ILMU AQA’ID
Definisi. Suatu ilmu yang dengannya seseorang dapat
menetapkan i’tiqad (keyakinan) keagamaan dengan mendatangkan berbagai
argumen (hujjah) dan menolak berbagai kerancuan (syubhat).
Ruang
lingkup. Di kalangan
ulama’ generasi awal, pokok bahasan ilmu ini adalah “Dzat Allah ta’ala
dan sifat-sifat-Nya”. Karena dasar-dasar kajiannya membutuhkan pengetahuan yang
memadai tentang keadaan segala sesuatu yang baru (yakni: makhluk), sementara
ilmu tertinggi dalam syari’ah ini (yaitu: ‘aqa’id) tidak boleh
tergantung kepada disiplin ilmu hikmah (yakni: filsafat), maka para ulama’
generasi berikutnya menambahkan bahasan tentang “segala sesuatu yang maujud
(ada, eksis) ditinjau dari keberadaannya itu”. Pada perkembangan berikutnya,
karena studinya pun membutuhkan pengetahuan mengenai status dalil dan
hukum-hukum analogis (qiyas), sementara para ulama’ enggan bergantung
kepada disiplin Ilmu Logika (yaitu: manthiq), maka ditambahkanlah kajian
mengenai “segala sesuatu yang diketahui (al-ma’lum) ditinjau dari aspek
keterkaitannya dengan penetapan keyakinan-keyakinan keagamaan (al-‘aqa’id
ad-diniyyah), baik keterkaitan itu jauh maupun dekat.”
Manfaat. Tujuan dan manfaat mengkajinya adalah:
·
Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
·
Mengentaskan diri dari tingkat ikut-ikutan (taqlid)
menuju puncak keyakinan dalam beragama.
·
Agar mampu menjelaskan dan mengajarkan dasar-dasar
akidah Islam kepada orang lain.
·
Mampu menundukkan orang yang menentang dengan bukti
dan alasan yang kuat.
·
Memelihara kaidah-kaidah agama dari berbagai
rongrongan dan perusakan yang dilancarkan oleh musuh.
·
Mempersiapkan landasan yang kokoh bagi pembangunan
ilmu-ilmu syari’ah lainnya. Sebab, selama tidak bisa ditetapkan adanya dzat
yang Maha Kuasa lagi Pencipta, yang Mengutus para rasul dan Menurunkan wahyu,
maka ilmu-ilmu syari’ah yang lain bagaikan bangunan tanpa pondasi.
Dalam Abjadu al-‘Ulum,
setelah disebutkan bahwa inti akidah adalah tauhid, terdapat uraian yang
panjang mengenai manfaat Ilmu Aqa’id ini, diantaranya: “...yang diakui dalam
tauhid bukan kepercayaan (al-iman) belaka, yang hanyalah
pembenaran secara hukum (de jure), sebab hal itu merupakan salah satu
bentuk suara hati saja. Kesempurnaan tauhid adalah dengan terwujudnya suatu
karakter yang darinya jiwa mengambil jalan hidupnya (way of life);
sebagaimana yang dituntut dari amal dan ibadah adalah lahirnya watak (malakah)
taat, tunduk dan hati yang total terfokus hanya kepada dzat yang
disembah, membuang segala pengganggu yang berasal dari selain-Nya, sehingga
seorang murid berubah menjadi sosok salik rabbani (penempuh jalan
ketuhanan).”
Keutamaan. Tidak diragukan lagi bahwa inilah ilmu yang paling
tinggi dalam Islam, merupakan induk serta pondasi dari ilmu-ilmu syari’ah
lainnya. Sebab, di dalamnya kita dibimbing untuk mengenal dzat Allah dan
sifat-sifat-Nya. Dari sini kemudian lahir berbagai konsekuensi yang dijelaskan
oleh ilmu-ilmu syari’at yang lain. Jadi, kekuatan maupun kelemahan dalam ilmu
ini akan berakibat kepada ilmu-ilmu yang lain secara berantai.
