ILMU FIQH
Secara bahasa, al-fiqh
berarti pemahaman (al-fahm) secara umum. Menurut Syaikh Abu Ishaq, kata
itu berarti “memahami sesuatu yang tersembunyi”.
Definisi. Beberapa definisi Ilmu Fiqh:
·
Menurut Abu Hanifah, “Pengenalan terhadap diri
sendiri, mengenai apa yang menjadi hak dan kewajibannya.”
·
Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu tentang
hukum-hukum syar’iyyah ‘amaliyyah yang disimpulkan dari dalil-dalil syar’i
yang terperinci – atau – kumpulan hukum-hukum syar’iyyah ‘amaliyyah yang
disimpulkan dari dalil-dalil syar’i yang terperinci.” Ini adalah
definisi yang umum ditemukan dalam tradisi fiqh madzhab Syafi’i.
·
Menurut Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, “Pengetahuan
tentang hukum-hukum syar’iyyah yang diperoleh melalui metode ijtihad.”.
·
Menurut Imam al-Haramain al-Juwayni, “Ilmu tentang
hukum-hukum taklif (yang dibebankan oleh syari’at).”
·
Menurut Ibnu Khaldun, “Pengetahuan tentang
hukum-hukum Allah dalam amal perbuatan orang yang mukallaf, baik yang
diwajibkan, dilarang, dibolehkan, dianjurkan, maupun tidak disenangi.”
Ruang
lingkup. Ilmu Fiqh mengkaji
aktifitas atau amal perbuatan orang yang telah mukallaf ditinjau dari
segi hukum syar’i-nya, yakni supaya diketahui secara pasti apa status
hukumnya menurut pandangan syari’at.
Manfaat. Para ulama’ menyebutkan tujuan dan manfaat dari mempelajari
Ilmu Fiqh, yang walau berbeda ungkapannya, tetapi maknanya sama. Diantara apa
yang mereka nyatakan sebagai manfaat dan tujuan mengkaji Ilmu Fiqh adalah:
·
Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
·
Penerapan hukum-hukum syar’iyyah terhadap
semua tindakan dan perkataan manusia.
·
Keselamatan dari siksa neraka dan memperoleh
balasan surga.
·
Menghasilkan malakah (tabiat, naluri, karakter)
yang berkemampuan untuk menunaikan amal-amal syar’iyyah.
Dengan kata lain, fiqh
merupakan referensi bagi seorang hakim dalam memutuskan perkara; rujukan bagi
seorang Mufti dalam merumuskan fatwa; dan sandaran bagi setiap orang mukallaf
untuk mengetahui status hukum dari segala perbuatan maupun perkataannya,
menurut pandangan syari’at.
Keutamaan. Tidak diragukan lagi ilmu ini sangat tinggi
kedudukannya, sebab ia bagian dari pokok agama. Di masa silam, kata fiqh
selalu bermakna pengetahuan tentang akhirat, penyakit-penyakit jiwa, serta
memahami keutamaan akhirat dan remehnya dunia ini. Ia mencakup segala sesuatu
dalam Islam yang bersifat keyakinan (i’tiqadiyah), perasaan (wijdaniyah)
maupun amal perbuatan (‘amaliyah). Bagian pertama kemudian berkembang
menjadi Ilmu Kalam (teologi), bagian kedua menjadi Ilmu Akhlaq dan Tashawwuf,
sedang yang terakhir menjadi Ilmu Fiqh dan Mushthalah yang kita kenal sekarang.
Sejarah dan
para perintis. Ilmu Fiqh
tumbuh bersama dengan tumbuhnya Islam itu sendiri, sebab pada dasarnya Islam
merupakan kesatuan dari akidah, akhlaq dan juga hukum. Di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, hukum-hukum ini adalah apa yang ada dalam Al-Qur’an, juga
setiap bentuk fatwa yang keluar dari Rasulullah, keputusan hukum (qadha’)
dalam suatu kasus perselisihan, atau jawaban atas suatu pertanyaan yang
diajukan. Jadi, pada awalnya hukum hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah,
yakni sebatas apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pada zaman sahabat, muncul
berbagai kejadian baru yang belum pernah ada di zaman Nabi. Situasi ini
mendorong timbulnya ijtihad, sehingga lahirlah berbagai keputusan hukum dan
fatwa baru. Pada periode ini hukum-hukum fiqh terdiri dari hukum Allah dan
Rasul-Nya, serta fatwa dan keputusan hukum para sahabat. Sumbernya adalah
Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad sahabat. Saat itu, Ilmu Fiqh belum disusun secara
sistematis, nama Ilmu Fiqh sendiri bahkan belum dikenal, dan para pakarnya pun
belum disebut sebagai fuqaha’. Ini adalah periode kedua.
