Ilmu Khath - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (12)


Bismillahirrahmanirrahim

ILMU KHATH

Definisi. Pengetahuan tentang tatacara menggambarkan kata-kata dengan menggunakan huruf-huruf hija’iyah.
Ruang lingkup. Dalam kaitannya dengan bahasa Arab, maka yang dipelajari adalah metode penulisan huruf-huruf Arab sesuai kaidah yang benar, termasuk cara membacanya. Ilmu ini tidak bersifat teoritik, namun merupakan ketrampilan praktis dan dasar.
Manfaat. Tujuan maupun manfaat mempelajari ilmu ini sudah sangat jelas, sebab dengannya seseorang dapat menuliskan kata-kata berbahasa Arab dengan benar sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman maupun kerancuan.
Keutamaan. Allah bahkan menyandarkan pengajaran menulis ini kepada diri-Nya sendiri, dalam firman-Nya, “(Dia) yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena)” [QS al-‘Alaq: 4], maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Ini saja sebenarnya sudah cukup menjadi keutamaan.
Ibnu ‘Abbas radhiya-llahu ‘anhuma menyatakan, “Tulisan adalah lidah bagi tangan.” Dikatakan, “Tidak ada satu perkara pun kecuali tulisan mampu mewakili, mengelola dan mengungkapkannya. Dengan tulisanlah keistimewaan spesies manusia tampil, dari sekedar potensi menjadi aksi, yang menjadikannya bernilai lebih dibanding binatang.” Dikatakan pula, “Tulisan lebih utama dibanding perkataan (lisan), sebab perkataan hanya memberi pemahaman kepada mereka yang hadir, sementara tulisan mampu memberi pemahaman kepada siapa saja baik yang hadir maupun tidak.”
Hubungan dengan ilmu lain. Ilmu Khath punya kaitan yang erat dengan kaligrafi dan Ilmu Rasm Mushhaf. Sebagaimana disinggung dimuka, Khath sebenarnya lebih bersifat praktis dimana seseorang dapat membaca dan menulis secara benar, tidak lebih. Kaligrafi merupakan aspek seni dari ketrampilan menulis ini, sedangkan Ilmu Rasm Mushhaf mengkaji metode penulisan mushhaf Al-Qur’an yang khusus dan tidak selalu sama dengan metode pencatatan naskah lain pada umumnya. Karena unsur seninya maka nyaris tidak ada dua khath milik penulis berbeda yang bisa sama persis, demikian pula dalam hal keindahan dan kreatifitasnya.
Ilmu ini juga terkait dengan ‘ilm imla’ al-khath al-‘arabi, yakni dikte atau ketrampilan menyalin kata-kata yang diucapkan kepada bentuk tertulis secara benar. Ilmu Imla’ sendiri pada dasarnya adalah cabang dari Ilmu Khath. Di zaman klasik, para pelajar terbiasa menyalin (transkrip) kata-kata gurunya dan meriwayatkannya kembali. Di masa berikutnya, banyak pelajar yang memesan buku kepada para penyalin kilat, yakni warraaq, untuk mendapatkan salinan naskah buku karya ulama' tertentu yang mereka inginkan. Pada masa itu, para warraaq ibarat mesin fotokopi hidup yang sanggup menyalin ratusan halaman dalam beberapa jam saja. Kemampuan menyalin secara akurat ini tentu saja sangat tergantung kepada penetapan serta penguasaan kaidah-kaidah imla' dan khath. Para ulama' sendiri juga memanfaatkan jasa para warraaq untuk mentranskrip ceramah mereka menjadi buku, yang biasanya didiktekan di masjid atau tempat lain. Naskah hasil transkrip ini kemudian dibacakan kembali, dan setelah disahkan oleh ulama' tersebut, maka ia boleh diterbitkan untuk umum. Salinan-salinan semacam inilah yang beredar di masyarakat, dan dengan cara ini pula buku-buku diterbitkan sebelum ditemukannya mesin cetak maupun fotokopi.
