Maka, memberi peringatan adalah
pilar yang sangat penting (dalam agama). Untuk itu, mari kita bahas sifat
seorang pemberi peringatan, cara memberi peringatan, tujuan yang ingin dicapai,
ilmu mana yang menjadi sumber pengambilan bahannya, apa komponen utamanya, adab
para pendengarnya, dan juga berbagai kesalahan fatal yang diidap oleh para
pemberi peringatan di zaman kita sekarang.”
[Untuk diketahui, bagian selanjutnya adalah kutipan dari
Syekh Waliyullah ad-Dahlawi, dengan penyesuaian seperlunya].
Pemberi
nasihat (mudzakkir). Seharusnya dia adalah sosok yang mukallaf dan ‘adil,
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh para ulama’ terhadap para perawi hadits
dan saksi. Selain itu, dia juga mesti ahli hadits (muhaddits), ahli
tafsir (mufassir), serta mengetahui sejumlah besar kisah dan riwayat
hidup generasi salaf yang shalih. Yang kami maksud dengan ‘ahli hadits’
adalah mereka yang banyak menelaah kitab-kitab hadits, dimana dia bisa membaca
lafazhnya dan memahami maknanya, mengerti mana yang shahih dan yang
cacat meskipun melalui kajian dari seorang hafizh atau penelitian oleh
seorang faqih yang lain. Demikian pula yang kami maksud dengan ‘ahli
tafsir’ adalah orang yang banyak mengkaji penjelasan mengenai kata-kata yang gharib
(asing) dari Al-Qur’an, arah yang tepat dalam memahami apa yang musykil
(sukar dimengerti) di dalamnya, juga riwayat dari generasi salaf yang
terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka. Selain itu, sudah selayaknya dia
adalah pribadi yang cakap dan cerdik dalam berbicara (fashih),
dimana dia bisa berbicara sesuai kadar pemahaman para pendengarnya. Seyogyanya
dia juga seseorang yang lembut, terpandang dan dikenal bersih kehidupannya.
Cara memberi
peringatan. Jangan terlalu sering
menyampaikan nasihat dan peringatan. Hindari berbicara ketika para pendengar
terlihat jenuh dan bosan. Sebaliknya, mulailah berbicara ketika mereka sedang
bergairah dan hentikan ketika mereka masih ingin diteruskan. Duduklah di tempat
yang mudah dilihat semua orang yang hadir, seperti masjid. Mulai pembicaraan
dengan hamdalah dan shalawat, demikian pula ketika menutupnya.
Panjatkan doa untuk seluruh kaum muslimin pada umumnya, dan khususnya para
hadirin. Jangan mengkhususkan tema pembicaraan pada masalah targhib
(motivasi) dan tarhib (ancaman) saja, namun campurkan di dalamnya dari
berbagai tema yang relevan, sebagaimana kebiasaan Allah yang suka mengiringkan
ancaman setelah janji, atau peringatan setelah kabar gembira. Permudahlah, dan
jangan mempersulit. Arahkan pembicaraan kepada semua pendengar, bukan untuk sebagian
saja dari mereka. Jangan menyebut secara langsung kelompok atau pribadi yang
hendak ditegur, akan tetapi gunakan kalimat sindiran, misalnya, “Mengapa orang-orang
ini melakuan begini begitu.” Jangan mengungkapkan hal-hal yang murahan dan
tidak relevan. Katakan yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk. Tegakkan amar
ma’ruf nahi munkar, dan jangan menjadi imma’ah (plin-plan, tidak
punya pendirian). Ulangi kata-kata yang penting tiga kali, untuk memberi
penekanan. Jika di majelis tersebut ada pendengar yang berbicara dengan bahasa
berbeda, sementara sang pemberi peringatan mampu berbicara dalam bahasa itu, bisa
juga diselingi dengan penggunaan istilah dalam bahasa mereka. Hindari uraian
yang terlalu rinci, atau sebaliknya terlalu umum.
Tujuan yang
ingin dicapai. Hendaknya seorang
pemberi peringatan menengok dirinya sendiri terlebih dahulu. Wujudkanlah
kepribadian seorang muslim sejati semaksimal mungkin, yaitu dalam amal
perbuatan, perkataan, akhlaq, dan isi hati. Jangan lupa untuk kontinyu
berdzikir. Setelah itu, tularkan watak tersebut secara utuh kepada para
pendengar dengan bertahap, sesuai tingkat pemahamannya. Pertama, perintahkan
mereka untuk mengerjakan amal-amal kebajikan yang paling utama dan menghindari
keburukan yang paling rendah, terutama dalam berpakaian, dandanan, tatacara
shalat, dan lain-lain. Jika mereka telah terbiasa dengan semua itu, maka
suruhlah mereka untuk melazimkan dzikir dalam kesehariannya. Jika dzikir telah
membekas dalam diri mereka, doronglah untuk mulai mengendalikan lisan dan
hatinya. Untuk menanamkan kesan ini, seorang pemberi peringatan dapat
menuturkan ayyamullah (hari-hari Allah), yaitu kisah-kisah umat
terdahulu, dimana di dalamnya tercermin betapa hebatnya tindakan, penguasaan
dan siksaan Allah kepada para pendurhaka. Kemudian, dapat diulas pula
kedahsyatan kematian, siksa kubur, hari perhitungan amal, dan siksa neraka. Bisa
juga disampaikan beragam motivasi dan dorongan, sesuai situasi dan kondisi yang
ada.
