Ilmu Fiqh - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (10)


Bismillahirrahmanirrahim

ILMU FIQH

Secara bahasa, al-fiqh berarti pemahaman (al-fahm) secara umum. Menurut Syaikh Abu Ishaq, kata itu berarti “memahami sesuatu yang tersembunyi”.
Definisi. Beberapa definisi Ilmu Fiqh:
·         Menurut Abu Hanifah, “Pengenalan terhadap diri sendiri, mengenai apa yang menjadi hak dan kewajibannya.”
·         Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah ‘amaliyyah yang disimpulkan dari dalil-dalil syar’i yang terperinci – atau – kumpulan hukum-hukum syar’iyyah ‘amaliyyah yang disimpulkan dari dalil-dalil syar’i yang terperinci.” Ini adalah definisi yang umum ditemukan dalam tradisi fiqh madzhab Syafi’i.
·         Menurut Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, “Pengetahuan tentang hukum-hukum syar’iyyah yang diperoleh melalui metode ijtihad.”.
·         Menurut Imam al-Haramain al-Juwayni, “Ilmu tentang hukum-hukum taklif (yang dibebankan oleh syari’at).”
·         Menurut Ibnu Khaldun, “Pengetahuan tentang hukum-hukum Allah dalam amal perbuatan orang yang mukallaf, baik yang diwajibkan, dilarang, dibolehkan, dianjurkan, maupun tidak disenangi.”
Ruang lingkup. Ilmu Fiqh mengkaji aktifitas atau amal perbuatan orang yang telah mukallaf ditinjau dari segi hukum syar’i-nya, yakni supaya diketahui secara pasti apa status hukumnya menurut pandangan syari’at.
Manfaat. Para ulama’ menyebutkan tujuan dan manfaat dari mempelajari Ilmu Fiqh, yang walau berbeda ungkapannya, tetapi maknanya sama. Diantara apa yang mereka nyatakan sebagai manfaat dan tujuan mengkaji Ilmu Fiqh adalah:
·         Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
·         Penerapan hukum-hukum syar’iyyah terhadap semua tindakan dan perkataan manusia.
·         Keselamatan dari siksa neraka dan memperoleh balasan surga.
·         Menghasilkan malakah (tabiat, naluri, karakter) yang berkemampuan untuk menunaikan amal-amal syar’iyyah.
Dengan kata lain, fiqh merupakan referensi bagi seorang hakim dalam memutuskan perkara; rujukan bagi seorang Mufti dalam merumuskan fatwa; dan sandaran bagi setiap orang mukallaf untuk mengetahui status hukum dari segala perbuatan maupun perkataannya, menurut pandangan syari’at.
Keutamaan. Tidak diragukan lagi ilmu ini sangat tinggi kedudukannya, sebab ia bagian dari pokok agama. Di masa silam, kata fiqh selalu bermakna pengetahuan tentang akhirat, penyakit-penyakit jiwa, serta memahami keutamaan akhirat dan remehnya dunia ini. Ia mencakup segala sesuatu dalam Islam yang bersifat keyakinan (i’tiqadiyah), perasaan (wijdaniyah) maupun amal perbuatan (‘amaliyah). Bagian pertama kemudian berkembang menjadi Ilmu Kalam (teologi), bagian kedua menjadi Ilmu Akhlaq dan Tashawwuf, sedang yang terakhir menjadi Ilmu Fiqh dan Mushthalah yang kita kenal sekarang.
Sejarah dan para perintis. Ilmu Fiqh tumbuh bersama dengan tumbuhnya Islam itu sendiri, sebab pada dasarnya Islam merupakan kesatuan dari akidah, akhlaq dan juga hukum. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hukum-hukum ini adalah apa yang ada dalam Al-Qur’an, juga setiap bentuk fatwa yang keluar dari Rasulullah, keputusan hukum (qadha’) dalam suatu kasus perselisihan, atau jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan. Jadi, pada awalnya hukum hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, yakni sebatas apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pada zaman sahabat, muncul berbagai kejadian baru yang belum pernah ada di zaman Nabi. Situasi ini mendorong timbulnya ijtihad, sehingga lahirlah berbagai keputusan hukum dan fatwa baru. Pada periode ini hukum-hukum fiqh terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa dan keputusan hukum para sahabat. Sumbernya adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad sahabat. Saat itu, Ilmu Fiqh belum disusun secara sistematis, nama Ilmu Fiqh sendiri bahkan belum dikenal, dan para pakarnya pun belum disebut sebagai fuqaha’. Ini adalah periode kedua.
