Bismillahirrahmanirrahim
ILMU AKHLAQ
Definisi. Kami menemukan dua definisi ini:
·
Menurut al-Arniqiy, penulis Madinatu al-‘Ulum, “Ilmu
yang dengannya bisa diketahui berbagai macam keutamaan.”
·
Menurut Shadruddin, penulis al-Fawa’id
al-Khaqaniyah, “Ilmu tentang berbagai macam keutamaan (fadha’il) dan
tatacara mendapatkannya supaya jiwa berhias diri dengannya; serta ilmu tentang
beraneka ragam kerendahan-budi (radza’il) dan tatacara memelihara diri
darinya supaya jiwa bersih dari hal itu.”
Ilmu akhlaq adalah bagian dari
hikmah-hikmah praktis. Ada tiga daya (al-quwa) dalam diri manusia yaitu daya
nalar, emosi dan syahwat. Ilmu ini mengusahakan titik keseimbangan diantara dua
ekstrim yang selalu muncul dari ketiganya. Pertama, dengan kebijaksanaan
(hikmah) yang merupakan puncak kesempurnaan daya nalar, yaitu
pertengahan antara kedunguan dan kejeniusan. Kedua, dengan keberaniaan (syaja’ah)
yang menjadi puncak kesempurnaan daya emosi, yakni pertengahan antara
pengecut dan sembrono. Lalu, ketiga, melalui ‘iffah (menjaga
diri) yang menjadi puncak dari kesempurnaan daya syahwat, yaitu pertengahan
antara dingin-beku dengan liar.
Ruang
lingkup. Dua ulama’
memberikan uraian yang mirip, yaitu:
·
Ilmu akhlaq mengkaji malakah (watak,
karakter, perangai) kejiwaan, yakni dengan meluruskannya dan meletakkannya
dalam keseimbangan diantara dua ekstrim, baik yang terlalu berlebihan (ifrath)
atau terlalu kurang (tafrith).
·
Ilmu akhlaq membahas akhlaq, malakah, dan jiwa
yang menalar atau berkesadaran; ditinjau dari aspek bagaimana agar jiwa itu
bisa mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki.
Malakah adalah sesuatu yang melekat erat dalam jiwa
seseorang, sehingga tidak mudah dihilangkan. Malakah terdiri dari dua
bagian, thabi’iyah (karakter bawaan) dan ‘aadiyah (kebiasaan). Thabi’iyah
artinya komposisi kepribadian seseorang sejak semula telah menyimpan suatu
kesiapan untuk menerima bentuk perilaku tertentu, sehingga hanya diperlukan
sedikit ‘sentuhan’ untuk mengarahkannya. ‘Aadiyah artinya sejak semula
jiwa dibiasakan mengerjakan sesuatu hal, yang dilakukan secara sadar,
berulang-ulang, dan dengan latihan yang kontinyu, sehingga tumbuh menjadi malakah
baru yang bisa muncul sewaktu-waktu dengan mudah dan tanpa perlu dipikirkan
lagi.
Manfaat. Berikut sebagian yang disebutkan para peneliti
tentang manfaat mempelajari Ilmu Akhlaq, yaitu:
·
Agar manusia menjadi sosok yang sempurna
perilakunya, semaksimal mungkin, sehingga di dunia ini berbahagia dan di
akhirat kelak terpuji.
·
Memunculkan bakat tersembunyi yang berupa kesiapan
untuk mengerjakan suatu malakah yang dikehendaki – atau –menciptakan malakah
baru yang belum ada sebelumnya.
Keutamaan. Ilmu ini mendapatkan perhatian yang sangat memadai
dalam syari’at Islam. Tidak seorang pun yang hendak berbicara mengenainya
melainkan ia sudah pasti mendapatkan bahan yang melimpah dari Al-Qur’an dan
Sunnah. Akhlaq senantiasa berkaitan dengan jiwa dan ruh, sementara tidak ada
yang lebih mengetahui tentangnya selain Allah dan Rasul-Nya. Adapun psikologi
dan ilmu-ilmu baru yang terkait, pada dasarnya hanya mengkaji jiwa dan ruh
menurut fenomena fisik dan lahiriah.
Hubungan
dengan ilmu lain. Dalam
banyak hal, akhlaq selalu berkaitan dengan adab. Disini, yang dimaksud adalah al-adab
asy-syar’iyyah, sebab – dalam bahasa Arab – Ilmu Adab dapat berarti pula
ilmu sastra, yakni kehalusan dalam berbahasa yang merupakan bagian dari adab.
Ilmu Adab Syar’iyyah mencakup hal yang lebih luas dan umum, karena di dalamnya
juga mendidik perasaan, pikiran, perkataan dan tindakan agar selaras dengan
syari’at.
Nama. Ilmu Akhlaq. Ada sebagian literatur di bidang ini
yang diberi judul al-Adab asy-Syar’iyyah, untuk membedakannya dari sastra.
Literatur
penting. Diantara karya-karya penting
di bidang ini adalah: Akhlaqu al-Abrar wa an-Najat min al-Asyrar karya
Abu Hamid al-Ghazali, al-Akhlaq karya asy-Syaikh ar-Ra’is Ibnu Sina, al-Akhlaq
karya ar-Raghib al-Ashfahani, al-Akhlaq karya an-Nashiriy, Rasa’il
Ikhwanu ash-Shafa wa Khillaanu al-Wafa, Akhlaq Jalali karya
al-Muhaqqiq ad-Dawani, Kitab al-Birr wal Itsm karya Ibnu Sina juga, Kitab
al-Fauz karya Abu ‘Ali Ibni Miskawaih, dan sebuah kitab lagi karya
Fakhruddin ar-Razi. Pada umumnya, karya-karya ini dapat dipandang pula sebagai
paparan tentang teori pendidikan.
Ini adalah literatur yang disusun
oleh para ulama’ di luar Ahli Hadits, sebab − sebagaimana sudah disinggung di
muka − akhlaq sangat diperhatikan dalam Islam. Ada teramat banyak karya dalam
kelompok literatur hadits yang membahas masalah ini, bahkan hampir seluruh
kitab induk matan hadits mempunyai bab-bab khusus yang membahas tentang
adab dan akhlaq. Seringkali bagian ini dirangkai dengan bab-bab doa dan
dzikir, kisah sahabat, keutamaan Al-Qur’an, mengikuti Sunnah, kemuliaan ilmu, dsb.
Logika di balik sistematika ini sebetulnya mudah dimengerti, dimana Islam
memandang bahwa pada dasarnya subyek sekaligus obyek akhlaq adalah jiwa (ruh),
sementara doa, dzikir, kisah-kisah, membaca dan merenungi ayat-ayat Allah,
mengamalkan Sunnah, membekali diri dengan ilmu, dan lain-lain merupakan sarana-sarana
terpenting dalam rangka mendidik dan meluruskannya. Kita dapat menjumpai kesan seperti
ini – misalnya – dalam Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, dan
juga Mushannaf ‘Abdurrazzaq. Landasan berpikir yang bersifat metafisik
inilah yang tidak dimiliki psikologi dan secara tegas memberi identitas khusus
kepada watak dasar pendidikan Islam yang membedakannya dari pendidikan Barat.[*]