Hubungan
dengan ilmu lain. Ilmu ini
disebut juga Ilmu Kalam, yang dalam kajiannya banyak memanfaatkan
metodologi Filsafat. Hanya saja, kekhasan Ilmu ‘Aqa’id bila dibandingkan dengan
Ilmu Hikmah atau Filsafat adalah pengkajiannya yang tunduk kepada aturan-aturan
Islam, sementara Filsafat semata-mata berdasarkan rasio (akal). Namun,
sebenarnya metode falsafi samasekali tidak diperlukan dalam menetapkan
kebenaran pokok-pokok akidah, dan baru diadopsi belakangan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabat tidak mengenalnya sedikit pun.
Dalam kitab Ihya’
‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menulis, “Argumen apapun yang berhasil dibangun
oleh Ilmu Kalam dan dapat dimanfaatkan, maka sebenarnya Al-Qur’an dan akhbar
(yakni: Sunnah Nabi) sudah mencakupnya. Adapun apa yang tidak selaras dengan
keduanya, maka itu adalah perdebatan yang tercela dan termasuk bid’ah; atau
kekacauan dengan melibatkan diri dalam pertengkaran berbagai firqah;
atau bertele-tele memaparkan aneka pendapat yang sebagian besar hanyalah
omong-kosong dan igauan yang tidak akan diterima oleh watak (yang baik), juga
tidak enak di telinga; sebagian lagi hanyalah pembicaraan tanpa arah yang tidak
ada sangkut pautnya dengan agama; dan tidak ada sesuatu pun di dalamnya yang
dikenal oleh generasi pertama kaum muslimin. Secara umum dapat dikatakan bahwa
memperbincangkannya (yakni: Ilmu Kalam) adalah bid’ah.”
Banyak para ulama’, baik di
zaman klasik maupun yang lebih akhir, seperti asy-Syafi’i dan Ibnu Taimiyah, mengecam
keras Ilmu Kalam (teologi) dan menyarankan agar seorang muslim mencukupkan diri
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam menetapkan pokok-pokok akidah.
Kebanyakan kesesatan dan penyimpangan dalam akidah berawal dari persentuhan dengan
filsafat ini.
Sejarah dan
tokoh. Pada dasarnya, pokok-pokok
akidah Islam sudah selesai ditetapkan pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Kajian para ulama’ generasi berikutnya adalah upaya
menjelaskan kembali hal itu dan menolak berbagai penyelewengan yang muncul,
yang mewujud dalam bentuk madzhab-madzhab menyimpang seperti Murji’ah,
Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah dan Syi’ah. Masing-masing mempunyai pendapat
yang bertentangan dengan pokok-pokok akidah Islam. Meski demikian, ilmu ini
sendiri dalam bentuknya yang banyak bersentuhan dengan filsafat dan logika
cenderung dibenci para ulama’. Kaum Mu’tazilah sempat dominan selama periode
tertentu dalam sejarah Islam, dimana di dalamnya umat dipaksa mengakui
kemakhlukan Al-Qur’an dan banyak ulama’ yang tsiqah dipenjara, disiksa
maupun dibunuh. Ilmu ini kemudian kembali ke jalan Ahlussunnah setelah Abu
al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim al-Asy’ari (w. 324 H)
mematahkan argumen-argumen mereka, yang juga dikukuhkan oleh Abu Manshur
Muhammad bin Muhammad al-Maturidi al-Hanafi (w. 333 H).
Setelah itu tampillah al-Qadhi
Abu Bakr Muhammad bin ath-Thayyib bin Muhammad al-Baqillani al-Bashri (w. 403
H) dan Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik bin ‘Abdillah bin Yusuf
al-Juwaini (w. 478 H). Di belakang mereka, ulama’ yang dapat dipegangi uraian
akidahnya adalah murid al-Juwaini, yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi (w. 505 H) dan Ibnu al-Khathib
(alias Fakhruddin ar-Razi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin
al-Hasan, w. 606 H).