Sumber
bahannya. Hendaknya mengambil bahan
dari Kitabullah berdasarkan penjelasan yang paling dekat dan terang, kemudian
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah dikenal
kualitasnya di kalangan para ulama’ Ahli Hadits, juga perkataan para sahabat, tabi’in,
maupun figur-figur lain yang shalih. Bisa juga mengambil bahan dari sirah
nabawiyah. Jangan menuturkan kisah-kisah ajaib yang mengandung unsur
kebohongan, sebab para Sahabat sangat membenci hal ini. Mereka mengusir para
penuturnya dari masjid-masjid dan bahkan memukul mereka. Kebanyakan kisah jenis
ini terdapat dalam isra’iliyat (cerita yang bersumber dari tradisi
Yahudi-Nasrani), dimana kebenarannya tidak bisa dijamin; juga dalam sirah
dan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an).
Komponennya.
Sebuah nasihat dan peringatan
bisa mengandung targhib, tarhib, tamtsil (perumpamaan)
yang jelas, kisah-kisah yang menyentuh hati, dan anekdot-anekdot yang
bermanfaat. Adapun masalah halal-haram, doa-doa, aqidah, atau yang
serupa dengannya, maka masalahnya sudah jelas dan masing-masing ada disiplin
ilmu tersendiri yang mengajarkannya.
Adab bagi
pendengar. Hendaklah menghadap ke arah
pembicara. Jangan bermain-main atau membuat gaduh dengan celetukan-celetukan. Jangan
berbicara sendiri dengan sesama pendengar. Hindari banyak mengajukan
pertanyaan, kecuali jika ada masalah yang sangat penting untuk diketahui. Bila
masalah yang ingin ditanyakan tidak punya hubungan yang erat dengan tema yang
sedang disajikan, atau dikhawatirkan tidak bisa dipahami oleh mayoritas
pendengar lainnya, maka tahan dirilah. Tanyakan saja di luar forum secara
individual, jika memang perlu. Bila ingin bertanya dan hal itu erat kaitannya
dengan tema pembicaraan, tunggu sampai sang pemberi peringatan menyelesaikan
kalimatnya; jangan menyela di tengah-tengah.
Perhatian. Di zaman sekarang, banyak pemberi peringatan yang
jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan fatal. Kebanyakan diantara mereka tidak bisa
membedakan antara yang palsu (maudhu’) dengan yang benar (shahih),
bahkan mayoritas isi pembicaraanya adalah cerita-cerita palsu, fiktif, atau menyeleweng.
Kadang mereka juga suka menyampaikan berbagai bacaan shalawat maupun doa
yang sudah divonis “palsu”. Ada lagi yang berlebih-lebihan dalam memberikan targhib
dan tarhib, menuturkan kisah pertempuran Karbala, kewafatan tokoh ini
itu, dan lain-lain.
Literatur
penting. Hampir setiap kitab induk
hadits memuat bab-bab khusus yang berjudul al-fadha’il, yakni keutamaan.
Selain menguraikan keutamaan amal ibadah, tempat, waktu, bacaan dan ucapan,
biasanya dibahas pula keutamaan para sahabat Rasulullah. Bab-bab yang membahas sirah
juga mengandung unsur kisah yang dapat dijadikan bahan mau’izhah. Berbagai
kitab musnad menyajikan informasi cukup baik untuk pemberian peringatan,
karena bab-babnya ditulis berdasarkan nama para perawinya. Kitab-kitab standar
tentang biografi perawi hadits pun memuat hal serupa. Meski harus dibaca dengan
teliti, namun referensi jenis terakhir ini memuat kisah para tokoh dari dua
sisi sekaligus: positif dan negatif. Dalam pemberian mau’izhah,
mengemukakan contoh kebaikan dan keburukan akan memperkuat pesan yang hendak
disampaikan. Dalam skala lebih luas, dapat ditelaah pula kitab-kitab tarikh,
seperti Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi, Namun, untuk bahan yang
lebih spesifik, disarankan menelaah kitab-kitab berikut: Hilyatu al-Auliya’ karya
Abu Nu’aim al-Ashfahani, juga ringkasannya Shifatu ash-Shafwah milik
Ibnu al-Jauzi, Fadha’il ash-Shahabat karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,
Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir, Siyaru A’lami an-Nubala’ karya
adz-Dzahabi, al-Faqih wal Mutafaqqih dan ar-Rihlah fi Thalabi
al-Hadits karya al-Khathib, atau karya yang lebih modern seperti Rijal
Haula ar-Rasul karya Khalid Muhammad Khalid, Mausu’ah Nadhratu an-Na’im
fi Makarimi Akhlaqi ar-Rasul al-Karim karya sekelompok sarjana yang
dipimpin oleh imam dan khathib Masjidil Haram Syekh Shalih bin
‘Abdullah bin Humaid, dan lain-lain.[*]