Pada abad ke-2 dan 3 Hijriyah,
yakni periode tabi’in, tabi’it tabi’in, dan era para imam
mujtahid, wilayah kehilafahan meluas sedemikian rupa, yang berarti pula masuk
Islamnya berbagai bangsa non-Arab. Berbagai persoalan pun muncul yang memaksa dilakukannya
ijtihad lebih luas. Pada periode ini hukum-hukum fiqh terdiri dari hukum Allah
dan Rasul-Nya, fatwa dan keputusan hukum generasi sahabat, kemudian fatwa, istinbath
(penyimpulan hukum) dan keputusan hukum para imam mujtahid. Sumbernya
adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad sahabat serta para ahli ijtihad. Ilmu
Fiqh mulai dibukukan secara sistematis, bersamaan dengan pembukuan Sunnah
secara umum. Nama Ilmu Fiqh juga sudah dikenal. Ulama’ pertama yang menyusun
karya di bidang ini – yang karyanya sampai ke zaman kita – adalah Imam Malik bin
Anas, lewat kitab al-Muwaththa’, yang disusun atas permintaan khalifah
Abu Ja’far al-Manshur. Ini merupakan kitab hadits dan fiqh sekaligus, dan
menjadi pijakan utama fiqh ulama’ Hijaz. Kemudian Imam Abu Yusuf – salah seorang
murid Imam Abu Hanifah – menulis banyak buku fiqh yang menjadi pijakan dasar
fiqh ulama’ Iraq. Murid Imam Abu Hanifah yang lain, yakni Imam Muhammad bin
al-Hasan, juga menulis karya-karya yang dipakai sebagai rujukan utama madzhab
Hanafi. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendiktekan kitab al-Umm di
Mesir yang menjadi rujukan utama madzhab Syafi’i.
Nama. Disiplin ilmu ini disebut Ilmu Fiqh, atau al-fiqh
al-ashghar (fiqh kecil), dikenal pula sebagai ilmu tentang furu’
al-ahkam (cabang-cabang hukum) atau ‘ilm asy-syara’i’ wa al-ahkam (ilmu
tentang syari’at dan hukum).
Sumber bahan
kajian. Ada empat dalil pokok yang
dijadikan sebagai sandaran atau sumber pengambilan dalil dalam menyimpulkan
hukum-hukum syar’i, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dari
keempat dalil ini, sumber dari segala sumber dalil adalah Al-Qur’an, kemudian
Sunnah Nabi. Adapun Ijma’ dan Qiyas, hal ini menjadi polemik yang
berkepanjangan di antara para ulama’; sebagian mendukung, sementara sebagian
yang lain menolaknya dengan keras.
Hukum
mempelajarinya. Mempelajari
Ilmu Fiqh, jika berkaitan dengan kebutuhan setiap pribadi untuk beramal secara
benar menurut Al-Qur’an dan Sunnah, maka hukumnya adalah fardhu ‘ain. Itu
bermakna pula, bahwa setiap kali seseorang menghadapi situasi atau menyandang
status tertentu yang belum ia ketahui ilmunya, maka ia wajib untuk belajar
sampai bisa beramal dengan benar. Di sisi lain, jika ia sudah bisa beramal
dengan benar, maka hal itu sudah cukup baginya dan tidak perlu memperdalam
detail-detail yang tidak perlu. Ilmu Fiqh pada dasarnya bersifat praktis, bukan
teoritis. Oleh karenanya, hukum fardu kifayah hanya dikenakan kepada orang
berminat dan mampu untuk mencapai tingkatan Mufti, mujtahid atau ulama’
yang sangat menguasai bidangnya.
Masalah yang
dikaji. Ilmu Fiqh mengkaji hukum-hukum
syar’iyyah yang berkaitan dengan amal perbuatan.
Dalam tradisi fiqh madzhab
Syafi’i, Ilmu Fiqh dibagi menjadi empat bagian. Pertama, mengkaji
hukum-hukum syar’iyyah yang terkait dengan urusan akhirat, yaitu fiqh
‘ibadah. Kedua, hukum terkait eksistensi manusia, yaitu fiqh
mu’amalah. Ketiga, hukum terkait eksistensi spesies manusia dari
aspek keluarga dan rumah tangga, yaitu fiqh munakahat. Keempat,
hukum terkait eksistensi spesies manusia dari aspek komunalnya, yakni fiqh
‘uqubah (sanksi dan hukuman), atau hudud wa jinayat.
Literatur
penting. Fiqh merupakan disiplin
ilmu yang berkembang pesat dan memiliki cabang-cabang yang tetap lestari hingga
zaman modern. Di masa silam, ada banyak ulama’ yang mencapai tingkatan sebagai mujtahid
dan mengembangkan tradisi fiqh tersendiri, seperti ‘Abdurrahman bin ‘Amr
al-Awza’i (w. 157 H), Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri (w. 161 H), dan ‘Abdullah bin
al-Mubarak (w. 181 H). Namun, seiring perjalanan waktu, madzhab (aliran)
mereka lenyap atau terserap kepada empat madzhab utama karena berbagai
sebab. Empat madzhab yang bertahan dan paling luas diterima adalah
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Masing-masing tradisi kesarjanaan ini
mempunyai literatur yang tidak terhitung jumlahnya, dalam berbagai ukuran. Disini
hanya kami sebutkan sedikit saja sebagai contoh. Dari madzhab Hanafi terdapat al-Mabsuth
karya as-Sarkhasi, kemudian al-Mudawwanah al-Kubra dari madzhab Maliki, al-Umm
dari madzhab Syafi’i, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi dari
madzhab Hanbali.
Selain itu, perlu diingat
bahwa seluruh kitab kumpulan hadits adalah referensi yang sangat kaya dalam hal
fiqh, sebab hadits merupakan sumber utama ajaran Islam; terlebih kitab-kitab
induk hadits yang dinamai as-Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, Sunan
at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, dan lain
sebagainya. Sebab, as-Sunan adalah kitab kumpulan hadits yang disusun
berdasarkan sistematika fiqh. [*]