Para sahabat sendiri menerima Al-Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara lisan, lalu menghafalnya. Walau pencatatan bukan sesuatu yang lazim di zaman tersebut, namun sebagian mereka ada yang menyalinnya ke dalam berbagai media yang tersedia waktu itu, seperti lembaran kulit, pelepah kurma, tulang pipih, bahkan lempengan batu. Pengumpulan teks Al-Qur’an dalam bentuk satu mushhaf utuh baru dilakukan di zaman Abu Bakar, yang kemudian diperbanyak dan disebarluaskan dalam satu standar resmi di zaman ‘Utsman. Hadits-hadits Nabi juga diriwayatkan oleh para sahabat secara lisan, dan baru belakangan benar-benar dipelihara dalam dokumen tertulis. Tampaknya, dengan mencermati keakuratan serta konsistensi periwayatan yang sangat luar biasa dalam hadits, kita dapat berasumsi bahwa hafalan bukan merupakan satu-satunya pegangan, namun sekaligus digunakan pula dokumen tertulis. Salah satu kriteria terpenting dalam periwayatan hadits sendiri, yakni dhabth, ternyata mengizinkan dua bentuk dhabth, yakni dhabth ash-shadr dan dhabth al-kitab. Bentuk pertama adalah hafalan di luar kepala, sedang yang terakhir berupa terpeliharanya bacaan terhadap suatu naskah secara tepat dan konsisten. Kata dhabth sendiri mengandung makna-makna berikut: teliti, seksama, tepat, sempurna, konsisten, sangat kuat, benar, terkendali, dan superior.
Sejarah dan tokoh. Konon, manusia pertama yang menulis adalah Adam ‘alaihis salam, yang menggoreskannya pada tanah liat (basah) lalu membakarnya supaya awet. Ada yang berpendapat, penulis pertama bukan beliau, tetapi Idris ‘alaihis salam.
Menurut Ibnu ‘Abbas radhiya-llahu ‘anhuma, orang Arab yang pertamakali memperkenalkan tulis-menulis adalah tiga orang dari suku Bulan, salah satu cabang kabilah Thayy. Mereka menunjungi kota Anbar – dekat Balkh, sekarang berada di Iran – dan belajar menulis kepada penduduknya. Orang pertama bernama Maraz, yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf. Kedua bernama Aslam, yang memperkenalkan cara merangkai dan memisahkan huruf. Dan ketiga bernama ‘Amir, yang memperkenalkan tanda-tanda titik pada huruf. Setelah itu tulisan Arab menyebar ke berbagai suku.
Ada yang mengatakan bahwa perintis pertamanya adalah 6 orang yang berasal dari Thalsam, mereka bernama Abjad, Hawaz, Hattiy, Kaliman, Sa’fash, dan Qarsyat. Mereka menciptakan seni baca-tulis dengan sandi huruf yang terdapat pada nama-nama mereka, sedang huruf yang tidak ada disusulkan kemudian. Jika diurai, maka nama-nama mereka berisi 22 huruf hija’iyah: a-ba-ja-da, ha-wa-za, ha-tha-ya, ka-la-ma-na, sa-fa-‘a-sha, dan qa-ra-sya-ta. Enam huruf tidak terdapat disini yang disusulkan belakangan, yaitu: tsa, kha, dza, dha, zha, gha. Konon, mereka berenam ini adalah para raja Madyan.
Menurut Sirah Ibnu Hisyam, orang yang pertama menulis dalam bahasa Arab adalah Himyar bin Saba’, nenek moyang bangsa Yaman. Tetapi, menurut as-Suhaili, orang pertama tersebut adalah Isma’il ‘alaihis salam, leluhur kabilah Quraisy, yang didasarkan pada sebuah riwayat marfu’ dari jalur Ibnu ‘Abdil Barr.
Menurut Abu al-Khair, secara global bentuk tulisan yang paling dikenal di dunia mengacu kepada 12 model dasar, yaitu ‘Arab, Himyar, Yunani, Persia, Suryani (Syiriac), ‘Ibrani (Hebrew), Romawi (Latin), Koptik (Mesir), Barbar (Afrika Utara), Andalusia, India, dan China. Sebagian sudah punah dan hanya tinggal kenangan dalam prasasti maupun manuskrip kuno, sebagian tetap bertahan dan berkembang hingga sekarang.
