Bismillahirrahmanirrahim
ILMU KHATH
Definisi. Pengetahuan tentang tatacara menggambarkan
kata-kata dengan menggunakan huruf-huruf hija’iyah.
Ruang
lingkup. Dalam
kaitannya dengan bahasa Arab, maka yang dipelajari adalah metode penulisan
huruf-huruf Arab sesuai kaidah yang benar, termasuk cara membacanya. Ilmu ini
tidak bersifat teoritik, namun merupakan ketrampilan praktis dan dasar.
Manfaat. Tujuan maupun manfaat mempelajari ilmu ini sudah
sangat jelas, sebab dengannya seseorang dapat menuliskan kata-kata berbahasa
Arab dengan benar sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman maupun kerancuan.
Keutamaan. Allah bahkan menyandarkan pengajaran menulis ini
kepada diri-Nya sendiri, dalam firman-Nya, “(Dia) yang mengajar (manusia)
dengan perantaran qalam (pena)” [QS al-‘Alaq: 4], maksudnya: Allah mengajar
manusia dengan perantaraan tulis baca. Ini saja sebenarnya sudah cukup menjadi
keutamaan.
Ibnu ‘Abbas radhiya-llahu
‘anhuma menyatakan, “Tulisan adalah lidah bagi tangan.” Dikatakan, “Tidak
ada satu perkara pun kecuali tulisan mampu mewakili, mengelola dan
mengungkapkannya. Dengan tulisanlah keistimewaan spesies manusia tampil, dari
sekedar potensi menjadi aksi, yang menjadikannya bernilai lebih dibanding
binatang.” Dikatakan pula, “Tulisan lebih utama dibanding perkataan (lisan),
sebab perkataan hanya memberi pemahaman kepada mereka yang hadir, sementara
tulisan mampu memberi pemahaman kepada siapa saja baik yang hadir maupun
tidak.”
Hubungan
dengan ilmu lain. Ilmu Khath
punya kaitan yang erat dengan kaligrafi dan Ilmu Rasm Mushhaf.
Sebagaimana disinggung dimuka, Khath sebenarnya lebih bersifat praktis dimana
seseorang dapat membaca dan menulis secara benar, tidak lebih. Kaligrafi
merupakan aspek seni dari ketrampilan menulis ini, sedangkan Ilmu Rasm Mushhaf
mengkaji metode penulisan mushhaf Al-Qur’an yang khusus dan tidak selalu
sama dengan metode pencatatan naskah lain pada umumnya. Karena unsur seninya
maka nyaris tidak ada dua khath milik penulis berbeda yang bisa sama
persis, demikian pula dalam hal keindahan dan kreatifitasnya.
Ilmu ini juga terkait dengan ‘ilm
imla’ al-khath al-‘arabi, yakni dikte atau ketrampilan menyalin kata-kata
yang diucapkan kepada bentuk tertulis secara benar. Ilmu Imla’ sendiri pada
dasarnya adalah cabang dari Ilmu Khath. Di zaman klasik, para pelajar terbiasa
menyalin (transkrip) kata-kata gurunya dan meriwayatkannya kembali. Di masa
berikutnya, banyak pelajar yang memesan buku kepada para penyalin kilat, yakni warraaq,
untuk mendapatkan salinan naskah buku karya ulama' tertentu yang mereka
inginkan. Pada masa itu, para warraaq ibarat mesin fotokopi hidup yang
sanggup menyalin ratusan halaman dalam beberapa jam saja. Kemampuan menyalin
secara akurat ini tentu saja sangat tergantung kepada penetapan serta penguasaan
kaidah-kaidah imla' dan khath. Para ulama' sendiri juga
memanfaatkan jasa para warraaq untuk mentranskrip ceramah mereka menjadi
buku, yang biasanya didiktekan di masjid atau tempat lain. Naskah hasil
transkrip ini kemudian dibacakan kembali, dan setelah disahkan oleh ulama'
tersebut, maka ia boleh diterbitkan untuk umum. Salinan-salinan semacam inilah
yang beredar di masyarakat, dan dengan cara ini pula buku-buku diterbitkan
sebelum ditemukannya mesin cetak maupun fotokopi.
