Ilmu 'Aqa'id - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (8)


Bismillahirrahmanirrahim
 
ILMU AQA’ID

Definisi. Suatu ilmu yang dengannya seseorang dapat menetapkan i’tiqad (keyakinan) keagamaan dengan mendatangkan berbagai argumen (hujjah) dan menolak berbagai kerancuan (syubhat).
Ruang lingkup. Di kalangan ulama’ generasi awal, pokok bahasan ilmu ini adalah “Dzat Allah ta’ala dan sifat-sifat-Nya”. Karena dasar-dasar kajiannya membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang keadaan segala sesuatu yang baru (yakni: makhluk), sementara ilmu tertinggi dalam syari’ah ini (yaitu: ‘aqa’id) tidak boleh tergantung kepada disiplin ilmu hikmah (yakni: filsafat), maka para ulama’ generasi berikutnya menambahkan bahasan tentang “segala sesuatu yang maujud (ada, eksis) ditinjau dari keberadaannya itu”. Pada perkembangan berikutnya, karena studinya pun membutuhkan pengetahuan mengenai status dalil dan hukum-hukum analogis (qiyas), sementara para ulama’ enggan bergantung kepada disiplin Ilmu Logika (yaitu: manthiq), maka ditambahkanlah kajian mengenai “segala sesuatu yang diketahui (al-ma’lum) ditinjau dari aspek keterkaitannya dengan penetapan keyakinan-keyakinan keagamaan (al-‘aqa’id ad-diniyyah), baik keterkaitan itu jauh maupun dekat.”
Manfaat. Tujuan dan manfaat mengkajinya adalah:
·         Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
·         Mengentaskan diri dari tingkat ikut-ikutan (taqlid) menuju puncak keyakinan dalam beragama.
·         Agar mampu menjelaskan dan mengajarkan dasar-dasar akidah Islam kepada orang lain.
·         Mampu menundukkan orang yang menentang dengan bukti dan alasan yang kuat.
·         Memelihara kaidah-kaidah agama dari berbagai rongrongan dan perusakan yang dilancarkan oleh musuh.
·         Mempersiapkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ilmu-ilmu syari’ah lainnya. Sebab, selama tidak bisa ditetapkan adanya dzat yang Maha Kuasa lagi Pencipta, yang Mengutus para rasul dan Menurunkan wahyu, maka ilmu-ilmu syari’ah yang lain bagaikan bangunan tanpa pondasi.
Dalam Abjadu al-‘Ulum, setelah disebutkan bahwa inti akidah adalah tauhid, terdapat uraian yang panjang mengenai manfaat Ilmu Aqa’id ini, diantaranya: “...yang diakui dalam tauhid bukan kepercayaan (al-iman) belaka, yang hanyalah pembenaran secara hukum (de jure), sebab hal itu merupakan salah satu bentuk suara hati saja. Kesempurnaan tauhid adalah dengan terwujudnya suatu karakter yang darinya jiwa mengambil jalan hidupnya (way of life); sebagaimana yang dituntut dari amal dan ibadah adalah lahirnya watak (malakah) taat, tunduk dan hati yang total terfokus hanya kepada dzat yang disembah, membuang segala pengganggu yang berasal dari selain-Nya, sehingga seorang murid berubah menjadi sosok salik rabbani (penempuh jalan ketuhanan).”
Keutamaan. Tidak diragukan lagi bahwa inilah ilmu yang paling tinggi dalam Islam, merupakan induk serta pondasi dari ilmu-ilmu syari’ah lainnya. Sebab, di dalamnya kita dibimbing untuk mengenal dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Dari sini kemudian lahir berbagai konsekuensi yang dijelaskan oleh ilmu-ilmu syari’at yang lain. Jadi, kekuatan maupun kelemahan dalam ilmu ini akan berakibat kepada ilmu-ilmu yang lain secara berantai.
Hubungan dengan ilmu lain. Ilmu ini disebut juga Ilmu Kalam, yang dalam kajiannya banyak memanfaatkan metodologi Filsafat. Hanya saja, kekhasan Ilmu ‘Aqa’id bila dibandingkan dengan Ilmu Hikmah atau Filsafat adalah pengkajiannya yang tunduk kepada aturan-aturan Islam, sementara Filsafat semata-mata berdasarkan rasio (akal). Namun, sebenarnya metode falsafi samasekali tidak diperlukan dalam menetapkan kebenaran pokok-pokok akidah, dan baru diadopsi belakangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat tidak mengenalnya sedikit pun.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menulis, “Argumen apapun yang berhasil dibangun oleh Ilmu Kalam dan dapat dimanfaatkan, maka sebenarnya Al-Qur’an dan akhbar (yakni: Sunnah Nabi) sudah mencakupnya. Adapun apa yang tidak selaras dengan keduanya, maka itu adalah perdebatan yang tercela dan termasuk bid’ah; atau kekacauan dengan melibatkan diri dalam pertengkaran berbagai firqah; atau bertele-tele memaparkan aneka pendapat yang sebagian besar hanyalah omong-kosong dan igauan yang tidak akan diterima oleh watak (yang baik), juga tidak enak di telinga; sebagian lagi hanyalah pembicaraan tanpa arah yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama; dan tidak ada sesuatu pun di dalamnya yang dikenal oleh generasi pertama kaum muslimin. Secara umum dapat dikatakan bahwa memperbincangkannya (yakni: Ilmu Kalam) adalah bid’ah.”