Pada abad ke-2 dan 3 Hijriyah, yakni periode tabi’in, tabi’it tabi’in, dan era para imam mujtahid, wilayah kehilafahan meluas sedemikian rupa, yang berarti pula masuk Islamnya berbagai bangsa non-Arab. Berbagai persoalan pun muncul yang memaksa dilakukannya ijtihad lebih luas. Pada periode ini hukum-hukum fiqh terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa dan keputusan hukum generasi sahabat, kemudian fatwa, istinbath (penyimpulan hukum) dan keputusan hukum para imam mujtahid. Sumbernya adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad sahabat serta para ahli ijtihad. Ilmu Fiqh mulai dibukukan secara sistematis, bersamaan dengan pembukuan Sunnah secara umum. Nama Ilmu Fiqh juga sudah dikenal. Ulama’ pertama yang menyusun karya di bidang ini – yang karyanya sampai ke zaman kita – adalah Imam Malik bin Anas, lewat kitab al-Muwaththa’, yang disusun atas permintaan khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Ini merupakan kitab hadits dan fiqh sekaligus, dan menjadi pijakan utama fiqh ulama’ Hijaz. Kemudian Imam Abu Yusuf – salah seorang murid Imam Abu Hanifah – menulis banyak buku fiqh yang menjadi pijakan dasar fiqh ulama’ Iraq. Murid Imam Abu Hanifah yang lain, yakni Imam Muhammad bin al-Hasan, juga menulis karya-karya yang dipakai sebagai rujukan utama madzhab Hanafi. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendiktekan kitab al-Umm di Mesir yang menjadi rujukan utama madzhab Syafi’i.
Nama. Disiplin ilmu ini disebut Ilmu Fiqh, atau al-fiqh al-ashghar (fiqh kecil), dikenal pula sebagai ilmu tentang furu’ al-ahkam (cabang-cabang hukum) atau ‘ilm asy-syara’i’ wa al-ahkam (ilmu tentang syari’at dan hukum).
Sumber bahan kajian. Ada empat dalil pokok yang dijadikan sebagai sandaran atau sumber pengambilan dalil dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dari keempat dalil ini, sumber dari segala sumber dalil adalah Al-Qur’an, kemudian Sunnah Nabi. Adapun Ijma’ dan Qiyas, hal ini menjadi polemik yang berkepanjangan di antara para ulama’; sebagian mendukung, sementara sebagian yang lain menolaknya dengan keras.
Hukum mempelajarinya. Mempelajari Ilmu Fiqh, jika berkaitan dengan kebutuhan setiap pribadi untuk beramal secara benar menurut Al-Qur’an dan Sunnah, maka hukumnya adalah fardhu ‘ain. Itu bermakna pula, bahwa setiap kali seseorang menghadapi situasi atau menyandang status tertentu yang belum ia ketahui ilmunya, maka ia wajib untuk belajar sampai bisa beramal dengan benar. Di sisi lain, jika ia sudah bisa beramal dengan benar, maka hal itu sudah cukup baginya dan tidak perlu memperdalam detail-detail yang tidak perlu. Ilmu Fiqh pada dasarnya bersifat praktis, bukan teoritis. Oleh karenanya, hukum fardu kifayah hanya dikenakan kepada orang berminat dan mampu untuk mencapai tingkatan Mufti, mujtahid atau ulama’ yang sangat menguasai bidangnya.
Masalah yang dikaji. Ilmu Fiqh mengkaji hukum-hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan amal perbuatan.
Dalam tradisi fiqh madzhab Syafi’i, Ilmu Fiqh dibagi menjadi empat bagian. Pertama, mengkaji hukum-hukum syar’iyyah yang terkait dengan urusan akhirat, yaitu fiqh ‘ibadah. Kedua, hukum terkait eksistensi manusia, yaitu fiqh mu’amalah. Ketiga, hukum terkait eksistensi spesies manusia dari aspek keluarga dan rumah tangga, yaitu fiqh munakahat. Keempat, hukum terkait eksistensi spesies manusia dari aspek komunalnya, yakni fiqh ‘uqubah (sanksi dan hukuman), atau hudud wa jinayat.
Literatur penting. Fiqh merupakan disiplin ilmu yang berkembang pesat dan memiliki cabang-cabang yang tetap lestari hingga zaman modern. Di masa silam, ada banyak ulama’ yang mencapai tingkatan sebagai mujtahid dan mengembangkan tradisi fiqh tersendiri, seperti ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Awza’i (w. 157 H), Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri (w. 161 H), dan ‘Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H). Namun, seiring perjalanan waktu, madzhab (aliran) mereka lenyap atau terserap kepada empat madzhab utama karena berbagai sebab. Empat madzhab yang bertahan dan paling luas diterima adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Masing-masing tradisi kesarjanaan ini mempunyai literatur yang tidak terhitung jumlahnya, dalam berbagai ukuran. Disini hanya kami sebutkan sedikit saja sebagai contoh. Dari madzhab Hanafi terdapat al-Mabsuth karya as-Sarkhasi, kemudian al-Mudawwanah al-Kubra dari madzhab Maliki, al-Umm dari madzhab Syafi’i, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi dari madzhab Hanbali.
Selain itu, perlu diingat bahwa seluruh kitab kumpulan hadits adalah referensi yang sangat kaya dalam hal fiqh, sebab hadits merupakan sumber utama ajaran Islam; terlebih kitab-kitab induk hadits yang dinamai as-Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, dan lain sebagainya. Sebab, as-Sunan adalah kitab kumpulan hadits yang disusun berdasarkan sistematika fiqh. [*]