Para sahabat sendiri menerima
Al-Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara lisan,
lalu menghafalnya. Walau pencatatan bukan sesuatu yang lazim di zaman tersebut,
namun sebagian mereka ada yang menyalinnya ke dalam berbagai media yang
tersedia waktu itu, seperti lembaran kulit, pelepah kurma, tulang pipih, bahkan
lempengan batu. Pengumpulan teks Al-Qur’an dalam bentuk satu mushhaf utuh
baru dilakukan di zaman Abu Bakar, yang kemudian diperbanyak dan disebarluaskan
dalam satu standar resmi di zaman ‘Utsman. Hadits-hadits Nabi juga diriwayatkan
oleh para sahabat secara lisan, dan baru belakangan benar-benar dipelihara
dalam dokumen tertulis. Tampaknya, dengan mencermati keakuratan serta
konsistensi periwayatan yang sangat luar biasa dalam hadits, kita dapat
berasumsi bahwa hafalan bukan merupakan satu-satunya pegangan, namun sekaligus
digunakan pula dokumen tertulis. Salah satu kriteria terpenting dalam
periwayatan hadits sendiri, yakni dhabth, ternyata mengizinkan dua
bentuk dhabth, yakni dhabth ash-shadr dan dhabth al-kitab.
Bentuk pertama adalah hafalan di luar kepala, sedang yang terakhir berupa
terpeliharanya bacaan terhadap suatu naskah secara tepat dan konsisten. Kata dhabth
sendiri mengandung makna-makna berikut: teliti, seksama, tepat, sempurna, konsisten,
sangat kuat, benar, terkendali, dan superior.
Sejarah dan
tokoh. Konon, manusia pertama yang
menulis adalah Adam ‘alaihis salam, yang menggoreskannya pada tanah liat
(basah) lalu membakarnya supaya awet. Ada yang berpendapat, penulis pertama bukan
beliau, tetapi Idris ‘alaihis salam.
Menurut Ibnu ‘Abbas radhiya-llahu
‘anhuma, orang Arab yang pertamakali memperkenalkan tulis-menulis adalah
tiga orang dari suku Bulan, salah satu cabang kabilah Thayy. Mereka menunjungi kota
Anbar – dekat Balkh, sekarang berada di Iran – dan belajar menulis kepada
penduduknya. Orang pertama bernama Maraz, yang memperkenalkan bentuk-bentuk
huruf. Kedua bernama Aslam, yang memperkenalkan cara merangkai dan memisahkan
huruf. Dan ketiga bernama ‘Amir, yang memperkenalkan tanda-tanda titik pada
huruf. Setelah itu tulisan Arab menyebar ke berbagai suku.
Ada yang mengatakan bahwa
perintis pertamanya adalah 6 orang yang berasal dari Thalsam, mereka bernama
Abjad, Hawaz, Hattiy, Kaliman, Sa’fash, dan Qarsyat. Mereka menciptakan seni
baca-tulis dengan sandi huruf yang terdapat pada nama-nama mereka, sedang huruf
yang tidak ada disusulkan kemudian. Jika diurai, maka nama-nama mereka berisi 22
huruf hija’iyah: a-ba-ja-da, ha-wa-za, ha-tha-ya, ka-la-ma-na, sa-fa-‘a-sha,
dan qa-ra-sya-ta. Enam huruf tidak terdapat disini yang disusulkan belakangan,
yaitu: tsa, kha, dza, dha, zha, gha. Konon, mereka berenam ini adalah para raja
Madyan.
Menurut Sirah Ibnu Hisyam,
orang yang pertama menulis dalam bahasa Arab adalah Himyar bin Saba’, nenek
moyang bangsa Yaman. Tetapi, menurut as-Suhaili, orang pertama tersebut adalah
Isma’il ‘alaihis salam, leluhur kabilah Quraisy, yang didasarkan pada sebuah
riwayat marfu’ dari jalur Ibnu ‘Abdil Barr.
Menurut Abu al-Khair, secara
global bentuk tulisan yang paling dikenal di dunia mengacu kepada 12 model
dasar, yaitu ‘Arab, Himyar, Yunani, Persia, Suryani (Syiriac), ‘Ibrani
(Hebrew), Romawi (Latin), Koptik (Mesir), Barbar (Afrika Utara), Andalusia,
India, dan China. Sebagian sudah punah dan hanya tinggal kenangan dalam
prasasti maupun manuskrip kuno, sebagian tetap bertahan dan berkembang hingga
sekarang.