Menurut Ibnu Ishaq, khath Arab yang muncul pertamakali adalah gaya Makki, kemudian Madani, disusul Bashri dan Kufi. Gaya Makki dan Madani mempunyai ciri khas pada bentuk hurufnya yang sedikit “berbaring”. Diantara penulis mushaf Al-Qur’an yang paling baik pada zaman pertama adalah Khalid bin Abi al-Hayyaj, sekretaris khalifah al-Walid bin ‘Abdul Malik. Saat itu, khath yang dipakai adalah jenis yang sekarang disebut khath Kufi, yang dianggap sebagai induk khath-khath lain setelahnya. Pada zaman khalifah Harun ar-Rasyid, penulis mushaf yang terkenal adalah Khasynam al-Bashri dan al-Mahdi al-Kufi. Pada zaman khalifah al-Mu’tashim, tokoh khath termasyhur adalah Abu Hida, berasal dari Kufah.
Pada permulaan tampilnya Bani Umayyah, penulis terbaik saat itu adalah Qathabah, yang memperkenalkan 4 bentuk khath dimana satu sama lain saling mengadopsi. Metode Qathabah ini kemudian ditambahi oleh adh-Dhahhak bin ‘Ajlan pada awal-awal kekhilafahan Bani ‘Abbas. Setelah itu lahir Ishaq bin Hammad pada zaman pemerintahan khalifah al-Manshur dan al-Mahdi, yang mempunyai banyak murid sehingga metodenya berkembang menjadi 12 macam gaya yang sangat variatif. Bentuknya terus-menerus bertambah dan bercabang, sampai akhirnya tampil al-Ahwal al-Muharrir yang menguraikan bentuk-bentuk rasm huruf berikut aturan-aturan dasarnya, sehingga kategorinya menjadi lebih jelas. Di belakangnya tampil al-Fadhl bin Sahl, dan kemudian Abu al-Hasan Ishaq bin Ibrahim (guru khusus khalifah al-Muqtadir dan anak-anaknya).
Diantara para menteri yang dikenal sebagai ahli kaligrafi handal adalah Abu ‘Ali Muhammad bin Muqlah (w. 328 H), pencetus khath badi’, yang kemudian disempurnakan oleh ‘Ali bin Hilal (w. 413 H) atau lebih dikenal sebagai Ibnu al-Bawwab, murid dari Muhammad bin Asad al-Katib. Di kalangan ahli kaligrafi klasik, tidak ada penulis yang mampu menandingi kehebatan Ibnu al-Bawwab ini, bahkan tidak juga yang mendekatinya. Lalu, muncul Abu ad-Durr Yaqut bin ‘Abdillah ar-Rumi al-Hamawi (w. 626 H), dan disusul Abu al-Majd Yaqut bin ‘Abdillah ar-Rumi al-Musta’shimi (w. 698 H). Nama terakhir ini diakui sebagai ahli yang sukar disamai kecemerlangannya.
Dalam periode yang lebih akhir, muncul 6 gaya yang sampai kini paling populer, yaitu: tsuluts, naskh, ta’liq, rayhan, muhaqqaq, dan riqa’. Tokoh-tokoh yang dikenal mahir dalam khath ini adalah Ibnu Muqlah, Ibnu al-Bawwab, Yaqut, ‘Abdullah Arghun, ‘Abdullah ash-Shayrafi, Mubaraksyah as-Suyufi, Mubaraksyah al-Quthb, Yahya ash-Shufi, Syaikh Ahmad as-Suhrawardi, dan Asadullah Al-Kirmani. Di wilayah Romawi (yakni Turki ‘Utsmani), yang terkenal sebagai kaligrafer terbaik adalah Hamdullah bin Syaikh al-Amasi dan putranya Dudah Celebi, Jalal, Jamal, Ahmad Qurrah al-Hishari beserta dua muridnya: Hasan dan ‘Abdullah al-Qarimi.
Setelah itu muncul jenis khath ta’liq, diwani dan dusyti. Diantara pakar khath ta’liq adalah Sulthan ‘Ali al-Masyhadi, Mir ‘Ali dan Mir ‘Imad.
Sumber bahan kajian. Ilmu ini – jika dimaksudkan untuk keindahan dan seni – maka ia adalah ilmu terapan atau teknik yang mengandung aspek seni dan estetika. Disini, yang penting adalah pengalaman serta latihan, selain pemahaman terhadap dasar-dasar kaidah penulisan dan – tentu saja – kreatifitas serta bakat. Namun, dalam bentuk dasarnya, cukuplah seseorang menguasai kaidah-kaidah dasar penulisan dan dengannya mampu menyalin kata-kata berbahasa Arab secara tepat. [*]