Banyak para ulama’, baik di zaman klasik maupun yang lebih akhir, seperti asy-Syafi’i dan Ibnu Taimiyah, mengecam keras Ilmu Kalam (teologi) dan menyarankan agar seorang muslim mencukupkan diri dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam menetapkan pokok-pokok akidah. Kebanyakan kesesatan dan penyimpangan dalam akidah berawal dari persentuhan dengan filsafat ini.
Sejarah dan tokoh. Pada dasarnya, pokok-pokok akidah Islam sudah selesai ditetapkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kajian para ulama’ generasi berikutnya adalah upaya menjelaskan kembali hal itu dan menolak berbagai penyelewengan yang muncul, yang mewujud dalam bentuk madzhab-madzhab menyimpang seperti Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah dan Syi’ah. Masing-masing mempunyai pendapat yang bertentangan dengan pokok-pokok akidah Islam. Meski demikian, ilmu ini sendiri dalam bentuknya yang banyak bersentuhan dengan filsafat dan logika cenderung dibenci para ulama’. Kaum Mu’tazilah sempat dominan selama periode tertentu dalam sejarah Islam, dimana di dalamnya umat dipaksa mengakui kemakhlukan Al-Qur’an dan banyak ulama’ yang tsiqah dipenjara, disiksa maupun dibunuh. Ilmu ini kemudian kembali ke jalan Ahlussunnah setelah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim al-Asy’ari (w. 324 H) mematahkan argumen-argumen mereka, yang juga dikukuhkan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi al-Hanafi (w. 333 H).
Setelah itu tampillah al-Qadhi Abu Bakr Muhammad bin ath-Thayyib bin Muhammad al-Baqillani al-Bashri (w. 403 H) dan Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik bin ‘Abdillah bin Yusuf al-Juwaini (w. 478 H). Di belakang mereka, ulama’ yang dapat dipegangi uraian akidahnya adalah murid al-Juwaini, yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi (w. 505 H) dan Ibnu al-Khathib (alias Fakhruddin ar-Razi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan, w. 606 H).
Nama-nama diatas adalah para ulama’ yang dikenal sebagai para mutakallim (teolog) yang paling lurus dan pendapatnya diterima luas, walau tetap memicu kontroversi tertentu karena mereka juga terpengaruh dengan metode filsafat dan logika. Adapun di kalangan Ahli Hadits, maka imam madzhab yang empat dapat dipandang sebagai tokoh-tokoh terpenting di bidang ini: Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi (w. 150 H), Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w. 179 H), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H) dan Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani (w. 241 H). Para imam Ahli Hadits seperti al-Bukhari, al-Humaidy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mandah, ad-Darimi, dan lain-lain juga termasuk di dalamnya, dimana mereka menulis karya tentang akidah secara khusus atau memasukkan bab terkait dalam karyanya. Dilihat dari masa hidupnya, para imam ini lebih awal dan dekat dengan era kenabian, sehingga akidah mereka lebih bersih.
Nama. Disebut juga Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin (pokok-pokok agama), atau Teologi (Ilmu Ketuhanan). Imam Abu Hanifah menamainya al-fiqh al-akbar untuk membedakannya dari disiplin ilmu mengenai cabang-cabang hukum yang disebut al-fiqh al-ashghar. Menurut at-Taftazani, “Ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang (far’iyyah) disebut ‘ilm asy-syara’i’ wa al-ahkam (ilmu tentang syari’at dan hukum), sedang yang berkaitan dengan hukum-hukum pokok (ushuliyah) atau tentang keyakinan (i’tiqadiyah) disebut dengan ‘ilm at-tauhid wa ash-shifat.”
Disebut “kalam” karena masalah paling krusial yang kemudian menimbulkan perdebatan luas dan bahkan pertumpahan darah adalah persoalan kalam Allah, yakni Al-Qur’an. Para ulama’ kurang menyukai Ilmu Kalam ini, dan pada dasarnya segala sesuatu yang berkaitan dengan akidah sudah dijelaskan secara memadai dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Maka, metode paling baik dalam mengkaji akidah Islam adalah metode Ahli Hadits dengan menelusuri riwayat-riwayat yang shahih. Dalam hal ini, mereka lebih terpercaya baik secara moral maupun metodologis. Ada yang menyatakan bahwa ilmu ini disebut begitu karena bertujuan membangun suatu kemampuan untuk berbicara (al-kalam) dan beradu argumen; atau karena setiap kali memulai pembahasan dalam suatu masalah biasanya diawali dengan kalimat: “pembicaraan (al-kalam) dalam masalah ini adalah begini-begitu.”