Menurut Ibnu Ishaq, khath
Arab yang muncul pertamakali adalah gaya Makki, kemudian Madani, disusul Bashri
dan Kufi. Gaya Makki dan Madani mempunyai ciri khas pada bentuk hurufnya yang
sedikit “berbaring”. Diantara penulis mushaf Al-Qur’an yang paling baik pada
zaman pertama adalah Khalid bin Abi al-Hayyaj, sekretaris khalifah al-Walid bin
‘Abdul Malik. Saat itu, khath yang dipakai adalah jenis yang sekarang
disebut khath Kufi, yang dianggap sebagai induk khath-khath lain
setelahnya. Pada zaman khalifah Harun ar-Rasyid, penulis mushaf yang terkenal
adalah Khasynam al-Bashri dan al-Mahdi al-Kufi. Pada zaman khalifah
al-Mu’tashim, tokoh khath termasyhur adalah Abu Hida, berasal
dari Kufah.
Pada permulaan tampilnya Bani
Umayyah, penulis terbaik saat itu adalah Qathabah, yang memperkenalkan 4 bentuk
khath dimana satu sama lain saling mengadopsi. Metode Qathabah ini
kemudian ditambahi oleh adh-Dhahhak bin ‘Ajlan pada awal-awal kekhilafahan Bani
‘Abbas. Setelah itu lahir Ishaq bin Hammad pada zaman pemerintahan khalifah
al-Manshur dan al-Mahdi, yang mempunyai banyak murid sehingga metodenya
berkembang menjadi 12 macam gaya yang sangat variatif. Bentuknya terus-menerus
bertambah dan bercabang, sampai akhirnya tampil al-Ahwal al-Muharrir yang
menguraikan bentuk-bentuk rasm huruf berikut aturan-aturan dasarnya,
sehingga kategorinya menjadi lebih jelas. Di belakangnya tampil al-Fadhl bin
Sahl, dan kemudian Abu al-Hasan Ishaq bin Ibrahim (guru khusus khalifah
al-Muqtadir dan anak-anaknya).
Diantara para menteri yang
dikenal sebagai ahli kaligrafi handal adalah Abu ‘Ali Muhammad bin Muqlah (w.
328 H), pencetus khath badi’, yang kemudian disempurnakan oleh ‘Ali bin
Hilal (w. 413 H) atau lebih dikenal sebagai Ibnu al-Bawwab, murid dari Muhammad
bin Asad al-Katib. Di kalangan ahli kaligrafi klasik, tidak ada penulis yang
mampu menandingi kehebatan Ibnu al-Bawwab ini, bahkan tidak juga yang mendekatinya.
Lalu, muncul Abu ad-Durr Yaqut bin ‘Abdillah ar-Rumi al-Hamawi (w. 626
H), dan disusul Abu al-Majd Yaqut bin ‘Abdillah ar-Rumi al-Musta’shimi (w. 698
H). Nama terakhir ini diakui sebagai ahli yang sukar disamai kecemerlangannya.
Dalam periode yang lebih
akhir, muncul 6 gaya yang sampai kini paling populer, yaitu: tsuluts, naskh,
ta’liq, rayhan, muhaqqaq, dan riqa’. Tokoh-tokoh yang dikenal mahir
dalam khath ini adalah Ibnu Muqlah, Ibnu al-Bawwab, Yaqut, ‘Abdullah
Arghun, ‘Abdullah ash-Shayrafi, Mubaraksyah as-Suyufi, Mubaraksyah al-Quthb, Yahya
ash-Shufi, Syaikh Ahmad as-Suhrawardi, dan Asadullah Al-Kirmani. Di wilayah
Romawi (yakni Turki ‘Utsmani), yang terkenal sebagai kaligrafer terbaik adalah
Hamdullah bin Syaikh al-Amasi dan putranya Dudah Celebi, Jalal, Jamal, Ahmad
Qurrah al-Hishari beserta dua muridnya: Hasan dan ‘Abdullah al-Qarimi.
Setelah itu muncul jenis khath
ta’liq, diwani dan dusyti. Diantara pakar khath ta’liq
adalah Sulthan ‘Ali al-Masyhadi, Mir ‘Ali dan Mir ‘Imad.
Sumber bahan
kajian. Ilmu ini – jika dimaksudkan
untuk keindahan dan seni – maka ia adalah ilmu terapan atau teknik yang mengandung
aspek seni dan estetika. Disini, yang penting adalah pengalaman serta latihan,
selain pemahaman terhadap dasar-dasar kaidah penulisan dan – tentu saja – kreatifitas
serta bakat. Namun, dalam bentuk dasarnya, cukuplah seseorang menguasai kaidah-kaidah
dasar penulisan dan dengannya mampu menyalin kata-kata berbahasa Arab secara
tepat. [*]