Nama-nama diatas adalah para
ulama’ yang dikenal sebagai para mutakallim (teolog) yang paling lurus
dan pendapatnya diterima luas, walau tetap memicu kontroversi tertentu karena
mereka juga terpengaruh dengan metode filsafat dan logika. Adapun di kalangan
Ahli Hadits, maka imam madzhab yang empat dapat dipandang sebagai tokoh-tokoh
terpenting di bidang ini: Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi (w. 150 H),
Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w. 179 H), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
(w. 204 H) dan Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani (w. 241 H). Para imam Ahli Hadits
seperti al-Bukhari, al-Humaidy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mandah, ad-Darimi, dan
lain-lain juga termasuk di dalamnya, dimana mereka menulis karya tentang akidah
secara khusus atau memasukkan bab terkait dalam karyanya. Dilihat dari masa
hidupnya, para imam ini lebih awal dan dekat dengan era kenabian, sehingga
akidah mereka lebih bersih.
Nama. Disebut juga Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin
(pokok-pokok agama), atau Teologi (Ilmu Ketuhanan). Imam Abu Hanifah menamainya
al-fiqh al-akbar untuk membedakannya dari disiplin ilmu mengenai
cabang-cabang hukum yang disebut al-fiqh al-ashghar. Menurut
at-Taftazani, “Ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang (far’iyyah)
disebut ‘ilm asy-syara’i’ wa al-ahkam (ilmu tentang syari’at dan hukum),
sedang yang berkaitan dengan hukum-hukum pokok (ushuliyah) atau tentang
keyakinan (i’tiqadiyah) disebut dengan ‘ilm at-tauhid wa ash-shifat.”
Disebut “kalam” karena masalah
paling krusial yang kemudian menimbulkan perdebatan luas dan bahkan pertumpahan
darah adalah persoalan kalam Allah, yakni Al-Qur’an. Para ulama’ kurang
menyukai Ilmu Kalam ini, dan pada dasarnya segala sesuatu yang berkaitan dengan
akidah sudah dijelaskan secara memadai dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Maka, metode
paling baik dalam mengkaji akidah Islam adalah metode Ahli Hadits dengan
menelusuri riwayat-riwayat yang shahih. Dalam hal ini, mereka lebih
terpercaya baik secara moral maupun metodologis. Ada yang menyatakan bahwa ilmu
ini disebut begitu karena bertujuan membangun suatu kemampuan untuk berbicara (al-kalam)
dan beradu argumen; atau karena setiap kali memulai pembahasan dalam suatu
masalah biasanya diawali dengan kalimat: “pembicaraan (al-kalam) dalam
masalah ini adalah begini-begitu.”
Dalam konteks Madrasah, maka
yang diajarkan adalah akidah menurut metode Ahli Hadits. Akan tetapi, sesuai
dengan sifat jenjang ini yang sebenarnya merupakan pendidikan dasar, di
dalamnya hanya diajarkan pokok-pokok akidah sebagai pegangan utama, tanpa
disertakan dalil-dalil maupun argumen yang sangat terinci. Pada tahun terakhir
siswa juga dikenalkan dengan bentuk dan sejarah akidah-akidah kelompok
sempalan, dengan tujuan memberikan wawasan bahwa di zaman sekarang pun bisa
muncul varian baru yang mengusung isu-isu lama tersebut.
Sumber bahan
kajian. Para ulama’ mensyaratkan bahwa
aqidah terlebih dahulu harus diambil dari ketetapan Al-Qur’an dan Sunnah, baru
kemudian – jika perlu – diperkuat dengan argumen rasional.
Hukum
mempelajarinya. Mengetahui
pokok-pokok akidah sebagai pegangan hidup adalah fardhu ‘ain, dan tidak
boleh hanya ber-taqlid, kecuali di awal masa belajar dan bagi orang yang
tidak mungkin untuk mencari ilmu karena beragam sebab yang syar’i.