Dalam konteks Madrasah, maka yang diajarkan adalah akidah menurut metode Ahli Hadits. Akan tetapi, sesuai dengan sifat jenjang ini yang sebenarnya merupakan pendidikan dasar, di dalamnya hanya diajarkan pokok-pokok akidah sebagai pegangan utama, tanpa disertakan dalil-dalil maupun argumen yang sangat terinci. Pada tahun terakhir siswa juga dikenalkan dengan bentuk dan sejarah akidah-akidah kelompok sempalan, dengan tujuan memberikan wawasan bahwa di zaman sekarang pun bisa muncul varian baru yang mengusung isu-isu lama tersebut.
Sumber bahan kajian. Para ulama’ mensyaratkan bahwa aqidah terlebih dahulu harus diambil dari ketetapan Al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian – jika perlu – diperkuat dengan argumen rasional.
Hukum mempelajarinya. Mengetahui pokok-pokok akidah sebagai pegangan hidup adalah fardhu ‘ain, dan tidak boleh hanya ber-taqlid, kecuali di awal masa belajar dan bagi orang yang tidak mungkin untuk mencari ilmu karena beragam sebab yang syar’i.
Literatur penting. Al-Qur’an dan hadits sendiri merupakan sumber aqidah Islam yang paling pokok, dimana berbagai kitab ditulis untuk merangkumnya secara sistematis. Apa yang kami sebutkan disini adalah contoh kitab-kitab dimaksud, sebab pada dasarnya rujukan di bidang ini sangatlah luas, antara lain Ushulu as-Sunnah karya Ahmad bin Hanbal, al-Fiqh al-Akbar dan Absath yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah, I’tiqadu A’immati al-Hadits karya Abu Bakr al-Isma’ili, al-Ibanah karya Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Iman karya Ibnu Mandah, al-I’tiqad wa al-Hidayah karya al-Bayhaqi, al-‘Aqidah karya Abu Ja’far ath-Thahawi, Risalah at-Tauhid karya Syekh Isma’il ad-Dahlawi, juga karya Syekh Muhammad ‘Abduh dengan judul yang sama, Kitab at-Tauhid karya Syekh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Kitab Ushuluddin karya Jamaluddin Ahmad al-Ghaznawi, dan lain sebagainya.
Jenis literatur yang juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ini adalah paparan pemikiran, sejarah dan doktrin berbagai madzhab yang menyimpang dari akidah yang lurus serta agama-agama di luar Islam, seperti I’tiqadaatu Firaqi al-Muslimin wa al-Musyrikin karya Fakhruddin ar-Razi, al-Farq baina al-Firaq karya ‘Abdul Qahir al-Baghdadi, al-I’lam bi ma fi Diini an-Nashara karya al-Qurthubi, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal karya Ibnu Hazm azh-Zhahiri, dan al-Milal wa an-Nihal karya asy-Syahrastani. Dalam tradisi modern, literatur ini termasuk jenis muqaranah al-madzahib wa al-adyan (perbandingan aliran dan agama).
Jenis lain yang juga banyak ditulis adalah polemik atau karya khusus yang didedikasikan untuk mengulas dan membantah pemikiran serta doktrin madzhab tertentu, seperti Fadha’ihu al-Bathiniyah karya al-Ghazali (tentang aliran kebatinan); Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi (tentang kesesatan berbagai kelompok); ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah karya ad-Darimi, juga karya Ibnu Mandah dengan judul sama, kemudian ar-Radd ‘ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah karya Ahmad bin Hanbal (ketiganya mengulas penyimpangan dalam mengimani sifat-sifat Allah, hakikat firman Allah, takdir, dsb); lalu ada ar-Radd ‘ala Wihdati al-Wujud karya ‘Ali al-Qari (tentang akidah pantheisme, semacam keyakinan manunggaling kawula gusti yang didengungkan Syekh Siti Jenar di tanah Jawa); ar-Radd ‘ala man Yaqulu al-Qur’anu Makhluq karya Abu Bakr an-Najjad (tentang doktrin kemakhlukan Al-Qur’an); dan ar-Radd ‘ala man Dzahaba ila Tashhihi ‘Ilm al-Ghayb karya Ibnu Rusyd (tentang ramalan); dan lain-lain.
Bagi kita di zaman sekarang, membaca ulang karya-karya ulama’ tersebut merupakan penghematan waktu dan tenaga dalam menghadapi fenomena merebaknya pemikiran sesat, seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan sejenisnya; sebab pada dasarnya isu-isu dalam akidah tidak beranjak jauh dari apa yang sudah pernah muncul di masa silam. Bahkan, dalam kebanyakan kasus, isu-isu yang diangkat adalah “dagangan” lama yang disajikan dalam kemasan baru. [*]