Ilmu Akhlaq - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (9)

Bismillahirrahmanirrahim

ILMU AKHLAQ

Definisi. Kami menemukan dua definisi ini:
·         Menurut al-Arniqiy, penulis Madinatu al-‘Ulum, “Ilmu yang dengannya bisa diketahui berbagai macam keutamaan.”
·         Menurut Shadruddin, penulis al-Fawa’id al-Khaqaniyah, “Ilmu tentang berbagai macam keutamaan (fadha’il) dan tatacara mendapatkannya supaya jiwa berhias diri dengannya; serta ilmu tentang beraneka ragam kerendahan-budi (radza’il) dan tatacara memelihara diri darinya supaya jiwa bersih dari hal itu.”
Ilmu akhlaq adalah bagian dari hikmah-hikmah praktis. Ada tiga daya (al-quwa) dalam diri manusia yaitu daya nalar, emosi dan syahwat. Ilmu ini mengusahakan titik keseimbangan diantara dua ekstrim yang selalu muncul dari ketiganya. Pertama, dengan kebijaksanaan (hikmah) yang merupakan puncak kesempurnaan daya nalar, yaitu pertengahan antara kedunguan dan kejeniusan. Kedua, dengan keberaniaan (syaja’ah) yang menjadi puncak kesempurnaan daya emosi, yakni pertengahan antara pengecut dan sembrono. Lalu, ketiga, melalui ‘iffah (menjaga diri) yang menjadi puncak dari kesempurnaan daya syahwat, yaitu pertengahan antara dingin-beku dengan liar.
Ruang lingkup. Dua ulama’ memberikan uraian yang mirip, yaitu:
·         Ilmu akhlaq mengkaji malakah (watak, karakter, perangai) kejiwaan, yakni dengan meluruskannya dan meletakkannya dalam keseimbangan diantara dua ekstrim, baik yang terlalu berlebihan (ifrath) atau terlalu kurang (tafrith).
·         Ilmu akhlaq membahas akhlaq, malakah, dan jiwa yang menalar atau berkesadaran; ditinjau dari aspek bagaimana agar jiwa itu bisa mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki.
Malakah adalah sesuatu yang melekat erat dalam jiwa seseorang, sehingga tidak mudah dihilangkan. Malakah terdiri dari dua bagian, thabi’iyah (karakter bawaan) dan ‘aadiyah (kebiasaan). Thabi’iyah artinya komposisi kepribadian seseorang sejak semula telah menyimpan suatu kesiapan untuk menerima bentuk perilaku tertentu, sehingga hanya diperlukan sedikit ‘sentuhan’ untuk mengarahkannya. ‘Aadiyah artinya sejak semula jiwa dibiasakan mengerjakan sesuatu hal, yang dilakukan secara sadar, berulang-ulang, dan dengan latihan yang kontinyu, sehingga tumbuh menjadi malakah baru yang bisa muncul sewaktu-waktu dengan mudah dan tanpa perlu dipikirkan lagi.
Manfaat. Berikut sebagian yang disebutkan para peneliti tentang manfaat mempelajari Ilmu Akhlaq, yaitu:
·         Agar manusia menjadi sosok yang sempurna perilakunya, semaksimal mungkin, sehingga di dunia ini berbahagia dan di akhirat kelak terpuji.
·         Memunculkan bakat tersembunyi yang berupa kesiapan untuk mengerjakan suatu malakah yang dikehendaki – atau –menciptakan malakah baru yang belum ada sebelumnya.
Keutamaan. Ilmu ini mendapatkan perhatian yang sangat memadai dalam syari’at Islam. Tidak seorang pun yang hendak berbicara mengenainya melainkan ia sudah pasti mendapatkan bahan yang melimpah dari Al-Qur’an dan Sunnah. Akhlaq senantiasa berkaitan dengan jiwa dan ruh, sementara tidak ada yang lebih mengetahui tentangnya selain Allah dan Rasul-Nya. Adapun psikologi dan ilmu-ilmu baru yang terkait, pada dasarnya hanya mengkaji jiwa dan ruh menurut fenomena fisik dan lahiriah.
Hubungan dengan ilmu lain. Dalam banyak hal, akhlaq selalu berkaitan dengan adab. Disini, yang dimaksud adalah al-adab asy-syar’iyyah, sebab – dalam bahasa Arab – Ilmu Adab dapat berarti pula ilmu sastra, yakni kehalusan dalam berbahasa yang merupakan bagian dari adab. Ilmu Adab Syar’iyyah mencakup hal yang lebih luas dan umum, karena di dalamnya juga mendidik perasaan, pikiran, perkataan dan tindakan agar selaras dengan syari’at.
Nama. Ilmu Akhlaq. Ada sebagian literatur di bidang ini yang diberi judul al-Adab asy-Syar’iyyah, untuk membedakannya dari sastra.
Literatur penting. Diantara karya-karya penting di bidang ini adalah: Akhlaqu al-Abrar wa an-Najat min al-Asyrar karya Abu Hamid al-Ghazali, al-Akhlaq karya asy-Syaikh ar-Ra’is Ibnu Sina, al-Akhlaq karya ar-Raghib al-Ashfahani, al-Akhlaq karya an-Nashiriy, Rasa’il Ikhwanu ash-Shafa wa Khillaanu al-Wafa, Akhlaq Jalali karya al-Muhaqqiq ad-Dawani, Kitab al-Birr wal Itsm karya Ibnu Sina juga, Kitab al-Fauz karya Abu ‘Ali Ibni Miskawaih, dan sebuah kitab lagi karya Fakhruddin ar-Razi. Pada umumnya, karya-karya ini dapat dipandang pula sebagai paparan tentang teori pendidikan.
Ini adalah literatur yang disusun oleh para ulama’ di luar Ahli Hadits, sebab − sebagaimana sudah disinggung di muka − akhlaq sangat diperhatikan dalam Islam. Ada teramat banyak karya dalam kelompok literatur hadits yang membahas masalah ini, bahkan hampir seluruh kitab induk matan hadits mempunyai bab-bab khusus yang membahas tentang adab dan akhlaq. Seringkali bagian ini dirangkai dengan bab-bab doa dan dzikir, kisah sahabat, keutamaan Al-Qur’an, mengikuti Sunnah, kemuliaan ilmu, dsb. Logika di balik sistematika ini sebetulnya mudah dimengerti, dimana Islam memandang bahwa pada dasarnya subyek sekaligus obyek akhlaq adalah jiwa (ruh), sementara doa, dzikir, kisah-kisah, membaca dan merenungi ayat-ayat Allah, mengamalkan Sunnah, membekali diri dengan ilmu, dan lain-lain merupakan sarana-sarana terpenting dalam rangka mendidik dan meluruskannya. Kita dapat menjumpai kesan seperti ini – misalnya – dalam Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, dan juga Mushannaf ‘Abdurrazzaq. Landasan berpikir yang bersifat metafisik inilah yang tidak dimiliki psikologi dan secara tegas memberi identitas khusus kepada watak dasar pendidikan Islam yang membedakannya dari pendidikan Barat.[*]