Literatur
penting. Al-Qur’an dan hadits sendiri
merupakan sumber aqidah Islam yang paling pokok, dimana berbagai kitab ditulis
untuk merangkumnya secara sistematis. Apa yang kami sebutkan disini
adalah contoh kitab-kitab dimaksud, sebab pada dasarnya rujukan di bidang ini
sangatlah luas, antara lain Ushulu as-Sunnah karya Ahmad bin Hanbal, al-Fiqh
al-Akbar dan Absath yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah, I’tiqadu
A’immati al-Hadits karya Abu Bakr al-Isma’ili, al-Ibanah karya Abu
al-Hasan al-Asy’ari, al-Iman karya Ibnu Mandah, al-I’tiqad wa
al-Hidayah karya al-Bayhaqi, al-‘Aqidah karya Abu Ja’far
ath-Thahawi, Risalah at-Tauhid karya Syekh Isma’il ad-Dahlawi, juga
karya Syekh Muhammad ‘Abduh dengan judul yang sama, Kitab at-Tauhid
karya Syekh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Kitab Ushuluddin karya
Jamaluddin Ahmad al-Ghaznawi, dan lain sebagainya.
Jenis literatur yang juga
dapat dimasukkan ke dalam kategori ini adalah paparan pemikiran, sejarah dan
doktrin berbagai madzhab yang menyimpang dari akidah yang lurus serta
agama-agama di luar Islam, seperti I’tiqadaatu Firaqi al-Muslimin wa
al-Musyrikin karya Fakhruddin ar-Razi, al-Farq baina al-Firaq karya
‘Abdul Qahir al-Baghdadi, al-I’lam bi ma fi Diini an-Nashara karya
al-Qurthubi, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal karya Ibnu
Hazm azh-Zhahiri, dan al-Milal wa an-Nihal karya asy-Syahrastani. Dalam
tradisi modern, literatur ini termasuk jenis muqaranah al-madzahib wa al-adyan
(perbandingan aliran dan agama).
Jenis lain yang juga banyak
ditulis adalah polemik atau karya khusus yang didedikasikan untuk mengulas dan
membantah pemikiran serta doktrin madzhab tertentu, seperti Fadha’ihu
al-Bathiniyah karya al-Ghazali (tentang aliran kebatinan); Talbis Iblis
karya Ibnul Jauzi (tentang kesesatan berbagai kelompok); ar-Radd ‘ala
al-Jahmiyyah karya ad-Darimi, juga karya Ibnu Mandah dengan judul sama,
kemudian ar-Radd ‘ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah karya Ahmad bin
Hanbal (ketiganya mengulas penyimpangan dalam mengimani sifat-sifat Allah,
hakikat firman Allah, takdir, dsb); lalu ada ar-Radd ‘ala Wihdati al-Wujud
karya ‘Ali al-Qari (tentang akidah pantheisme, semacam keyakinan manunggaling
kawula gusti yang didengungkan Syekh Siti Jenar di tanah Jawa); ar-Radd
‘ala man Yaqulu al-Qur’anu Makhluq karya Abu Bakr an-Najjad (tentang
doktrin kemakhlukan Al-Qur’an); dan ar-Radd ‘ala man Dzahaba ila Tashhihi
‘Ilm al-Ghayb karya Ibnu Rusyd (tentang ramalan); dan lain-lain.
Bagi kita di zaman sekarang,
membaca ulang karya-karya ulama’ tersebut merupakan penghematan waktu dan
tenaga dalam menghadapi fenomena merebaknya pemikiran sesat, seperti
liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan sejenisnya; sebab pada dasarnya
isu-isu dalam akidah tidak beranjak jauh dari apa yang sudah pernah muncul di
masa silam. Bahkan, dalam kebanyakan kasus, isu-isu yang diangkat adalah
“dagangan” lama yang disajikan dalam kemasan baru. [*]